Dorothea Rosa Herliany Para Pemimpin dari Negeri Bukan Dongeng bayi itu tumbuh menjadi dewasa, dan kini menjadi raksasa. hari ke hari ia tumbuh besar, lalu menggelembung dalam dusta yang indah. ia tumbuh dan kuat. lalu seperti elang raksasa, menancapkan cakartajamnya. maka lihatlah! betapa kokoh kepalsuan. Jakarta, 1998
Abdul Hadi WM Tuhan, Kita Begitu Dekat Tuhan Kita begitu dekat Sebagai api dengan panas Aku panas dalam apimu Tuhan Kita begitu dekat Seperti kain dengan kapas Aku kapas dalam kainmu Tuhan Kita begitu dekat Seperti angin dan arahnya Kita begitu dekat Dalam gelap kini aku nyala pada lampu padammu 1976
Chairil Anwar Aku Berkaca Ini muka penuh luka Siapa punya? Kudengar seru menderu dalam hatiku Apa hanya angin lalu? Lagu lain pula Menggelepar tengah malam buta Ah...!! Segala menebal, segala mengental Segala tak kukenal...!! Selamat tinggal...!
WS. Rendra Lagu Ibu angin kencang datang tak terduga. Angin kencang mengandung pedas merica. Bagai kawanan lembu langit tanpa perempuan. Kawanan arus sedih dalam pusaran. Ditumbukinya padas dan batu-batuan. Tahu kefanaan, ia pergi tanpa ketinggalan. Angin kencang adalah birahi, sepi dan malapetaka. Betapa kencang serupa putraku yang jauh tak terduga.
WS Rendra Sajak Joki Tobing Untuk Widuri Dengan latar belakang gubug-gubug karton, aku terkenang akan wajahmu. Di atas debu kemiskinan, aku berdiri menghadapmu. Usaplah wajahku, Widuri. Mimpi remajaku gugur di atas padang pengangguran. Ciliwung keruh, wajahwajah nelayan keruh, lalu muncullah rambutmu yang berkebaran Kemiskinan dan kelaparan, membangkitkan keangkuhanku. Wajah indah dan rambutmu menjadi pelangi di cakrawalaku. Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1997
WS Rendra Sajak Widuri Untuk Joki Tobing Debu mengepul mengolah wajah tukang-tukang parkir. Kemarahan mengendon di dalam kalbu purba. Orang-orang miskin menentang kemelaratan. Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu, kerna wajahmu muncul dalam mimpiku. Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu, karena terlibat aku di dalam napasmu. Dari bis kota ke bis kota kamu memburuku. Kita duduk bersandingan, menyaksikan hidup yang kumal. Dan perlahan tersirap darah kita, melihat sekuntum bunga telah mekar, dari puingan masa yang putus asa. Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1997
WS. Rendra Burung Terbakar Ada burung terbang dengan sayap terbakar dan terbang dengan dendam dan sakit hati. Gulita pada mata serta nafsu pada cakar. Mengalir arus pedih yang cuma berakhir di mati. Wahai, sayap terbakar dan gulita pada mata. Orang buangan tak bisa lunak oleh kata. Dengan sayap terbakar dan sakit hati tak terduga si burung yang malang terbang di sini: di dada!
WS Rendra Kangen Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku menghadapi kemerdekaan tanpa cinta kau tak akan mengerti segala lukaku kerna luka telah sembunyikan pisaunya. Membayangkan wajahmu adalah siksa. Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan. Engkau telah menjadi racun bagi darahku. Apabila aku dalam kangen dan sepi itulah berarti aku tungku tanpa api.
Sutardji Calzoum Bachri Tapi aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih aku bawakan resahku padamu tapi kau bilang hanya aku bawakan darahku padamu tapi kau bilang Cuma aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski aku bawakan dukaku padamu tapi kau bilang tapi aku bawakan mayatku padamu tapi kau bilang hampir aku bawakan arwahku padamu tapi kau bilang kalau tanpa apa aku datang padamu wau!
Sapardi Djoko Damono Atas Kemerdekaan kita berkata : jadilah dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut di atasnya : langit dan badai tak henti-henti di tepinya cakrawala terjerat juga akhirnya kita, kemudian adalah sibuk mengusut rahasia angka-angka sebelum Hari yang ketujuh tiba sebelum kita ciptakan pula Firdaus dari segenap mimpi kita sementara seekor ular melilit pohon itu : inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah