BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah teknologi pada hakikatnya diciptakan untuk membuat hidup manusia menjadi semakin mudah dan nyaman. Kebutuhan hidup manusia yang semakin kompleks mendesak teknologi untuk menyesuaikan diri secara cepat dalam berinovasi dan berimprovisasi. Seiring pertumbuhan manusia yang semakin banyak dengan segala interaksinya maka dalam hal pertukaran informasi khususnya komunikasi, peranan teknologi menjadi sangat penting. Teknologi komunikasi merupakan salah satu bidang teknologi yang berkembang pesat dan menciptakan banyak produk salah satunya adalah Smartphone. Teknologi komunikasi smartphone dijadikan kebutuhan pokok oleh berbagai kalangan. Awalnya handphone hanya berfungsi untuk menelepon dan sms saja, sekarang bertransformasi menjadi telepon genggam yang sangat canggih yaitu smartphone yang bisa dilakukan banyak hal dengan meggunakannya. Teknologi komunikasi dalam wujud smartphone ini merupakan fenomena yang paling unik dan menarik. Smartphone dapat dikatakan sebagai kebutuhan pokok. Nielsen (2012) melaporkan pengguna smartphone di 39 negara di dunia dan 13 di antaranya yaitu negara-negara di Asia, termasuk Indonesia. 1
2 Industri telepon seluler mengalami perkembangan yang pesat dalam dua dekade terakhir ini, baik di negara maju ataupun sedang berkembang. Di Indonesia telepon seluler telah mengubah peta industri telekomunikasi secara radikal. Dimana handphone yang dulunya merupakan barang mewah, dan hanya kelompok tertentu yang bisa menikmatinya, namun sekarang individu bisa dengan mudah mendapatkannya selain murah, banyak fasilitas yang bisa didapat, baik pula dalam sarana telekomunikasi fixedline wireline ataupun fixedline wireless serta seluler (Mayasari, 2012). Smartphone merupakan ponsel pintar yang memiliki keterampilan layaknya sebuah komputer yang mendukung tersedianya jaringan internet dan organizer lain yang memudahkan penggunanya (Ali Zaki, 2009). Pengertian Smartphone lebih rinci dijelaskan oleh John W Rittinghouse and James F Ransome yaitu sebagai perangkat telepon portable yang merupakan versi modern dari sebuah komputer yang berukuran kecil dan dapat dibawa kemana-mana (Rittinghouse and Ransome, 2010). Smartphone memiliki banyak model dan berbagai sistem operasi standar yang mendukung akses internet, email serta fitur lain yang tidak dimiliki oleh ponsel biasa. Senada dengan pendapat di atas Michael Juanto mengemukakan Smartphone merupakan sebuah telepon genggam yang memiliki fungsi layaknya sebuah komputer yang mendukung untuk pencarian data, pengiriman pesan instant, pemutar lagu, dan video game (Juanto, 2005). Dikarenakan fitur smartphone sangat lengkap maka teknologi ini cukup menyita banyak waktu penggunanya, Dikutip dari Liputan6.com, Kamis
3 (3/9/2015), Google menggandeng lembaga riset GfK dalam melakukan surveinya kepada 2.500 orang di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Survei Google itu digunakan untuk melihat seberapa besar kebiasaan pengguna smartphone menggunakan perangkatnya untuk memenuhi kebutuhan tertentu.menurut Country Industry Head Google Indonesia, Henky Prihatna, di dalam presentasi survei Google terbaru ini menjelaskan 61 persen masyarakat perkotaan indonesia rupanya Internetan dengan menggunakan smartphone dalam total waktu 5,5 jam per hari. Penggunaan smartphone secara tidak langsung telah mengubah gaya hidup/lifestyle masyarakat dunia. Hal tersebut juga dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hassan (1999) dalam Utaminingsih (2006) mengemukakan teknologi komunikasi cenderung memungkinkan terjadinya transformasi berskala luas dalam kehidupan manusia. Transformasi tersebut telah memunculkan perubahan dalam berbagai pola hubungan antar manusia (patterns of human communication), yang pada hakikatnya adalah interaksi antar pribadi (interpersonal relations). Pertemuan tatap muka (face to face) secara berhadapan dapat dilaksanakan dalam jarak yang sangat jauh melalui tahap citra (image to image). Smartphone memberikan banyak kemudahan bagi manusia modern dalam pekerjaan, informasi maupun komunikasi namun tidak bisa dipungkiri banyak pula dampak negatif bermunculan karenanya. Budyatna (2005) mengemukakan bahwa bentuk komunikasi yang paling ideal adalah yang bersifat transaksional,
4 dimana proses komunikasi dilihat sebagai suatu proses yang sangat dinamis dan timbal balik. Fenomena yang kini terjadi yang diakibatkan sebagai dampak negatif dari penggunaan smartphone, diantaranya sering dijumpai dalam banyak kesempatan individu lebih memilih memainkan atau menggunakan ponselnya, meskipun ia berada ditengah-tengah suatu kegiatan atau sosialisasi dengan orang-orang disekitarnya, contohnya pada saat ada perayaan ulang tahun atau perayaan lainnya, travelling, bahkan untuk keadaan duka, individu kini bukan lagi fokus pada esensi atau kebersamaan dari acara itu sendiri melainkan mengutamakan pada dokumentasi yang akan diupload ke media sosial sebagai bukti eksistensi mereka, Telah ada lonjakan pada pasangan muda, khususnya yang sibuk dalam bekerja datang kepada saya untuk konsultasi setelah menghadapi hasrat seksual yang lemah karena kecanduan media sosial pada jam malam, kata Dr Prakash Kothari, seksolog terkemuka di Mumbai, India, sebagaimana dilansir Times of India, Kamis (4/6/2015). Disisi lainnya manusia sebagai mahluk sosial akan membentuk sebuah hubungan agar tercipta sebuah interaksi dan dapat bertahan dalam lingkungan sosialnya. Seperti yang terjadi dalam kehidupan, individu membangun beberapa jenis hubungan, misalnya hubungan pertemanan, kekeluargaan, dan hubungan romantis dengan lawan jenis yang dapat dikatakan sebagai pacaran, serta jenjang hubugan selanjutnya yaitu pernikahan.
5 Menurut Catherine Collin, Nigel Benson, et all. (2012). Individu membangun hubungan yang lebih akrab dengan orang lain dan memulai pengalaman tentang cinta secara dewasa terjadi pada usia sekitar 18 30 tahun atau pada usia dewasa muda. Pada usia dewasa muda ini ditandai dengan krisis psikoemosional, yang menurut Erikson ada pada tahap intimacy vs isolation, dimana sebagian besar individu pada masa ini membangun hubungan romantis dan lebih intim dengan lawan jenisnya. Sedangkan menurut Papalia et al (2007) usia dewasa muda dimulai pada usia 20 tahun sampai dengan 40 tahun, dan pada masa ini individu memiliki cinta yang dewasa yang berarti memiliki komitmen, hasrat seksual, kerjasama, dan kompetensi sekaligus sahabat (Feist & Feist, 2008). Hubungan yang harmonis dalam ikatan pernikahan yang bahagia adalah idaman bagi semua pasangan suami istri atau sering juga disingkat pasutri. Menurut beberapa tokoh, yang menjadi kekuatan utama dalam pernikahan adalah Intimacy (Beck, 1988; Levinger, 1988 dalam Heller, P.E, & Wood, B., 1988; Stenberg, 1988). Meskipun Intimacy tidak terbatas pada hubungan pernikahan namun sebagian besar orang menikah adalah untuk menemukan dan mempertahankan intimacy (Olson & Defrain, 2006). Intimacy dalam pernikahan ini juga dapat memiliki makna yang berbeda bagi pria dan wanita, hal tersebut disebabkan oleh pengalaman dan implikasi dari pernikahan yang mungkin berbeda bagi istri maupun suami (Thompson & Walker, 1989, dalam Santrock, 2002). Hal ini umumnya tepat dalam mengekspresikan intimacy dan dalam pekerjaan rumah tangga. Wanita lebih ekspresif dan berperasaan sehingga lebih menunjukkan kebutuhan yang
