BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Perempuan Berdaya Bukanlah Mitos Belaka Ada sebuah lagu klise yang sudah lama bergema di Indonesia. Wanita dijajah pria sejak dulu kala 1, begitu penggalan liriknya. Saat akan menulis paragraf ini, lagu tersebut terngiang-ngiang di benak, seperti ingin sekali turut disertakan dalam tulisan. Tapi ini lebih tepat dibaca bahwa lagu tersebut terlalu menghegemoni, hingga susah sekali membuka pikiran untuk lagu lain yang liriknya lebih positif. Kiranya begitu juga konstruksi identitas perempuan di Indonesia. Wacana tentang perempuan ideal yang senada dengan isi lagu di atas, masih digardai oleh konsep priayi kejawaan warisan Panca Dharma Wanita era Soeharto dan pandangan Islam konservatif di mana keduanya memiliki penganut mayoritas. Perempuan diharuskan menjadi lemah lembut dan tak boleh menantang dominasi laki-laki. Kenyataan bahwa negara hampir selalu membela dua paham tersebut, semakin mempersulit keadaan untuk lepas dari bayang-bayang wacana perempuan ini. Lebih dari itu, pandangan ini telah mengkristal dan ditangkap sebagai suatu yang alami bagi penganutnya, yaitu bahwa sudah pada takdirnya perempuan diciptakan untuk patuh dan tunduk pada laki-laki. Padahal sekali lagi segalanya secara diskursif dikonstruksi, dengan mekanisme-mekanisme pengulangan praktiknya sehingga hal tersebut tampak natural. Meski demikian, gerakan- 1 Lagu berjudul Sabda Alam oleh Ebet Kadarusman. Dan bahkan dari judulnya sudah mencoba membuat tampak alami identitas perempuan. 152
153 gerakan yang mencoba keluar dari wacana dominan tersebut terus dan semakin ke sini semakin banyak bermunculan. Pajama Drive Revival Show 2014 oleh JKT48 adalah salah satu praktik yang mengulang, dan di beberapa bagiannya juga mencoba menantang wacana tersebut. Pertama dalam narasi lagunya, performativitas identitas perempuan tidak jauh bergeser dari wacana dominan itu, di mana perempuan ditampilkan sebagai sosok yang pasif, lemah, tunduk, pengharap, tidak memiliki motivasinya sendiri, dan bergantung pada kekuatan di luar dirinya. Di Jepang, narasi semacam ini merupakan salah satu situs fantasi menundukkan perempuan bagi mereka laki-laki yang tak mau menerima kenyataan bahwa banyak perempuan di sana sudah berdaya. Hal ini dimungkinkan karena gerakan perempuan di Jepang telah membawa perubahan paradigma sehingga sudah banyak perempuan menolak untuk didomestikasi berdasarkan ideal perempuan tradisional. Sedang di Indonesia, gerakan perempuan masih belum begitu sukses mengubah pandangan perempuan tentang dirinya sendiri yang sarat konstruksi ala Dharma Wanita dan dogma agama. Karenanya narasi pada lagu-lagu PDRS 2014 hadir dan meninabobokan dominasi laki-laki di Indonesia. Meski demikian patut dilihat bahwa keberadaan gerakan perempuan tersebut merupakan salah satu dari pernyataan-pernyataan yang menantang dominasi laki-laki. Artinya dominasi tersebut tidak mewujud dengan sendirinya dalam kondisi damai dan diamini semua pihak. Perlawanan dan negosiasi selalu mewarnai wacana yang tampak stabil tersebut.
