BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasaan rata-rata serata penyelenggaraannya sesuai dengan standart dan kode etik profesi. kualitas pelayanan adalah suatu pelayanan yang diharapkan untuk memaksimalkan suatu ukuran yang inklusif dari kesejahteraan klien sesudah itu dihitung keseimbangan antara keuntungan yang diraih dan kerugian yang semua itu merupakan penyelesaian proses atau hasil dari pelayanan di seluruh bagian (Wiyono, 2009). Rumah sakit merupakan unit pelayanan medis yang sangat kompleks. Kompleksitasnya tidak hanya dari segi jenis dan macam penyakit yang harus memperoleh perhatian dari para dokter (medical provider) untuk menegakkan diagnosis dan menentukan terapinya (upaya kuratif), namun juga adanya berbagai macam peralatan medis dari yang sederhana hingga yang modern dan canggih. Kompleksitas sebuah rumah sakit adalah adanya sejumlah orang yang secara bersamaan berada di rumah sakit, sehingga sejumlah orang secara serempak, berinteraksi langsung ataupun tidak langsung mempunyai kepentingan dengan penderita-penderita yang dirawat di rumah sakit. Penderita yang sedang dalam proses asuhan perawatan di rumah sakit, secara umum keadaan umumnya tidak atau kurang baik, sehingga daya tahan tubuhnya menurun. Hal ini mempermudah terjadinya infeksi silang. Infeksi yang terjadi pada penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan disebut infeksi nosokomial (Darmadi, 2008). Angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan salah satu tolak ukur mutu pelayanan rumah sakit. Ijin operasional rumah sakit dapat dicabut karena tingginya angka kejadian infeksi nosokomial. Pihak asuransi pun tidak mau 1
2 membayar biaya yang ditimbulkan akibat infeksi nosokomial, sehingga penderita sangat dirugikan (Darmadi, 2008). Faktor-faktor penting yang menyebabkan infeksi nosokomial adalah (1) Pasien rawat inap memiliki penyakit yang menyebabkan sistem imun mereka relatif kurang efektif; (2) Pemberian antibiotik khusus untuk organisme tertentu saja, khususnya organisme gram-negatif yang resisten; (3) Prosedur dan perawatan yang dilakukan di rumah sakit mempengaruhi pertahanan alami tubuh terhadap infeksi, seperti pemasangan infus, pipa endotrakea (Davey, 2005). Pasien rawat inap membutuhkan terapi intravena, karena terapi intravena sangat penting untuk tindakan beberapa penyakit. Tindakan ini digunakan untuk memperbaiki atau menstabilkan lingkungan cairan tubuh atau memberikan obat-obatan. Pasien yang menerima intravena menjadi subyek terhadap beberapa bahaya tetapi paling dapat dihindari dengan asuhan keperawatan yang bijaksana (Engram, 2009). Terapi intravena merupakan metode yang efektif dan efesien untuk menyuplai kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh. Perawat berperan dalam melakukan pemasangan terapi intravena, perawatan serta pemantauan terapi intravena. Prosedur pemasangan intravena meliputi persiapan alat dan bahan; dan prosedur pelaksanaan (Tamsuri, 2009). Terapi intravena sering kali menimbulkan komplikasi yaitu phlebitis, yang disebabkan iritasi vena oleh alat intravena, obat-obatan, dan atau infeksi (Weinstein, 2001). Phlebitis didefinisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi mekanik, kimia dan bakteri, phlebitis dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat di sekitar pemasangan intravena atau sepanjang vena, nyeri dan pembengkakan (Hankins, Lonsway, Hedrick dan Perdue, 2001). Ada tiga jenis phlebitis berdasarkan faktor penyebabnya yaitu phlebitis mekanik, phlebitis kimia dan phlebitis bakterial. Phlebitis mekanik disebabkan pemakaian kanul yang terlalu besar sehingga mengiritasi vena,
3 pergerakan antara vena dan kanul, atau manipulasi kateter yang berulangulang. Phlebitis kimia terjadi ketika cairan dengan ph yang tinggi atau rendah osmoralitas yang > 500 mosm/l yang diberikan melalui intravena, sedangkan phlebitis bakterial terjadi akibat sistem intravena yang terkontaminasi oleh bakteri (Hanskin, Lonsway, Hendrick, Pardue, 2001). Insiden phlebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komposisi cairan atau obat yang diinjeksi (terutama ph dan tonisitasnya), ukuran kanula dan tempat pemasangan jalur intravena yang tidak sesuai dan masuknya mikroorganisme saat penusukan (Brunner dan Suddart, 2002). Di Indonesia belum ada angka yang pasti tentang prevalensi infeksi phlebitis pada pasien yang mendapatkan terapi intravena, angka standar phlebitis yang direkomendasikan oleh INS (Intravenous Nurses Sociaty) adalah 5% (Pujasari dan Sumarwati, dalam Jurnal Keperawatan Indonesia, 2002). Infeksi yang terkait dengan pemberian infus dapat dikurangi dengan empat intervensi yaitu perawat melakukan teknik cuci tangan yang aktif untuk menghilangkan organisme gram negatif sebelum mengenakan sarung tangan saat melakukan prosedur fungsi vena, mengganti larutan intravena sekurangkurangnya setiap 24 jam, mengganti semua kateter vena perifer termasuk lok heparin sekurang-kurangnya 72 jam, selain itu mempertahankan sterilitas sistem intravena saat mengganti selang, larutan dan balutan. Perawat mempunyai peran penting dalam pencegahan infeksi yaitu dengan mengetahui prosedur dan praktik yang paling mungkin menyebabkan infeksi nosokomial, dalam hal ini adalah faktor-faktor yang memungkinan terjadinya phlebitis (Darmawan, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Prastika (2010) diketahui bahwa faktor- faktor risiko yang memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian phlebitis di ruang perawatan RSUD Majalaya adalah faktor tindakan pemasangan infus,
