BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR

ANALISA KETERSEDIAAN AIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI 2.1 Perhitungan Hidrologi Curah hujan rata-rata DAS

BAB III LANDASAN TEORI

ANALISIS DEBIT ANDALAN

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

Misal dgn andalan 90% diperoleh debit andalan 100 m 3 /det. Berarti akan dihadapi adanya debit-debit yg sama atau lebih besar dari 100 m 3 /det

BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR PULAU-PULAU KECIL DI DAERAH CAT DAN NON-CAT DENGAN CARA PERHITUNGAN METODE MOCK YANG DIMODIFIKASI.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dr. Ir. Robert J. Kodoatie, M. Eng 2012 BAB 3 PERHITUNGAN KEBUTUHAN AIR DAN KETERSEDIAAN AIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN

Bab V PENGELOLAAN MASALAH BANJIR DAN KEKERINGAN

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

DAFTAR ISI. Halaman JUDUL PENGESAHAN PERSEMBAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI. 1.2 RUMUSAN MASALAH Error Bookmark not defined. 2.1 UMUM Error Bookmark not defined.

Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... iii. LEMBAR PENGESAHAN... iii. PERNYATAAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA KETERSEDIAAN AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI BARITO HULU DENGAN MENGGUNAKAN DEBIT HASIL PERHITUNGAN METODE NRECA

Bab III TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Agrium, April 2014 Volume 18 No 3

ANALISIS POTENSI SUMBER DAYA AIR SUNGAI DEME UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK DI DESA DEME 1 KECAMATAN SUMALATA GORONTALO UTARA

BAB III LANDASAN TEORI. danau. Secara umum persamaan dari neraca air adalah : - G 0 - ΔS. : debit aliran masuk dan keluar

PERENCANAAN KEBUTUHAN AIR PADA AREAL IRIGASI BENDUNG WALAHAR. Universitas Gunadarma, Jakarta

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

REKAYASA HIDROLOGI SELASA SABTU

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

TIK. Pengenalan dan pemahaman model dasar hidrologi terkait dengan analisis hidrologi

JURUSAN TEKNIK & MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

TUGAS KELOMPOK REKAYASA IRIGASI I ARTIKEL/MAKALAH /JURNAL TENTANG KEBUTUHAN AIR IRIGASI, KETERSEDIAAN AIR IRIGASI, DAN POLA TANAM

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Siklus hidrologi merupakan salah satu aspek penting yang diperlukan pada

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kata kunci: evapotranspirasi, Metode Penman, Metode Mock, Metode Wenbul

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

KEANDALAN ANALISA METODE MOCK (STUDI KASUS: WADUK PLTA KOTO PANJANG) Trimaijon. Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau, Pekanbaru

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berkaitan, dimana air diangkut dari lautan ke atmosfer (udara), ke darat dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kompetensi. Model dalam SDA. Pengenalan dan pemahaman model dasar hidrologi terkait dengan analisis hidrologi MODEL KOMPONEN MODEL

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

WATER BALANCE DAS KAITI SAMO KECAMATAN RAMBAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kembali lagi ke laut, seperti digambarkan pada Gambar 2.1. Gambar 2.1. Ilustrasi Siklus Hidrologi

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

BAB IV ANALISIS DATA

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di wilayah Kabupaten Banyumas yang masuk

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

APLIKASI METODE MOCK, NRECA, TANK MODEL DAN RAINRUN DI BENDUNG TRANI, WONOTORO, SUDANGAN DAN WALIKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

IV. PENGUAPAN (EVAPORATION)

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 31 km di atas area seluas 1145 km² di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di lingkungan Masjid Al-Wasi i Universitas Lampung

STUDI KESEIMBANGAN AIR WADUK KEULILING KABUPATEN ACEH BESAR NAD UNTUK OPTIMASI IRIGASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

OPTIMASI FAKTOR PENYEDIAAN AIR RELATIF SEBAGAI SOLUSI KRISIS AIR PADA BENDUNG PESUCEN

STUDI POTENSI IRIGASI SEI KEPAYANG KABUPATEN ASAHAN M. FAKHRU ROZI

Minggu 1 : Daur Hidrologi Minggu 2 : Pengukuran parameter Hidrologi Minggu 3 : Pencatatan dan pengolahan data Hidroklimatologi

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

Studi Kasus Penggunaan Sumber Daya Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Ketibung Kabupaten Lampung Selatan

Keywords: water supply, water demand, water balance,cropping

ANALISIS WATER BALANCE DAS SERAYU BERDASARKAN DEBIT SUNGAI UTAMA

Surface Runoff Flow Kuliah -3

Evapotranspirasi (evapotranspiration)

ANALISIS KEBUTUHAN AIR IRIGASI PADA DAERAH IRIGASI BENDUNG MRICAN1

Analisis Ketersediaan Air Embung Tambakboyo Sleman DIY

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daur Hidrologi

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN AIR DAERAH IRIGASI NAMU SIRA-SIRA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS DEBIT SUNGAI MUNTE DENGAN METODE MOCK DAN METODE NRECA UNTUK KEBUTUHAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA AIR

MINI RISET METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI PERHITUNGAN CURAH HUJAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KELAYAKAN MODEL NAM (NEDBOR AFSTROMNINGS MODEL) UNTUK PREDIKSI KETERSEDIAAN AIR PADA DAS HO

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. paket program HEC-HMS bertujuan untuk mengetahui ketersediaan air pada suatu

Evapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

Universitas Gadjah Mada

BAB III METODOLOGI. Bab Metodologi III TINJAUAN UMUM

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013 di

Transkripsi:

BAB II BAB II TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (PP No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1). Daerah aliran sungai merupakan unit alam berupa kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis berupa punggung-punggung bukit yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama (Sunarti 2008) dan kemudian menyalurkannya ke laut (Asdak 1995). Guna dari DAS adalah menerima, menyimpan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya melalui sungai. DAS adalah suatu bentang lahan yang dibatasi oleh punggung bukit pemisah aliran (topographic divide) yang menerima, menyimpan, dan mengalirkan air hujan melalui jaringan sungai dan bermuara di satu patusan (single outlet) di sungai utama menuju danau dan laut. (Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air). DAS merupakan ekosistem alam berupa hamparan lahan yang bervariasi menurut kondisi geomorfologi (geologi, topografi, dan tanah), penggunaan lahan, dan iklim yang memungkinkan terwujudnya ekosistem hidrologi yang unik. II - 1

