BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

dokumen-dokumen yang mirip
A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laswadi, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Taufik Rahman, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Elita Lismiana, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah , 2014

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riva Lesta Ariany, 2014

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir siswa adalah pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. Pergeseran pandangan terhadap matematika akhir-akhir ini sudah hampir

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Deden Rahmat Hidayat,2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum digunakan sebagai acuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maya Siti Rohmah, 2013

KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATISDAN DISPOSISI MATEMATISDALAM PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATANANG S FRAMEWORK FOR MATHEMATICAL MODELLING INSTRUCTION

I. PENDAHULUAN. karena melalui pendidikan diharapkan akan lahir sumber daya manusia yang berkualitas

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS SISWA SD KELAS III MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK BERBASIS PERMAINAN TRAD ISIONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wita Aprialita, 2013

Jurnal Pendidikan Matematika & Matematika MENINGKATKAN KEMAMPUAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN METAPHORICAL THINKING

Oleh Nila Kesumawati Jurusan Pendidikan Matematika, FKIP Universitas PGRI Palembang

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Aktivitas matematika seperti problem solving dan looking for

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi salah satu fokus dalam penyelenggaraan negara. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. membantu proses pembangunan di semua aspek kehidupan bangsa salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pendekatan Brain Based Learning Terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Winda Purnamasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

2016 PENERAPAN PENDEKATAN CREATIVE PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan tepat. Hal tersebut diperjelas dalam Undang - Undang No 2 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan manusiamanusia

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa dibidang Matematika,

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya menyelenggarakan pendidikan saja, tapi juga turut serta memberikan

2015 PENERAPAN PEMBELAJARAN INKUIRI MODEL ALBERTA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN, KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk memberikan pengetahuan, wawasan,

BAB I PENDAHULUAN. menumbuhkan ilmu pengetahuan lainnya. Menurut Hadi, (2005:3) bahwa

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan secara nasional adalah hasil nilai Ujian Nasional (UN). Permendikbud

I. PENDAHULUAN. bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan suatu bangsa. Pendidikan juga

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan, sebab tanpa pendidikan manusia akan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal penting dalam kehidupan karena dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

2014 PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE KUIS TIM UNTUK ENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS DAN SELF-CONFIDENCE SISWA SMP

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

BAB I PENDAHULUAN. Hani Handayani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menggunakan prinsip-prinsip matematika. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Risma Nurul Auliya, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diana Utami, 2014

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Kehidupan yang semakin meng-global ini memberikan tantangan yang

BAB I PENDAHULUAN. menumbuhkembangkan kemampuan dan pribadi siswa yang sejalan dengan tuntutan

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna

PENERAPAN PEMBELAJARAN OSBORN BERBANTUAN WINGEOM UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KREATIF DAN BERPIKIR KRITIS MATERI KUBUS DAN BALOK SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

Penerapan Pendekatan Konstektual untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah serta Disposisi Matematis Siswa SMA

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia,karena pendidikan. Dalam pendidikan, terdapat kegiatan yang dapat membantu

I. PENDAHULUAN. untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya seoptimal mungkin. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. teknologi modern sehingga mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin

BAB I PENDAHULUAN. rendahnya kualitas atau mutu pendidikan matematika. Laporan Badan Standar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Roheni, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Salah satu upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini mengalami kemajuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia menjadi perhatian saat memasuki abad ke-21.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu membekali diri dengan pendidikan. Terdapat pengertian pendidikan menurut

