sehingga teori Skinner ini disebut S-O-R (Stimulus-Organisme-Respons). Berdasarkan teori S-O-R tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA

Lampiran 1 KUESIONER PERILAKU PENGGUNA NAPZA SUNTIK DI DALAM MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, sampai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang

PTRM PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON PUSKESMAS BANGUNTAPAN II

Bab I Pendahuluan. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tergolong makanan jika diminum, diisap, dihirup, ditelan, atau disuntikkan,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. angka kematian bayi, angka kelahiran, dan angka kematian ibu.( A.Gde Munin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masa kehamilan (Prawirohardjo, 2000). Menurut Manuaba (2001), tujukan pada pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim.

BAB I PENDAHULUAN. mengancam hampir semua sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pada program pengalihan narkoba, yaitu program yang mengganti heroin yang. dipakai oleh pecandu dengan obat lain yang lebih aman.

BAB VII ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKA

RISIKO PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA PADA IBU HAMIL BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI JAWA TENGAH

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 80 an telah menjadi jalan bagi Harm Reduction untuk diadopsi oleh

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

2016, No Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lemb

BAB 1 PENDAHULUAN. hancurnya kehidupan rumah tangga serta penderitaan dan kesengsaraan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan, persepsi, minat, keinginan dan sikap. Hal-hal yang mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. laporan kinerja BNN pada tahun 2015 dimana terjadi peningkatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. satu hal dan pengetahuan umum yang berlaku bagi keseluruhan hal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kehamilan risiko tinggi adalah kehamilan yang menyebabkan terjadinya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini menguraikan teori teori yang berkaitan dengan pola asuh orang tua, remaja, narkoba, kerangka berpikir dan hipotesis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. luar). Perilaku manusia terjadi melalui proses stimulus, organisme, dan respon

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

NARKOBA. Narkotika Psikotropika Bahan Adiktif

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan gejala yang semakin memprihatinkan. 1

IDENTITAS RESPONDEN. Jenis kelamin : Laki-laki. Perempuan. Bersama Orangtua. Status Tempat Tinggal: Kost. Bersama Saudara/teman

SAY NO TO DRUGS Nama : Nanda Abilla Aryaguna Nim : Prodi Akuntansi

BAB I PENDAHULUAN. Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya) adalah sejenis zat (substance) yang

Napza Suntik, HIV, & Harm Reduction

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. NARKOBA adalah singkatan Narkotika dan Obat/Bahan berbahaya.

BAB I PENAHULUAN. A. Latar Belakang

III. PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN. Penyebabnya sangatlah kompleks akibat interaksi berbagai faktor :

BAB I PENDAHULUAN. (NAPZA) atau yang lebih sering dikenal masyarakat dengan NARKOBA

SMP kelas 8 - KIMIA BAB 4. ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKALatihan Soal 4.2

BAB I PENDAHULUAN. (Afrika Selatan), D joma (Afrika Tengah), Kif (Aljazair), Liamba (Brazil) dan Napza

Zat Adiktif dan Psikotropika

NAPZA. Trainer : Lina Asisten : Sela, Tito

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR 57 TAHUN 2013 enkes/s TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADONA

BAB 1 PENDAHULUAN. Data kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan dari tahun Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua

PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI KALANGAN REMAJA Oleh: Bintara Sura Priambada, S.Sos, M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. dilihat atau dirasakan sebelumnya (Meliono, 2007). Budiningsih (2005) juga

2011, No sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2

NAPZA. Priya - PKBI. Narkotika Psikotropika dan zat adiktif lainnya atau di singkat dengan NAPZA.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Rumatan Metadona

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 1 PENDAHULUAN. NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat

NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) DI KABUPATEN BANYUWANGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

berhubungan dengan kesehatan diklasifikasikan sebagai berikut :

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

Tujuan pendidikan kesehatan


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh Keluarga 1.1. Pengertian Pola Asuh Keluarga. Pola asuh merupakan pola perilaku orangtua yang paling dominan

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. disebut dengan istilah alcoholism (ketagihan alkohol), istilah ini pertama kali

Indonesia Nomor 5211); 8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit; 9.

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah penyalahgunaan narkoba, khususnya di Indonesia, saat ini

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Pada hakikatnya

BAB I PENDAHULUAN. Dan Zat Adiktif (Abdul & Mahdi, 2006). Permasalahan penyalahgunaan

KERACUNAN AKIBAT PENYALAH GUNAAN METANOL

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Posyandu atau Pos Pelayanan Terpadu adalah Forum Komunikasi Alih. rangka pencapaian NKKBS ( Mubarak & Chayalin, 2009).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Penggolongan sederhana dapat diketahui dari definisi yang lengkap di atas yaitu obat untuk manusia dan obat untuk hewan. Selain itu ada beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. konsekuen dan konsisten. Menurut NIDA (National Institute on Drug Abuse), badan

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I

1. Dokter Umum 2. Perawat KETERKAITAN : PERALATAN PERLENGKAPAN : 1. SOP anamnesa pasien. Petugas Medis/ paramedis di BP

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

Kehamilan Resiko Tinggi. Oleh Dokter Muda Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seseorang yang mengkonsumsinya (Wikipedia, 2013). Pada awalnya, alkohol

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

2012, No.1156

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Perilaku Skinner (1938) yang dikutip oleh Notoatmodjo (1993), merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia terjadi melalui proses stimulus, organisme, dan respon sehingga teori Skinner ini disebut S-O-R (Stimulus-Organisme-Respons). Berdasarkan teori S-O-R tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a) Perilaku Tertutup (Covert Behaviour) Perilaku tertutup terjadi bila respons stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus bersangkutan. b) Perilaku Terbuka (Overt Behaviour) Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau observeable behaviour. Bentuk operasional dari perilaku dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu : 1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi dan rangsangan. 2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan perasaan terhadap keadaan atau rangsangan dari luar diri si subjek sehingga alam itu sendiri akan mencetak

perilaku manusia yang hidup di dalamnya, sesuai dengan sifat keadaan alam tersebut (lingkungan fisik) dan keadaan lingkungan sosial budaya yang bersifat non fisik tetapi mempunyai pengaruh kuat terhadap pembentukan perilaku manusia. Lingkungan ini merupakan keadaan masyarakat dan segala budi daya masyarakat itu lahir dan mengembangkan perilakunya. 3. Perilaku dalam bentuk tindakan, yang sudah konkrit berupa perbuatan terhadap situasi dan rangsangan dari luar. 2.1.1. Perilaku dalam Bentuk Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman juga dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan orang lain, di dapat dari buku, surat kabar, atau media massa, elektronik. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Pada dasarnya pengetahuan terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang dapat memahami sesuatu gejala dan memecahkan masalah yang dihadapi. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung ataupun melalui pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan baik secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan yang bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan optimal.