6 berhubungan dengan emosi (emotional intimacy), sedangkan pria lebih menggambarkan keinginan yang berhubungan dengan seksual (sexual intimacy) (Stahmann, Young & Grover, 2004). Selain itu, dalam pekerjaan rumah tangga juga istri biasanya melakukan pekerjaan rumah lebih banyak daripada suaminya (Warner, 1986, dalam Santrock, 2002). Intimacy, passion, dan commitment merupakan suatu kesatuan komponen yang harus dimiliki oleh setiap pasangan suami istri. Komponen tersebut akan mendorong terciptanya hubungan suami istri yang harmonis. Hubungan yang harmonis adalah hubungan yang dapat bertahan lama meskipun diterpa oleh banyak masalah dan perbedaan. Setiap permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga dijadikan sebagai pembelajaran hidup untuk lebih baik di masa yang akan datang. Sternberg (dalam Papalia, 2004) intimacy adalah komponen emosi dari cinta yang meliputi perasaan dengan orang lain, seperti perasaan hangat, sharing, dan kedekatan emosi serta mengandung pengertian sebagai elemen afeksi yang mendorong individu untuk selalu melakukan kedekatan emosional dengan orang yang dicintainya. Menurut Baur and Crooks (2008) Intimacy juga merupakan salah satu upaya untuk membantu orang lain, keterbukaan dalam sharing, bertukar pikiran, dan merasakan sedih ataupun senangnya dengan seseorang yang dicintainya. Menurut kamus istilah psikologi intimacy merupakan bagian dari analisis transaksional kemesraan yang merupakan keeratan dalam hubungan emosional antar individu yang ditandai dengan tidak adanya penyalahgunaan dan
7 terjadi hubungan yang otentik ( Bruno, 1989), jadi komunikasi adalah salah satu hal penting dalam intimacy. Komunikasi interpersonal dapat diibaratkan sebagai urat nadi kehidupan manusia. Tidak dapat dibayangkan bagaimana bentuk dan corak kehidupan manusia di dunia ini seandainya tidak ada komunikasi interpersonal antara satu orang atau sekelompok orang (Saudia, 2012). Komunikasi juga merupakan komponen penting dari komponen intimacy dalam Triangular Theory Of Love (Papalia, et al,2009). Komunikasi yang baik mencakup keterbukaan dan kejujuran dapat membantu pasangan mencapai kesepemahaman bersama tentang pernikahan mereka dan dapat membuat hubungan mereka lebih tahan terhadap semua stressor yang berpotensi mengganggu kestabilan hubungan (Seccombe, K.,Warner, R., L., 2004). Selain itu kualitas dan kuantitas komunikasi pada pasangan adalah kunci bagi aspekaspek lain dalam hubungan mereka (Olson & DeFrain, 2006). Dalam menjalin komunikasi yang baik dibutuhkan interaksi positif yang intensif dan berkualitas. Menurut Kartini kartono (2003) dalam kamus filsafat dan psikologi Intensitas adalah aspek kuantitatif atau kualitas tingkah laku. Pemenuhan aspek intimacy juga dikemukakan oleh Musrifah (2011) dalam hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa keterbukaan diri (self disclosure) dalam komunikasi suami-istri merupakan aspek penting untuk memperoleh intimacy hubungan suami-istri. Hal ini sejalan dengan pernikahan yang dikemukakan oleh Santrock (2002), bahwa pernikahan merupakan penyatuan pribadi yang unik, dengan