DAS dibagi menjadi tiga bagian yaitu DAS bagian hulu, DAS bagian tengah, dan DAS bagian hilir. DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang dapat diindikasikan oleh kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah (Effendi 2008). Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari sumber daya vegetasi, tanah, dan air, sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Selain itu pengelolaan DAS dipahami sebagai suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah, yang dalam hal ini termasuk identifikasi keterkaitan antara tata guna lahan, tanah dan air, serta daerah hulu dan hilir suatu DAS (Asdak 1995). II - 2

2.2 Curah Hujan Wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Curah hujan wilayah merupakan curah hujan yang pengukurannya dilakukan di suatu wilayah tertentu (wilayah regional). Menurut Sosrodarsono & Takeda (1977) data curah hujan dan debit merupakan data yang sangat penting dalam perencanaan waduk. Analisis data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan besaran curah hujan. Perlunya menghitung curah hujan wilayah adalah untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir. Metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rata-rata wilayah daerah aliran sungai (DAS) ada tiga metode, yaitu metode rata-rata aritmatik (aljabar), metode poligon Thiessen dan metode Isohyet. (Loebis, 1987) 2.2.1 Metode Aritmatik (Aljabar) Yaitu curah hujan rata-rata DAS dapat ditentukan dengan menjumlahkan curah hujan dari semua tempat pengukuran untuk suatu periode tertentu dan membaginya dengan banyaknya stasiun pengukuran. Metode ini dapat dipakai pada daerah datar dengan jumlah stasiun hujan relatif banyak, dengan anggapan bahwa di DAS tersebut sifat hujannya adalah merata (uniform) Secara sitematis dapat ditulis sebagai berikut : P = 1 n Pi n 1=1... (2.1) dengan: p = Curah hujan rata-rata. p1,p2,..,pn = Curah hujan pada setiap stasiun. n = Banyaknya stasiun curah hujan. II - 3

Contoh perhitungan dengan cara aritmatik : BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dengan tinggi hujan, h 1, h 2, h 3 dan banyaknya station n, maka : hrata-rata = h h h... 1 2 3 n... (2.2) Gambar 2.1 Cara Aritmatik (sumber : Diktat Hidrologi-6 Hadi Susilo, 2009) Dengan ketentuan tinggi hujan di : A = 4 mm/etmal F = 4 mm/ etm. B = 8 mm/etmal G = 3 mm' etm. C = 10 mm/etmal H = 14 mm/ etm. D = 4 mm/etmal I = 8 mm/ etm. E = 5 mm/etmal M = 7 mm/ etm. Terdapat harga rata-rata = 4 + 8 + 10 + 4 + 5 + 4 + 3 + 10 + 8 + 7 10 H = 6,3 mm/24 jam II - 4

2.2.2 Metode poligon Thiessen BAB II TINJAUAN PUSTAKA Gambar 2.2 Cara Thiessen (sumber : Diktat Hidrologi-6 Hadi Susilo, 2009) Tabel 2.1 Cara Thiessen Stasiun Tinggi Hujan (mm) Luas Km 2 Luas Relatip % Tinggi Hujan (mm) A 4 3 3 0.12 B 8 3 3 0.24 C 10 - - - D 4 2 2 0.08 E 5 2 2 0.10 F 4 20 20 0.80 G 3 15 15 0.45 H 14 20 20 2.80 I 8 15 15 1.20 J 7 20 20 1.40 100 100 7.19 (sumber : Diktat Hidrologi-6 Hadi Susilo, 2009) Yaitu curah hujan rata-rata didapatkan dengan membuat poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung tiga stasiun hujan. Dengan demikian setiap stasiun penakar hujan akan terletak pada suatu wilayah poligon tertutup luas tertentu. Cara ini dipandang lebih baik dari cara rerata aljabar, yaitu II - 5

dengan memasukan faktor luas areal yang diwakili oleh setiap stasiun hujan. Jumlah perkalian antara tiap-tiap luas poligon dengan besar curah hujan di stasiun dalam poligon tersebut dibagi dengan luas daerah seluruh DAS akan menghasilkan nilai curah hujan rata-rata DAS. Prosedur hitungan dari metode ini digambarkan pada persamaan-persamaan berikut : P = A1.P1+A2.P2+ +An.Pn... (2.3) A total dengan: p = Curah hujan rata-rata. p1,p2,...,pn = Curah hujan pada setiap stasiun. A1,A2,...,An = Luas yang dibatasi tiap poligon atau luas daerah yang mewakili stasiun 1,2,...,n. Nilai perbandingan antara luas poligon yang mewakili setiap stasiun terhadap luas total daerah aliran sungai (DAS) tersebut disebut sebagai faktor bobot Thiessen untuk stasiun tersebut. Dengan demikian cara ini dipandang lebih baik dari cara rerata aljabar karena telah memperhitungkan pengaruh letak penyebaran stasiun penakar hujan. Metode ini cocok untuk menentukan hujan rata-rata dimana lokasi hujan tidak banyak dan tidak merata. II - 6

2.2.3 Metode Isohyet BAB II TINJAUAN PUSTAKA Gambar 2.3 Cara Isohyet (sumber : Diktat Hidrologi-6 Hadi Susilo, 2009) Tabel 2.2 Cara Isohyet Luas km 2 Luas relatif % Isotach rata-rata Tinggi hujan mm 3 3 14 0,42 15 15 12 1,80 20 20 9 1,80 25 25 6,5 1,63 12 12 4,5 0,54 10 10 3,5 0,35 15 15 3 0,45 100 6,99 (sumber : Diktat Hidrologi-6 Hadi 100% Susilo, 2009) Cara memakai koefisien β = hrata rata hmaksimum β = 1970 3960 + 1720 β...(2.4) β 0.12 Yaitu metode ini menggunakan pembagian DAS dengan garis-garis yang menghubungkan tempat-tempat dengan curah hujan yang sama besar. Curah hujan rata-rata di daerah aliran sungai didapatkan dengan menjumlahkan perkalian antara curah hujan rata-rata di antara garis-garis isohyet dengan luas daerah yang dibatasi oleh garis batas DAS dan dua garis isohyet, kemudian dibagi dengan luas seluruh II - 7

