I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN Latar Belakang

KEANEKARAGAMAN, STRUKTUR POPULASI DAN POLA SEBARAN SYZYGIUM DI GUNUNG BAUNG, JAWA TIMUR DEDEN MUDIANA

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. Satwa dalam mencari makan tidak selalu memilih sumberdaya yang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008).

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. negara yang memiliki kawasan pesisir yang sangat luas, karena Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

I. PENDAHULUAN. (MacKinnon, 1997). Hakim (2010) menyebutkan, hutan tropis Pulau Kalimantan

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

BAB I PENDAHULUAN. dikenal sebagai negara megabiodiversity. Sekitar 10 % jenis-jenis tumbuhan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I. PENDAHULUAN. bagi makhluk hidup. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

BAB III METODE PENELITIAN

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Data Jumlah Spesies dan Endemik Per Pulau

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa,

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh di wilayah tropis Asia dan Afrika hingga sebagian Australia. Di Wilayah Asia spesiesnya tersebar pada beberapa wilayah sebagai berikut: 70 spesies di kawasan Indo-China, 80 spesies di Thailand, 190 spesies di Semenanjung Malaya, 50 spesies di Jawa, 165 spesies di Borneo, 180 spesies di Filipina, dan 140 spesies di New Guinea. Filipina dan New Guinea serta Semenanjung Malaya dan Borneo adalah dua wilayah utama pusat penyebaran dan endemisitas kelompok marga ini (Haron et al. 1995). Meskipun Indonesia menjadi bagian dari dari pusat penyebaran Syzygium, akan tetapi sedikit sekali spesies dari marga ini yang telah dikenal oleh masyarakat. Beberapa spesies yang telah dikenal antara lain adalah Syzygium aromaticum (cengkeh), S. samarangense (jambu semarang), S. aqueum (jambu air), S. malaccense (jambu bol atau jambu darsono), dan S. polyanthum (salam). Umumnya spesies tersebut telah dikenal oleh masyarakat karena telah banyak dibudidayakan. Spesies tersebut biasanya dikenal karena dikonsumsi buahnya, ataupun sebagai bahan baku obat dan industri. Jumlah spesies yang dibudidayakan sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah spesies yang belum dibudidayakan. Dalam perdagangan kayu beberapa spesies Syzygium merupakan pohon yang menghasilkan kayu industri. Syzygium hanya dikenal sebagai pohon penghasil kayu minor, yang artinya tidak diperhitungkan sebagai spesies penghasil kayu perdagangan utama. Secara umum dikelompokan sebagai kelompok kayu dengan sebutan kelat. Beberapa spesies penghasil kayu tersebut antara lain: S. buettnerianum, S. claviflorum, S. grande, S. longiflorum, S. nervosum, S. polyanthum, dan S. syzygoides (Haron et al. 1995). Terdapat 50 spesies Syzygium yang dijumpai tumbuh di Pulau Jawa. Sebagian besar merupakan spesies yang tumbuh secara alami di hutan (Backer dan van den Brink 1963). Habitat alami bagi spesies dari marga ini adalah hutan hujan pada berbagai tipe vegetasi. Kondisi hutan alam di Jawa yang semakin

2 berkurang luasannya. Tekanan yang besar dialami oleh kawasan hutan di Jawa. Hal ini diakibatkan oleh kebutuhan lahan yang meningkat bagi kegiatan pembangunan. Akibatnya konversi lahan terus terjadi. Kawasan hutan konservasi di Jawa yang dikelola oleh pihak Kementrian Kehutanan relatif lebih terjaga karena memiliki status yang jelas mengenai fungsi pengelolaannya. Meskipun hal ini tidak menjadi jaminan bahwa kawasan tersebut tidak dapat dijangkau/dirambah oleh masyarakat. Setidaknya, secara legal kawasan-kawasan tersebut telah memiliki status hukum yang jelas sebagai kawasan konservasi. Tekanan terhadap kawasan konservasi dapat menimbulkan bencana bagi kelestarian spesies tumbuhan yang hidup di dalamnya. Beberapa spesies Syzygium telah mengalami bahaya kepunahan. International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) menetapkan dua spesies di antaranya termasuk ke dalam spesies yang langka. Keduanya adalah spesies Syzygium dari Jawa. Kedua spesies tersebut adalah S. ampliflorum dan S. discophorum (Whitten at al. 1999). Kondisi ini memerlukan perhatian untuk mengupayakan konservasi terhadapan keberadaan spesies- spesies tersebut. Hal ini dimaksudkan agar keberadan spesies Syzygium, terutama yang belum banyak dikenal, dapat terhindar dari ancaman bahaya kepunahan serta dikenal dan dapat dimanfaatkan potensinya oleh masyarakat. Konservasi atas keanekaragaman hayati tidak semata hanya berdasarkan pada argumentasi yang bersifat materiil dan bersifat ekonomis, dimana keanekaragaman spesis (tumbuhan) hanya dilihat dari manfaatnya baik langsung ataupun tidak langsung berupa: sumber pangan, kayu, keindahan, bahan obat, manfaat ekologis, ekowisata, dan lainnya. Argumentasi ini bisa diterapkan bagi spesies yang telah diketahui manfaatnya. Alasan konservasi spesies-spesies sebagai bagian dari keanekaragaman hayati dapat pula berdasarkan pada argumentasi yang bersifat etis. Argumentasi etis lebih berdasarkan pada nilai-nilai filosofi keagamaan, dimana konservasi atas keanekaragaman hayati spesies berlaku untuk semua spesies penyusunnya, termasuk spesies yang belum diketahui nilai manfaatnya tanpa melihat nilai ekonominya. Argumentasi ini lebih tepat menjadi alasan untuk melakukan