: Menurut Notoatmodjo (1993), pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu 1. Tahu (Know) Diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bagian yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, mendefenisikan, mengatakan. 2. Pemahaman (Comprehension) Diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang telah memahami atau harus dapat menjelaskan objek (materi), menyebutkan contoh, menyampaikan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari. 3. Aplikasi (Aplication) Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan buku, rumus, metode, prinsip dalam konteks, atau situasi lain. Misalnya adalah dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian dan dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah kesehatan dari kasuskasus yang diberikan.

4. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. 5. Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dan formulasi-formulasi yang ada. Misalnya : dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusanrumusan yang telah ada. 6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan-kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2003).

2.1.2. Perilaku dalam Bentuk Sikap Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap tidak langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan seharihari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 1993). Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk merespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih, dan sebagainya). Selain bersifat positif dan negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman yang berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dan sebagainya). Sikap itu tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang. Sebab sering kali terjadi bahwa seseorang dapat berubah dengan memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak langsung dapat dilihat, tetapi dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Allport (1954) dalam Soekidjo (1993), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok yaitu :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan yaitu : 1. Menerima (Receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperlihatkan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi. 2. Merespon (Responding) Memberikan jawaban apabila ditanya. Mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut. 3. Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya : seorang ibu yang mengajak ibu yang lain untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak. 4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Ciri-ciri sikap adalah : 1. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya. Sifat ini membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar, haus, atau kebutuhan akan istirahat. 2. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah-ubah pada orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu. 3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek. Dengan kata lain, sikap itu dibentuk, dipelajari atau berubah senantiasa. 4. Objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu tetapi juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut. 5. Sikap mempunyai segi motivasi dari segi-segi perasaan. Sifat ilmiah yang membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang (Purwanto, 1999). Fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yakni : 1. Sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable artinya sesuatu yang mudah menjalar sehingga mudah pula menjadi milik bersama.

2. Sebagai alat pengatur tingkah laku. Kita tahu bahwa tingkah laku anak kecil atau binatang umumnya merupakan aksi-aksi yang spontan terhadap sekitarnya. Antara perangsang dan reaksi tidak ada pertimbangan tetapi pada orang dewasa dan yang sudah lanjut usianya, perangsang itu pada umumnya tidak diberi reaksi secara spontan akan tetapi terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai perangsang-perangsang itu. Jadi antara perangsang dan reaksi terhadap sesuatu yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan atau penilaian-penilaian terhadap perangsang itu sebenarnya bukan hal yang berdiri sendiri tetapi merupakan sesuatu yang erat hubungannya dengan cita-cita orang, tujuan hidup orang, peraturan-peraturan kesusilaan yang ada dalam bendera, keinginan-keinginan pada orang itu dan sebagainya. 3. Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman dari dunia luar sikapnya tidak pasif tetapi diterima secara aktif artinya semua pengalaman yang berasal dari luar itu tidak semuanya dilayani oleh manusia tetapi juga manusia memilih mana-mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman ini diberi penilaian lalu dipilih. 4. Sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering mencerminkan kepribadian seseorang. Ini sebabnya karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada objek-objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut. Jadi

sikap sebagai pernyataan pribadi. Apabila kita akan mengubah sikap seseorang, kita harus mengetahui keadaan sesungguhnya dari sikap orang tersebut. Dengan mengetahui keadaan sikap itu, kita akan mengetahui pula mungkin tidaknya sikap tersebut dapat diubah dan bagaimana cara mengubah sikap-sikap tersebut (Purwanto, 1999). 2.1.3. Perilaku dalam Bentuk Tindakan Suatu sikap belum optimis terwujud dalam suatu tindakan untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung/suatu kondisi yang memungkinkan (Notoatmodjo, 1993). Tindakan terdiri dari empat tingkatan, yaitu : 1. Persepsi (Perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama. 2. Respon Terpimpin (Guided Response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua. 3. Mekanisme (Mechanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara optimis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. 4. Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. 2.2. Determinan Perilaku Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni : 1. Faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. 2. Faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang (Soekidjo, 2003). Tim ahli WHO (1984) menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku ada empat alasan pokok yaitu : 1. Pemikiran dan perasaan. Bentuk pemikiran dan perasaan ini adalah pengetahuan, kepercayaan, sikap, dan lain-lain. 2. Orang penting sebagai referensi. Apabila seseorang itu penting bagi kita maka apapun yang ia katakan dan lakukan cenderung untuk kita contoh. Orang inilah yang dianggap kelompok referensi seperti guru, kepala suku, dan lain-lain.

3. Sumber-sumber daya. Yang termasuk adalah fasilitas-fasilitas misalnya : waktu, uang, tenaga kerja, keterampilan, pelayanan. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif. 4. kebudayaan Perilaku norma, kebiasaan, nilai-nilai dan pengadaan sumber daya di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup yang disebut kebudayaan. Perilaku yang normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku. Hal-hal yang mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak dalam diri individu sendiri yang disebut sebagai faktor internal dan sebagian terletak di luar dirinya atau disebut dengan factor eksternal yaitu faktor lingkungan. Menurut WHO yang dikutip oleh Notoatmodjo (1993), perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga yaitu : 1. perubahan alamiah (natural change) ialah perubahan yang dikarenakan perubahan pada lingkungan fisik, sosial, budaya ataupun ekonomi dimana dia hidup dan beraktivitas. 2. Perubahan terencana (planned change), perubahan ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek. 3. Perubahan dari hal kesediaannya untuk berubah (readiness to change) ialah perubahan yang terjadi apabila terdapat suatu inovasi atau program-program

