BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan

dokumen-dokumen yang mirip
SUBJECTIVE WELL BEING PADA KORBAN BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan

PEDOMAN OBSERVASI FENOMENA KORBAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DALAM DUNIA PENDIIDKAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai,

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. seorang individu mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dimasa ini

BAB I PENDAHULUAN. suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

MANAJEMEN EMOSI PADA SISWA KORBAN KEKERASAN FISIK OLEH GURU DI SEKOLAH (SCHOOL BULLYING)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebijakan publik tentang masalah anak dan rencana anak, isu utama kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Korban Pelecehan Seksual yang Berusia 8-12 Tahun di Sukabumi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

2016 HUBUNGAN ANTARA CYBERBULLYING DENGAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEPRIBADIAN TANGGUH PADA SISWA KORBAN KEKERASAN TEMAN SEBAYA

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku dan segala sifat yang membedakan antara individu satu dengan individu

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. bullying selalu terjadi bahkan sudah menjadi sebuah tradisi. Bullying

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan dengan semangat yang menggebu. Awalnya mereka menyebut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seorang anak sejak lahir tentu sejatinya membutuhkan kasih sayang yang

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai. Ketidakseimbangan jumlah antara laki-laki dan perempuan banyak

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU NEGERI DI SMAN I WONOSARI DENGAN GURU SWASTA DI SMA MUHAMMADIYAH I KLATEN. Skripsi

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA TUNARUNGU (Studi Kasus di SMK Negeri 30 Jakarta)

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tergantung pada orangtua dan orang-orang disekitarnya hingga waktu tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan tersebut.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah remaja merupakan suatu masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan membawa kehancuran bagi remaja itu sendiri dan masyarakat pada umumnya. Seperti yang diungkapkan oleh Fieldman (2009) masa remaja (adolescence) adalah peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia sekitar 10 atau 11, yang melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan. Menurut Monks, Knoers, dan Haditono (2002) bahwa perkembangan sosial remaja terdapat dua macam gerak yaitu memisahkan diri dari orang tua dan menuju kearah teman sebaya. Remaja yang berada pada tahap untuk menemukan jati dirinya sendiri, jika dihadapkan pada keadaan lingkungan luar yang kurang cocok dengannya, maka remaja mudah jatuh sehingga menimbulkan penderitaan batin, seringkali merasa kecemasan, dan merasakan ketidakpastian. Hal inilah yang menyebabkan remaja jatuh pada perilaku menyimpang yang dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain baik hari ini dan di kemudian hari. Permasalahan yang sering dihadapi para remaja salah satunya adalah perilaku bullying yaitu bentuk khusus perusakan yang dilakukan oleh teman sejawat. Bullying merupakan masalah sosial di kalangan anak-anak sekolah. Hampir setiap anak pernah diperlakukan tidak baik oleh anak yang lebih tua atau lebih kuat (Krahe, 2005). Dominannya perilaku bullying seringkali terjadi secara 1

2 sembunyi-sembunyi (covert) dan seringkali kebanyakan dari korban tidak lapor sehingga kurang ditindaklanjuti (Glew, Rivara, dan Feudtner, 2000).. Seperti yang terjadi saat ini banyak remaja yang melakukan kenakalan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sedikitnya 1850 kasus kekerasan (bullying) yang terjadi baik dilingkungan sekolah maupun di luar sekolah. sedangkan data dari klaster (pengelompokan kasus) dalam lingkungan pendidikan dari KPAI untuk anak pelaku tawuran pelajar tercatat, pada 2011 terdapat 64 kasus, 2012 ada 82 kasus, 2013 ada 71 kasus, 2014 terdapat 46 kasus, dan 2015 terdapat 62 kasus. Untuk anak pelaku kekerasan di sekolah yang terdata KPAI, pada 2011 ada 48 kasus, 2012 ada 66 kasus, 2013 terdapat 63 kasus, 2014 ada 67 kasus, dan 2015 sampai saat ini baru 39 kasus. Dari data tersebut menunjukan kekerasan antar pelajar tak dapat dipungkiri meskipun naik turun kuantitasnya namun tetap ada yang melakukan tindakan kekerasan. Hal tersebut karena remaja mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan sehingga menghasilkan emosi yang negatif berupa adu fisik. (Antaranews.com, 2012). Di Jerman, Scheithauer dkk (2006) juga menemukan bahwa anak-anak lelaki lebih banyak melakukan tindakan agresif (pada kekerasan fisik) dibandingkan anak perempuan, tetapi perempuan terlibat dalam bullying tidak langsung dalam artian tindakan bullying pada perempuan lebih pada verbal. Ada pula berupa tawuran antar remaja SMK dimana hal tersebut melanggar norma sosial dan norma hukum yang berlaku. Aksi saling pukul dan pengroyokanpun juga terjadi di Solo (Setiadi, 2013). Selain itu terdapat terdapat salah satu akibat dari proses bullying itu sendiri, salah satunya yaitu meninggalnya

