BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. daerah tropis, seperti Indonesia (Kuswandi et al., 2001). Kasus infeksi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia (Kuswandi et al., 2001). Mikroorganisme meliputi semua organisme

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

AKTIVITAS ANTI BAKTERI EKSTRAK METANOL DAUN CEREMAI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. (1965). Hasil determinasi tanaman. Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditempati oleh berbagai penyakit infeksi (Nelwan, 2006).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

HASIL. (%) Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06 Etil Asetat 0,32 ± 0,03 Etanol 70% 12,13 ± 0,06

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UJI EKSTRAK DAUN BELUNTAS

BAB I PENDAHULUAN. serta pemulihan kesehatan. Hal ini disebabkan karena tanaman banyak

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya dengan tumbuhan berkhasiat, sehingga banyak dimanfaatkan dalam bidang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa di negara-negara yang sedang berkembang urutan penyakit-penyakit utama

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ISOLASI RARE ACTINOMYCETES DARI PASIR PANTAI DEPOK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA YANG BERPOTENSI ANTIBIOTIK TERHADAP Staphylococcus SKRIPSI

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah

Daya Antibakteri Ekstrak Tumbuhan Majapahit (Crescentia cujete L.)Terhadap Bakteri Aeromonas hydrophila

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak mengkudu terhadap daya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak kulit buah dan

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI RESIDU EKSTRAK ETANOL BUAH CEREMAI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH (Piper betle L.) TERHADAP Propionibacterium acne DAN Staphylococcus aureus MULTIRESISTEN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ekstrak kulit nanas (Ananas comosus) terhadap bakteri Porphyromonas. Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI KLOROFORM EKSTRAK ETANOL KAYU SECANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) terhadap bakteri Lactobacillus

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat dimanfaatkan sebagai obat. Manfaat sirih merah telah banyak dibicarakan,

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan

I. PENDAHULUAN. Bentuk jeruk purut bulat dengan tonjolan-tonjolan, permukaan kulitnya kasar

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI TIDAK LARUT AIR DARI EKSTRAK ETANOL KAYU SECANG

BAB 5 HASIL PENELITIAN

OLEH Burhanuddin Taebe Andi Reski Amalia Sartini

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bakteri coccobacilli golongan gram negatif, sering terdapat

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan yang memiliki bunga banyak, serta daun dari bunga bakung ini memilki

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi alam tropis Indonesia sangat menunjang pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. folikel rambut dan pori-pori kulit sehingga terjadi peradangan pada kulit.

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. juta penduduk setiap tahun, penyebab utamanaya adalah Vibrio cholera 01,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengukuran zona hambat yang berikut ini disajikan dalam Tabel 2 : Ulangan (mm) Jumlah Rata-rata

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. positif yang hampir semua strainnya bersifat patogen dan merupakan bagian dari

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kaktus adalah nama yang diberikan untuk anggota tumbuhan berbunga family

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan menggunakan daun sirsak (Annona muricata) yang

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1

pertumbuhan dengan Escherichia coli dan Staphylococcus aureus yang tampak pada Rf = 0, 67 dengan konsentrasi mulai 3% untuk Escherichia coli dan 2%

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kering, dengan hasil sebagai berikut: Table 2. Hasil Uji Pendahuluan

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit infeksi masih sering dihadapi oleh para dokter, perawat, dan tenaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebabkan oleh beberapa mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN BENALU JAMBU AIR (Dendrophthoe falcata (L.f.) Ettingsh) TERHADAP Escherichia coli DAN Staphylococcus aureus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. endemik di Indonesia (Indriani dan Suminarsih, 1997). Tumbuhan-tumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Barat dan Jambi dan produknya dikenal sebagai cassia-vera atau Korinjii

Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA. Oleh : Dr. Harmita

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

SKEMA ALUR PIKIR. Kulit Buah Manggis

TINJAUAN PUSTAKA. konsentrasi tertentu mempunyai kemampuan menghambat atau membunuh