baru, maka yang akan terjadi adalah sebagian orang cepat mengalami perubahan perilaku dan sebagian lagi lamban. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda. 2.3. Model Keyakinan Kesehatan (Health Belief Model) Health Belief Model (HBM) menurut Rosenstock pertama kali dikembangkan pada tahun lima puluhan oleh sekelompok ahli psikologi sosial dalam usaha untuk menjelaskan sebab kegagalan sekelompok individu dalam menjalani program pencegahan penyakit atau dalam deteksi dini suatu penyakit. Hochbaum (1958) dan Rosenstock (1960, 1966, 1974) dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan dalam perilaku kesehatan menggunakan pendekatan Model Keyakinan Kesehatan (Health Belief Model). Dalam perkembangan, model ini digunakan antara lain untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi prediktor dan respons seseorang terhadap gejala penyakit. Pada tahun 1974, Becker memperluas model tersebut dalam usaha untuk mempelajari perilaku seseorang terhadap diagnosis yang ditegakkan, khususnya kepatuhan (compliance) dengan regimen pengobatan. HBM juga merupakan model yang sering digunakan untuk menjelaskan perilaku pencegahan penyakit (preventive health behaviour). Pada tahun 1952, Hochbaum mencari faktor pendorong dan faktor penghambat dari masyarakat untuk dating memeriksakan diri pada program skrining TBC yang disediakan secara cuma-cuma di daerah tersebut dengan menggunakan mobile X-ray unit. Diteliti 1200 orang dewasa dan dinilai kesediaan mereka untuk menjalani pemeriksaan X-ray, yang mencakup keyakinan mereka bahwa mereka

rentan terhadap penyakit TBC, serta keyakinan mereka bahwa ada manfaat menjalani deteksi dini. Dalam studi ini, Hochbaum mendapatkan korelasi dengan derajat kemaknaan yang tinggi antara tindakan menjalani skrining dengan hal-hal berikut : Persepsi mereka tentang kerentanan terhadap penyakit. Persepsi mereka tentang manfaat yang akan diperoleh bila menjalani suatu tindakan tertentu. Dari dua faktor tersebut di atas, ternyata bahwa persepsi tentang kerentanan terhadap penyakit merupakan variabel yang lebih kuat dibandingkan dengan persepsi tentang manfaat yang diperoleh. Hochbaum juga berpendapat bahwa kesediaan untuk melakukan deteksi dini penyakit juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, khususnya oleh cues to action seperti kegiatan yang secara fisik terlihat, atau publikasi melalui media masa. 2.3.1. Komponen Model Keyakinan Kesehatan Komponen utama HBM terdiri dari : a. Merasa adanya kerentanan (perceived susceptibility) yaitu seseorang akan bertindak untuk mencegah dan mengobati penyakitnya, apabila ia telah merasakan bahwa ia maupun keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut. b. Keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness) adalah tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu maupun masyarakat. Penyakit

polio misalnya akan dirasakan lebih serius jika dibandingkan dengan flu. Oleh karena itu, tindakan untuk pencegahan polio akan lebih serius dilakukan jika dibandingkan dengan pencegahan dan pengobatan terhadap flu. c. Manfaat yang dirasakan (perceived benefits), apabila seseorang merasakan dirinya rentan terhadap penyakit-penyakit yang dianggap gawat/serius, ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. d. Adanya rintangan (perceived barriers) ialah hambatan-hambatan yang mungkin dijumpai dalam melakukan tindakan tertentu. e. Isyarat/Pendorong untuk bertindak (cues to action) yaitu untuk mendapat tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan, dan keuntungan tindakan maka diperlukan isyarat-isyarat/stimulus dari luar untuk memicu perilaku yang diharapkan. Faktor-faktor luar tersebut misalnya pesanpesan dari media massa, nasihat, atau anjuran dari anggota keluarga maupun dari orang lain. Secara jelas Model Keyakinan Kesehatan dapat dilihat pada bagan berikut : 2.4. Narkoba atau Napza 2.4.1. Definisi Narkoba Narkoba merupakan istilah yang sering dipakai untuk narkotika dan obat berbahaya. Narkoba merupakan sebutan bagi bahan yang tergolong narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Disamping lazim dinamakan narkoba, bahan-bahan serupa biasa juga disebut dengan nama lain, seperti NAZA (Narkotika,

Alkohol, dan Zat adiktif lainnya) dan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya) (Witarsa, 2006). Narkoba adalah istilah yang digunakan oleh penegak hukum dan masyarakat. Bahan berbahaya adalah bahan yang tidak aman digunakan atau membahayakan dan penggunaannya bertentangan dengan hukum atau melanggar hukum (illegal). Napza adalah istilah kedokteran untuk kelompok zat yang jika masuk ke dalam tubuh menyebabkan ketergantungan (adiktif) dan berpengaruh pada kerja otak (psikoaktif). Termasuk dalam hal ini adalah obat, bahan, atau zat, baik yang diatur undang undang dan peraturan hukum lain maupun yang tidak tetapi sering disalahgunakan, seperti alkohol, heroin, ganja, kokain dan lain-lain. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, zat yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Redaksi Penerbit Asa Mandiri, 2007). Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1997, yang dimaksud dengan Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Redaksi Penerbit Asa Mandiri, 2007).

Sedangkan yang dimaksud dengan Bahan/Zat adiktif lainnya adalah bahan lain bukan narkotika atau psikotropika yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan. Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan etanol atau dengan cara pengenceran minuman yang mengandung etanol (Darmono, 2006). 2.4.2. Jenis dan Penggolongan Narkoba Menurut Undang-Undang Di bawah ini uraian tentang jenis narkoba dan beberapa zat yang termasuk dalam golongannya : 1. Narkotika adalah zat atau bahan aktif yang bekerja pada sistem saraf pusat (otak), yang dapat menyebabkan penurunan sampai hilangnya kesadaran dari rasa sakit (nyeri) serta dapat menimbulkan ketergantungan (ketagihan). Zat yang termasuk golongan ini antara lain : morfin, putaw (heroin), ganja, kokain, opium, codein, metadon. Metadon adalah opioida sintetik yang mempunyai daya kerja lebih lama serta lebih efektif daripada morfin dengan pemakaian ditelan. Metadon dipakai untuk methadone maintenance program, yaitu untuk mengobati ketergantungan terhadap morfin atau heroin dan opiat lainnya. 2. Alkohol adalah jenis minuman yang mengandung etil-alkohol (dibagi dalam 3 kelompok), disesuaikan dengan kadar etil-alkoholnya. Alkohol dapat menimbulkan adiksi (ketagihan) dan dependensi (ketergantungan).