4 usia pasien dan status gizi pasien, sedangkan untuk faktor jenis cairan tidak memiliki hubungan yang bermakna. Berdasarkan data dari RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan tahun 2011 pada triwulan I (Januari-Maret) diketahui angka kejadian phlebitis sebanyak 23 kasus (1,95%) dari 1.175 pasien infus dan injeksi. Pada triwulan II (April- Juni) terdapat 25 kasus (1,25%) dari 1.995 pasien infus dan injeksi. Pada triwulan III (Juli-September) terdapat 29 kasus (1,75%) dari 1.649 pasien dan pada triwulan IV (Oktober-Desember) terdapat 29 kasus (1,8%) dari 1.595 pasies. Angka kejadian phlebitis mengalami peningkatan, sedangkan perawatan infus di RSUD Kraton Pekalongan telah memenuhi standar operasional, namun masih kurang optimal dalam perawatan infus seperti tidak melakukan memakai sarung tangan dan cuci tangan secara medical dari peradangan, sehingga angka kejadian phlebitis selalu ada dan cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah pada penelitian ini adalah Apakah faktor lama pemasangan, lokasi pemasangan, kanula vena kateter, jenis cairan infus, perawatan infus dan perawatan infus berhubungan dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan?.
5 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah faktor lama pemasangan, lokasi pemasangan, kanula vena kateter, jenis cairan infus, perawatan infus, perawatan infus berhubungan dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan lama pemasangan infus pada pasien rawat inap di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. b. Mendeskripsikan lokasi pemasangan infus pada pasien rawat inap di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. c. Mendeskripsikan ukuran kanula vena kateter pada pasien rawat inap di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. d. Mendeskripsikan jenis cairan infus pada pasien rawat inap di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. e. Mendeskripsikan perawatan infus pada pasien rawat inap di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan. f. Mendeskripsikan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan g. Menganalisis hubungan lama pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan h. Menganalisis hubungan lokasi pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan i. Menganalisis hubungan ukuran kanula kateter dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan
6 j. Menganalisis hubungan jenis cairan infus dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan k. Menganalisis hubungan perawatan infus dengan kejadian phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Kraton Pekalongan D. Manfaat Penelitian 1. Bagi RSUD Kraton Pekalongan Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam melaksakanan tindakan perawatan infus sesuai dengan prosedur tetap (protap) yang telah ditetapkan oleh rumah sakit. 2. Bagi Perawat Pelaksana Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memberikan asuhan keperawatan pasien rawat inap khususnya dalam perawatan infus untuk meminimalisir kejadian phlebitis pada pasien rawat inap. E. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk dalam lingkup keperawatan medikal bedah. F. Keaslian Penelitian Judul & Peneliti Jenis Penelitian Pengambilan Sampel Analisa Data Hasil Penelitian Hubungan Tingkat Kompetensi pada Aspek Ketrampilan Desain deskriptif korelatif dengan pendekatan Teknik pengambilan sampel accidental sampling Korelasi Kendall Tau Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan tingkat
7 Judul & Peneliti Jenis Penelitian Pengambilan Sampel Analisa Data Hasil Penelitian Pemasangan Infus dengan Angka Kejadian Plebitis di RSUD Banyudono Kabupaten Boyolali oleh Bayu Seno Haji (2010) cross sectional kompetensi pada aspek keterampilan tentang pemasangan infus dengan kejadian plebitis dengan p value 0,004 dengan nilai α =0,05 Hubungan antara Jenis Cairan Intravena dengan Tingkat Keparahan Phlebitis : Suatu Studi Pada Pasien di Ruang Kelas 2 dan 3 RSIA Malang oleh Unun Suryaningsih (2007) Desain penelitian korelasional Teknik accidental sampling Chi square Hasil penelitian menunjukkan X 2 hitung = 2,85 dan X 2 (0,05)(1) = 3,84 nilai X 2 hitung < X ( )(dk) dengan taraf kesalahan 5 % maka Ho diterima, sehingga tidak ada hubungan antara jenis cairan intravena dengan tingkat keparahan phlebitis Perbedaan penelitian yang dilakukan penelitian dengan kedua penelitian tersebut di atas adalah desain penelitian. Peneliti menggunakan desain penelitian deskriptif dengan tujuan menggambarkan satu variabel yaitu faktor penyebab kejadian phlebitis meliputi pemasangan, lama pemasangan, lokasi pemasangan, ukuran kanula vena kateter, jenis cairan infus, perawatan infus dan kejadian phlebitis, sedangkan kedua penelitian di atas menggunakan desain korelasional.