1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam merupakan fenomena yang terjadi sepanjang sejarah kehidupan manusia di berbagai belahan bumi. Peristiwa bencana muncul dalam berbagai bentuk dengan frekwensi keparahan yang berbeda-beda. Letusan gunung merapi, gempa bumi, angin puting beliung, tsunami, banjir dan tanah longsor adalah berbagai bentuk bencana alam yang kerap melanda Indonesia dalam kurun waktu satu dekade terakhir (BNPB 2009). Secara umum, bencana alam dapat dikategorikan ke dalam 2 bentuk yakni bencana yang terjadi secara alami, seperti; gempa bumi, tsunami, angin puting beliung, serta bencana yang terjadi karena perbuatan buruk manusia, yang merusak lingkungan, seperti; banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran hutan. Penyebab bencana akibat perilaku manusia mulai terlihat sejak revolusi industri berlangsung di negara-negara maju. Lingkungan global secara signifikan mulai terkontaminasi dan membawa dampak pada perubahan iklim mikro dan makro (Hadad 2010). Salah satu jenis bencana alam yang kerap terjadi akibat ulah perilaku manusia serta didukung oleh perubahan iklim yang ekstrem adalah tanah longsor. Peristiwa tanah longsor merupakan bencana alam yang sering dikaitkan dengan degradasi hutan dan lahan akibat alih fungsi. Isu lain yang berkembang sebagai penyebab bencana longsor adalah pengembangan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan, misalnya pengembangan budidaya (BPDAS Citarum-Ciliwung 2008). Ditambah dengan pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang wilayah. Berbagai kegiatan pengembangan dan pembangunan tersebut bertujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga solusinya dilegalkan melalui perijinan pemerintah setempat. Pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi menyebabkan perubahan perilaku manusia, sehingga kondisi alampun semakin terdegradasi. Perubahan perilaku manusia dalam perspektif dominasi lingkungan dijelaskan oleh Auguste Comte (Susilo, 2008) bahwa telah terjadi peralihan perkembangan masyarakat dari tahap teologi dan metafisik menuju tahap positif (ilmiah), dimana
2 kerusakan lingkungan yang ditengarai sebagai akibat dari revolusi industri merupakan tahap dimana lingkungan tidak lagi mendominasi kehidupan manusia. Sebaliknya, manusialah yang mendominasi bahkan mengendalikan lingkungan melalui penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi (modernisasi dan industrialisasi). Merujuk pada Beck (2000), perubahan iklim akibat perubahan perilaku manusia yang bergeser dari pola-pola tradisional menuju perilaku moderen yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan industrialisasinya telah mengantarkan Indonesia berada pada risk society yakni kondisi masyarakat yang kian dicengkram oleh individualistik dan kekuatan pasar yang disebabkan manufactured risk (bencana akibat perbuatan dan keputusan politik yang tidak tepat). Indonesiapun mendapat julukan baru sebagai negeri bencana alam. Dampak dari bencana alam bukan pada penurunan kualitas pada aspek ekologi saja, namun aspek sosial-ekonomi, budaya bahkan politik juga ikut terganggu. Beragam persoalan berpotensi menimbulkan dan atau memperparah persoalan kemiskinan, keamanan, ketersediaan pangan, kesehatan dan perencanaan tata kota yang telah hadir lebih dulu. Pada akhirnya persoalan ekologi, sosial, ekonomi dan budaya menjadi satu matarantai yang saling terkait (hubungan kausalitas) dan membutuhkan penanganan yang bersifat terpadu dan sustainable bukan temporer dan parsial. Kompleksnya persoalan yang ditimbulkan oleh bencana alam membutuhkan penanganan secara mikro (lokal) maupun makro (nasional hingga global) yang membutuhkan perhatian dan tanggungjawab besar serta sinergi dari para pihak, khususnya pemerintah. Lebih jauh tentang bagaimana menangani daerah rawan bencana dituangkan ke dalam Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang kemudian diikuti dengan keluarnya beberapa turunan Undang-undang tersebut yakni Peraturan Presiden No. 08/2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah No.21/2008 tentang Penyelenggaraan penanggulangan bencana, Peraturan Pemerintah No.22/2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, Peraturan Pemerintah No.23/2008 tentang Peran serta lembaga internasional dan lembaga asing non pemerintah dalam penanggulangan bencana. Lahirnya Undang-undang tersebut memperlihatkan keseriusan