Efek penggunaan alkohol tergantung dari jumlah yang dikonsumsi, ukuran fisik pemakai serta kepribadian pemakai. Pada dasarnya alkohol dapat mempengaruhi koordinasi anggota tubuh, akal sehat, tingkat energi, dorongan seksual, dan nafsu makan. Menurut keputusan Presiden RI No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, minuman beralkohol dikelompokkan dalam 3 golongan dilihat dari kandungan alkoholnya yaitu : Golongan A yaitu berbagai jenis minuman keras yang mengandung kadar alkohol antara 1% sampai dengan 5%. Contoh minuman keras ini adalah bir, green sand, dan lain-lain. Golongan B yaitu berbagai jenis minuman keras yang mengandung kadar alkohol antara 5% sampai dengan 20%. Contohnya adalah anggur Malaga, dan lain-lain. Golongan C yaitu minuman keras yang mengandung kadar alkohol antara 20% sampai dengan 50%. Yang termasuk jenis ini adalah brandy, vodka, wine, rhum, champagne, whiski, dan lain-lain (Joewana, 2005). Kebanyakan orang mulai terganggu tugas sehari-harinya bila kadar alkohol dalam darah mencapai 0,5% dan hamper semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadar alkohol dalam darah 0,10%.

3. Psikotropika adalah zat atau bahan aktif bukan narkotika, bekerja pada sistem saraf pusat (otak) dan dapat menyebabkan perasaan khas pada aktifitas mental dan perilaku serta dapat menimbulkan ketagihan atau bahan ketergantungan. Zat yang termasuk golongan ini menurut Karsono (2004) antara lain : psikostimulan (shabu-shabu, ekstasi, amphetamine), inhalansia seperti aerosol, bensin, perekat, solvent, butyl nitrites (pengharum ruangan). Obat penenang dan obat tidur (nipam, mogadon, diazepam, bromazepam, nitrazepam, flunitrazepam, estazolam, pil KB, dan obat antidepresi. 4. Zat adiktif adalah zat atau bahan aktif bukan narkotika atau psikotropika, bekerja pada system saraf pusat dan dapat menimbulkan ketergantungan/ketagihan. Zat yang termasuk dalam golongan ini antara lain : nikotin, LSD (Lysergic acid diethylamide), psilosin, psilosibin, meskalin, dan lain-lain. 2.4.3. Pengguna Napza Suntik (Penasun) Istilah penasun berasal dari pengguna Napza suntik yang umumnya disebut IDU (Injecting Drug User) yang berarti individu yang menggunakan obat terlarang (narkotika) dengan cara disuntikkan menggunakan alat suntik ke dalam aliran darah. Penyuntikan narkoba telah menjadi hal yang umum sejak akhir abad 20, dan melibatkan sekitar 5-10 juta orang di 125 negara. Di seluruh dunia, Napza yang umum dipakai melalui suntikan adalah heroin, amfetamin, dan kokain walaupun

banyak Napza yang lain yang juga disuntikkan, khususnya termasuk obat penenang dan obat farmasi lainnya (Lubis, 2009). 2.4.4. Napza Suntik Secara umum Napza suntik adalah penyalahgunaan narkotika yang cara mengkonsumsinya adalah dengan memasukkan obat-obatan berbahaya ke dalam tubuh melalui alat bantu jarum suntik. Narkotika yang dipakai adalah termasuk dalam jenis narkotika yang masuk pada golongan I yaitu heroin. Pada kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putaw dan ini adalah jenis yang paling banyak dikonsumsi oleh para pengguna Napza suntik (Lubis, 2009). 2.4.5. Cara Penyalahgunaan Narkoba Cara penyalahgunaan narkoba biasanya disesuaikan dengan bentuk dan jenis dari narkoba itu sendiri, sebagaimana diketahui bahwa narkoba terdiri dari berbagai jenis dan bentuk, ada yang berbentuk tablet, serbuk, cair. Putaw dan heroin merupakan jenis narkoba yang berbentuk serbuk berwarna putih. Bahan berbahaya sejenis ini dikonsumsi dengan berbagai cara dan alat, berikut merupakan cara penyalahgunaan dari heroin dan putaw : a. Serbuk heroin atau putaw dicampur dengan air. Setelah tercampur, larutan tersebut disaring menggunakan kapas, lalu air hasil saringannya disedot menggunakan alat suntik, untuk kemudian cairan tersebut disuntikkan ke dalam urat nadi tangan. b. Serbuk putaw atau heroin diletakkan di atas kertas aluminium foil, kemudian bagian bawah dari kertas aluminium foil yang telah ditaburi serbuk putaw tersebut dibakar. Setelah berasap, asap tersebut dihirup

dengan menggunakan bong atau sejenis pipa yang terbuat dari plastik atau kaca yang dirancang khusus untuk menggunakan putaw. Jika tidak tersedia pipa kaca, sebagian konsumen memakai uang kertas yang masih kuat dan keras. Ada juga yang memakai langsung menyedot serbuk tersebut melalui mulut atau hidung (Utami, Sanjaya, dan Nazlatunihayah, 2006). 2.4.6. Efek yang Timbul Akibat Penggunaan Heroin Menurut National Institute Drug Abuse (NIDA), (Japardi, 2002), efek heroin dibagi menjadi efek segera (short term) dan efek jangka panjang (long term), yaitu : Efek Segera 1. Gelisah 2. Depresi pernafasan 3. Fungsi mental berkabut 4. Mual dan muntah 5. Menekan nyeri 6. Abortus spontan Efek Jangka Panjang 1. Adiksi 2. HIV, Hepatitis 3. Kolaps vena 4. Infeksi bakteri 5. Penyakit paru (pneumonia, TBC) 2.4.7. Penyalahguna Narkotika Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (pasal 1 ayat 14), yang dimaksud dengan Penyalahguna Narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter (Joewana, 2005). Seorang penyalahguna narkotika mempunyai masalah-masalah langsung yang berhubungan dengan obat-obatan dan alkohol dalam hidup mereka. Masalah-masalah tersebut dapat muncul secara fisik, mental, emosional, dan/atau bahkan spiritual.