BAB I PENDAHULUAN. Matematika sebagai ilmu yang timbul dari pikiran-pikiran manusia yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengambilan keputusan terhadap masalah yang dihadapi oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak terlepas dari aspek-aspek yang mempengaruhinya. Keputusan dan pertimbangan tersebut tentu tidak datang dengan sendirinya, melainkan hadir melalui proses membangun dan membandingkan gagasan-gagasan dari beragam situasi yang dihadapi. Terdapat salah satu kemampuan yang harus dimiliki seseorang dalam proses membangun dan membandingkan gagasan-gagasan yang diperolehnya, yaitu kemampuan penalaran. Seperti yang diungkapkan oleh Wahyudin (2008: 520), penalaran menawarkan cara-cara yang tangguh untuk membangun dan mengekspresikan gagasan-gagasan tentang beragam fenomena yang luas. Seorang penalar yang baik haruslah diperkenalkan dengan situasi-situasi permasalahan yang berhubungan dengan penalaran sedini mungkin termasuk dalam pelajaran matematika di sekolah. Hal ini dikarenakan penalaran dapat membantu siswa melihat matematika sebagai sesuatu yang logis dan masuk akal, sehingga dapat membantu mengembangkan keyakinan siswa bahwa matematika merupakan sesuatu yang mereka dapat pahami, pikirkan, jastifikasi, dan evaluasi (Baroody, 1993: 59), sehingga melalui penalaran, siswa dapat lebih memaknai apa yang telah mereka pahami, serta dengan memahami suatu konsep matematika dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan penalaran. Hal tersebut mengakibatkan penalaran menjadi salah satu kompetensi yang harus dimiliki dan dikembangkan siswa sebagai tujuan dari pembelajaran matematika. Seperti yang tertuang dalam kurikulum KTSP (BSNP, 2006: 140) mengenai salah satu dari tujuan pembelajaran matematika, yakni menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam 1

2 membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Sejalan dengan tujuan pembelajaran matematika yang tertuang di dalam KTSP sebelumnya, Mullis, et al. (2009: 20) dalam Assessment Frameworks mengungkapkan terdapat tiga ranah kognitif matematika, yakni knowing (pengetahuan), applying (penerapan), dan reasoning (penalaran). Ranah-ranah kognitif tersebut merupakan kemampuan yang dijadikan dasar dalam pengembangan soal-soal untuk studi The Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2011. Hal ini dikarenakan penalaran merupakan tahap berpikir matematika yang mencakup kapasitas untuk berpikir secara logis dan sistematis, termasuk di dalamnya penalaran intuitif dan induktif yang didasarkan terhadap pola dan sifat keteraturan yang dapat digunakan dalam menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin, serta soal-soal yang memuat kemampuan penalaran memungkinkan menuntut seseorang menggunakan pengetahuan dan pemahamannya dalam wilayah matematika yang berbeda (Mullis, et al., 2009: 45). Pernyataan Mullis, et al mengimplikasikan bahwa dalam pembelajaran matematika diharapkan (1) siswa dalam menyelesaikan masalah tidak hanya mengingat prosedur penyelesaian, (2) siswa mengeksplorasi pola, tidak hanya sekedar mengingat rumus, (3) dan siswa memformulasikan dugaan, tidak hanya mengerjakan latihan rutin (Schoenfeld; Reys, Suydam, Lindquist & Smith, dalam Dahlan 2011: 4.9). Selain kemampuan penalaran matematis juga terdapat kemampuan afektif yang harus dimiliki dan dikembangkan oleh setiap siswa, seperti yang tercantum dalam tujuan pembelajaran matematika di sekolah, yaitu memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan (BSNP, 2006: 140). Hal ini dikarenakan, pembelajaran matematika tidak hanya berkaitan tentang pembelajaran konsep, prosedural, dan aplikasinya, tetapi juga terkait dengan pengembangan minat dan ketertarikan terhadap matematika sebagai cara yang powerful dalam menyelesaikan masalah