154 Hal ini juga terdapat dalam PDRS 2014, yang kemudian menjadi poin kedua (yang mencoba keluar dari wacana dominan). Meski disiplin laki-laki yang melingkupi JKT48 memaksakan kehendaknya agar perempuan ditampilkan sebagai yang pasif, lembut, tunduk, submisif, tak berdaya, dan lemah (seperti dalam narasi lagunya), terdapat praktik-praktik yang mencoba keluar dari definisi tersebut. Ketika perempuan menjadi sumber hasrat laki-laki, hasrat seksual dan hasrat untuk mendominasi, seperti yang ditunjukkan dalam analisis Bab IV, perempuan tidak hanya menjadi objek fantasi laki-laki, tapi secara bersamaan karena fantasi itu jugalah ia berdaya. Alasannya karena ini merupakan situs tempat perempuan dapat mengekspresikan tubuhnya di depan publik, dan karena laki-laki tidak dengan cuma-cuma menikmati fantasi yang perempuan ciptakan. Kesadaran perempuan ini (sadar bahwa ia sedang menjual seksualitasnya), menjadi poin yang penting dalam praktik pemberdayaannya, meskipun tak dipungkiri ia belum dapat lepas dari cengkraman kapitalisme. Perempuan bahkan melawan dalam sesi MC PDRS 2014. Tidak hanya melawan dominasi laki-laki, beberapa dari mereka juga berkali-kali melanggar norma perempuan ideal. Perempuan berteriak menantang laki-laki, juga memarahinya. Apa yang oleh norma sosial dipatenkan sebagai perempuan dengan ideal-ideal tertentu yang menempel padanya, seolah dimain-mainkan, dan dengannya identitas perempuan mendapatkan perluasan makna. Meskipun pelanggaran norma ini masih dimaklumi karena posisi perempuan muda masih dalam ritus peralihan, pengalaman melawan ini cukup krusial untuk menjadi bekal
155 wacana pemberdayaan perempuan di masa depan. Namun wacana dominan tetap muncul dalam MC, di mana perempuan menghibur laki-laki dengan cara membuat lelucon berorientasi laki-laki, yaitu dengan mengobjekkan sesama temannya. Akhirnya meski identitas perempuan selalu berusaha ditampilkan dalam nada yang minor oleh wacana-wacan dominan, masih terdapat celah di mana kontra wacana dapat ditampilkan, dan dalam menampilkan kontra wacana tersebut, perempuan mendapatkan keberdayaannya. Dari analisis keseluruhan yang telah ditampilkan, terlihat bagaimana identitas perempuan ditampilkan dalam praktik-praktik keseharian yang lembut menyatu dengan kehidupan sosial, dan diterima menjadi hal lumrah yang taken for granted. Yang halus itu di antaranya adalah lewat lirik lagu, musik, tarian, dan penampilan yang dinikmati penggemar JKT48. Penggemar akan menyaksikan tanpa terlalu banyak mempertanyakan apa yang dimaksudkan oleh lirik-lirik tersebut, oleh gerakan dan adegan dalam tarian tersebut, karena tak ada gunanya mempertanyakan hal yang mereka sukai, sebab yang demikian seakan juga berarti menyangsikan diri sendiri. Dari hal yang tidak dipertanyakan inilah sebuah identitas ditampilkan, dengan mengulang praktik-praktik yang sudah ada sebelumnya, lalu diamini, lalu ditentangkan dengan praktik identitas lainnya, dan kemudian salah satunya dimenangkan, atau tampak dimenangkan, sehingga menjadi sebuah wacana yang kelihatannya sukar untuk ditandingi. Sebuah konstruksi identitas terlihat stabil dan alamiah, hanya karena ia begitu lemah, sehingga selalu membutuhkan pengulangan dan pengulangan agar kelemahannya
156 tidak terlihat. Analisis PDRS 2014 telah menunjukkan bagaimana mekanisme identitas perempuan dikonstruksi, dan bagaimana praktik identitas tertentu ditentangkan dengan praktik lainnya, dan kemudian dimenangkan. 6.2 Saran untuk Penelitian Selanjutnya PDRS 2014 telah lewat, tapi tiap harinya fanbase-fanbase masih riuh oleh beragam dukungan dari penggemar kepada idola, untuk menemani hari-harinya. Setiap hari teater masih penuh pendukung tim J, tim KIII, tim T, atau pun ketigatiganya. Twitter selalu sedia untuk menampung lonjakan-lonjakan suatu tema perbincangan. Generasi keempat pun sedang dalam proses audisi. Ada banyak jalur kajian lain mengenai JKT48 yang di tidak termasuk dalam bahasan penelitian ini. Hal menarik pertama kiranya adalah meneliti tentang keberadaan penggemar perempuannya. Format JKT48 memang terlihat diperuntukkan bagi laki-laki heteroseksual. Bagaimana bila penggemar tersebut berjenis kelamin perempuan? Apakah mereka menikmati JKT48 dalam kerangka laki-laki heteroseksual, ataukah memiliki kerangkanya sendiri? Bila memiliki kerangkanya sendiri seperti apakah itu? Apakah mereka cenderung berorientasi homoseksual/lesbian? Ataukah hanya bentuk pemujaan terhadap sesama perempuan seperti halnya perempuan heteroseksual yang memuja seorang bintang perempuan karena kapasitas kebintangannya? Hal menarik kedua hadir ketika saya berada dalam kepungan laki-laki dalam teater JKT48 saat melihat penampilannya langsung. Teater dimulai, tim J beraksi. Saya kemudian melihat sejumlah penonton, laki-laki, turut serta
157 melenggokkan tangan seperti koreografi yang dilakukan anggota JKT48 di panggung. Apakah ini berarti kehadiran JKT48 membuat beberapa penontonnya meniru feminitas perempuan yang menari? Dan bagaimanakah wacana new masculinity ini berjalan pada penggemar JKT48? Kemungkinan berikutnya adalah menganalisis keberadaan JKT48 dalam hubungannya dengan soft power Jepang. Ini merupakan penelitian dengan paradigma ekonomi politik yang membutuhkan energi tak sedikit. Meski cukup sulit dilakukan, ini adalah bahasan yang cukup penting mengingat saat ini ekspor industri budaya pop Jepang terlihat semakin sistematis dengan turut andilnya negara di dalamnya.