Ada beberapa ciri yang mudah dilihat pada seseorang yang sudah terlibat dalam penyalahgunaan narkoba dan minuman keras menurut Karsono (2004), antara lain : 1. Adanya perubahan tingkah laku yang tiba-tiba terhadap kegiatan sekolah, keluarga, dan teman-teman. Misalnya bertindak kasar, tidak sopan, mudah curiga dan penuh rahasia terhadap orang lain. 2. Suka marah yang tidak terkendali. 3. Pembangkangan terhadap disiplin yang tiba-tiba, baik di rumah maupun di sekolah. 4. Mencuri uang di rumah, sekolah, atau took untuk membeli narkoba atau minuman keras. 5. Mencuri barang berharga yang berada di dalam rumah untuk dijual guna pembelian narkoba dan minuman keras. 6. Selalu menggunakan kacamata gelap pada saat tidak tepat untuk menyembunyikan matanya yang bengkak dan merah. 7. Suka mengasingkan diri atau bersembunyi di kamar mandi atau di tempattempat yang janggal, seperti di gudang dan di bawah tangga dalam waktu lama serta berulang kali. 8. Penurunan tingkat kehadiran di kelas dan prestasi belajar di sekolah secara drastis (sering membolos). 9. Lebih banyak menyendiri, sering bengong, dan berhalusinasi. 10. Sering menipu karena kehabisan uang jajan.

11. Berat badan turun drastis, karena nafsu makan yang tidak menentu. 12. Selalu mengenakan pakaian secara sembarangan dan senang mengenakan kemeja lengan panjang untuk menyembunyikan bekas suntikan di lengan. 13. Sering dikunjungi oleh orang-orang yang belum dikenal keluarga atau teman-temannya. 2.4.8 Dukungan orang tua dan keluarga Keberadaan orang tua merupakan pendidik utama bagi putra-putrinya sekaligus menjadi figur untuk menjadi panutan, teladan, dan yang dihormati. Sebagai orang tua tentunya akan mengharapkan anaknya berlaku dan bertindak dalam kehidupan sehari-harinya, terutama di lingkungan teman-teman hadir sebagai sosok seorang anak yang selalu bertindak dan berpikir positif untuk selalu menghindari perbuatan negatif, termasuk menjauhi penggunaan obat-obat terlarang dan minuman keras (Karsono, 2004). Keluarga mempunyai peranan penting dalam perubahan perilaku seseorang. Keluarga adalah unit social paling kecil dalam masyarakat yang perannya sangat besar, terlebih pada tahap awal-awal perkembangan yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya. Adakalanya orang tua bersikap sebagai patokan, sebagai contoh atau model dasar agar ditiru dan kemudian akan meresap dalam dirinya menjadi bagian dari kebiasaannya bersikap dan bertingkah laku atau bagian dari kepribadiannya. Hubungan antar pribadi dalam keluarga yang meliputi pula hubungan antar saudara menjadi faktor yang penting terhadap perilaku. Agar terjamin hubungan yang baik dalam keluarga, dibutuhkan peran aktif dari orang tua

untuk membina hubungan-hubungan yang serasi dan harmonis antar semua pihak dalam keluarga (Gunarsa, 1991). 2.4.9. Dukungan Teman Sebaya Lingkungan pergaulan untuk anak adalah sesuatu yang harus dimasuki karena di lingkungan pergaulan seseorang bisa terpengaruh cirri kepribadiannya. Karena lingkungan pergaulan yang sewajarnya menjadi perhatian, agar bias menjadi lingkungan yang baik dan bisa meredam dorongan-dorongan negatif atau patologis pada anak dan remaja (Gunarsa, 1991). Dalam rangka melepaskan keterikatan dengan orang tua, remaja membutuhkan teman untuk bersosialisasi. Agar dapat diterima dalam suatu kelompok yang akan dimasukinya, remaja harus mengikuti kebiasaan kelompok tersebut. Bila dalam kelompok tersebut penggunaan narkoba merupakan suatu kebiasaan, ia juga akan ikut menggunakan narkoba untuk mempermudah interaksi sosialnya (vehicle of social interaction) (Joewana, 2005). 2.4.10. Dukungan Lingkungan Faktor lingkungan meliputi lingkungan rumah, sekolah, tempat kerja, tempat bermain, dan sebagainya. Faktor lingkungan rumah yang kondusif terhadap perilaku akibat penggunaan narkoba antara lain komunikasi orang tua dan anak yang kurang efektif, orang tua yang terlalu sibuk, hubungan ayah dan ibu tidak harmonis, atau adanya anggota keluarga lain yang sudah terlebih dahulu menggunakan narkoba. Lingkungan sekolah yang kondusif terhadap perilaku akibat penggunaan narkoba antara lain sekolah yang kurang disiplin, banyak jam pelajaran kosong, tidak ada

fasilitas untuk menyalurkan hobi dan kreativitas siswa (Joewana, 2005). Lingkungan sosial yang tidak menentu akibat perubahan sosial yang cepat juga merupakan faktor yang kondusif terhadap perilaku akibat penggunaan narkoba. Lingkungan sosial dengan berbagai ciri khususnya memegang peran penting dalam munculnya corak dan gambaran kepribadian. Apalagi kalau tidak didukung oleh kemantapan dari kepribadian dasar yang terbentuk dalam keluarga. Dalam kondisi seperti ini, sangat mudah timbulnya sikap yang menjadi ciri dari kehidupan masyarakat, seperti individualis, kompetitif, dan materialistis (Gunarsa, 1991). 2.5. Program Harm Reduction Istilah pengurangan dampak buruk Napza (Harm Reduction) semakin banyak digunakan ketika pola penularan HIV/AIDS bergeser dari faktor penularan melalui perilaku seksual berpindah ke perilaku penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Harm reduction bila diartikan secara kata perkata yaitu, harm = kerugian, kejahatan, kerusakan, kesalahan sedangkan reduction = penurunan, pengurangan. Sehingga Harm Reduction berarti pengurangan/penurunan kerugian/kerusakan. Harm Reduction adalah pendekatan kesehatan secara umum untuk mengatasi akibat buruk penggunaan Napza suntik. Tingginya angka penularan HIV dan penyakit lain yang ditularkan melalui darah pada kalangan penasun meningkatkan pentingnya kebutuhan untuk melakukan upaya khusus dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Harm Reduction mempunyai beberapa kegiatan yaitu : 1. Program penjangkauan dan pendampingan