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai uji klinis dan di pergunakan untuk pengobatan yang berdasarkan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan lembab sehingga mikroba dapat tumbuh subur. Keadaan tersebut ditunjang

AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN BUNGUR (LANGERSTROEMIA SPECIOSA (L.) PERS)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI DAUN ALPUKAT (PERSEA AMERICANA MILL) TERHADAP BAKTERI ESCHERICHIA COLI DAN STAPHYLOCOCCUS AUREUS

ISOLASI RARE ACTINOMYCETES DARI PASIR PANTAI DEPOK YOGYAKARTA YANG BERPOTENSI MENGHASILKAN ANTIBIOTIK TERHADAP Escherichia coli MULTIRESISTEN SKRIPSI

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETIL ASETAT TANAMAN SERAI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan penyebab utama penyakit di dunia terutama di daerah tropis, seperti Indonesia (Kuswandi et al., 2001). Kasus infeksi disebabkan mikroba patogen masuk ke dalam jaringan tubuh dan berkembangbiak di dalam jaringan (Waluyo, 2004). Mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi yaitu bakteri, jamur, virus, dan parasit (Jawetz et al., 2001). Salah satu bakteri penyebab infeksi adalah Staphylococcus aureus yang merupakan patogen utama pada kulit manusia (Harahap, 2002). Hampir setiap orang pernah mengalami berbagai infeksi Staphylococcus aureus selama hidupnya, seperti keracunan makanan yang berat atau infeksi kulit yang kecil. Selain itu, Staphylococcus aureus dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti pneumonia, meningitis, dan endokarditis. Akan tetapi, Staphylococcus aureus juga merupakan flora normal pada kulit, mulut, dan saluran nafas bagian atas (Jawetz et al., 2005). Selain bakteri Staphylococcus aureus yang dapat menyebabkan infeksi kulit, Shigella dysenteriae juga merupakan bakteri penyebab patogen usus yang telah lama dikenal sebagai agen penyebab penyakit disentri (Levinson, 2004). Shigella dysenteriae dapat menyebar secara luas. Shigella dapat ditularkan melalui makanan, jari, tinja, dan lalat (Jawetz et al., 2005). Salah 1

2 satu pengobatan yang banyak digunakan untuk mengatasi penyakit infeksi adalah dengan penggunaan antibiotik. Antibiotik yang semula dapat mengatasi berbagai kasus infeksi, akhirnya menimbulkan permasalahan baru yaitu munculnya efek samping dan berbagai kasus resistensi bakteri akibat penggunaan antibiotik secara tidak rasional dan tidak konsisten (Priyanto, 2009). Bahaya terjadinya resistensi bakteri adalah pengobatan penyakit menjadi sulit dan waktu penyembuhan menjadi lama serta resiko timbulnya komplikasi penyakit (Tjay dan Rahardja, 2007). Timbulnya berbagai masalah resistensi bakteri tehadap berbagai antibiotik, mendorong pentingnya penggalian sumber antibakteri dari alam. Tanaman diketahui berpotensi sebagai obat alternatif pada berbagai penyakit infeksi. Selain itu, pengobatan herbal dipercaya lebih aman dibandingkan menggunakan bahan kimia (Hertiani et al., 2003). Salah satu tanaman yang secara empiris dapat digunakan sebagai obat antibakteri adalah serai (Cymbopogon nardus (L.) Rendle). Daun dan akar Cymbopogon nardus (L.) Rendle mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol. Di samping itu, daunnya mengandung minyak atsiri (Purwanti, 2007). Penelitian oleh Arswendiyumna (2010) menunjukkan bahwa minyak atsiri yang banyak terkandung pada tanaman serai (Cymbopogon nardus) adalah sitronellal (30,58%) dan geraniol (25,45%) yang dideteksi menggunakan Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa (KG-SM), serta uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST) diperoleh nilai

