PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KOTA BOGOR PADA URUSAN PERDAGANGAN, PERINDUSTRIAN, UMKM, DAN PERTANIANN

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama bagi negara-negara

BAB III METODE KAJIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. membentuk kerja sama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

3. KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

DAFTAR ISI. PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

I. PENDAHULUAN. dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangannya

Analisis Isu-Isu Strategis

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

mencerminkan tantangan sekaligus kesempatan. Meningkatnya persaingan antar negara tidak hanya berdampak pada perekonomian negara secara keseluruhan,

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

PEMERINTAH ALOKASIKAN ANGGARAN DANA DESA TAHUN 2015 SEBESAR RP9,1 TRILIUN

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK NO. 07 TH PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengaruh Pendapatan..., Fani, Fakultas Ekonomi 2015

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diharapkan

I. PENDAHULUAN. suatu perekonomian dari suatu periode ke periode berikutnya. Dari satu periode ke

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

I. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab,

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN LUWU TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDUHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. nasional, sebagai upaya terus menerus ke arah perubahan yang lebih baik guna

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah ditujukan dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan terhadap kepentingan masyarakat. Berdasarkan Undang- Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 5, disebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti bahwa otonomi daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kemandirian daerah dalam upaya memenuhi kepentingan atau kebutuhan masyarakat daerah baik di bidang ekonomi, sosial maupun sarana dan prasarana pendukung lainnya. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dalam Pasal 6 Ayat 2 menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) adalah terdiri dari urusan wajib (main function) dan urusan pilihan (optional function). Dalam penyelenggaran urusan pemerintahan daerah tersebut, setiap pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan potensi unggulan yang dimiliki daerah. Dalam hal ini daerah dituntut untuk mengeksplorasi keunggulan komparatif yang dimiliki untuk kemudian dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif. Di era desentralisasi saat ini salah satu masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah kurangnya sinkronisasi dan harmonisasi antara peran dan fungsi pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan. Kondisi tersebut berdampak pada ketidakselarasan pengaturan norma dan standar kewenangan teknis antara pusat dan daerah, sehingga mekanisme pendanaan yang 21

dilaksanakan berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan dalam banyak hal masih dilaksanakan secara tumpang tindih (Nota Keuangan dan RAPBN, 2008). Implikasi dari adanya tumpang tindih kewenangan tersebut menyebabkan ketidaksinkronan perencanaan dan penganggaran yang dilakukan baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kondisi ini kemudian diperkuat dengan adanya pidato Presiden dalam rapat kerja pemerintah di Istana Bogor pada tanggal 21 Februari 2011 yang menyebutkan bahwa beberapa kepala daerah kerap menghambat jalannya investasi dan pembangunan yang telah diprogramkan pemerintah pusat. Hal ini lebih disebabkan karena kepentingan kepala daerah tidak sesuai dengan program pembangunan pemerintah pusat 1. Masalah yang tidak kalah pentingnya di daerah, selain masalah kurangnya sinkronisasi perencanaan antara pemerintah pusat dan daerah adalah perencanaan pembangunan dan indikator kinerja penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan daerah, yang belum secara langsung menyentuh pada pembangunan potensi unggulan daerah, dan bahkan masih terjadi ketidaksinkronan perencanaan antar dinas di suatu pemerintahan daerah pada pelaksanaan urusan pilihan tersebut. Salah satunya disebabkan karena belum fokusnya perencanaan pembangunan daerah yang didasarkan pada sektor unggulan daerah. Di tambah lagi, penentuan indikator kinerja yang ada masih lebih berorientasi pada pendekatan output (keluaran), dibandingkan berorientasi pada pendekatan hasil (outcome). Hal ini menjadi salah satu kendala yang menimbulkan penyerapan anggaran publik menjadi tidak terarah dalam penyelenggaraan urusan pilihan, padahal pendapatan yang diperoleh suatu daerah sangat terbatas dan masih tergantung pada dana perimbangan. Kendala tersebut bila tidak segera diatasi dikhawatirkan akan menghambat pembangunan sektor unggulan daerah dan akan semakin memperburuk produktivitas potensi unggulan daerah dalam menghadapi persaingan global. Kota Bogor merupakan salah satu kota penerima dana perimbangan terbesar ke empat pada kelompok daerah kota di Provinsi Jawa Barat setelah Kota Bandung, Kota Bekasi, dan Kota Depok. Pada tahun 2009, total dana perimbangan yang 1 Media Indonesia. Editorial: Kemarahan Presiden. Jumat, 25 Februari 2011. 22