3 (Dahlan, 2011: 8.47). Pengembangan minat dan ketertarikan terhadap matematika tersebut akan membentuk kecenderungan yang kuat yang dinamakan disposisi matematis (mathematical disposition). Disposisi matematis berkenaan dengan bagaimana seseorang berpikir dan berbuat secara matematik dengan cara yang positif. NCTM dalam Standard 10 (NCTM, 1989: 233) mengemukakan bahwa disposisi matematis menunjukkan: 1. Rasa percaya diri dalam menggunakan matematika, memecahkan masalah, mengkomunikasikan gagasan, dan memberikan alasan. 2. Fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha mencari metode alternatif dalam memecahkan masalah. 3. Tekun mengerjakan tugas matematik. 4. Minat, rasa ingin tahu, dan daya temu dalam melakukan tugas matematik. 5. Cenderung memonitor dan merefleksikan kinerja dan penalaran mereka sendiri. 6. Menilai aplikasi matematika ke situasi lain dalam bidang lainnya dan pengalaman sehari-hari, 7. Penghargaan peran matematika dalam kultur dan nilai matematika, sebagai alat dan bahasa. Sejalan dengan NCTM, Sumarmo (2012: 2) mendefinisikan disposisi matematis sebagai suatu keinginan, kesadaran, dedikasi dan kecenderungan yang kuat pada diri siswa untuk berpikir dan berbuat secara matematik dengan cara yang positif dan didasari dengan iman, taqwa, dan ahlak mulia. Selanjutnya Sumarmo juga menambahkan (2012: 2) seseorang yang memiliki disposisi matematis yang tinggi akan membentuk individu yang tangguh, ulet, bertanggung jawab, memiliki motif berprestasi yang tinggi, serta membantu individu mencapai hasil terbaiknya. Hal ini dikarenakan terdapat hubungan yang positif antara sikap terhadap matematika dengan prestasi matematika (Mullis, Martin, Foy, Arora, 2012: 326). Oleh sebab itu, dapat

4 disimpulkan bahwa kemampuan kognitif dan afektif dalam hal ini penalaran serta disposisi matematis merupakan kemampuan yang harus dimiliki dan dikembangkan oleh setiap siswa. Akan tetapi, pentingnya penalaran yang telah dijelaskan sebelumnya tidak sejalan dengan kemampuan penalaran matematis yang telah dicapai siswa saat ini. Hal ini terlihat dari hasil penelitian-penelitian terdahulu. Pada penelitian yang dilakukan Putri (2011) diperoleh hasil rata-rata skor postes kemampuan penalaran matematis siswa SMP melalui pembelajaran matematika realistik sebesar 48,17 % dari skor ideal, begitu juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2011) diperoleh hasil rata-rata postes kemampuan penalaran matematis siswa SMP melalui pembelajaran model Pace berbantuan Geogebra diperoleh sebesar 59,44%. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Wachyar (2012) melalui penelitiannya dengan menggunakan pendekatan kontekstual, diperoleh rata-rata hasil postes kemampuan penalaran sebesar 56,3% dari skor ideal. Selain hasil penelitian-penelitian terdahulu, kemampuan penalaran siswa Indonesia dapat diketahui dari hasil survei kemampuan yang dilakukan oleh TIMSS pada tahun 2011 dan Programme for International Student Asessment (PISA) pada tahun 2009. TIMSS dan PISA merupakan dua lembaga dunia yang menyelenggarakan tes yang salah satunya ditujukan untuk pelajar setingkat SMP yang telah dipilih secara acak dari tiap negara. Tes yang diberikan oleh TIMSS menitikberatkan pada kemampuan knowing sebanyak 35%, applying sebanyak 40%, dan reasoning sebanyak 25%, sedangkan untuk tes PISA menitikberatkan kepada kemampuan pemecahan masalah, penalaran, dan komunikasi. Penyelenggaraan TIMSS dilakukan setiap empat tahun sekali dan penyelenggaraan PISA dilakukan setiap tiga tahun sekali. Berdasarkan hasil TIMSS pada tahun 2011, kemampuan penalaran matematis siswa kelas VIII di Indonesia masih di bawah rata-rata, hanya 17% yang menjawab secara benar sedangkan rata-rata internasional sebanyak 30%.