3 konservasi atas spesies Syzygium yang belum banyak diketahui nilai ekonomi dan manfaatnya. Argumentasi etis lebih menekankan pada nilai intrinsik yang melekat pada suatu spesies bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati secara keseluruhan. Beberapa hal yang melekat dengan konsep ini adalah bahwa setiap spesies memiliki hak untuk hidup dan terdapat saling ketergantungan antara satu spesies dengan spesies lainnya. Manusia menjadi bagian dari sistem kehidupan dan bertanggungjawab sebagai penjaga dan pelindung bumi. Penghargaan atas kehidupan manusia berarti juga menghargai keanekaragaman hayati. Alam memiliki nilai spiritual dan estetis yang melebihi nilai ekonominya (Primack et al. 1998). Kondisi populasi spesies Syzygium di Indonesia belum banyak tersedia informasinya. Data dan informasi tersebut sangat diperlukan bagi upaya pengelolaan dan konservasi spesies yang ada. Melalui kegiatan penelitian semacam ini diharapkan dapat diketahui kondisi kergaman spesies dan populasi Syzygium yang tumbuh secara alami di berbagai wilayah hutan, terutama di kawasan-kawasan konservasi yang masih ada. Salah satu kawasan tersebut adalah Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Baung yang terletak di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Kawasan TWA Gunung Baung dikenal karena keunikan ekosistemnya yang memiliki air tejun yang diberi nama Coban Baung (dalam bahasa Jawa, coban berarti air terjun). Keberadaan air terjun tersebut menjadi daya tarik utama kawasan ini. Sebagai suatu kesatuan ekosistem keberadaan air terjun tersebut tentu dipengaruhi oleh kondisi komponen lainnya termasuk tumbuhan di dalamnya. Salah satu kelompok tumbuhan tersebut adalah marga Syzygium. Informasi mengenai Syzygium yang terdapat di kawasan ini masih sangat terbatas. Penelitian Yuliani et al. (2006) mencatat keberadaan S. javanicum di Kawasan TWA Gunung Baung. Mudiana (2009) mengemukakan bahwa terdapat empat spesies Syzygium yang dijumpai tumbuh di sepanjang Sungai Welang di TWA Gunung Baung, yaitu: S. samarangense, S. javanicum, S. pycnanthum, dan S. cf. aqueum. Informasi mengenai keanekaragaman spesies, kondisi populasi, dan pola penyebarannya di dalam kawasan TWA Gunung Baung dapat menjadi dasar bagi

4 tindakan pengelolaan kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan keberadaannya akan berkaitan dengan proses-proses ekologi di dalam kawasan tersebut. Sebagai contoh, keberadaan kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan kelelawar besar pemakan buah atau kalong (Pteropus vampyrus) di kawasan ini kemungkinan berkaitan dengan kondisi tumbuhan yang mendukung kehidupannya. Keberadaan keduanya kemungkinan juga menjadi agen pemencar biji Syzygium (Baung Camp 2008; Mudiana 2009). Untuk mendapatkan informasi tersebut, maka diperlukan suatu penelitian dan pengkajian mengenai keanekaragaman spesies, struktur populasi dan pola penyebaran Syzygium di kawasan ini. 1.2. Perumusan Masalah Dari 50 spesies Syzygium yang terdapat di Pulau Jawa, sebagian besar merupakan spesies alami yang belum dibudidayakan. Habitat alami spesiesspesies ini terutama di kawasan-kawasan hutan hujan tropis. Meskipun demikian keberadaannya dijumpai pada berbagai tipe vegetasi hutan, dari hutan pantai hingga hutan pegunungan, pada daerah savana, munson hingga ultrabasa (Parnell et al. 2007). Mengingat kondisi dan tingkat kerusakan hutan di Jawa, maka dikhawatirkan akan mengancam spesies-spesies Syzygium alami yang belum dikenal dan dibudidayakan. Salah satu kawasan hutan dataran rendah yang masih tersisa di Jawa adalah TWA Gunung Baung yang terdapat di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Keberadaan kawasan ini sangat menarik, karena merupakan kawasan konservasi yang tidak terlalu luas dan dikelilingi oleh kawasan budidaya berupa lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman. Kondisi ini menyerupai suatu kawasan yang terisolasi dari kondisi sekitarnya. Hal ini akan berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati dalam kawasan tersebut, termasuk spesies tumbuhan yang terdapat di dalamnya. Marga Syzygium diduga tumbuh di dalam kawasan tersebut dan menjadi salah satu komponen penting penyusun ekosistem di dalamnya. Informasi mengenai keanekaragaman spesies, penyebaran serta kondisi populasi Syzygium di kawasan ini dapat digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan pengelolaan kawasan ini. Untuk itu perlu dilakukan penelitian dan pengkajian mengenai kondisi marga ini di kawasan TWA Gunung Baung. Berdasarkan pada studi