3 LC 50 sebesar 315,24 ppm. Poeloengan (2009) menyatakan bahwa kandungan minyak atsiri dari Cymbopogon citratus yang memiliki genus yang sama dengan Cymbopogon nardus dapat beraktivitas antimikroba terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan S. epidermidis dengan diameter zona hambat berturut-turut sebesar 8 mm, 13 mm, dan 15 mm dengan konsentrasi masing-masing 25%. Berdasarkan penelitian tersebut, maka perlu dikembangkan penelitian uji aktivitas antibakteri tanaman serai dengan metode dilusi padat serta mengetahui senyawa kimia ekstrak etanol daun serai yang berpotensi sebagai antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysenteriae. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dalam penelitian ini diperoleh rumusan masalah, yaitu: 1. Apakah ekstrak etanol tanaman serai (Cymbopogon nardus (L.) Rendle) mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysenteriae dan berapa Kadar Bunuh Minimalnya? 2. Kandungan senyawa kimia apakah yang terdapat dalam ekstrak tanaman serai (Cymbopogon nardus (L.) Rendle) yang mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysenteriae?

4 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menentukan aktivitas antibakteri dan Kadar Bunuh Minimal ekstrak etanol tanaman serai (Cymbopogon nardus (L.) Rendle) terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysenteriae. 2. Menentukan kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam ekstrak etanol tanaman serai (Cymbopogon nardus (L.) Rendle) yang mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysenteriae. D. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman serai (Cymbopogon nardus) a. Klasifikasi Tanaman Serai Kedudukan tanaman serai dalam taksonomi tumbuhan adalah sebagai berikut: Divisi Kelas Anak Kelas Bangsa Suku Marga Jenis : Magnoliophyta : Liliopsida : Commelinidae : Cyperales : Poaceae (Gramineae) : Cymbopogon : Cymbopogon nardus (L.) Rendle (Backer dan Van den Brink, 1965; Cronquist, 1981)

5 b. Deskripsi Tanaman Tanaman serai (Cymbopogon nardus (L.) Rendle) merupakan tumbuhan sebangsa rumput dengan tinggi 50-100 cm. Batangnya tidak berkayu, beruas-ruas pendek, dan berwarna putih. Serai memiliki daun tunggal, lanset, berpelepah, pangkal pelepah memeluk batang, ujung runcing, tepi rata, panjang 25-75 cm, Iebar 5-15 mm, pertulangan sejajar, dan hijau. Bunga majemuk, karangan bunga berseludang, terletak dalam satu tangkai, bulir kecil, benang sari berlepasan, kepala putik muncul dari sisi, dan putih. Buah berbentuk padi, bulat panjang, pipih, serta putih kekuningan. Biji tanaman serai berbentuk bulat, panjang, dan coklat. Akar berbentuk serabut dan berwarna putih kekuningan (Hutapea, 1991). c. Kandungan Kimia Daun dan akar tanaman serai mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol, di samping itu daunnya juga mengandung minyak atsiri (Purwanti, 2007). Komponen utama minyak atsiri dalam serai adalah sitronellal dan geraniol (Agusta, 2000; Suprianto, 2008). d. Sifat Kimiawi dan Efek Farmakologi Sifat tanaman serai berbau khas aromatik, rasa agak pedas aromatik. Daun tanaman serai berkhasiat sebagai peluruh angin (karminatif), pereda kejang (antispasmodik), penurun panas (antipiretik), penambah nafsu makan, dan obat kumur (Hutapea, 1991). Selain itu, serai bermanfaat sebagai antiradang, menghilangkan rasa sakit, dan melancarkan sirkulasi darah