3 pemerintah memberikan payung hukum bagi para pihak untuk menangani daerah rawan bencana secara lebih baik. Terkait dengan keseriusan pemerintah dalam menanggulangi bencana, pihak Bappenas telah melakukan evaluasi penanggulangan bencana pada tahun 2009 ke beberapa daerah dan masih ditemukan berbagai persoalan yang menyebabkan lemahnya perhatian pemerintah dan pihak terkait lainnya ke masyarakat yang tinggal di titik-titik rawan bencana. Tak jarang ditemui sejumlah aksi dan program yang mengatasnamakan solidaritas dan kepedulian namun tidak saling terkordinir sehingga terkesan masing-masing beraksi lebih dikarenakan adanya kepentingan lain. Aksi saling tumpah tindih dan cenderung tidak terkoordinasi bukannya meringankan penderitaan warga yang terdampak, justru menambah penderitaan mereka (Schiller et.al. 2008) Pada akhirnya, penanggulangan bencana masih bersifat teknis, temporer dan parsial. Penanggulangan bencana masih sering didefinisikan sebagai bantuan dan pertolongan, belum dianggap sebagai program penanggulangan yang menyeluruh, sehingga pelaksanaannya baru bersifat reaktif dan kurang konsepsional (Andjasmaja 1994). Belum optimalnya pelaksanaan peran dan fungsi pemerintah mengakibatkan kondisi masyarakat yang hidup pada daerah rawan bencana sulit memperoleh jaminan keamanan dan kenyamanan, meskipun kelembagaan formal telah dibangun oleh pemerintah guna menanggulangi bencana alam seperti Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB) yang kemudian digantikan fungsinya oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Upaya penanggulangan bencana memang tidak seharusnya dibebankan ke pundak pemerintah saja. Seluruh komponen masyarakat harus terlibat aktif dalam upaya penanggulangan bencana. Sebagus apapun program pemerintah, tanpa dukungan dari berbagai pihak maka upaya penanggulangan tidak akan berjalan optimal, demikian halnya sebaliknya. Kahn dan Barondess (2008) mengatakan bahwa kerangka konstitusional, hukum dan sosial suatu negara merupakan penentu kunci terkait fungsinya dalam merespon bencana. Pemerintah selaku pihak yang memiliki power seyogyanya mampu mengintegrasikan unsur-unsur masyarakat untuk bersama-sama menanggulangi bencana.
4 Terlepas dari kelemahan pemerintah dalam menanggulangi bencana alam, masyarakat yang tinggal dan bergantung hidup di daerah rawan bencana harus tetap bertahan dan melanjutkan hidup mereka dengan kondisi yang sangat riskan. Keterbatasan pilihan untuk bertahan hidup pada kondisi yang rentan terhadap bencana alam khususnya longsor membuat masyarakat setempat harus menjalaninya dengan cara-cara yang dianggap relevan. Pola atau perilaku sehari-hari masyarakat pada daerah rawan longsor mencerminkan cara mereka beradaptasi terhadap tempat tinggal. Pada daerah dengan peristiwa atau kondisi kerentanan yang sama, belum tentu melahirkan cara adaptasi yang sama, begitupun sebaliknya. Cara-pola adaptasi sedikit banyak dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana. Masing-masing daerah memiliki cara-bentuk adaptasi yang berbeda dan sebagian perbedaan tersebut dipengaruhi oleh interpretasi atau persepsi yang berbeda dalam memaknai peristiwa longsor (Donie 2006). Beberapa cara-pola adaptasi yang diterapkan oleh komunitas yang tinggal di daerah rawan longsor menunjukkan bagaimana pandangan mereka terhadap bahaya longsor sehingga perlu melakukan berbagai kegiatan mitigasi. Diantaranya membentuk kelembagaan (organisasi) lokal Kelompok Masyarakat Peduli Bencana (KMPB) yang berfungsi memantau gejala awal terjadinya longsor serta evakuasi dini, membentuk sistem peringatan dini dengan pembagian peran antar warga untuk memantau gejala awal terjadinya longsor, bahkan membangun kembali rumah dengan dengan beton bertulang, bagi yang kurang mampu mereka membangun rumah dengan bahan kayu agar terhindar dari bahaya longsor (Parlindungan dkk. (2008), Mukhlis dkk. (2008), Hariyanto dkk. (2009)). Manusia sebagai makhluk adaptif akan mengoptimalkan kekuatan-potensi yang dimiliki sembari belajar untuk hidup selaras dengan kondisi alam bahkan bersahabat dengan bencana (longsor). Bentuk adaptasi terhadap lingkungan di beberapa tempat telah berjalan lama bahkan telah mengakar dan menjadi sebuah kelembagaan lokal yang sarat akan nilai-nilai luhur, misalnya akar falsafah Tri Hita Karana di Bali, Berguru pada Alam di Minangkabau dan Hamemayu Hayuning Bawana serta tradisi seperti nyabuk gunung, bersih desa, serta larangan-larangan (pamali) di pedesaan Jawa dan lainnya.