3 anak berusia 8 tahun akibat kekerasan dibagian kepala dan dada oleh temannya (Susanti, 2016). Menurut data yang dicatat oleh PBB untuk Anak (Unicef) menyebutkan, perilaku bullying di Indonesia seringkali dirasakan anak perempuan. Indonesia memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang melindungi anak dari tindak kekerasan yaitu Tahun 2014 UU Nomor 35 berisi Perlindungan Anak, Tahun 2014 Nomor 5 Instruksi Presidenberisi Gerakan Nasional Anti-kejahatan Seksual terhadap anak, dan UU Nomor 11 Tahun 2012 berisi Sistem Peradilan Pidana Anak. Perangkat hukum ini meskipun sudah diterapkan masih menuai beragam kendala seperti masyarakat yang tidak mengetahui kejadian tersebut dan kurangnya komitmen pemerintah daerah. Kurang optimalnya penerapan ini membuat anak-anak di Indonesia belum sepenuhnya terlindungi. Menurut Ketua forum musyawarah guru Jakarta (FMGJ) Heru Purnomo, tindak kekerasan yang dialami anak di Indonesia semakin mengerikan meskipun seringkali menurut data naik turun namun kekerasan tidak dapat dipungkiri selalu ada. (Qodar, 2015) Riauskina, Djuwita, san Soesetio (2005) melakukan penelitian pada beberapa SMA di Jakarta dan Bogor, menemukan fakta bahwa bullying sudah menjadi tradisi siswa-siswi di SMA tersebut. Penelitian ini mencatat bahwa penggencetan oleh kakak kelas pada adik kelas dapat dikategorikan menjadi dua jenis yaitu memarahi dan mengganggu. Adik kelas dimarahi ketika kakak kelas tidak suka, dan adik kelas diganggu ketika kakak kelas sedang ingin iseng. Kondisi tersebut dapat membuat lingkungan sekolah menjadi tempat lahir-nya preman-preman.

4 Penelitian yang dilakukan Simbolon (2012) menemukan bahwa fenomena bullying masih ditemukan berlanjut hingga tingkat universitas. Mahasiswa asrama yang terlibat dalam penelitian tersebut mengaku telah menindas dengan memukul dan meleceh-kan korban yang merupakan juniornya bahkan pelaku mengaku telah memaksa korban menenggak minuman keras dan menelanjangi lalu memaksanya mandi di tengah malam. Psikolog anak Anne Sari Sani, (mediaaceh, 2016) mengungkapkan bahwa biasanya para pelaku bullying tega melakukan hal tersebut karena ingin menunjukkan kekuatan dan cari perhatian. Hal tersebut juga didasari pelaku bullying memiliki sifat impulsif. Sedangkan efek dari anak korban bullying yakni akan mengalami kebingungan. Para korban bullying juga akan mengalami penurunan prestasi akademik bahkan gangguan mental pada sang anak, seperti niat untuk bunuh diri. Hasil penelitian yang dilakukan Paragas & Paragas (2016) menemukan bahwa responden berusia 15 ke 17 tahun berjenis kelamin perempuan lebih rentan mengalami bullying daripada laki-laki, dan bullying verbal lebih umum terjadi. Hasil penelitian yang dilakukan Akbar (2013) juga menemukan bahwa perlakuan tidak menyenangkan yang diterima oleh siswa korban bullying di SMP N 5 Samarinda tidak lantas membuat pesimis para korban untuk tidak mencari sekolah baru. Siswa korban bullying ingin diperlakukan baik di lingkungan sosial maupun di sekolah baru. Para korban bullying berharap agar disekolah yang baru dirinya dapat diterima dengan baik seperti anak-anak yanga lain. Upaya untuk menciptakan interaksi yang baik ialah, korban bullying menjadi lebih aktif. Para

5 korban bullying juga ingin sekolah barunya nati lebih tegas dan konsisten dengan peraturan yang dibuat. Peneliti melakukan pengambilan data awal dengan membagikan kuesioner yang berisi 5 pertanyaan, dengan tujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya korban bullying pada siswa SMP. Kuesioner dibagikan sebanyak 25 lembar dengan hasil dari 25 responden menyatakan memiliki teman dekat. Dari 12 responden yang pernah diperlakukan tidak menyenangkan berupa diejek, diremehkan, disakiti (menarik rambut), dijadikan pembantu dan dikucilkan oleh teman-teman sekelas 8 responden diantaranya subjek AOP dan BEL menyatakan sikap teman-teman selama di sekolah baik, ramah, lucu dan peduli. Saat diperlakukan tidak menyenangkan kedua subjek tersebut merasa biasa saja dan menganggap perlakuan tersebut adalah sebuah candaan dan memilih untuk membalas perlakuan tersebut. Sedangkan subjek FOS, AUF, UI, V, LTY dan K menyatakan sikap teman-teman disekolah meskipun terkadang baik namun suka mengejek, meremehkan, mengganggu, tidak dianggap. Keenam subjek hanya pasrah, tidak membalas dan berdiam diri apabila mendapat tindak bullying. Perasaan yang dirasakan keenam subjek tersebut merasa kecewa, marah, sedih, takut dan kesepian. Data tersebut menunjukan bahwa siswa SMP merasa tidak bahagia karena diperlakukan tidak menyenangkan oleh teman sekolahnya. Kondisi emosi seperti perasaan menyenangkan, perasaan tidak menyenangkan atau khawatir dan kepuasan hidup individu dapat mempengaruhi subjective wellbeing suatu individu. Menurut Diener dan Chan (2011), subjective well-being didefinisikan sebagai