diterima Kota Bogor adalah sebesar Rp 556 Miliar atau mengalami kenaikan sebesar 6,9 persen dibandingkan tahun 2008 dengan dana perimbangan sebesar Rp 520,2 Miliar. Namun, peningkatan dana perimbangan belum diikuti dengan adanya peningkatan dana pendapatan asli daerah (PAD). Misalnya PAD di tahun 2008 adalah sebesar Rp 97,8 Miliar, turun menjadi sebesar Rp 89,2 Miliar di tahun 2009 (BPS Provinsi Jawa Barat, 2007). 800,00 Krisis Moneter Masa Transisi Desentralisasi 700,00 600,00 500,00 400,00 300,00 200,00 100,00-1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009* PAD (Rp M) 20,51 16,43 14,65 26,79 28,29 41,45 50,64 66,71 69,30 79,82 97,77 89,22 Dana Perimbangan (Rp M) 43,56 63,99 67,12 160,44 185,39 279,36 323,09 330,65 472,79 457,40 520,16 556,00 Total Pendapatan (Rp M) 73,22 91,81 85,05 232,81 245,51 342,02 384,60 421,44 536,01 635,46 718,08 711,73 Porsi Dana Perimbangan Terhadap Total Pendapatan (%) 59,5 69,7 78,9 68,9 75,5 81,7 84,0 78,5 88,2 72,0 72,4 78,1 Porsi PAD Terhadap Total Pendapatan (%) 28,0 17,9 17,2 11,5 11,5 12,1 13,2 15,8 12,9 12,6 13,6 12,5 100,0 90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 Catatan: 1998-2000: Dana perimbangan masih disebut Penerimaan Subsidi Pemerintah Pusat *APBD (Plan) Sumber: Jawa Barat Dalam AngkaTahun 2000, 2003, 2004, 2005, 2006, 2009, 2010 RPJMD 2010-2014 Kota Bogor. Bab III:3-5 Gambar 1 Perkembangan Realisasi Dana Perimbangan Kota Bogor Tahun 1998-2009 Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa porsi PAD terhadap total pendapatan daerah relatif menurun selama periode 1998-2009, sedangkan porsi dana perimbangan relatif meningkat selama periode yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan daerah Kota Bogor mulai dari masa transisi perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi, yaitu sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, mulai bergantung kepada sumber pendapatan baru, yang dikenal dengan nama dana perimbangan. Ketergantungan pemerintah Kota Bogor terhadap dana perimbangan harus diimbangi dengan upaya memanfaatkan dana tersebut bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Kota Bogor. 23

Keterbatasan PAD dan ketergantungan pada dana perimbangan tersebut menuntut pemerintah Kota Bogor untuk menyusun perencanaan pembangunan dan indikator kinerja yang berorientasi pada hasil (outcome) yang terukur, tidak hanya berkaitan dengan peningkatan kualitas layanan kebutuhan dasar publik Kota Bogor saja, melainkan juga pada pengembangan potensi keunggulan daerah baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang yang merupakan bagian dari penyelenggaran urusan pilihan pemerintahan. Kondisi dan kendala dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah pada era desentralisasi saat ini sebagaimana yang telah diuraikan di atas menimbulkan pertanyaan: Bagaimanakah perencanaan pembangunan yang disusun Pemerintah Kota Bogor dalam penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan daerah? 1.2.Perumusan Masalah Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) periode 2004-2009 Kota Bogor adalah Kota Jasa Yang Nyaman Dengan Masyarakat Madani Dan Pemerintahan Amanah. Perkembangan sektor pembangunan selama periode 2004-2009 menunjukkan adanya penurunan kontribusi sektor perdagangan sebagai salah satu sektor jasa terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Di tahun 2005, kontribusi sektor perdagangan adalah sebesar 36,2 persen dari total PDRB (sebesar Rp 6.181,9 miliar), mengalami penurunan kontribusi menjadi sebesar 31,3 persen dari total PDRB (sebesar Rp 11.904,6 miliar) di tahun 2009. Hal yang sama juga terjadi pada sektor jasa konstruksi, kontribusi sektor ini terhadap PDRB Kota Bogor mengalami penurunan. Sektor jasa yang mengalami peningkatan setiap tahun selama periode 2004-2009 dalam memberikan kontribusi terhadap PDRB adalah sektor hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor jasa keuangan selain bank. 24