5 Keberadaan dan atau kehadiran kelembagaan lokal baru pada komunitas rawan longsor dalam tingkatan norma (cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat) merupakan wujud adaptasi sosio-ekologi yang yang perlu dikaji dan terus dikembangkan agar kapasitas masyarakat terus meningkat untuk menghadapi perubahan lingkungan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. 1.2. Perumusan Masalah Terkait dengan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pada daerah rawan longsor serta bagaimana mereka beradaptasi untuk dapat bertahan hidup maka dalam Undang-undang Penanggulangan Bencana No.24 Tahun 2007 terlihat bahwa peran Pemerintah dalam penanggulangan bencana masih menitikberatkan pada upaya minimalisasi kerugian (harta benda dan korban jiwa). Bagian-bagian yang menyatakan mengenai kelembagaan, penghargaan terhadap budaya lokal, kearifan lokal dan proses penyadaran masyarakat masih minim. Padahal sebagai bangsa Indonesia yang kaya akan warisan nilai-nilai moral dan etika luhur, sangat penting untuk mengkaji dan mengangkat kembali ke dalam kehidupan masyarakat saat ini. Berangkat dari persoalan tersebut serta latar belakang penelitian ini maka kajian tentang kelembagaan lokal yang memuat norma-nilai serta kearifankearifan lokal pada sebuah komunitas rawan longsor merupakan hal penting yang perlu digali dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi mereka yang hidup di tengah keterpurukan kondisi lingkungan. Kajian tentang kelembagaan lokal dapat dimulai dengan melihat (1) bagaimana fenomena-realitas bencana longsor yang terjadi pada suatu daerah rawan longsor? Fenomena alam berupa bencana longsor yang kerap menimpa suatu wilayah tentunya akan menimbulkan suatu efek-pengaruh pada manusia. Pengaruh pertama yang dapat diketahui adalah bagaimana pandangan mereka terhadap lingkungan sekitar yang secara ekologi telah mengalami penurunan kualitas. Semakin negatif pandangan mereka terhadap lingkungan di sekitar mereka maka secara psikologi akan menimbulkan rasa ketidaknyamanan dan ketidakamanan (stres). Masyarakat yang memilih untuk tetap bertahan tinggal dan tetap menggantungkan hidup mereka pada daerah yang rawan bencana tentunya akan melakukan tindakan atau perubahan sebagai bentuk adaptasi agar mereka dapat hidup dengan kondisi yang lebih baik. Oleh karenanya, untuk mengetahui sejauhmana cara pandang (persepsi) mempengaruhi tindakan penyesuaian
6 (adaptasi) yang dilakukan oleh anggota masyarakat maka penting untuk mengetahui (2) persepsi anggota masyarakat terhadap bencana longsor yang terjadi di daerah mereka. Mengacu dari perihal persepsi yang kemudian melahirkan sebuah tindakan adaptasi maka salah satu bentuk adaptasi terkait dengan persoalan longsor adalah adaptasi ekologi. Adaptasi ekologi merupakan tindakan penyesuaian yang akan terkait langsung dengan interaksi terhadap alam. Sebagai makhluk adaptif, maka manusia tidak akan pernah berhenti melakukan perubahan agar dapat hidup nyaman dan selaras dengan alam sekitarnya. Adapun wujud dari adaptasi ekologi tidak dapat dipisahkan dari perubahan-perubahan sosiologis lainnya, karena sebagai makhluk sosial dan makhluk ekonomi, manusiapun akan terus berinteraksi dengan sesamanya sehingga keselarasan dalam sebuah ekosistem (biotik-abiotik) dapat terjadi. Maka dari itu penting untuk mengetahui (3) bentuk adaptasi sosio-ekologi komunitas rawan longsor. Dalam proses adaptasi dibutuhkan pranata-tata aturan untuk menyeimbangkan interaksi antara