5 Selanjutnya secara keseluruhan hasil survei TIMSS tahun 2011 dan PISA pada tahun 2009, Indonesia juga berada di bawah rata-rata dengan perolehan nilai 386 untuk TIMSS dari nilai scale centerpoint 500, dan memperoleh nilai 371 untuk PISA dari nilai rata-rata 496. Berikut ini merupakan salah satu soal penalaran yang diujikan TIMSS pada tahun 2011 kepada siswa setingkat kelas VIII di seluruh negara yang berpartisipasi. Ryan is packing books into a rectangular box. All the book are the same size. 36 cm 30 cm 20 cm 15 cm 6 cm 20 cm What is the largest number of books that will fit inside the box? Answer: Sebagai perbandingan kinerja (performance) siswa setingkat kelas VIII antara siswa Indonesia dengan Malaysia pada TIMSS 2011 akan diperlihat pada tabel di bawah ini (Mullis, et al., 2012: 114). Tabel 1.1 Persentase Pencapaian Hasil Belajar Siswa pada Standar Internasional TIMSS 2011 Negara Level kemampuan Advanced Benchmark (625) High Benchmark (550) Intermediate Benchmark (475) Low Benchmark (400) Indonesia 0% 2% 15% 43% Malaysia 2% 12% 36% 65% International Median 3% 17% 46% 75% Berdasarkan data tabel 1.1 terlihat bahwa kinerja siswa Indonesia masih di bawah kinerja siswa Malaysia dan International median, hanya sekitar 43% siswa Indonesia yang memenuhi low benchmark pada TIMSS 2011.

6 Selain aspek kognitif yang diukur juga oleh TIMSS pada tahun 2011, yakni sikap terhadap matematika. Hasil mengenai sikap siswa Indonesia setingkat kelas VIII terhadap matematika yang dibandingkan dengan Malaysia seperti yang terlihat pada tabel 1.2 berikut (Mullis, et al., 2012: 332): Tabel 1.2 Persentase Sikap Siswa Terhadap Matematika pada TIMSS 2011 Pernyataan sikap Like Learning Somewhat Like Mathematics Learning Do not Like Learning Mathematics Negara Mathematics Indonesia 20% 70% 10% Malaysia 39% 46% 15% International Average 26% 42% 31% Berdasarkan laporan TIMSS 2011 mengenai sikap terhadap matematika terlihat bahwa siswa Indonesia yang menyukai belajar matematika masih di bawah rata-rata internasional, sedangkan siswa Indonesia yang tidak menyukai matematika menunjukkan hasil yang lebih baik, hanya sekitar 10%. Akan tetapi, sikap menyenangi matematika tidak dapat dipandang sebagai keseluruhan dari disposisi matematis. Hal ini dikarenakan disposisi matematis dipandang lebih dari sekedar bagaimana siswa menyenangi matematika (NCTM, 1989: 233). Meskipun sikap menyenangi matematika tidak dapat dipandang sebagai disposisi secara keseluruhan, sikap tersebut dapat dijadikan dasar untuk menumbuhkan sikapsikap positif lainnya, seperti kepercayaan diri, minat terhadap matematika, melihat kegunaan matematika, dan lain-lain. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perlunya meningkatan sikap menyenangi belajar matematika agar dapat berkembangnya sikap-sikap positif lainnya yang termuat dalam disposisi matematis, sehingga akan berdampak positif terhadap prestasi belajar. Berdasarkan pemaparan-pemaparan sebelumnya mengenai kemampuan penalaran dan disposisi matematis, diperlukan solusi yang mengatasi permasalahan yang dihadapi saat ini. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan kondisi tersebut adalah penerapan pendekatan yang kurang tepat dalam proses