6 (Hariana, 2006). Serai juga digunakan sebagai parfum serta penolak serangga (Agusta, 2000). 2. Metode Penyarian Penyarian atau ekstraksi merupakan proses penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang diinginkan larut. Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan sehingga didapat massa bahan aktif yang kental (Ansel, 2005). Terdapat berbagai metode dasar ekstraksi yang dapat dipakai untuk penyarian antara lain metode infundasi, maserasi, perkolasi, dan sokhletasi (Anonim, 1986). Biasanya metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah simplisia dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi serta kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna dari simplisia (Ansel, 2005). Maserasi adalah metode yang paling tepat dipilih untuk dilakukan dalam uji dimana merupakan proses merendam simplisia yang telah dihaluskan dalam pelarut sampai meresap dan melunakkan susunan sel sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur 15-20 C selama 3-5 hari sampai bahan-bahan yang larut melarut (Ansel, 2005). Keuntungan dari cara ini adalah cara kerja dan peralatan yang digunakan sederhana serta mudah diusahakan. Sedangkan

7 kerugiannya adalah membutuhkan banyak pelarut dan dibutuhkan waktu yang lama (Voight, 1995). Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan beberapa faktor. Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat, dan diperbolehkan oleh peraturan (Anonim, 1986). Umumnya yang digunakan sebagai cairan pengekstraksi adalah campuran bahan pelarut yang berlainan, khususnya campuran etanol-air sangat efektif dalam menghasilkan bahan aktif yang optimal (Voight, 1995). Hidroalkohol merupakan gabungan pelarut air dan alkohol, karena keduanya mudah bercampur memungkinkan kombinasi yang fleksibel dari kedua bahan tersebut membentuk campuran pelarut yang paling sesuai untuk mengekstraksi bahan aktif (Ansel, 2005). 3. Staphylococcus aureus Klasifikasi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut: Divisio Classis Ordo Familia Genus : Protophyta : Schizomycetes : Eubacteriales : Micrococcaceae : Staphylococcus Species : Staphylococcus aureus (Salle, 1961). Staphylococcus aureus termasuk bakteri Gram positif, berbentuk bulat, berdiameter 0,5-1,0 mikrometer, biasanya tersusun dalam rangkaian tak

8 beraturan seperti anggur. Staphylococcus aureus biasanya membentuk koloni abu-abu hingga kuning emas, berkilau-kilauan, dan tumbuh paling cepat pada suhu kamar 37ºC dan pada media dengan ph 7,2 sampai 7,4 (Jawetz et al., 2005). Staphylococcus biasanya memfermentasi manitol dan menghemolisis sel darah merah (Levinson, 2004). Setiap jaringan atau alat tubuh dapat diinfeksi oleh bakteri Staphylococcus aureus dan menyebabkan timbulnya penyakit dengan tandatanda khas, yaitu peradangan dan pembentukan abses. Bakteri tersebut dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya melakukan pembelahan dan menyebar luas dalam jaringan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler (toksin). Infeksi Staphylococcus lokal tampak sebagai jerawat atau abses. Infeksi Staphylococcus aureus dapat pula berasal dari kontaminasi langsung dari luka, misalnya pasca operasi infeksi Staphylococcus atau infeksi yang menyertai trauma (meningitis yang menyertai patah tulang tengkorak), pneumonia, dan infeksi kulit (Jawetz et al., 2005). 4. Shigella dysenteriae Klasifikasi Shigella dysenteriae adalah sebagai berikut: Divisi Kelas Bangsa Suku Marga : Protophyta : Schizomycetes : Eubacteriaceae : Enterobacteriaceae : Shigella Jenis : Shigella dysenteriae (Karsinah dkk., 1994)