DAS. Cara ini mempunyai kelemahan yaitu apabila dikerjakan secara manual, dimana setiap kali harus menggambarkan garis isohyet yang tentunya hasilnya sangat tergantung pada masing-masing pembuat garis. Unsur subyektivitas ini dapat dihindarkan dengan penggunaan perangkat lunak komputer yang dapat menghasilkan gambar garis isohyet berdasarkan sistem interpolasi grid, sehingga hasilnya akan sama untuk setiap input data di masing-masing stasiun hujan. Persamaan dalam hitungan hujan rata-rata dengan metode isohyet dapat kita rumuskan seperti berikut : p = ( A1 Atotal (p1+p2) x ) + ( 2 A2 Atotal (p2+p3) x ) +..+ ( 2 A1 Atotal (pn+pn+1) x ) 2... (2.5) dengan: p = Curah hujan rata-rata, p1,p2,...,pn = Besaran curah hujan yang sama pada setiap garis isohyet At = Luas total DAS (A1+A2+...+An) 2.3 Evapotranspirasi Evapotranspirasi tanaman adalah perpaduan dua istilah yakni evaporasi dan transpirasi. Kebutuhan air dapat diketahui berdasarkan kebutuhan air dari suatu tanaman. Apabila kebutuhan air suatu tanaman diketahui, kebutuhan air yang lebih besar dapat dihitung (Hansen dkk., 1986). Evaporasi yaitu penguapan di atas permukaan tanah, sedangkan transpirasi yaitu penguapan melalui permukaan dari air yang semula diserap oleh tanaman. Atau dengan kata lain, evapotranspirasi adalah banyaknya air yang menguap dari lahan dan tanaman dalam suatu petakan karena panas matahari (Asdak, 1995). II - 8

Menurut Sri Harto (1993), ada dua bentuk transpirasi yaitu : transpirasi stomata, dimana air lepas melalui pori-pori pada stomata daun dan transpirasi kutikular, dimana air menguap dari permukaan daun ke atmosfir melalui kutikula. Faktorfaktor yang mempengaruhi proses transpirasi adalah suhu, kecepatan angin, kelembaban tanah, sinar matahari, gradien tekanan uap. Juga dipengaruhi oleh faktor karakteristik tanaman dan kerapatan tanaman (Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994). Ada 3 faktor yang mendukung kecepatan evapotranspirasi yaitu : 1. Faktor iklim mikro, mencakup radiasi netto, suhu, kelembaban dan angin 2. Faktor tanaman, mencakup jenis tanaman, derajat penutupannya, struktur tanaman, stadia perkembangan sampai masak, keteraturan dan banyaknya stomata, mekanisme menutup dan membukanya stomata. 3. Faktor tanah, mencakup kondisi tanah, aerasi tanah, potensial air tanah dan kecepatan air tanah bergerak ke akar tanaman (Linsley dkk., 1979). Faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi adalah suhu air, suhu udara (atmosfir), kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari. Pada waktu pengukuran evaporasi, kondisi/keadaan iklim ketika itu harus diperhatikan, mengingat faktor itu sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan (Sosrodarsono dan Takeda, 1983). Pada kondisi atmosfir tertentu evapotranspirasi tergantung pada keberadaan air. Jika kandungan air dalam tanah selalu dapat memenuhi kelembaban yang dibutuhkan oleh tanaman, digunakan istilah evapotranspirasi potensial. Evapotranspirasi yang sebenarnya terjadi pada kondisi spesifik tertentu, dan disebut evapotranspirasi aktual. II - 9

2.3.1 Evapotranspirasi Potensial BAB II TINJAUAN PUSTAKA Evapotranspirasi adalah proses penggabungan dari proses evaporasi dan transpirasi. Evaporasi (penguapan) adalah suatu proses perubahan molekul air dalam wujud cair ke dalam wujud gas. Evaporasi terjadi pada badan-badan air misalnya danau, sungai dan genangan air. Transpirasi adalah proses hilangnya air dalam bentuk uap air dari jaringan hidup tanaman yang terletak diatas permukaan tanah melewati kutikula dan lentisel. Dalam menghitung evapotranspirasi potensial digunakan Metode Penman Modifikasi karena metode ini menggunakan banyak data meteorologi dan klimatologi diantaranya suhu udara, kelembaban relatif, kecepatan angin dan lamanya penyinaran matahari. Metode ini sering dipakai di Indonesia karena metode ini dianggap lebih akurat dan terukur dibandingkan metode lain. Metode Penman Modifikasi biasanya dipakai pada daerah yang memiliki intensitas curah hujan sedang sampai tinggi seperti pada daerah Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali. 2.3.2 Evapotranspirasi Aktual Evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi yang sebenarnya terjadi atau actual evapotranspiration, dihitung sebagai berikut : Eactual = E p E..... (2.6) 2.3.3 Metode Penman Metode Penman Modifikasi digunakan untuk luasan lahan dengan data pengukuran temperatur, kelembaban, kecepatan angin dan lama matahari bersinar (Doorenbos dan Pruitt, 1977). II - 10

Berikut rumus Penman Modifikasi : BAB II TINJAUAN PUSTAKA ETo = c [wrn + (1-w)f(u)(ed-ea)]... (2.7) Dimana : E C W Rn F(u) ea ed = Evapotranspirasi potensial harian (mm/hari) = Faktor koreksi karena pengaruh kondisi cuaca siang dan malam hari = Faktor pemberat (weighting factor) = Radiasi netto = Fungsi dari kecepatan angin (m/s) = Tekanan uap jenuh = Tekanan uap aktual Adapun langkah-langkah dalam menghitung Metode Penman Modifikasi sebagai berikut : Tabel 2.3 Komponen Perhitungan Metode Penman No Uraian Satuan 1 Temperatur rata-rata bulanan o C 2 Kecepatan Angin = u km/hari 3 f(u) = 0.27((1+u*c)/100) 4 Sunshine % 5 Kelembaban Relatif (RH) % 6 Ea mbar 7 ed (tabel) atau ed = ea x RH/100 mbar 8 ea ed mbar 9 w (tabel) 10 1-w (tabel) 11 Ra (Tabel Ra) 12 Rs = (0.25 + 0.5 n/n) Ra. 13 Rns = (1- ) Rs 14 f(t) = TK 15 f(ed) = 0.34-0.044 sqrt (ed) 16 f (n/n) = 0.1 + 0.9 n/n 17 Rn1 = f(t) f(ed) f(n/n) 18 Rn = Rns - Rn1 19 C (Tabel C) II - 11