Kontribusi per sektor (%) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2005 2006 2007 2008 2009* Pertanian 0.29 0.26 0.24 0.22 0.20 Industri Pengolahan 23.6 24.13 24.69 25.1 25.57 Listrik, Gas dan Air Bersih 2.33 2.26 2.19 2.13 2.06 Konstruksi 6.35 6.34 5.91 5.7 5.49 Perdagangan 36.19 35.07 33.89 32.69 31.27 Hotel dan Restaurant 5.75 6.01 6.25 6.51 6.77 Pengangkutan dan Komunikasi 10.35 11.24 12.2 13.27 14.45 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9.99 10.05 10.09 10.15 10.22 Jasa-Jasa Lain (Pemerintah dan swasta) 5.15 4.83 4.52 4.23 3.97 *angka sementara Sumber: BPS Kota Bogor, 2010 Gambar 2 Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005 2009 Penurunan kontribusi sektor perdagangan terhadap PDRB Kota Bogor yang terjadi selama periode 2004-2009 mengindikasikan bahwa indikator kinerja yang tertuang dalam RPJMD 2004-2009 belum mampu mengukur kinerja penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan dalam mencapai tujuan pembangunan Kota Bogor. Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) periode 2010-2014, menetapkan bahwa visi pembangunan adalah Kota Bogor sebagai Kota Perdagangan dengan Sumberdaya Manusia Produktif dan Pelayanan Prima. Penentuan sektor perdagangan sebagai sektor prioritas pada periode 2010-2014 oleh pemerintah Kota Bogor cukup beralasan. Pertama, kondisi mata pencaharian penduduk Kota Bogor sebagian besar adalah bekerja di sektor perdagangan dan sektor jasa lainnya, misalnya di sektor restoran dan perhotelan. Di tahun 2009, jumlah penduduk Kota Bogor usia 10 tahun ke atas yang bekerja di sektor perdagangan adalah sebanyak 29,1 persen; dan 31,2 persen bekerja di sekor jasa lainnya seperti sub-sektor perhotelan dan restaurant, serta transportasi. Di sektor pertanian, 25

jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja pada sektor tersebut hanya sebanyak 2,7 persen (lihat Gambar 3 di bawah). Lainnya, 21.2% Pertanian, 2.7% Industri, 15.8% Jasa, 31.2% Perdagangan, 29.1% Sumber: Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 Gambar 3 Penduduk 10 Tahun ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kota Bogor Tahun 2009 Kedua, PDRB sektor perdagangan mendominasi pembangunan perekonomian kota Bogor. Di tahun 1993, PDRB sektor perdagangan adalah sebesar Rp 196,2 miliar, meningkat menjadi sebesar Rp 3.722,6 miliar pada tahun 2009. Pertanyaan yang timbul berdasarkan pengalaman pembangunan selama periode 2004-2009, terutama terkait dengan adanya penurunan kontribusi sektor perdagangan terhadap PDRB adalah Sejauhmanakah indikator kinerja dalam RPJMD 2010-2014 Kota Bogor dapat mengukur pencapaian tujuan dan visi Kota Bogor sebagai kota perdagangan? Sistem desentralisasi Indonesia menitikberatkan pada pemerintahan di tingkat kabupaten/kota dengan tujuan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat dengan prinsip efisiensi. Namun pada kenyataannya, sistem tersebut berimplikasi pada membesarnya struktur organisasi pemerintahan di tingkat kabupaten/kota. Misalnya di tahun 1999, jumlah lembaga pemerintahan Kota Bogor adalah sebanyak 22 lembaga mencakup 16 dinas, 1 badan, dan 5 kantor. Sedangkan di tahun 2011, jumlah lembaga pemerintahan meningkat menjadi 24 lembaga, terdiri dari 11 dinas, 6 Badan, dan 7 Kantor 2. 2 www.kotabogor.go.id. 3/2/2011 26