9 Shigella adalah kuman berbentuk batang, koloni kuman kecil, halus, dan tidak berwarna (Anonim, 1994). Karakteristik Shigella yaitu bakteri Gram negatif dan tidak memfermentasi laktosa (Levinson, 2004). Shigella dysenteriae memproduksi eksotoksin yang tidak tahan panas dan mempengaruhi usus serta susunan saraf pusat. Eksotoksin merupakan sebuah protein yang antigenik (merangsang produksi antitoksin) dan mematikan pada binatang percobaan (Jawetz et al., 2005). Spesies Shigella adalah kuman patogen usus yang telah lama dikenal sebagai agen penyebab disentri (Levinson, 2004). Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh tangan, lalat, tinja pada penderita. Shigella dysenteriae menyerang usus besar tetapi dapat pula menyerang usus halus. Penyerangan usus besar yang parah mengakibatkan disentri dengan nanah dalam tinja (Jawetz et al., 2005). 5. Antibakteri Antibakteri merupakan senyawa kimia yang dalam konsentrasi kecil mampu menghambat bahkan membunuh suatu mikroorganisme, khususnya bakteri yang merugikan manusia. Antibakteri yang ideal menunjukkan sifat toksisitas selektif, dimana obat antibakteri tersebut hanya berbahaya untuk bakteri tersebut, tetapi relatif tidak membahayakan bagi hospes (Ganiswarna, 1995). Berdasarkan sifat toksisitas selektif terdapat antibakteri yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri disebut bakteriostatik, sedangkan yang dapat membunuh bakteri disebut bakterisidal. Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri atau membunuhnya masing-masing

10 dikenal sebagai Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM) (Batubara, 2008). Antibakteri tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatika menjadi bakterisidal bila kadar antibakteri ditingkatkan melebihi KHM (Setyabudy dan Gan, 1995). Antibakteri yang ideal juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang luas (broad spectrum antibiotic). b. Tidak menimbulkan terjadinya resistensi dari mikroorganisme patogen. c. Tidak menimbulkan efek samping (side effect) yang buruk pada tubuh, seperti reaksi alergi, kerusakan syaraf, iritasi lambung, dan sebagainya jika digunakan dalam jangka waktu lama. d. Tidak mengganggu keseimbangan flora normal tubuh seperti flora usus atau flora kulit (Jawetz et al., 2005). Mekanisme aksi obat antimikroba dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok utama, yaitu: 1). Penghambatan terhadap sintesis dinding sel Bakteri memiliki lapisan luar yang rigid, yaitu dinding sel. Dinding sel bakteri berfungsi mempertahankan bentuk mikroorganisme dan pelindung sel bakteri. Penghambatan dalam pembentukan dinding sel dapat menyebabkan tekanan osmotik dalam sel bakteri lebih tinggi daripada di luar sel, maka perusakan dinding sel bakteri akan menyebabkan lisis (Setyabudy dan Gan, 1995).

11 2). Penghambatan terhadap fungsi membran sel Membran sel berperan sebagai barrier permeabilitas selektif, memiliki fungsi transport aktif, dan kemudian mengontrol komposisi internal sel (Jawetz et al., 2005). Antibiotik yang bersifat merusak membran plasma umumnya terdapat pada antibiotik golongan polipeptida yang bekerja dengan mengubah permeabilitas membran plasma sel bakteri. Adanya gangguan atau kerusakan struktur pada membran plasma dapat menghambat atau merusak kemampuan membran plasma sebagai penghalang (barrier) osmosis dan mengganggu sejumlah proses biosintesis yang diperlukan dalam membran (Pratiwi, 2008). 3). Penghambatan terhadap sintesis protein Tetrasiklin, kloramfenikol, aminoglikosida, eritromisin, dan linkomisin merupakan antibiotik yang dapat menghambat sintesis protein (Jawetz et al., 2005). Mekanisme kerjanya yaitu menghalangi terikatnya RNA pada tempat spesifik ribosom, selama pemanjangan rantai peptida (Pelczar dan Chan, 1986) dan menyebabkan kesalahan pembacaan mrna sehingga mengakibatkan bakteri tidak mampu mensintesis protein untuk pertumbuhannya (Pratiwi, 2008). Bakteri mempunyai 70S ribosom, sedangkan sel mamalia mempunyai 80S ribosom yang mempunyai komposisi kimia dan spesifikasi fungsi yang berbeda. Inilah sebabnya antimikroba dapat menghambat sintesis protein dalam ribosom bakteri tanpa berpengaruh pada ribosom mamalia (Jawetz et al., 2005).