2. Program komunikasi, informasi, dan edukasi 3. Program penilaian pengurangan resiko 4. Program konseling dan tes HIV secara sukarela 5. Program penyucihamaan 6. Program penggunaan jarum suntik steril 7. Program pemusnahan peralatan suntik bekas pakai 8. Program layanan terapi ketergantungan Napza 9. Program terapi substitusi 10. Program perawatan dan pengobatan HIV 11. Program pendidikan sebaya 12. Program layanan kesehatan dasar (Lubis, 2009). 2.6. Program Terapi Rumatan Metadon 2.6.1. Terapi Metadon Terapi substitusi yang menggantikan narkotika jenis heroin yang menggunakan jarum suntik, menjadi metadon yang berbentuk cair yang pemakaiannya dilakukan dengan cara diminum (BNN, 2006). 2.6.2. Tujuan Terapi Metadon Menurut buku saku metadon, penggunaan metadon bertujuan untuk mengurangi penggunaan narkoba yang disuntikkan, sehingga jumlah penyebaran HIV/AIDS dapat berkurang, selain itu metadon juga dapat meningkatkan fungsi psikologis dan sosial, mengurangi risiko kematian dini, mengurangi tindak kriminal

karena tingkat kecanduan yang dapat menyebabkan seorang pengguna menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan narkoba misalnya dengan mencuri atau merampok dapat ditekan, selain itu metadon juga bertujuan untuk mengurangi dampak buruk akibat penyalahgunaan narkoba itu sendiri (Preston, 2006). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 567 Tahun 2006 mengenai Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA) menyatakan bahwa tujuan dari Terapi Rumatan Metadon adalah : 1. Menghentikan penggunaan Napza 2. Meningkatkan kesehatan pengguna Napza dengan menyediakan dan memberikan terapi ketergantungan Napza serta perawatan kesehatan umum. 3. Memberi ruang untuk menangani berbagai masalah lain di dalam hidupnya dan menciptakan jeda waktu dari siklus harian membeli dan menggunakan Napza. 4. Meningkatkan kualitas hidup pengguna Napza suntik baik secara psikologis, medis, maupun sosial. 5. Menurunkan angka kematian karena overdose dan menurunkan angka kriminalitas. 2.6.3. Manfaat Terapi Metadon Harm Reduction terdiri dari beberapa kegiatan yang salah satunya adalah program terapi substitusi. Salah satu program terapi substitusi ini adalah program terapi metadon. Berdasarkan hasil uji coba Program Terapi Rumatan Metadon di RS

Sanglah dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO), diperoleh hasil yang positif yaitu perbaikan kualitas hidup dari segi fisik, psikologi, hubungan sosial dan lingkungan, penurunan angka kriminalitas, penurunan depresi dan perbaikan kembali ke aktivitas sebagai anggota masyarakat (Depkes, 2007). Berbagai macam manfaat dari metadon diantaranya metadon dapat mengembalikan kehidupan pengguna sehingga mendekati kehidupan normal, pasien yang menggunakan metadon dapat selalu terjangkau oleh petugas karena pemakaian metadon yang digunakan secara oral atau diminum langsung di depan petugas, pasien berhenti/mengurangi menggunakan heroin, pasien berhenti/mengurangi menggunakan jarum suntik sehingga penyebaran HIV/AIDS, Hepatitis (B,C,D) dan Malaria dapat berkurang, kesehatan fisik, dan status gizi meningkat karena pola hidup yang teratur, metadon dapat membuat hubungan antara pasien dan keluarga menjadi lebih baik dan stabil, masa kerja dari metadon lebih panjang dibandingkan dengan heroin atau putaw, harga dari metadon tidak mahal atau murah dibandingkan dengan heroin dan putaw, metadon bersifat legal sehingga pasien tidak merasa takut tertangkap oleh polisi, dan metadon juga dapat diikuti dan disertai konseling, perawatan medis, dan pertolongan lain (Preston, 2006). 2.6.4. Farmakologi dan Farmakokinetik Metadon Metadon mempunyai khasiat sebagai suatu analgetik dan euforian karena bekerja pada reseptor opioid mu (µ), mirip dengan agonis opioid mu (µ) yang lain misalnya morfin. Metadon adalah suatu agonis opioid sintetik yang kuat dan secara oral diserap dengan baik. Metadon juga dapat dikonsumsi melalui parenteral dan

rektal, meski cara yang terakhir tidak lazim. Efek metadon secara kualitatif mirip dengan efek morfin dan opioid lainnya. Efek metadon tersebut antara lain sebagai analgetik, sedatif, depresi pernapasan, dan euforia. Efek lainnya adalah menurunkan tekanan darah, konstriksi pupil, dan efek pada saluran cerna yaitu memperlambat pengosongan lambung karena mengurangi motilitas, meningkatkan tonus sfingter pilorik, dan meningkatkan tonus sfingter oddi yang berakibat spasme saluran empedu. Efek samping metadon antara lain gangguan tidur, mual muntah, konstipasi, mulut kering, berkeringat, vasodilatasi dan gatal-gatal, menstruasi tidak teratur, ginekomastia dan disfungsi seksual pada pria, serta retensi cairan dan penambahan berat badan. Efek samping tidak akan terlalu banyak dialami oleh orang yang telah menggunakan heroin. Bioavailibilitas metadon oral tidak memperlihatkan perubahan yang berarti pada orang yang distabilisasi dengan metadon, atau yang sudah menggunakannya secara kronis. Metadon dipecah dihati melalui sistem enzim sitokrom P450. Sekitar 10 % metadon yang dikonsumsi secara oral akan diekskresi utuh. Sisanya akan dimetabolisme dan metabolit inaktifnya dibuang melalui urin dan tinja. Metadon juga dibuang melalui keringat dan liur. Onset efek metadon terjadi sekitar 30 menit setelah obat diminum. Konsentrasi puncak dicapai setelah 3-4 jam setelah metadon diminum. Rerata waktu paruh metadon adalah 24 jam. Metadon mencapai kadar tetap dalam tubuh setelah penggunaan 3-10 hari. Setelah stabilisasi dicapai, variasi konsentrasi metadon dalam darah tidak terlalu besar dan supresi gejala putus obat lebih mudah dicapai.