7 belajar-mengajar. Seperti yang diungkapkan oleh Bell (1978: 121), bahwa pemilihan strategi mengajar yang tepat dan pengaturan lingkungan belajar memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesuksesan pelajaran matematika. Proses pemilihan dan penerapan baik itu metode, strategi, atau pendekatan haruslah disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan. Hal ini dimaksudkan agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai, serta penerapan yang dilaksanakan haruslah sejalan dengan bagaimana belajar matematika yang baik. Noornia (2011: 20) mengemukakan beberapa hal penting yang harus diketahui seseorang bila ingin belajar matematika dengan baik, antara lain: 1. Menyadari bagaimana sebenarnya matematika diciptakan. 2. Mengetahui apa produk dari pengetahuan matematika itu. 3. Mengetahui apa nilai kebenaran dalam matematika itu. Pengetahuan mengenai bagaimana matematika diciptakan atau dihasilkan tidak terlepas dari sifat matematika itu sendiri, dimana sifat dasar dari matematika adalah konsep yang secara penuh abstrak (Nunez, 2008: 341). Sifat dasar ini sedikit bertentangan dengan bagaimana pembelajaran matematika yang bermakna bagi siswa. Sutawidjaja dan Dahlan (2011: 6.3) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa perlu diajak bermatematika dalam konteks kehidupan mereka sehari-hari, karena dapat memberi kesan kepada siswa bahwa matematika yang dipelajari berguna bagi kehidupannya. Pendekatan metaphorical thinking adalah pendekatan pembelajaran untuk memahami dan menjelaskan konsep-konsep yang abstrak menjadi hal yang lebih konkrit melalui visualisasi dan analogi dengan membandingkan dua hal atau lebih yang berbeda makna, baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan. Karakteristik dari pendekatan metaphorical thinking adalah menjembatani konsep-konsep yang abstrak menjadi hal yang lebih konkrit. Hal ini dikarenakan metaphors merupakan bagian dalam kehidupan sehari-hari. Metaphorical thinking merupakan jembatan antara model dan interpretasi, memberikan peluang yang besar kepada siswa untuk mengeksploitasi pengetahuannya dalam belajar matematika, dan melalui metaphorical thinking proses belajar siswa menjadi

8 bermakna karena siswa dapat melihat hubungan antara konsep yang dipelajarinya dengan konsep yang telah dikenalnya (Hendriana, 2009: 8). Lebih lanjut lagi Lakoff dan Nunez (dalam Dogan-Dunlap, 2007: 210) menyatakan bahwa metaphors memainkan peranan yang penting dalam penalaran matematis. Melalui proses bermetafora siswa dilatih untuk melihat hubungan antara pengetahuan yang telah mereka peroleh dengan pengetahuan yang akan diperolehnya, serta siswa dilatih untuk menganalogikan suatu model dan interpretasi atas pengetahuan yang mereka bangun. Kedua proses tersebut merupakan bagian dari penalaran, sehingga melalui proses bermetafora diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar. Selain itu, melalui proses bermetafora juga diberi kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan mereka, dan juga melihat hubungan antara pengetahuan yang mereka peroleh dengan kehidupan sehari-hari. Proses mengeksplorasi kemampuan ini akan menimbulkan rasa ingin tahu, merefleksikan terhadap pengetahuan yang telah dibangun, fleksibel terhadap gagasan matematik yang terbentuk, dan juga akan berakibat timbulnya kepercayaan diri dalam diri siswa. Proses dalam melihat hubungan dengan kehidupan sehari-hari akan berakibat siswa dapat menilai bagaimana aplikasi matematika ke situasi lain dalam pengalaman sehari-hari, dan memahami peran matematika dalam kehidupan sehari-hari. Proses-proses tersebut merupakan bagian dari disposisi matematis, sehingga melalui proses bermetafor diharapkan dapat meningkatkan kemampuan disposisi matematis siswa. Selain pendekatan metaphorical thinking yang akan diterapkan serta kemampuan penalaran dan disposisi matematis yang akan diteliti, terdapat hal lain yang yang harus diperhatikan dalam pembelajaran, yaitu kemampuan awal matematika. Hal ini dikarenakan matematika merupakan ilmu yang hierarki dan saling berkaitan antara konsep yang satu dengan yang lainnya. Siswa diharapkan dapat mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan pengetahuan baru yang diperolehnya, sehingga proses pembelajaran yang terjadi lebih bermakna. Seperti yang diungkapkan oleh Ausubel (dalam Dahar, 1996: 112), belajar yang

9 bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsepkonsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif. Struktur kognitif yang dimaksud oleh Ausubel adalah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasigeneralisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa (Dahar, 1996: 110). Oleh karena itu, informasi yang diperoleh melalui kemampuan awal siswa perlu diperhatikan untuk mengetahui peningkatan dan pengaruh interaksinya dengan model pembelajaran terhadap kemampuan penalaran dan disposisi matematis siswa. Berdasarkan pemaparan-pemaparan sebelumnya, penelitian ini mencoba menjawab atas permasalahan yang telah diutarakan sebelumnya, yaitu dengan judul Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Disposisi Matematis Siswa SMP melalui Pendekatan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking memiliki peningkatan kemampuan penalaran matematis yang lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? 2. Apakah siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking memiliki peningkatan disposisi matematis yang lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? 3. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan Kemampuan Awal Matematis (KAM) siswa (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap kemampuan penalaran matematis? 4. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan Kemampuan Awal Matematis (KAM) siswa (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap disposisi matematis?