6 penilaian individu atas hidup yang dijalani individu, mencakup penilaian kepuasan hidup dan suasana hati atau emosi. Penilaian ini meliputi evaluasi perasaan terhadap berbagai peristiwa yang dijalani yang sejalan dengan evaluasi fikiran terhadap kepuasan hidup. Subjective well-being berkontribusi terhadap kesehatan dan harapan hidup lebih baik (Diener & Chan, 2011). Itulah alasan pentingnya korban bullying harus memiliki subjective well-being yang tinggi. Seseorang akan mampu mengendalikan diri dan menyelesaikan barbagai kejadian dalam hidup dengan lebih maksimal dan baik. Menurut Grob (dalam Rask, Asterd, dan Laippala, 2002), subjective wellbeing terdiri dari permasalahan dan komplain somatik. Permasalahan berarti kesulitan yang terjadi pada saat ini atau yang akan datang. Contohnya permasalahan yang berhubungan dengan keluarga, kesehatan, teman atau proses pertumbuhan yang sedang dialami. Komplain somatik melibatkan sakit secara fisik, seperti eneg yang tidak biasa atau kehilangan nafsu makan. Tidak adanya subjective wellbeing berarti kebebasan dari kekhawatiran dan sakit secara fisik (Astedt-Kurki 1992; Grob dalam Rask, Asterd, dan Laippala 2002). Cemas, depresi dan khawatir merupakan afek negatif. Jika remaja kerap merasakan afek negatif, maka akan berpengaruh pada tingkat subjective wellbeing. Hal-hal yang disebutkan dalam penelitian Rask, dkk (2003) tersebut sangat mudah dialami remaja, karena masa remaja adalah masa yang sangat rentan terhadap berbagai macam hal. Remaja mengalami berbagai macam perubahan pada dirinya, seperti perubahan fisik, psikologis dan sosial. Ketiga macam perubahan ini saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Perubahan-

7 perubahan tersebut berdampak pada kesejahteraan emosional remaja dan dapat menyebabkan stress yang luar biasa (Goldbeck, dkk., 2007). Selain itu proses perkembangan, perubahan dan peralihan yang dialami remaja menimbulkan kegamangan dan kebingungan pada diri remaja (Ekawati, 2012). Kegamangan dan kebingungan ini dapat berdampak pada naik turunnya emosi yang dialami oleh remaja. Naik turunnya emosi membawa dampak pada afek positif dan negatif yang dirasakan remaja, sehingga dapat berpengaruh pada tingkat subjective wellbeing mereka. Kondisi lingkungan yang tidak menyenangkan atau menyenangkan dapat berpengaruh pada subjective wellbeing sesorang diantaranya mempengaruhi mood, kesehatan dan penyakit (Diener & Chan, 2011). Subjective well-being pada korban bullying ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengelola perasaan yang kurang atau bahkan tidak menyenangkan menjadi perasaan yang menyenangkan, menjadikan suatu masalah yang ada dalam dirinya sebagai suatu proses hidup yang harus dijalani, dan berusaha untuk tetap optimis dalam menghadapi masalahnya. Berdasarkan dari fenomena-fenomena serta penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka peneliti menemukan rumusan masalah yang akan diajukan yakni Bagaimana subjective well-being pada korban bullying?. Dengan uraian tersebut, maka peneliti tertarik ingin melakukan penelitian dengan judul Subjective Well-Being pada korban bullying Di Surakarta?

8 B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan mendeskripsikan subjective well-being pada korban bullying di Surakarta. C. Manfaat Penelitian Dari berbagai hal yang telah diungkapkan diatas, manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Penelitian yang akan dilakukan diharapkan mampu menambah wawasan yang baru dalam kajian ilmu Psikologi Sosial dan Psikologi Positif. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa Diharapkan mampu bertahan disituasi apapun dan mampu menghadapi serta mengambil hikmah setiap peristiwa yang terjadi b. Bagi Guru Untuk memberikan cara meningkatkan subjective well-being pada siswa korban bullying serta meningkatkan pengawasan pada lingkungan disekitar siswa c. Bagi Orang Tua Diharapkan mampu memantau kondisi anak korban bullying dan mampu meningkatkan subjective wellbeing

9 d. Bagi Kepala Sekolah Diharapkan bekerjasama dengan para guru guna menigkatkan subjective well-being khususnya pada korban bullying e. Bagi Pihak Sekolah Dapat mengetahui subjective well-being pada korban bullying sehingga dapat memberikan perhatian khusus pada korban bullying. f. Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan sebagai referensi atau bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya terkait subjective well-being pada korban bullying.