No Uraian Satuan 20 ETo = c [wrn + (1-w)f(u)(ed-ea)] mm/hari 21 Evapo. aktual (Epm) mm/bln Sumber : Modul hidrologi evaporasi dan evapotranspirasi Gneis Setia Graha, ST., MT. Data Klimatologi yang digunakan adalah rerata 10 tahunan, adapun data klimatologi yang diperlukan adalah data temperatur udara C, kelembaban relatif (Rh) %, kecepatan angin U (m/s), lamanya penyinaran matahari %. Tabel 2.4 Tabel Koreksi u Tinggi Pengukuran 0.5 1.0 1.5 2.0 3.0 4.0 5.0 Faktor Koreksi 1.35 1.15 1.06 1.0 0.93 0.98 0.83 Sumber : Penman (1948) u = kecepatan angin rata-rata pada ketinggian 2 m di atas tanah (km/hari). Bila kecepatan angin tidak diukur pada ketinggia 2 m, u harus dikoreksi. Tabel 2.5 Hubungan Antara Tekanan Uap Jenuh (ea) dengan Suhu Udara Rata- Rata. Temperature ea 0 C m bar 0 6.1 1 6.6 2 7.1 3 7.6 4 8.1 5 8.7 6 9.4 7 10.0 8 10.7 9 11.5 10 12.3 11 13.1 12 14.0 13 15.0 14 16.1 15 17.0 16 18.2 17 19.4 18 20.6 II - 12

Temperature ea 0 C m bar 19 22.0 20 23.4 21 24.9 22 26.4 23 28.1 24 29.8 25 31.7 26 33.6 27 35.7 28 37.8 29 40.1 30 42.4 31 44.9 32 47.6 33 50.3 34 53.2 35 56.2 36 59.4 37 62.8 38 66.3 Sumber : Penman (1948) BAB II TINJAUAN PUSTAKA ea didapat dari tabel hubungan antara tekanan uap jenuh dengan suhu udara ratarata. Jika nilai temperatur terdapat angka di belakang koma maka dilakukan interpolasi. Tabel 2.6 Nilai Ra Terhadap Waktu dan Latitude Belahan Bumi Bagian Selatan dan Utara Lintang Utara Lintang Selatan Bulan 5 4 2 0 2 4 6 8 10 Januari 13 14.3 14.7 15 15.3 15.5 15.8 16.1 16.1 Pebruari 14 15 15.3 15.5 15.7 15.8 16 16.1 16 Maret 15 15.5 15.6 15.7 15.7 15.6 15.6 15.5 15.3 April 15.1 15.5 15.3 15.3 15.1 14.9 14.7 14.4 14 Mei 15.3 14.9 14.6 14.4 14.1 13.8 13.4 13.1 12.6 Juni 15 14.4 14.2 13.9 13.5 13.2 12.8 12.4 12.6 Juli 15.1 14.6 14.3 14.1 13.7 13.4 13.1 12.7 11.8 Agustus 15.3 15.1 14.9 14.8 14.5 14.3 14 13.7 12.2 September 15.1 15.3 15.3 15.3 15.2 15.1 15 14.9 13.3 Oktober 15.7 15.1 15.3 15.4 15.5 15.6 15.7 15.8 14.6 Nopember 14.8 14.5 14.8 15.1 15.3 15.5 15.8 16 15.6 Desember 14.6 14.1 14.4 14.8 15.1 15.4 15.7 16 16 Sumber : Penman (1948) II - 13

Tabel 2.7 Nilai Faktor Bobot (1-W) Pada Temperatur dan Ketinggian Tertentu Temperature C 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 m 0 0.57 0.54 0.51 0.48 0.45 0.42 0.39 0.36 0.34 0.32 0.29 0.27 0.25 0.23 0.22 0.2 0.18 0.17 0.16 0.15 (1-W) at 500 0.56 0.52 0.49 0.46 0.43 0.45 0.38 0.35 0.33 0.3 0.28 0.26 0.24 0.22 0.21 0.19 0.18 0.16 0.15 0.14 altitude 1000 0.54 0.51 0.48 0.45 0.42 0.39 0.36 0.34 0.31 0.29 0.27 0.25 0.23 0.21 0.2 0.18 0.17 0.15 0.14 0.13 2000 0.51 0.48 0.45 0.42 0.39 0.36 0.34 0.31 0.29 0.27 0.25 0.23 0.21 0.19 0.18 0.16 0.15 0.14 0.13 0.12 3000 0.48 0.45 0.42 0.39 0.36 0.34 0.31 0.29 0.27 0.25 0.23 0.21 0.19 0.18 0.16 0.15 0.14 0.13 0.12 0.11 4000 0.46 0.42 0.39 0.36 0.34 0.31 0.29 0.27 0.25 0.23 0.21 0.19 0.18 0.16 0.15 0.14 0.13 0.12 0.11 0.1 Sumber : Penman (1948) Tabel 2.8 Nilai W Pada Temperatur dan Ketinggian Tertentu Temperature C 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 m 0 0.43 0.46 0.49 0.52 0.55 0.58 0.61 0.64 0.66 0.68 0.71 0.73 0.75 0.77 0.78 0.80 0.82 0.83 0.84 0.85 W at 500 0.44 0.48 0.51 0.54 0.57 0.60 0.62 0.65 0.67 0.70 0.72 0.74 0.76 0.78 0.79 0.81 0.82 0.84 0.85 0.86 altitude 1000 0.46 0.49 0.52 0.55 0.58 0.61 0.64 0.66 0.69 0.71 0.73 0.75 0.77 0.79 0.80 0.82 0.83 0.85 0.86 0.87 2000 0.49 0.52 0.55 0.58 0.61 0.64 0.66 0.69 0.71 0.73 0.75 0.77 0.79 0.81 0.82 0.84 0.85 0.86 0.87 0.88 3000 0.52 0.55 0.58 0.61 0.64 0.66 0.69 0.71 0.73 0.75 0.77 0.79 0.81 0.82 0.84 0.85 0.86 0.87 0.88 0.89 4000 0.54 0.58 0.61 0.64 0.66 0.69 0.71 0.73 0.75 0.77 0.79 0.81 0.82 0.64 0.85 0.86 0.87 0.89 0.90 0.90 Sumber : Penman (1948) II - 14