Metadon banyak diikat oleh protein plasma dalam jaringan seluruh tubuh. Metadon dapat diketemukan dalam darah, otak, dan jaringan lain seperti ginjal, limpa, hati, serta paru. Konsentrasi metadon dalam jaringan tersebut lebih tinggi daripada dalam darah. Ikatan tersebut menyebabkan terjadinya akumulasi metadon dalam badan cukup lama bila seseorang berhenti menggunakan metadon. 2.6.5. Komponen Dalam Program Terapi Rumatan Beberapa komponen dalam program terapi metadon adalah sebagai berikut : 1. Pemberian metadon 2. Konseling, meliputi : konseling adiksi, metadon, keluarga, kepatuhan minum obat, kelompok, dan VCT. Akses ke pelayanan konseling harus di rumah sakit penyelenggara metadon. Pasien dapat mengikuti konseling tersebut jika dianggap perlu oleh tim. Konseling dapat dirancang untuk mencakup : a. Isu hukum. b. Keterampilan hidup. c. Mengatasi stress. d. Mengidentifikasi dan mengobati gangguan mental lain yang terdapat bersama. e. Isu tentang penyalahgunaan fisik, seksual, emosional. f. Menjadi orang tua dan konseling keluarga. g. Pendidikan tentang pengurangan dampak buruk.

h. Berhenti menyalahgunakan narkoba atau psikotropika dan pencegahan kambuh. i. Perubahan perilaku berisiko dan pemeriksaan HIV/AIDS. j. Isu tentang perjalanan lanjut penggunaan metadon dan aspek yang terkait dengannya. k. Pemberi layanan konseling harus seorang konselor profesional yang terlatih. 3. Pertemuan keluarga (PKMRS = Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit). 4. Program pencegahan kekambuhan (relapse prevention program) (KepMenKes, 2006). 2.6.6. Efek Metadon Efek metadon terhadap setiap orang berbeda-beda, namun ada afek lain yaitu : 1. Efek terhadap obat yang akan menyebabkan perubahan mood yang tidak begitu kuat, tetapi masa kerjanya lebih panjang dibandingkan heroin, dapat mengontrol emosi, metadon juga dapat menyebabkan mengantuk/tidur, dapat juga menyebabkan mual/muntah, pernafasan terlalu kerap dan dalam, reflex batuk berkurang dan metadon dapat mengurangi segala bentuk sakit fisik. 2. Efek metadon terhadap sistem otonom dapat menyebabkan pupil mata mengecil, konstipasi (buang air besar jarang), mata, hidung, dan mulut kering dan dapat membuat kesulitan dalam mengeluarkan kencing.

3. Metadon juga menyebabkan pelepasan histamine (suatu zat kimia) yang biasanya dikeluarkan pada saat terjadinya alergi, yang akan menimbulkan produksi keringat meningkat, kulit merah-merah, tubuh terasa gatal, dan penyempitan jalan udara pernafasan. 4. Efek lain dari metadon juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi atau tidak adanya menstruasi, penurunan rangsangan seksual, penurunan tenaga (lesu), rasa berat pada tangan dan kaki dan keinginan untuk memakan makanan yang manis-manis (Preston, 2006). 2.6.7. Kelemahan Metadon Kelemahan dari metadon karena sifatnya yang sama dengan heroin, maka penyalahgunaan dapat terjadi. Metadon harus diminum di depan petugas setiap harinya, oleh karena pasien dapat kemungkinan lari dari terapi. Tidak bisa begitu saja bepergian atau berlibur (Preston, 2006). 2.6.8. Pelayanan Metadon Pelayanan metadon memiliki prosedur yang harus diikuti oleh seluruh pengguna metadon. Prosedur itu antara lain : Pendaftaran pasien, dimana petugas administrasi menerima pembayaran retribusi kemudian memberikan karcis retribusi dan mencatat di buku penerimaan retribusi, setelah itu petugas mencatat data pasien di status pasien lalu mencatat kembali ke buku register dan membuat kartu status pasien.

Pencatatan identitas, dimana pekerja sosial/perawat melakukan pencatatan lengkap identitas pasien pada status pasien. Penilaian klinis yang dilakukan oleh dokter dengan membuat rencana terapi dan menerangkan keadaan pasien kemudian memberikan resep metadon dan obat lain bila diperlukan, dokter mencatat setiap rencana pemberian metadon dan terapi lainnya ke status pasien dan dokter berhak memberikan Take Home Dose dengan persyaratan yang berlaku. Adapun penilaian yang dilakukan oleh perawat dengan memberikan KIE kepada pasien baru dan membuat tagihan pembayaran metadon, dan yang dilakukan oleh pasien adalah menyerahkan fotokopi KTP dan pas foto 3 4 sebanyak 1 lembar. Pembayaran metadon yang dilakukan oleh petugas kasir adalah menerima pembayaran metadon dari pasien dan memberikan bukti pembayaran kepada pasien Pemberian metadon yang dilakukan oleh petugas farmasi dengan menerima bukti pembayaran metadon kemudian petugas menyiapkan, memberikan, dan menyaksikan pasien minum metadon, kemudian petugas mencatat pemberian metadon dan menandatangani bukti pemberian metadon. Dan yang dilakukan oleh perawat adalah menanyakan keluhan pasien sebelum minum metadon, menyaksikan, dan memastikan pasien minum metadon, kemudian mencatat pemberian metadon dan mengingatkan pasien untuk datang kembali sesuai jadwal. Pada pemberian metadon yang dilakukan

oleh pasien adalah minum metadon di depan petugas dan menandatangani bukti pemberian metadon (Dinkes, 2006). 2.6.9. Pemberian dosis awal metadon Dosis awal yang dianjurkan adalah 15-30 mg untuk tiga hari pertama. Kematian sering terjadi bila menggunakan dosis awal yang melebihi 40 mg. Pasien harus diobservasi 45 menit setelah pemberian dosis awal untuk memantau tandatanda toksisitas atau gejala putus obat. Jika terdapat intoksikasi atau gejala putus obat berat maka dosis akan dimodifikasi sesuai dengan keadaan. Estimasi yang terlalu tinggi tentang toleransi pasien terhadap opiat dapat membawa pasien kepada risiko toksik akibat dosis tunggal. Dan juga pasti meningkatkan risiko yang lebih sering terjadi yaitu keadaan toksik akibat akumulasi metadon sebab metadon dieliminasi lambat sebab waktu paruhnya panjang. Estimasi toleransi pasien terhadap metadon yang terlalu rendah menyebabkan risiko pasien untuk menggunakan opiat yang ilegal bertambah besar akibat kadar metadon dalam darah kurang, dan akan memperpanjang gejala putus zat maupun periode stabilisasi. Metadon harus diberikan dalam bentuk cair dan diencerkan sampai menjadi 100cc. Pasien harus hadir setiap hari di klinik. Metadon akan diberikan oleh asisten apoteker atau perawat yang diberi wewenang oleh dokter.pasien harus segera menelan metadon tersebut di hadapan petugas PTRM. Petugas PTRM akan memberikan segelas air minum. Setelah diminum, petugas akan meminta pasien menyebutkan namanya atau mengatakan sesuatu yang lain untuk memastikan bahwa