12 4). Penghambatan terhadap sintesis asam nukleat (DNA/RNA) Obat-obat yang memiliki aksi menghambat sintesis asam nukleat adalah rifampin, kuinolon, pirometamin, sulfonamid, dan trimetroprim (Jawetz et al., 2005). Penghambatan pada sintesis asam nukleat berupa penghambatan terhadap transkripsi dan replikasi mikroorganisme (Pratiwi, 2008). 6. Uji Aktivitas Antibakteri Pengujian terhadap aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan dua metode pokok yaitu difusi dan dilusi (Jawetz et al., 2005). a. Metode Difusi Media yang dipakai adalah agar Mueller Hinton. Pada metode difusi ini terdapat beberapa cara, yaitu: 1) Cara Kirby Bauer Beberapa koloni kuman dari pertumbuhan 24 jam diambil kemudian disuspensikan ke dalam 0,5 ml BHI cair, dan diinkubasi 5-8 jam pada 37 C. Suspensi bakteri ditambah akuades steril hingga kekeruhan tertentu sesuai dengan standar konsentrasi bakteri 10 8 CFU per ml dan dioleskan pada media agar hingga rata, kemudian kertas samir (disk) yang mengandung antibakteri diletakkan di atasnya, diinkubasi pada 37 C selama 18-24 jam. Hasilnya dibaca: a) Radical zone yaitu suatu daerah di sekitar disk dimana sama sekali tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri. Potensi antibakteri diukur dengan mengukur diameter dari zona radikal.

13 b) Irradical zone yaitu suatu daerah di sekitar disk dimana pertumbuhan bakteri dihambat oleh antibakteri, tetapi tidak dimatikan (Lorian, 1980). 2) Cara Sumuran (Cup-plate technique) Beberapa koloni kuman dari pertumbuhan 24 jam diambil kemudian disuspensikan ke dalam 0,5 ml BHI cair, dan diinkubasi 5-8 jam pada 37 C. Suspensi bakteri ditambah akuades steril hingga kekeruhan tertentu sesuai dengan standar konsentrasi bakteri 10 8 CFU per ml dan dioleskan pada media agar hingga rata. Kemudian dibuat sumuran pada media agar tersebut, diteteskan larutan antibakteri, dan diinkubasi pada suhu 37 C selama 18-24 jam. Hasilnya dibaca seperti cara Kirby Bauer (Lorian, 1980; Pratiwi, 2008). 3) Cara Pour Plate Beberapa koloni kuman dari pertumbuhan 24 jam diambil kemudian disuspensikan ke dalam 0,5 ml BHI cair, dan diinkubasi 5-8 jam pada 37 C. Suspensi bakteri ditambah akuades steril hingga kekeruhan tertentu sesuai dengan standar konsentrasi bakteri 10 8 CFU per ml. Suspensi bakteri diambil satu mata ose dan dimasukkan ke dalam 4 ml agar base 1,5% dengan suhu 50 C. Setelah suspensi kuman tersebut homogen, dituang pada media agar Mueller Hinton, ditunggu sampai agar tersebut membeku dan disk diletakkan di atas media kemudian dieramkan selama 15-20 jam dengan temperatur 37 C. Hasil dibaca sesuai standar masing-masing antibakteri (Lorian, 1980). b. Metode Dilusi Metode dilusi terdiri dari dilusi cair dan dilusi padat. Pada prinsipnya metode ini dilakukan dengan mengencerkan zat yang akan diuji menjadi