5 literatur diketahui bahwa belum ada data dan informasi yang berkaitan dengan keanekaragaman spesies Syzygium serta struktur populasinya di kawasan TWA Gunung Baung. Hal ini dikarenakan belum pernah dilakukan penelitian tentang hal ini. Beberapa spesies Syzygium memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai tanaman penghasil buah, bahan baku obat, ataupun sebagai tanaman hias. Potensi tersebut belum banyak diungkap, terutama yang berkaitan dengan kondisi populasi alaminya. Penelitian yang pernah dilakukan di lokasi tersebut kebanyakan berupa kegiatan inventarisasi spesies (Yuliani et al. 2006, 2006a). Penelitian di berbagai lokasi mengenai struktur populasi spesies dari marga Syzygium belum pernah dilakukan. Kebanyakan penelitian yang dilakukan berupa kegiatan inventarisasi spesies tumbuhan di berbagai wilayah (Mustian 2009; Sunarti et al. 2008; Partomihardjo dan Ismail 2008). Mudiana (2009) menginventarisasi spesies Syzygium di sepanjang aliran Sungai Welang yang merupakan bagian dari TWA Gunung Baung. Pa i dan Yulistiarini (2006) melakukan penelitian terhadap populasi spesies Parameria laevigata di wilayah sebelah timur Gunung Baung. Hingga saat ini belum ada informasi mengenai kondisi dan keanekaragaman Syzygium di TWA Gunung Baung. Pertanyaan yang menjadi dasar penelitian ini adalah: (1) Berapa spesies Syzygium yang terdapat di TWA Gunung Baung dan bagaimana karakter habitat untuk setiap spesiesnya? (2) Bagaimana struktur populasinya? (3) Bagaimana pola sebarannya di dalam kawasan? Berdasarkan kondisi ini maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman spesies Syzygium, struktur populasi serta pola penyebarannya di kawasan TWA Gunung Baung. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis keanekaragaman spesies Syzygium, struktur populasi serta pola sebarannya di TWA Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur. Studi dan analisis yang dilakukan terhadap struktur populasi taksa ini terutama berkaitan dengan kondisi populasi

6 pada tahapan-tahapan pertumbuhan dari tingkat semai hingga pohon untuk setiap spesies Syzygium. 1.4. Manfaat Penelitian Informasi ilmiah mengenai keanekaragaman, struktur populasi, dan pola sebaran Syzygium dapat menjadi basis pengelolaan spesies Syzygium dan strategi konservasinya di kawasan TWA Gunung Baung. Informasi yang berkaitan dengan potensi ekonomi dan pemanfaatannya diharapkan dapat mendorong upaya pengenalan dan pengembangan spesies Syzygium yang belum banyak dikenal masyarakat. 1.5. Kerangka Pemikiran Berdasarkan pada latar belakang kondisi permasalahan yang berkaitan dengan taksa ini serta upaya konservasi yang dilakukan maka disusunlah suatu kerangka pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya kegiatan penelitin ini (Gambar 1).

7 Pengelolaan dan konservasi spesies tumbuhan di TWA Gunung Baung, salah satunya: Syzygium Berapa spesies Syzygium? Bagaimana struktur populasinya? Bagaimana pola sebarannya? Asumsi: Terdapat spesies Syzygium di TWA Gunung Baung yang tumbuh alami Hipotesis: 1. Terdapat beberapa spesies Syzygium yang tumbuh di dalam kawasan TWA Gunung Baung 2. Struktur populasi yang beragam antar spesies 3. Pola sebaran spesies berkelompok Variabel yang diamati: 1. Jumlah spesies Syzygium 2. Jumlah individu Syzygium (dbh, tinggi total, tinggi bebas cabang) 3. Penyebarannya dalam kawasan 4. Strata pertumbuhannya (jumlah anakan, pancang, tiang, pohon) 5. Faktor ekologi Sumber data: Data primer Analisis vegetasi, data lingkungan habitat, peta kawasan Data sekunder Spesimen koleksi kebun raya dan herbarium PENELITIAN Metode penelitian: Studi pendahuluan survey lokasi, studi spesimen dan koleksi Pengumpulan data: Eksplorasi Keanekaragaman spesies Analisis vegetasi Kondisi vegetasi dan populasi Syzygium Data lingkungan biotik dan abiotik ANALISIS DATA Analisis data identifikasi spesies, komposisi dan struktur vegetasi, pola sebaran, perbandingan struktur populasi antar spesies Hasil: 1. Spesies Syzygium di TWA Gunung Baung 2. Struktur populasi Syzygium 3. Pola sebaran Syzygium Gambar 1 Alur kerangka pemikiran penelitian