Peningkatan jumlah organisasi pada pemerintahan Kota Bogor, berimplikasi pada meningkatnya jumlah pegawai dari tahun ke tahun. Misalnya pada tahun 2005, jumlah pegawai adalah sebanyak 6.903 orang, meningkat pesat menjadi sebanyak 9.680 pegawai di tahun 2009 3. Peningkatan jumlah pegawai yang tidak berbasis kompetensi dan kebutuhan, pada akhirnya berdampak pada peningkatan alokasi pengeluaran publik di sektor pemerintahan. Pada aspek anggaran belanja Kota Bogor, alokasi pengeluaran publik untuk sektor pemerintahan umum masih lebih besar dibandingkan sektor pembangunan lainnya, walaupun porsi pengeluaran publik disektor administrasi tersebut masih dibawah 30 persen dari total APBD Kota Bogor. Pada tahun 2010 porsi alokasi pengeluaran publik untuk sektor ini mengalami penurunan menjadi sebesar 28,8 persen atau sebesar Rp 274,4 miliar dari total alokasi belanja Kota Bogor, yang sebelumnya di tahun 2008 dialokasikan sebesar 39,7 persen atau sebesar Rp 297,5 miliar. Di sektor perdagangan yang menjadi sektor unggulan Kota Bogor sesuai visi pemerintah kota dalam RPJMD 2010-2014, menunjukkan adanya penurunan alokasi pengeluaran publik untuk sektor ini. Gambar 4 di bawah menunjukkan bahwa porsi alokasi pengeluaran publik untuk sektor perdagangan adalah sebesar 1,7 persen dari total anggaran pengeluaran publik yang besarnya adalah Rp 749,9 miliar di tahun 2008. Pada tahun 2010, porsi pengeluaran publik untuk sektor ini mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 1,3 persen dari total anggaran pengeluaran publik yang besarnya Rp 952,8 miliar. Pemerintahan Umum Pendidikan Infrastruktur Kesehatan Transportasi Kesatuan Bangsa dan Politik Perindustrian dan Perdagangan Perencanaan Pembangunan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Lingkungan Hidup Pertanian Sosial dan Tenaga Kerja kependudukan Kearsipan Penanaman Modal Pariwisata Ketahanan Pangan 1.3 1.6 1.7 0.5 0.6 0.8 10.7 Sumber: Dinas Pendapatan Kota Bogor, 2011 20.9 27.7 28.8 33.2 39.7 2010 2009 2008-5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0 Gambar 4 Persentase Distribusi Alokasi Alokasi Pengeluaran Pengeluaran Publik Publik (%) Kota Bogor Tahun 2008-2010 3 www.kotabogor.go.id. 3/2/2011 27

Kebijakan alokasi pengeluaran publik tersebut di atas pada kenyataannya, berdampak pada menurunnya kontribusi sektor perdagangan terhadap peningkatan perekonomian daerah. Untuk itu, dalam rangka mengantisipasi keterbatasan anggaran dan untuk mencapai tujuan dan visi pembangunan Kota Bogor sebagai kota perdagangan yang tertuang dalam RPJMD 2010-2014, maka sinergi perencanaan antar instansi (yaitu sinergi perencanaan secara horisontal) merupakan syarat mutlak yang harus dilaksanakan oleh pemerintah Kota Bogor. Pencapaian tujuan dan visi Kota Bogor tersebut tidak hanya dapat dibebankan pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan saja, melainkan secara terintegrasi menjadi tanggungjawab dari instansi-instansi pemerintahan lainnya, misalnya Dinas Pertanian dan Kantor Koperasi dan UMKM. Pertanyaan yang timbul adalah Bagaimanakah sinergi perencanaan pemerintah Kota Bogor pada urusan perdagangan, industri, pertanian, dan UMKM dalam rangka pencapaian tujuan dan visi Kota Bogor? Tantangan utama bagi pembangunan daerah saat ini bukan lagi terkait dengan isu besaran dana perimbangan kepada daerah tetapi bagaimana memastikan agar daerah menggunakan dana perimbangan tersebut dan PAD-nya untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat kota secara efisien dan efektif 4. Selama periode 2004-2010, pemerintah Kota Bogor telah melakukan kebijakan defisit anggaran melalui peningkatkan anggaran belanja (pengeluaran publik) yang lebih besar dari pendapatan daerah tersebut. Pada tahun 2004, defisit anggaran adalah sebesar Rp 11,3 Miliar, meningkat menjadi sebesar Rp 164,9 Miliar di tahun 2010 (lihat Gambar 5). Untuk itu, agar kebijakan defisit anggaran yang dilakukan pemerintah Kota Bogor tepat guna, anggaran belanja yang ada harus digunakan untuk mendorong peningkatan perekonomian daerah yang berkelanjutan. 4 Efektif adalah penggunaan dana harus mencapai target atau tujuan kepentingan publik, sedangkan efisien adalah penggunaan dana harus dapat menghasilkan output yang maksimal 28