Tabel 2.9 Faktor Koreksi (c) Terhadap Uday / Unight Rhmax = 30% Rhmax = 60% Rhmax = 90% Rs mm/day 3 6 9 12 3 6 9 12 3 6 9 12 Uday m/sec Uday/Unight = 4 0 0,86 0,90 1,00 1,00 0,96 0,98 1,05 1,05 1,02 1,06 1,10 1,10 3 0,79 0,84 0,92 0,97 0,92 1,00 1,11 1,19 0,99 1,10 1,27 1,32 6 0,68 0,77 0,87 0,93 0,85 0,95 1,11 1,19 0,94 1,10 1,26 1,33 9 0,55 0,65 0,76 0,90 0,76 0,88 1,02 1,14 0,88 1,01 1,16 1,27 Uday/Unight = 3 0 0,86 0,90 1,00 1,00 0,96 0,98 1,05 1,05 1,02 1,06 1,10 1,10 3 0,76 0,81 0,88 0,94 0,87 0,96 1,06 1,12 0,94 1,04 1,18 1,28 6 0,61 0,68 0,81 0,88 0,77 0,88 1,02 1,10 0,88 1,01 1,15 1,22 9 0,46 0,56 0,72 0,82 0,67 0,79 0,88 1,05 0,78 0,92 1,06 1,18 Uday/Unight = 2 0 0,86 0,90 1,00 1,00 0,96 0,98 1,05 1,05 1,02 1,05 1,10 1,10 3 0,69 0,76 0,85 0,92 0,83 0,91 0,99 1,05 0,89 0,98 1,10 1,14 6 0,53 0,61 0,74 0,84 0,70 0,80 0,94 1,02 0,79 0,92 1,05 1,12 9 0,37 0,48 0,65 0,76 0,59 0,70 0,84 0,95 0,71 0,81 0,96 1,06 Uday/Unight = 1 0 0,66 0,90 1,00 1,00 0,95 0,98 1,05 1,05 1,02 1,06 1,10 1,10 3 0,64 0,71 0,82 0,89 0,78 0,86 0,94 0,99 0,85 0,92 1,01 1,05 6 0,43 0,53 0,65 0,79 0,62 0,70 0,84 0,93 0,72 0,82 0,95 1,00 9 0,27 0,41 0,59 0,70 0,50 0,60 0,75 0,87 0,62 0,72 0,87 0,95 Sumber : Penman (1948) II - 15

Tabel 2.10 Nilai Pengaruh Kelembaban (ed) Terhadap Longwave Radiation (Rn1) ed mbar f(ed) 6 0.23 8 0.22 10 0.2 12 0.19 14 0.18 16 0.16 18 0.15 20 0.14 22 0.13 24 0.12 26 0.12 28 0.11 30 0.1 32 0.09 34 0.08 36 0.08 38 0.07 40 0.06 Sumber : Penman (1948) Tabel 2.11 Nilai Pengaruh Perbandingan Antara Lamanya Jam Siang Hari Sesungguhnya dengan Lamanya Jam Siang Maksimal yang Mungkin Terjadi (n/n) Terhadap Longwave Radiation (Rn1) n/n f(n/n)=0.1+0.9 n/n 0 0.1 0.05 0.15 0.1 0.19 0.15 0.24 0.2 0.28 0.25 0.33 0.3 0.37 0.35 0.42 0.4 0.46 0.45 0.51 0.5 0.55 0.55 0.6 0.6 0.64 0.65 0.69 0.7 0.73 0.75 0.78 0.8 0.82 0.85 0.87 II - 16

f(n/n)=0.1+0.9 n/n n/n 0.9 0.91 0.95 0.96 1 1 Sumber : Penman (1948) BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tabel 2.12 Angka Koreksi Bulanan Penman BULAN C JANUARI 1.04 FEBUARI 1.05 MARET 1.05 APRIL 0.9 MEI 0.9 JUNI 0.9 JULI 0.9 AGUSTUS 1 SEPTEMBER 1.1 OKTOBER 1.1 NOVEMBER 1.1 DESEMBER 1.1 Sumber : Penman (1948) 2.4 Klimatologi Pengertian klimatologi adalah cabang ilmu yang mempelajari iklim atau kondisi cuaca rata-rata selama periode waktu tertentu. Klimatologi merupakan cabang dari ilmu atmosfer karena mempelajari perubahan pola cuaca rata-rata dalam hubungannya dengan kondisi atmosfer. Berbeda dengan meteorologi, yang berfokus pada sistem cuaca jangka pendek yang berlangsung hingga beberapa minggu, klimatologi mempelajari frekuensi dan kecenderungan sistem tersebut selama bertahun-tahun, bahkan hingga ribuan tahun. Pengetahuan dasar iklim dapat digunakan dalam peramalan cuaca jangka pendek maupun untuk peramalan iklim pada masa mendatang. II - 17

2.5 Model Hidrologi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada dasarnya model hidrologi dapat diartikan sebagai tiruan proses hidrologi yang terjadi pada suatu tempat tertentu untuk keperluan analisis tentang keberadaan air menurut aspek jumlah, waktu, tempat, probabilitas dan runtun waktu (time series) di tempat tersebut. Beberapa pengertian model hidrologi menurut beberapa tokoh adalah sebagai berikut : a. Clarke (1973), menyebutkan bahwa model sebagai simplifikasi dari satu sistem yang kompleks, baik berupa fisik, analog atau matematik. b. Dooge (1979), menambahkan bahwa model hidrologi selain sebagai struktur, alat, skema atau prosedur nyata atau abstrak, model hidrologi adalah sebuah hubungan antara masukan atau rangsangan, tenaga atau informasi, keluaran, dan pengaruh atau tanggapan dalam referensi waktu tertentu. c. Ponce (1989), menyatakan bahwa model hidrologi adalah satu set pernyataanpernyataan matematika yang menyatakan hubungan antara fase-fase dari siklus hidrologi dengan tujuan mensimulasikan transformasi hujan menjadi limpasan. d. Sri Harto Br (1993), model hidrologi merupakan sebuah sajian sederhana (simple representation) dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks. e. Singh (1995), mengartikan bahwa model hidrologi sebagai tiruan proses hidrologi untuk keperluan analisis tentang keberadaan air menurut aspek jumlah, waktu, tempat, probabilitas dan runtutan waktu (time series). f. Purnomo (2005), model adalah abstraksi atau penyederhaaan dari dunia nyata, yang mampu menggambarkan struktur dan interaksi elemen serta II - 18