manusia dan alam. Untuk melahirkan sebuah paranata-tata aturan maka dibutuhkan kesepakatan-kesepakatan dalam sebuah komunitas. Kesepakatan-kesepakatan tersebut akan menjadi pondasi lahirnya kelembagaan lokal yang menjadi acuan dalam berinteraksi ataupun beraktivitas dalam rangka bertahan hidup pada kondisi ekologi yang rentan. Oleh sebab itu ke-3 permasalahan di atas akan saling terkait dan menjadi penting untuk menjelaskan (4) keberadaan dan kehadiran kelembagaan lokal sebagai bentuk adaptasi sosio-ekologi pada daerah rawan longsor. Dari uraian di atas, pertanyaan penelitian ini dirangkum sebagai berikut : 1. Bagaimana fenomena-realitas bencana longsor yang terjadi pada suatu daerah rawan longsor? 2. Bagaimana persepsi anggota masyarakat terhadap bencana longsor? 3. Bagaimana bentuk adaptasi sosio-ekologi masyarakat pada daerah rawan longsor? 4. Bagaimana bentuk dan peran kelembagaan lokal sebagai bentuk adaptasi sosio-ekologi pada daerah rawan longsor
7 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan : 1. Memperoleh gambaran tentang setiap kejadian longsor dan perubahanperubahannya pada suatu daerah rawan longsor secara obyektif, reflektif, interpretatif dan decisional (ORID). 2. Mengetahui persepsi warga setempat tentang fenomena longsor serta kemampuannya menanggulangi longsor 3. Mengetahui dan menganalisa bentuk-bentuk adaptasi sosio-ekologi pada daerah rawan longsor. 4. Mengetahui dan menganalisa bentuk dan peran kelembagaan lokal pada daerah rawan longsor sebagai bentuk terjadinya adaptasi sosio-ekologi. 1.4. Manfaat Penelitian Kajian tentang adaptasi sosio-ekologi pada masyarakat yang hidup di daerah rawan longsor merupakan salah satu bentuk penanggulangan bencana yang berbasis komunitas, dengan menggali potensi kelembagaan lokal berupa nilai-nilai, kearifan dan budaya yang selaras dengan alam. Harapannya adalah masyarakat yang mengalami bencana dapat survive dan ketika bencana terjadi kerugian materiil maupun non materiil dapat diminimalisir. Secara analitis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran terhadap analisa persoalan lingkungan yang berdampak pada berubahnya sistem ketahananan sosial suatu komunitas, begitupun sebaliknya menganalisis perubahan sosio-ekologis yang berdampak pada terjadinya bencana alam. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menyajikan bentuk kelembagaan lokal pada daerah rawan longsor sebagai wujud terjadinya adaptasi sosio-ekologi, sehingga dapat menjadi bahan masukan, informasi dan refleksi untuk perumusan kebijakan dalam pengambilan keputusan dan penetapan langkah dan upaya oleh instansi dan pihak-pihak terkait lainnya yang peduli terhadap komunitas yang hidup di daerah rentan bencana.
8 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup kelembagaan lokal (mulai dari cara, kebiasaan, tata kelakuan hingga nilai/adat istiadat) pada daerah yang telah disinyalir sebagai daerah rawan longsor, dengan melihat bagaimana bentuk adaptasi sosio-ekologi yang telah dilakukan. Adapun bencana yang dimaksud adalah bencana alam longsor yang terjadi sebagai akibat perubahan perilaku manusia yang didukung oleh gejala-gejala alam seperti kondisi tanah dan perubahan iklim mikro. Kajian dibatasi pada daerah yang (1) secara geologi memiliki karakteristik alam yang potensial melahirkan bencana longsor, dan (2) secara yuridis telah ditetapkan sebagai daerah rawan longsor oleh pemerintah, dalam hal ini BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).