8 membawa pribadi masing-masing berdasarkan latar belakang budaya serta pengalamannya. Hal tersebut menjadikan pernikahan bukanlah sekedar bersatunya dua individu, tetapi lebih pada penyatuan dua sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem yang baru. Perbedaan-perbedaan yang ada perlu disesuaikan satu sama lain untuk membentuk sistem baru bagi keluarga mereka. Pentingnya perhatian terhadap dampak negatif atas penggunaan smartphone khususnya terhadap Intimacy Pasutri dikerenakan semakin kompleksnya permasalahan rumah tangga yang disebabkan oleh intensitas penggunaan smartphone yang tinggi. Seorang Psikolog Seksual Zoya Amirin disebutkan bahwa Menggunakan gadget apalagi bagi yang sudah kecanduan dalam penggunaannya, entah untuk berinteraksi melalui media sosial atau sekadar main game, ternyata mempengaruhi 60% kesejahteraan dalam berumahtangga. Hal ini tentu saja sangat mudah dipahami karena terputusnya hubungan romantis yang teralihkan karena adanya intensitas tinggi dalam penggunaan smartphone. Menurut para ahli terkemuka di bidang seksologi, sebagian besar pasangan muda yang gila dalam bekerja cenderung sering mengungkapkan rasa cinta mereka lewat smartphone atau tablet. Padahal, kebiasaan itu justru memiliki efek negatif dalam hubungan mereka. Selain kendala seksual dampak lain yang ditimbulkan oleh intensitas tinggi akibat penggunaan smartphone pada pasutri adalah munculnya sikap acuh pasangan terhadap satu sama lain menjadi lalai terhadap pembagian tugas yang sudah menjadi kewajiban pasangan dikarenakan sibuk ber-online ria sehingga memicu terjadinya perasaaan kurang dihargai dan ketidakpuasan dalam rumah tangga sehingga dapat memicu pertengkaran, seperti
9 halnya curahan hati seorang ibu rumah tangga pada berinisial SR pada forum konsultasi dakwatuna.com bahwa suaminya yang sibuk ber-smartphone ria sehingga lalai sebagai imam shalat dan sangat acuh terhadap istri karena gadget, bahkan untuk menegurnya istri juga segan karena suami malah balik memarahi istri apabila diingatkan tentang kelalaiannya tersebut. Dikutip dari Vemale, di Amerika Serikat ada perceraian karena sang istri suka berlama-lama meng-update media sosial hingga melalaikan anak dan suaminya. Menurut periset dan dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Nuning Kurniasih, ketergantungan masyarakat terhadap media sosial saat ini adalah ketergantungan yang massif. Kita terus memantau media sosial mulai dari bangun tidur hingga akan tidur lagi. Hal yang dilakukan oleh banyak orang saat ini adalah mengecek media sosial. Telinga kita sangat sensitif mendengar notifikasi di gadget. Sebagian dari kita melakukan interaksi secara aktif di media sosial, sebagian hanya menjadi pengamat, melihat apa yang di-posting oleh orang lain, tanpa berinteraksi langsung tetapi selalu tahu dan ingin tahu apa yang terjadi di media sosial. Ada yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi, sedang dan rendah. Menurut Nuning Kurniasih, ada beberapa alasan yang menyebabkan fenomena ini terjadi. Pertama, perasaan takut kehilangan (fear of missing out) apa yang menurutnya penting. Bisa jadi takut kehilangan teman, event, momen dan aktualisasi diri. Kedua, ada rasa percaya diri yang tinggi ketika berada di media sosial sehingga bisa berekspresi berbeda dengan dunia nyata.