perilaku keseluruhannya sesuai dengan sudut pandang dan tujuan yang diinginkan. Sedangkan, dalam konteks keairan, model merupakan suatu bentuk pendekatan sistem dengan memodifikasi proses kejadian alam dengan suatu pemisalan atau persamaan sehingga dengan ketersediaan data yang sangat terbatas dapat dilakukan berbagai kepentingan dalam pengembangan sumber daya air. Kegunaan model hidrologi menurut Harto (1993), adalah : a. Peramalan (forecasting), termasuk didalamnya untuk sistem peringatan dan manajemen. Peramalan memberikan maksud bahwa baik besaran ataupun waktu kejadian yang dianalisis berdasar cara probabilistik. b. Perkiraan (prediction), memberikan pengertian bahwa besaran kejadian dan waktu hipotetik (hypothetical future time). c. Sebagai alat deteksi dalam masalah pengendalian. Dengan sistem yang telah pasti dan keluaran yang diketahui maka masukan dapat dikontrol dan diatur. d. Sebagai alat pengenal (identification tool) dalam masalah perencanaan (planning). e. Eksplorasi data/informasi. f. Perkiraan lingkungan akibat perilaku manusia yang berubah/meningkat. g. Penelitian dasar dalam proses hidrologi. Menurut Jorgensen (1988), penggunaan model dalam analisis sangat menguntungkan dan merupakan alat analisis ilmiah karena : a. Model sangat berguna sebagai instrumen dalam survei untuk sistem yang kompleks. b. Model dapat digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat sistem. II - 19

c. Keluaran dari model dapat mengatasi kelemahan pengetahuan sehingga dapat digunakan untuk menentukan proritas dalam kegiatan penelitian. d. Model sangat berguna untuk menguji hipotesa ilmiah, karena model dapat mensimulasikan reaksi ekosistem, yang dibandingkan dengan data hasil pengamatan. Karena model hidrologi merupakan suatu bentuk penyederhanaan dari suatu sistem yang nyata, maka bentuk sederhananya diharapkan mampu memberikan kemudahan dalam pemahaman dan pengendalian serta merupakan suatu versi yang sedapat mungkin mendekati bentuk aslinya. Penggunaan model mempunyai keterbatasan yang harus dipahami, karena model banyak membutuhkan data-data masukan, sehingga kurangnya data masukan tertentu akan dapat menghasilkan prediksi yang tidak tepat, karena tidak seluruh proses alami dapat diwakili dan tidak mudah untuk diwujudkan dalam bentuk persamaan-persamaan matematika. Model hidrologi bertujuan menggambarkan tanggapan suatu sistem terhadap proses hidrologi yang terjadi jika diberi masukan-masukan tertentu. Dalam penyusunan model hidrologi, titik berat analisis dipusatkan pada proses pengalihragaman hujan menjadi debit melalui suatu sistem DAS. Model-model hidrologi DAS dapat dikelompokan menjadi dua yaitu yang bersifat tetap (deterministik) dan stochastik. Dalam model-model deterministik prosesproses DAS diperlakukan baik secara empiris atau konseptual sebagai bagian dari sistem yang tetap, tidak menjelaskan proses-proses yang bersifat acak. Padahal di dalam ekosistem DAS dimungkinkan adanya peristiwa/proses yang bersifat acak. Sebaliknya model-model stochastik memperkenalkan suatu ketidakpastian ke II - 20

dalam model-model, mendasarkan pada data/proses yang panjang dan berurutan untuk melihat ciri-ciri peluang dan statistik. 2.5.1 Model Mock Model Mock merupakan salah satu contoh model hidrologi sederhana untuk menghitung debit bulanan suatu sungai. Model Mock dapat diterapkan apabila data debit sungai tidak tersedia (walaupun ada, akan tetapi rentang data tidak memadai untuk perhitungan). Informasi data debit didasarkan pada hitungan pendekatan (empiris) menggunakan data hujan. Data hujan yang digunakan adalah data hujan setengah bulanan rata-rata. Model ini mentransformasi hujan aliran mengikuti prinsip water balance untuk memperkirakan ketersediaan air sungai. Metode ini menganggap bahwa hujan yang jatuh pada DAS sebagian akan hilang sebagai evapotranspirasi, Sebagian akan menjadi limpasan langsung (direct runoff) dan sebagian lagi akan masuk ke tanah sebagai infiltrasi. Apabila kapasitas lengas tanah (soil moisture capacity) telah terlampaui, air akan mengalir kebawah akibat gravitasi sebagai perkolasi menuju aquifer jenuh sebagai air tanah (ground water) yang akhirnya akan keluar ke sungai sebagai aliran dasar (base flow). Aliran air hujan yang dialihragamkan (transformation) oleh sistem DAS yang bersangkutan akhirnya akan sampai ke sungai yang ada dalam DAS yang bersangkutan. Aliran air sungai adalah jumlah aliran langsung di permukaan tanah (overland flow) dan aliran dasar (base flow). Pada prinsipnya metode F.J Mock didasarkan pada konsep pokok hidrologi water balance atau konsep keseimbangan air. Pada konsep ini berdasarkan sirkulasi air di bumi atau siklus hidrologi dimana hujan yang jatuh di permukaan bumi dalam hal ini catchment area sebagian akan hilang sebagai evapotranspirasi, sebagian II - 21

akan langsung menjadi direct run-off (limpasan langsung). Data-data yang diperlukan dalam metode ini adalah : 1. Curah hujan bulanan 2. Evapotranspirasi potensial 3. Debit sungai A. Kalibrasi Model Mock 1) Parameter Model Mock Mock menyajikan sebuah model yang sederhana untuk menaksirkan tersedianya air di sungai dari angka curah hujan, evapotranspirasi, kelembapan tanah dan cadangan air tanah. Model Mock menggunakan data hujan, data evapotranspirasi potensial, luas DAS, dan data crop factor sebagai data masukan (input). Proses pengalihragaman hujan menjadi aliran memperhitungkan 6 parameter yang merupakan karakteristik DAS tersebut, yaitu : 1. Koefisien infiltrasi musim basah (WTC) 2. Koefisien infiltrasi musim kemarau 3. Initial Soil Moisture (ISM), yaitu kelembapan tanah yang digunakan pada seluruh daerah penggalian. 4. Soil Moisture Capacity (SMC), yaitu kapasitas kelembapan tanah yang digunakan pada seluruh daerah pengaliran. 5. Initial Groundwater Storage (IGWS), yaitu tampungan air tanah pada kondisi awal. 6. Groundwater Recession Constant (K), yaitu faktor resesi aliran tanah. II - 22