metadon telah ditelan. Pasien harus menandatangani buku yang tersedia, sebagai bukti bahwa ia telah menerima dosis metadon hari itu (KepMenKes, 2006). 2.6.10. Fase Stabilisasi Terapi Substitusi Metadon Fase stabilisasi bertujuan untuk menaikkan perlahan-lahan dosis dari dosis awal sehingga memasuki fase rumatan. Pada fase ini risiko intoksikasi dan overdosis cukup tinggi pada 10-14 hari pertama. Dosis yang direkomendasikan digunakan dalam fase stabilisasi adalah dosis awal dinaikkan 5-10 mg tiap 3-5 hari. Hal ini bertujuan untuk melihat efek dari dosis yang sedang diberikan. Total kenaikan dosis tiap minggu tidak boleh lebih 30 mg. Apabila pasien masih menggunakan heroin maka dosis metadon perlu ditingkatkan. Kadar metadon dalam darah akan terus meningkat selama 5 hari setelah dosis awal atau penambahan dosis. Waktu paruh metadon cukup panjang yaitu 24 jam, sehingga bila dilakukan penambahan dosis setiap hari akan berbahaya akibat akumulasi dosis. Karena itu, penambahan dosis dilakukan setiap 3-5 hari. Sangat penting untuk diingat bahwa tak ada hubungan yang jelas antara besarnya jumlah dosis opiat yang dikonsumsi seorang penasun dengan dosis metadon yang dibutuhkannya pada PTRM. Selama minggu pertama fase stabilisasi pasien harus datang setiap hari di klinik atau dirawat di rumah sakit untuk diamati secara cermat oleh profesional medis terhadap efek metadon (untuk memperkecil kemungkinan terjadinya overdosis dan penilaian selanjutnya). Pasien yang mengikuti program terapi metadon yang secara konsisten menggunakan benzodiazepin, kokain, atau amfetamin mempunyai risiko yang

signifikan terhadap komplikasi dan mempunyai prognosis yang lebih buruk. Sebagai tambahan, dapat disebutkan bahwa kombinasi alkohol, sedativa dan opiat berjangka kerja pendek (misalnya oksikodon dan hidromorfon) secara nyata meningkatkan risiko kematian akibat overdosis (KepMenKes, 2006). 2.6.11. Fase Rumatan Terapi Substitusi Metadon Dosis rumatan rata-rata adalah 60-120 mg per hari. Dosis rumatan harus dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur tergantung dari keadaan pasien. Selain itu banyak pengaruh sosial lainnya yang menjadi pertimbangan penyesuaian dosis. Fase ini dapat berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku stabil, baik dalam bidang pekerjaan, emosi dan kehidupan sosial (KepMenKes, 2006). 2.6.12. Pemeriksaan Urin Tes urin terhadap penggunaan obat (Urine Drug Screen) merupakan pemeriksaan objektif untuk mendeteksi adanya metabolit opiat dalam urin. Dalam hal terapi metadon, UDS dapat berguna pada keadaan berikut : 1. Untuk tujuan diagnostik, yaitu untuk memastikan apakah pasien pernah atau tidak menggunakan opiat atau zat adiktif lain sebelumnya. 2. Jika pasien mendesak untuk membawa take home doses, maka tes urin dapat dilakukan sebagai bahan pertimbangan untuk membantu pengambilan keputusan. 3. Hasil tes urin yang positif terhadap heroin menjadi pertimbangan untuk meningkatkan dosis metadon. Apabila pasien masih menggunakan heroin maka dosis metadon perlu ditingkatkan (KepMenKes, 2006).

2.6.13. Fase Penghentian Metadon Metadon dapat dihentikan secara bertahap perlahan. Penghentian metadon dapat dilakukan pada keadaan berikut : 1. Pasien sudah dalam keadaan stabil. 2. Minimal 6 bulan pasien dalam keadaan bebas heroin. 3. Pasien dalam kondisi yang stabil untuk bekerja dan dalam lingkungan rumah (stable working and housing). 2.6.14. Kambuh (slip atau relapse) Menurut Somar (2001), kambuh atau relapse akan narkoba adalah suatu tantangan yang tak terpisahkan dari proses panjang menuju kesembuhan penuh. Seseorang dalam pemulihan dinyatakan dalam keadaan relapse ketika dia mulai minum atau memakai lagi. Perilakunya bisa menjadi tidak terkontrol atau mungkin ada suatu usaha untuk mengontrolnya. Slip, di sisi lain, istilah yang kita gunakan di sini adalah menggunakan minuman pertama (drugs) atau kedua dan meminta pertolongan sebelum ke tahap yang lebih jauh. Tergelincir dan kambuh dalam sejarah penanggulangan narkoba bukanlah cerita baru. Rasa rindu dan ketagihan atau kecanduan (sugesti) meninggalkan trauma psikologis yang cukup mendalam. Penyakit narkoba memiliki sifat yang khusus karena selalu meninggalkan trauma yang sangat mendalam yaitu rasa ketagihan mental maupun fisik (Somar, 2001).

2.7. Kerangka Konsep Faktor Internal Penasun Umur Jenis kelamin Pendidikan Pekerjaan Penghasilan Lama memakai Napza Pengetahuan terhadap : Napza dan dampaknya Terapi metadon Tujuan dan efek samping metadon Tindakan Di dalam mengikuti program terapi rumatan metadon Faktor Eksternal Penasun Peran keluarga Peran petugas kesehatan Peran LSM pendamping Peran teman sebaya Sumber informasi Sikap terhadap : Dampak penyalahgunaan Napza Terapi metadon Kerentanan yang dirasakan Keseriusan yang dirasakan Manfaat yang dirasakan Penelitian ini bermaksud untuk menggambarkan perilaku penasun dalam mengikuti terapi metadon. Dari skema di atas dapat dilihat bahwa faktor internal (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, lama memakai Napza) dan faktor eksternal (peran keluarga, peran petugas kesehatan, peran LSM pendamping, peran teman sebaya, sumber informasi) akan mempengaruhi pengetahuan dan sikap terhadap terapi metadon dan tujuannya. Sedangkan pengetahuan dan sikap terhadap terapi metadon dan tujuannya saling mempengaruhi untuk menentukan tindakan di dalam mengikuti program terapi rumatan metadon.