10 Sulitnya seseorang membedakan kehidupan nyata dan dunia maya akibat media sosial menimbulkan berbagai dampak negatif. Di China dituding menjadi salah satu penyebab meningkatnya perceraian. Laporan kantor hukum Shuangli di Beijing yang antara lain menangani kasus perceraian- menyebut 9 dari 10 perceraian mencakup pertengkaran yang dipicu oleh media sosial. Sementara itu, menurut survei yang dilakukan terhadap 2.000 pasangan suami-istri di Inggris, kebanyakan bermain smartphone terutama yang sering menggunakan aplikasi media sosial ternyata bisa memicu perceraian. Seperti dikutip dari Digital Trends, dalam survei yang dilakukan biro hukum Slater and Gordon tersebut ditemukan bahwa satu dari tujuh orang yang menikah menyatakan mereka mempertimbangkan untuk bercerai karena pasangannya mulai bertingkah di media sosial ataupun aplikasinya. Dalam survei ini juga ditemukan bahwa 58% responden mengakui kalau mereka mengetahui kata sandi pasangannya di media sosial, tanpa sepengetahuan pasangan mereka. Ini merupakan indikasi bahwa mereka akan melakukan apa saja untuk mengintai gerak-gerik pasangannya di media sosial. Sementara itu di Amerika Sosial, media sosial juga sangat terkait dengan kasus perceraian. Pada 2010, sekitar 81% pengacara perceraian mengakui bahwa media sosial terbukti berperan dalam peningkatan kasus perceraian sejak 2005. Di Indonesia, Berdasarkan data Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama 2015, dari 25.310 perceraian dengan kasus gangguan pihak ketiga, sekitar 35% dipicu pengaruh media sosial dan gaya hidup.ada sekitar 9.000-an kasus cemburu.
11 Tidak sedikit masalah rumah tangga bermula dari media sosial. Sementara itu, berdasarkan data Pengadilan Agama Kota Batam, hingga 10 Maret 2016 sudah terdaftar 416 perkara. Sedangkan Maret tahun lalu hanya 118 perkara cerai gugat. Perselingkuhan yang diawali dengan perkenalan di media sosial juga menjadi pemicu gugatan cerai dari salah satu pasangan suami istri di Batam. Dengan paparan diatas menjadi penting untuk memperhatikan gejala yang ditimbulkan dari tingginya intensitas penggunaan smartphone bagi Intimacy Pasutri. Fenomena negatif mengenai pernikahan makin merebak. Salah satunya adalah perceraian akibat perselingkuhan yang diakibatkan penggunaan teknologi canggih seperti smartphone yang disebabkan oleh mudahnya akses sosialisasi antar pertemanan disosial media dan bentuk interaksi lainnya. Mereka menjadi sangat tidak fokus dengan kewajibannya. Waktu mereka sehari-hari sebagian besar dihabiskan didepan smartphone. Di satu sisi, teknologi semacam ini mempermudah mereka dalam melakukan berbagai kegiatan. Di sisi lain teknologi smartphone ini meninggalkan dampak negatif yang tidak sedikit. Sudah ada beberapa penelitian tentang intimacy atau intensitas penggunaan smartphone, namun belum ada yang spesifik meneliti pengaruh intensitas penggunaan smartphone terhadap intimacy pasutri. Namun peneliti menemukan beberapa penelitian yang mengkaji hal yang mirip, berikut diantaranya. Penelitian yang dilakukan Sharen Gifari dan Iis Kurnia N (2015) yang berjudul Intensitas Penggunaan Smartphone Terhadap Perilaku komunikasi, penelitian ini menggunakan teori komunikasi New Media, Terpaan Media
12 Psikologi Komunikasi dan Teori Ketergantungan. Menggunakan metode kuantitatif, jumlah subjek 100 orang yang menggunakan smartphone, hasil penelitian dari analisis ini menunjukkan bahwa intensitas penggunaan smartphone berpengruh signifikan terhadap perilaku komunikasi yaitu sebesar 55,4 %. Berdasarkan hasil tersebut tentu sangat menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian dengan subjek Pasutri. Penelitian lainnya dilakukan oleh Rifa atul Mahmudah (2012) yaitu berjudul Hubungan Antara Intimacy ( Sternberg s Triangular Theory Of Love) Dan Kesiapan Menikah Pada Dewasa penelitian mengambil sampel sebanyak 120 orang dewasa muda yang