Dasar-dasar bekerjanya model ini disusun secara sistematis untuk membantu perhitungan model Mock dengan menggunakan program computer. Tabel 2.13 Komponen Perhitungan Model Mock No Komponen perhitungan Catatan 1 Evapotranspirasi Aktual (AET) CF = Crop Factor AET = CF x PET 2 Excess Rainfall (ER) P = Hujan (mm) ER = P - AET AET = Eapotranspirasi aktual 3 Soil Moisture (SM) Nilai kelembapan tanah akan dipengaruhi oleh kondisi porositas lapisan tanah dari DAS 4 Water Surplus (WS) ΔSM = Perubahan nilai WS = ER - ΔSM kelembapan tanah (mm) ΔSM = SMC - ISM SMC = Soil Moisture Capacity ISM = Initial Soil Moisture 5 Infiltrasi (I) DIC = Koefisien infiltrasi pada musim kering I = DIC x WS atau I = WIC x WS WIC = Koefisien infiltrasi pada musim hujan 6 Groundwater storage (GWS) IGWS = Initial Groundwater GWS = 0.5 x (I + K) x I x IGWS Storage 7 Base Flow (BSF) ΔS = Perubahan volume BSF = I - ΔS air tanah ΔS = GWS - IGWS 8 Direct Run-off (DRO) Water Surplus DRO = WS - I I = Infiltrasi 9 Total Run-off (TRO) DRO = Direct Run-Off TRO = BSF + DRO (Sumber : Jurnal Dian Luneo, Barry Yusuf Labdul, Aryati Alitu, Optimasi Model Mock Untuk Menghitung Debit Bulanan DAS BOLANGU di BOIDU ). II - 23

2) Evaluasi Ketelitian Model Mock BAB II TINJAUAN PUSTAKA Evaluasi ketelitian model dilakukan dengan cara membandingkan debit hasil simulasi dengan debit terukur yang tersedia, dengan memperhitungkan koefisien korelasi, selisih volume, koefisien efisiensi. 2.5.2 Model Nreca Model Nreca (USA) adalah model dengan parameter relatif sedikit dan mudah dalam pelaksanaannya serta model memberikan hasil yang cukup handal. Model Nreca digunakan untuk memperkirakan debit bulanan yang berdasar pada hujan bulanan. Konsep dari Metode Nreca memerlukan inputan utama berupa data hujan dan evapotranspirasi aktual. Secara umum persamaan dasar dari Metode Nreca ini dirumuskan sebagai berikut: Dimana : Q = P ΔE + ΔS... (2.8) P ΔE ΔS Q = Prespitasi/ Hujan rata-rata DAS (mm) = Evapotranspirasi Aktual (mm) = Perubahan Tampungan (mm) = Limpasan (mm) Data masukan yang diperlukan dari model hujan-limpasan Nreca adalah sebagai berikut: a. Hujan rata-rata suatu DAS (P) b. Evapotranspirasi potensial dari DAS (PET) Jika data yang ada adalah evapotranspirasi standar maka harus diubah ke dalam bentuk evapotranspirasi aktual. c. Kapasitas tampungan kelengasan atau nominal II - 24

1) langkah perhitungan Model NRECA : BAB II TINJAUAN PUSTAKA Q = DF + GWF...... (2.9) DF = EM GWS... (2.10) GWF GWS S EM WB AET = P2 x GWS...(2.11) = P1 x EM...(2.12) = WB EM...(2.13) = EMR x WB...(2.14) = Rb AET...(2.15) = AET/PET x PET...(2.16) Wi = Wo / N......(2.17) N = 100 + 0.20 Ra......(2.18) Dimana : Q = Debit aliran rerata (m 3 /dt) DF = Aliran langsung (direct flow) GWF = Aliran air tanah (ground water flow) EM = Kelebihan kelengasan (excess moist) GWS = Tampungan air tanah (ground water storage) P1 = Parameter yang menggambarkan karakteristik tanah permukaan P2 = Parameter yang menggambarkan karakteristik tanah bagian dalam WB = Keseimbangan air (water balance) EMR = Rasio kelebihan kelengasan (excess moist ratio) Rb = Curah hujan bulanan (mm) AET = Evapotranspirasi aktual (mm) II - 25

PET = Evapotranspirasi potensial Eto (mm) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.5.3 Model Sacramento Model Sacramento adalah salah satu model dari Rainfall Runoff Library (RRL) yang digunakan untuk mengukur komponen-komponen aliran yang meliputi curah hujan, evaporasi dan debit. Model Sacramento menggunakan pengukuran kelembaban tanah untuk mensimulasi keseimbangan air pada suatu daerah tangkapan hujan. 1) Deskripsi Proses Hidrologi Model Sacramento menggunakan perhitungan lengas tanah (soil Mosture) untuk simulasi neraca air di dalam DAS. Zona atas pada model Sacramento terdapat zona atas yang terdiri dari zona atas tidak lulus air dan zona atas lulus air. Hujan yang jatuh pada permukaan daerah aliran sungai yang tidak lulus air baik bersifat tetap atau sementara, akan menghasilkan aliran limpasan langsung ke sungai. Apabila curah hujan melampaui laju perkolasi, maka kelebihan air bebas akan mengalir horizontal dalam bentuk interflow. Jumlah air bebas yang menjadi aliran interflow sebanding dengan tersedianya volume air yang melebihi laju perkolasi. Laju aliran interflow ke arah sungai dipengaruhi oleh koefisien drainase aliran keluar dari tampungan air bebas zona atas (UZFW) Dimana : Qinterflow = UZFC x UZK... (2.19) Qinterflow = Debit aliran interflow UZFC = Isi awal tampungan air bebas zona atas (UZFW) II - 26