- (50,000,000) Defisit (Rp000) (100,000,000) (150,000,000) (200,000,000) (250,000,000) 2004 2006 2009 2010 Surplus/Defisit (Rp 000) (11,301,640) (205,603,371) (106,696,000) (164,946,230) Sumber: Jawa Barat Dalam Angka 2004-2007 Angka Sementara Tahun 2009-2010 5 Gambar 5 Perkembangan Defisit Anggaran Kota Bogor Tahun 2004-2010 Salah satu upaya untuk meningkatkan pembangunan daerah adalah melalui pengembangan produk unggulan daerah di sektor pertanian, industri dan perdagangan, sehingga produktivitas unggulan daerah menjadi lebih baik dan pada akhirnya mampu meningkatkan perekonomian daerah. Untuk itu, pemerintah Kota Bogor dalam menyelenggarakan urusan pilihan pemerintahan dengan maksud untuk meningkatkan pembangunan ekonomi daerahnya harus melakukan sinergi perencanaan yang terkait di sektor perdagangan, industri, pertanian dan UMKM. Berkaitan dengan hal tersebut, Upaya apa yang harus dilakukan pemerintah kota Bogor agar perencanaan pada urusan perdagangan, industri, UMKM, dan pertanian bersinergi? 1.3.Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan di atas tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisa indikator kinerja dalam RPJMD 2010-2014 pada penyelenggaraan urusan perdagangan, industri, pertanian dan UMKM dalam rangka pencapaian tujuan dan visi pembangunan Kota Bogor. 2. Menganalisa sinergi perencanaan antar instansi pada urusan perdagangan dan industri, pertanian serta UMKM dalam rangka pencapaian tujuan dan visi pembangunan Kota Bogor 2010-2014. 5 http://www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk/72/. 20/4/2011 29

3. Merekomendasikan strategi alternatif bagi Pemerintah Kota Bogor dalam meningkatkan sinergi perencanaan pada urusan perdagangan dan industri, pertanian serta UMKM. 1.4.Manfaat Penelitian Kegunaan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Kegunaan praktis penelitian ini dapat menghasilkan implikasi yang lebih bernilai untuk para pembuat kebijakan dalam memecahkan permasalahan perekonomian daerah dalam bidang pengelolaan pengeluaran publik dan kebijakan publik berkaitan dengan adanya penyelenggaraan urusan pilihan di tingkat pemerintahan daerah. 2. Kegunaan akademis sebagai referensi bagi penelitian yang lebih lanjut dan mendalam. 1.5.Keterbatasan Penelitian Keterbatasan yang dihadapi dalam penelitian ini adalah: 1. Kesulitan untuk mewawancarai Kepala Dinas dan Kepala Bidang di masing-masing instansi yang menjadi sampel penelitian, sebagian besar wawancara didelegasikan ke SDM aparatur pelaksana. 2. Cakupan penelitian yang hanya berkaitan dengan penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan di sektor perdagangan, perindustrian, UMKM, dan pertanian. 3. Identifikasi penentuan produk unggulan untuk pengembangan sinergi perencanaan dalam penelitian ini hanya sebatas pada hasil wawancara dengan stakeholder di pemerintahan dan ketersediaan data sekunder dari BPS, belum didukung dengan ketersediaan data primer di tingkat UMK (Usaha Mikro dan Kecil). 4. Rancangan program yang direkomendasikan belum melalui tahapan analisa yang mendalam baik dengan pendekatan FGD, analisa AHP, maupun analisa SWOT dengan pihak yang berkepentingan, dalam hal ini pemerintah Kota Bogor. 30