sedang merencanakan pernikahan, alat ukur untuk intimacy menggunakan (TLS) atau Triangular Love Scale oleh Strenberg sedangkan untuk Kesiapan menikah diukur dengan skala modifikasi inventori kesiapan menikah oleh Wiryasti, hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara intimacy dengan kesiapan sebelum menikah. Hal ini menunjukkan pentingnya intimacy bahkan bagi pasangan yang akan menikah, apalagi bagi pasangan yang sudah menikah karena mempertahankan suatu hubungan lebih sulit daripada memulainya. Penelitian terkait intimacy dan smartphone lainnya dilakukan oleh Mattia Gustarini yang berjudul Analysing smartphone users inner-self : the perception of intimacy and smartphone usage changes dengan metode eksperimen yang melibatkan 38 partisipan dalam kurun waktu 13 Agustus 2009 sampai dengan 26 September 2010 dengan ragam rentang usia dan status, hasil penelitian menunjukkan bahwa perlu adanya intervensi terhadap teknologi smartphone dalam
13 mengakomodasi kebutuhan manusia tentang kebutuhan akan intimacy dengan kata lain menawarkan model komputasi untuk keintiman dan hal tersebut bias dilakukan lewat pengembangan-pengembangan riset fitur yang canggih sehingga dapat memprediksi kebutuhan intimacy pada setiap individu, untuk kemudian di masukkan ke dalam smartphone sebagai fitur unggulan yang dapat membuat manusia bukan hanya cerdas namun kebutuhan intimacy-nya terpenuhi. Dengan adanya fenomena, fakta dan penelitian-penelitian diatas menggambarkan bahwa smartphone dan intimacy merupakan topik penting dan menarik untuk diteliti lebih lanjut, terutama dalam hal ini sesuai dengan penelitian saya yaitu Pengaruh Intensitas Penggunaan Smartphone Terhadap Intimacy Pasangan Suami Istri. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut. 1. Apakah terdapat pengaruh intensitas penggunaan smartphone terhadap Intimacy pasangan suami istri? 2. Seberapa besar pengaruh intensitas penggunaan smartphone terhadap Intimacy pasangan suami istri? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini berdsarkan rumusan masalah diatas adalah:
14 1. Untuk mengetahui pengaruh intensitas penggunaan smartphone terhadap Intimacy pasangan suami istri. 2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh intensitas penggunaan smartphone terhadap Intimacy pasangan suami istri. 1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi Peneliti hasil penelitian ini untuk menambah wawasan peneliti mengenai pengaruh intensitas penggunaan smartphone terhadap intimacy pasangan suami istri, sehingga dapat dibandingkan antara kenyataan yang ada dalam praktek dengan teori psikologi. 2. Bagi masyarakat diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai referensi untuk menambah wawasan tentang psikologi khususnya mengenai pengaruh intensitas penggunaan smartphone terhadap intimacy pasangan suami istri. 3. Bagi akademisi, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi kalangan akademisi untuk menambah wawasan dibidang psikologi khususnya yang berkaitan dengan pengaruh intensitas penggunaan smartphone terhadap intimacy pasangan suami istri.
15 1.5. Sistematika Penulisan Sebagai usaha untuk memperkuat dan mempermudah membaca penelitian ini, maka penulis mengajukan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, serta sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori Dalam bab ini diuraikan tentang teori dasar dan teori umum yang digunakan untuk menyusun kerangka pemikiran teoritis yang terkait serta relevan dengan pokok pembahasan. Bab III : Metodologi Penelitian Dalam bab ini diuraikan tentang teknik pengumpulan data, metode penelitian, populasi sampel dan teknik analisa data. Bab IV : Hasil Analisa dan Pembahasan Dalam bab ini diuraikan profil perusahaan/penelitian, serta hasil analisa dan pembahasan tersebut. Bab V : Kesimpulan dan Saran Dalam bab terakhir ini berisi tentang kesimpulan dan saran.