UZK BAB II TINJAUAN PUSTAKA = Koefisien drainase tampungan air bebas zona atas (UZFW). Apabila curah hujan masih berlangsung terus hingga melampaui laju perkolasi dan kapasitas maksimum aliran interflow, maka tampungan air bebas zona atas (UZFW) akan terisi penuh sesuai dengan kapasitasnya, sehingga kelebihan air bebas akan bersatu dengan hujan yang masih turun untuk menjadi limpasan permukaan (surface runoff). Zona bawah pada zona bawah terdapat tiga tampungan penting untuk air perkolasi. Pertama adalah tampungan air bertegangan zona bawah, disebut Lower Zone Tension Water (LZTW), yaitu tampungan yang mewakili volume air bebas yang dimanfaatkan oleh butiran tanah kering, ketika kelembaban mencapai kedalaman. 2) Perkolasi Laju perkolasi dari zona atas ke zona bawah tergantung pada kebutuhan air dari tampungan di zona bawah. Kebutuhan zona bawah akan minimum apabila ketiga tampungan di zona bawah terisi penuh. PERCmin = PBASE = LZFPM x LZPK + LZFSM x LZSK... (2.20) Dimana : LZFPM LZPK LZFSM = Kapasitas tampungan air bebas utama zona bawah (LZFP) = Kapasitas tampungan air bebas tambahan zona bawah (LZFS) = Koefisien drainase aliran keluar dari tampungan air bebas utama zona bawah LZSK = Koefisien drainase aliran keluar dari tampungan air bebas tambahan zona bawah Kenaikan tingkat perkolasi diatur oleh koefisien ZPERC yang bernilai > 1. II - 27

PERCmax = PBASE x (1 + ZPERC)... (2.21) Dimana : PERCmax = Tingkat perkolasi maksimum ZPERC = Koefisien tingkat laju kenaikan perkolasi Apabila tampungan zona bawah mulai terisi air maka laju perkolasi akan menurun. Penurunan laju perkolasi akan meningkatkan kelembaban tanah secara eksponensial. Eksponensial tersebut di defenisikan sebagai REXP, maka perkolasi aktual yaitu : PERCact = PBASE x ( 1 + ZPERC x G)... (2.22) Dimana : G A B = ( A/B) x REXP = Jumlah dari kapasitas dikurangi isi tampungan zona bawah = Jumlah dari seluruh kapasitas zona bawah Karena perkolasi dipengaruhi oleh ketersediaan air bebas di tampungan zona atas, maka perkolasi yaitu : PERC = PERCact x ( UZFC / UZFM )... (2.23) Dimana : PERC UZFC UZFM = Perkolasi = Isi tampungan air bebas zona atas = Kapasitas tampungan air bebas zona II - 28

3) Aliran Dasar BAB II TINJAUAN PUSTAKA Volume aliran dasar berasal dari tampungan air bebas utama dan tambahan pada zona bawah yang dipengaruhi oleh faktor drainase masing-masing tampungan. Jumlah aliran dasar (baseflow) dari air tanah yaitu : QBASE = LZFPC x LZPK + LZFSC x LZSK... (2.24) Dimana : LZFPC LZFSC = Isi tampungan air bebas utama zona bawah (LZFP) = Isi tampungan air tambahan zona bawah (LZFS) 4) Kalibrasi Model Sacramento Tahap ini merupakan tahap yang digunakan untuk menentukan nilai parameter DAS yang belum diketahui. Dalam proses kalibrasi, nilai-nilai awalnya dianggap berlaku untuk semua parameter dan periode alirannya disimulasikan serta dibandingkan dengan debit-debit terukur. Bila memang diperlukan, maka parameter-parameternya diubah dan pembandingnya diulangi sampai didapat kesesuaian antara data dan pengamatan dan data hasil. 2.6 Flow Duration Curve (FDC) Flow duration curve adalah grafik hubungan antara deret hidrologi (debit, curah hujan, dan lain-lain) pada sumbu Y terhadap probabilitas/persentase besaran deret hidrologi tersebut (John P Pantouw, 2014:11). Flow duration curve dibuat dengan cara analisis frekuensi terhadap rangkaian data debit untuk suatu kurun waktu tertentu. Data-data debit yang dibutuhkan berasal II - 29

dari data hasil pengukuran di lapangan atau debit hasil prediksi suatu metoda perhitungan debit (Suyono,2006). 2.7 Metode Kalibrasi Kalibrasi didefinisikan sebagai proses penyesuaian parameter model yang berpengaruh terhadap kejadian aliran. Proses kalibrasi merupakan upaya untuk memperkecil penyimpangan yang terjadi. Besar nilai parameter tidak dapat ditentukan dengan pasti, sehingga proses kalibrasi dikatakan berhasil jika nilai parameter telah mencapai patokan ketelitian yang ditentukan (Ery Setiawan, 2010). 2.8 Verifikasi Model Evaluasi statistik yang digunakan menilai performa model dalam penelitian ini adalah nilai koefisien korelasi (R), selisih volume (VE) aliran dan koefisien efisiensi (CE). Koefisien Korelasi (R) dirumuskan sebagai berikut (Jaya Al-Aziz, 2011). r = n xi yi ( xi) ( yi)... (2.25) (n x 2 i ( xi) 2 )(n y 2 i ( yi) 2 ) Dimana : r = Koefisien korelasi X = Debit terhitung (m 3 /s) Y = Debit terukur (m 3 /s) II - 30

Selisih volume (VE) aliran adalah nilai yang menunjukkan perbedaan volume perhitungan dan terukur selama proses simulasi. Selisih volume aliran dirumuskan sebagai berikut (Dwi Tama, 2007) N N VE = I=1 Qobs I I=1 Qcal I N x 100 %... (2.26) Qobs I I=1 Dimana : Qobsi = Debit terukur (m3/s) Qcali = Debit terhitung (m3/s) VE = Selisih volume (%). Koefisien efisiensi (Dwi Tama, 2007) menyatakan nilai yang menunjukkan efisiensi model terhadap debit terukur, cara objektif yang paling baik di dalam mencerminkan kecocokan hidrograf secara keseluruhan. Koefisien model dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : CE = [1 N I=1 (Qobs I Qcal I ) 2 N 2]... (2.27) I=1 (Qobs I Qobs rerata ) 2.9 Optimasi dan Korelasi Analisis korelasi adalah analisis yang membahas tentang derajat hubungan suatu analisis. Untuk mengetahui dua perbandingan antara dua variabel atau lebih harus didapatkan nilai korelasi, nilai korelasi yang menetukan data analisis tersebut optimum adalah yang mendekati 1. II - 31

Koefisien korelasi (R) yang menunjukan derajat hubungan antara Xi dan Yi ditentukan dari: n XY X Y R =... (2.28) { X 2 ( X) 2 }{ Y 2 ( Y) 2 } II - 32