10 C. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi secara empiris melalui penyelidikan mengenai pengaruh pendekatan metaphorical thinking terhadap peningkatan kemampuan penalaran dan disposisi matematis siswa. Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji peningkatan kemampuan penalaran dan disposisi matematis siswa di kelas yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking lebih baik daripada siswa di kelas yang mendapatkan pembelajaran konvensional. 2. Mengkaji pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan Kemampuan Awal Matematis (KAM) siswa terhadap peningkatan kemampuan penalaran dan disposisi matematis. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat: 1. Untuk siswa, pengembangan kemampuan penalaran dan disposisi matematis melalui penerapan pendekatan metaphorical thinking akan menjadikan mereka lebih kreatif dalam mengeluarkan ide-ide dan mengkaitkan atas pengetahuan yang diperoleh dengan kehidupan sehari-hari, sehingga dapat mengoptimalkan kemampuan mereka baik dalam berpikir, bernalar, memahami konsep-konsep matematika, dan menyelesaikan permasalahan matematika serta kehidupan sehari-hari. 2. Untuk guru, pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking dapat menjadi salah satu pilihan model pembelajaran dalam pembelajaran matematika yang dapat dilakukan oleh guru untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan penalaran dan disposisi matematis siswa. 3. Untuk lembaga sekolah, sebagai bahan pertimbangan untuk mempersiapkan lembaganya mengembangkan pendidikan matematika ke arah yang lebih baik, dengan mengembangkan proses belajar-mengajar yang sesuai dengan

11 kebutuhan siswa untuk memberi bekal keterampilan hidup di masa yang akan datang. 4. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang pendidikan pada umumnya dan sebagai masukan bagi pengembangan ragam bentuk penelitian di bidang matematika lebih lanjut, khususnya dalam rangka mengembangkan kemampuan penalaran dan disposisi matematis siswa. E. Definisi Operasional 1. Kemampuan penalaran adalah kemampuan yang berkenaan dengan menganalisis situasi matematika dan mengkonstruksikan argumen secara logis, dimana kemampuan tersebut merupakan bentuk pikiran yang dikembangkan melalui pengaplikasian matematika di berbagai konteks. Adapun indikator-indikator kemampuan penalaran matematis yang dipakai dalam penelitian ini meliputi: analogi (penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses), generalisasi (penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati), dan melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu. 2. Pendekatan metaphorical thinking adalah pendekatan pembelajaran untuk memahami dan menjelaskan konsep-konsep yang abstrak menjadi hal yang lebih konkrit melalui visualisasi dan analogi dengan membandingkan dua hal atau lebih yang berbeda makna, baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan. 3. Disposisi matematis merupakan sikap keinginan, minat, dan kesungguhan yang kuat dalam belajar matematika, serta apresiasi terhadap matematika dan aplikasi di bidang lainnnya. Indikator untuk mengukur diposisi matematis, yaitu: a. Rasa percaya diri dalam menggunakan matematika, memecahkan masalah, mengkomunikasikan gagasan, dan memberikan alasan.

12 b. Fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha mencari metode alternatif dalam memecahkan masalah. c. Tekun mengerjakan tugas matematik. d. Minat, rasa ingin tahu, dan daya temu dalam melakukan tugas matematika. e. Cenderung memonitor dan merefleksikan kinerja dan penalaran mereka sendiri. f. Menilai aplikasi matematika ke situasi lain dalam bidang lainnya dan pengalaman sehari-hari. g. Penghargaan peran matematika dalam kultur dan nilai matematika, sebagai alat dan bahasa.