14 beberapa konsentrasi. Pada dilusi cair, masing-masing konsentrasi ditambah suspensi kuman dalam media, sedangkan pada dilusi padat tiap konsentrasi zat uji dicampur dengan media agar, kemudian ditanami kuman (Anonim, 1994). Hasil yang diperoleh dari metode ini adalah Kadar Hambat Minimal (KHM) atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM) atau Minimum Bactericidal Concentration (MBC) yaitu konsentrasi terendah yang dapat menghambat dan membunuh pertumbuhan bakteri yang ditunjukkan dengan tidak adanya kekeruhan. Keuntungan metode dilusi padat adalah salah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008). 7. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi Lapis Tipis adalah metode pemisahan fisikokimia, lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan dalam penyangga berupa lempeng gelas, logam atau lapisan lain yang cocok. Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan yang ditotolkan sebagai bercak atau pita (awal). Setelah lempeng atau lapisan diletakkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), maka pemisahan terjadi selama perambatan (pengembangan). Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan atau dideteksi (Stahl, 1985). Fase diam (lapisan penjerap) yang umum digunakan dalam KLT ialah silika gel, selulosa, alumina, dan lain-lain. Silika gel merupakan penjerap yang paling banyak digunakan. Fase gerak atau pelarut pengembang

15 merupakan medium angkut yang terdiri satu atau beberapa pelarut yang bergerak di dalam fase diam (suatu lapisan yang berpori) karena adanya gaya kapiler (Stahl, 1985). Pemilihan fase gerak baik tunggal maupun campuran tergantung pelarut yang dianalisis dan fase diam yang digunakan. Bila fase diam sudah ditentukan, maka pemilihan fase gerak dapat berpedoman pada kekuatan elusi fase gerak tersebut. Selain itu, dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak, pelarut harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif. Daya elusi fase gerak juga harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan (Gandjar dan Rohman, 2007). Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis hasil elusi dapat dilakukan dengan cara fisika, kimia maupun biologi. Deteksi paling sederhana adalah cara fisika untuk substansi yang berfluoresensi pada lampu UV. Jika dengan cara tersebut senyawa tidak dapat dideteksi, harus dicoba dengan cara kimia dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas (Gandjar dan Rohman, 2007). Untuk mendeteksi secara khas senyawa yang mempunyai aktivitas fisiologi tertentu, digunakan prosedur uji biologi. Prosedur tersebut meliputi deteksi langsung pada plat KLT dan pengerokan bercak kromatogram yang kemudian diikuti pengalihan ke teknik deteksi biologi (Stahl, 1985). Jarak pengembangan senyawa pada plat hasil KLT biasanya dinyatakan

16 dengan faktor retardasi (harga Rf) yang dirumuskan sebagai: Rf (1) (Mulya dan Suharman, 1995) Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Peralatan yang digunakan juga lebih sederhana dan dapat dilakukan pada hampir semua laboratorium setiap saat secara cepat (Gandjar dan Rohman, 2007). 8. Bioautografi Metode spesifik untuk mendeteksi bercak pada lempeng hasil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan kromatografi kertas yang mempunyai aktivitas antibakteri, antifungi, antiviral disebut bioautografi (Djide, 2003). Keuntungan metode ini adalah sifatnya yang efisien untuk mendeteksi adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan walaupun berada dalam campuran yang kompleks sehingga memungkinkan untuk mengisolasi senyawa aktif tersebut. Kerugiannya adalah metode ini tidak dapat digunakan untuk menentukan KHM dan KBM (Pratiwi, 2008). Menurut Pratiwi (2008) ada dua macam metode bioautografi, yaitu: a. Bioautografi langsung Lempeng KLT disemprot dengan suspensi mikroorganisme ataupun dengan menyentuhkan lempeng KLT pada permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme. Setelah diinkubasi pada waktu tertentu, letak senyawa aktif tampak sebagai area jernih dengan latar belakang keruh.

17 b. Bioautografi overlay Prinsip dari metode ini adalah menuangkan media agar yang telah dicampur dengan mikroorganisme di atas permukaan lempeng KLT, media ditunggu hingga padat, kemudian diinkubasi. Area hambatan dilihat dengan penyemprotan menggunakan tetrazolium klorida. Senyawa yang aktif sebagai antimikroba akan tampak sebagai area jernih dengan latar belakang ungu. E. Keterangan Empiris Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh informasi ilmiah mengenai aktivitas antibakteri ekstrak etanol tanaman serai (Cymbopogon nardus (L.) Rendle) terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysenteriae beserta bioautografinya.