TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

TINJAUAN PUSTAKA. didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

I. PENDAHULUAN. dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut (Mulyadi dan Fitriani,

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosschen (hutan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang , 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. pada daerah landai di muara sungai dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ari Luqman, 2013

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia,

PENDAHULUAN Latar Belakang

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

Transkripsi:

TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Ekosistem mangrove merupakan sumber daya lahan basah wilayah pesisir dan sistem penyangga kehidupan dan kekayaan alam yang nilainya sangat tinggi, oleh karena itu perlu upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara lestari untuk kesejahteraan masyarakat (Sosia et al., 2014). Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung,laguna, muara sungai yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam, hutan pantai yang tidak terganggu termasuk hutan bakau, hutan littoral dan hutan rawa gambut yang ditandai dengan tegakan padat, spesies campuran dan struktur memainkan peran penting dalam perlindungan pesisir terhadap tsunami, oleh karena itu, vegetasi pesisir diperlukan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan mempertahankan kapasitas produksi sebagai bagian dari vegetasi berkelanjutan dan tahan lama (Onrizal dan Mansor., 2016). Vegetasi Hutan Mangrove Dalam hal struktur, mangrove di Indonesia lebih bervariasi bila dibandingkan dengan daerah lainnya. Dapat ditemukan mulai dari tegakan Avicennia marina dengan ketinggian 1-2 meter pada pantai yang tergenang air

laut, hingga tegakan campuran Bruguiera- Rhizophora-Ceriops dengan ketinggian lebih dari 30 meter (misalnya, di Sulawesi Selatan). Di daerah pantai yang terbuka, dapat ditemukan Sonneratia alba dan Avicennia alba, sementara itu di sepanjang sungai yang memiliki kadar salinitas yang lebih rendah umumnya ditemukan Nypa fruticans dan Sonneratia caseolaris. Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati, sementara jenis lain ditemukan disekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (Noor et al., 2006). Kondisi Terkini Ekosistem Hutan Mangrove Total luas hutan mangrove dunia pada tahun 2000 adalah 137.760 km 2 dari 118 negara. Sejauh ini luas terbesar mangrove ditemukan di Asia 42%, diikuti oleh Afrika (20%), Amerika Utara dan Tengah (15%), Oceania (12%), Amerika Selatan (11%) dan 22, 6 % diantaranya berada di indonesia yaitu 3,112,989 Ha. Sekitar 75% mangrove terkonsentrasi hanya dalam 15 negara (Giri et al., 2011). Namun kondisi hutan mangrove sampai saat ini masih mengalami tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Tuntutan pembangunan yang lebih menekankan pada tujuan ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, seperti konversi hutan mangrove untuk pengembangan kota-kota dan pemukiman pantai, perluasan tambak dan lahan pertanian serta adanya penebangan yang tidak terkendali, telah terbukti menjadi faktor faktor penyebab kerusakan ekosistem hutan mangrove dan degradasi lingkungan pantai. Kondisi seperti ini diperberat lagi dengan terjadinya

pencemaran air sungai/air laut dan eksploitasi sumberdaya laut yang tidak ramah lingkungan (Depertemen Kehutanan, 2005). Deforestasi bakau dan degradasi akan mempengaruhi karbon hutan dan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan iklim, sisi lain rehabilitasi hutan bakau meningkatkan penyerap karbon di tegakan hutan. simpanan karbon dan fauna keanekaragaman makrobentos mencatat menunjukkan peran rehabilitasi mangrove di stabilitas zona pasang surut. Indonesia memiliki luas hutan mangrove terluas di dunia, namun, ekosistem tropis penting di wilayah pesisir berada di bawah ancaman besar kerena berbagai aktifitas manusia (Onrizal dan Mansor, 2010). Pada akhir tahun 1960-an, Indonesia diperkirakan telah kehilangan lebih dari 200.000 hektar hutan bakau yang sebagian besar di tingkat Jawa dan Sumatra. Indonesia kehilangan bakau mulai secara dramatis meningkat di tahun 1970, pada tahun 1980-an adanya kebijakan dari pemerintah untuk memperluas tambak karena meningkatnya harga udang selama krisis keuangan Asia pada tahun 1997. Hasilnya indonesia telah kehilangan luas mangrove sebanyak 800.000 ha hanya dalam 30 tahun (Ilman et al., 2016). Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk pertambakan dan pertanian. Areal tambak di pesisir timur Sumatera Utara bertambah seluas 10.025 ha dalam kurun waktu 12 tahun. Areal tambak pada tahun 1988/1989 terluas terdapat di Kabupaten Deli Serdang (4.786 ha atau 46,32%), kemudian diikuti Kabupaten Langkat (4.462 ha atau 43,18%). Dengan demikian, areal tambak di pesisir timur Sumatera Utara pada tahun 2006

mencapai 15.901,92 ha atau dalam kurun waktu 1988/1989 sampai 2006 areal tambak bertambah seluas 5.568,92 ha hanya dalam kurun waktu 17 tahun saja (Onrizal., 2010). Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove yang menyediakan berbagai kebutuhan manusia saat sekarang ini telah terancam akibat berbagai aktivitas manusia yang menyebabkan hutan mangrove hilang dan rusak. Potensi manfaat ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari kawasan tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies maupun tingkat ekosistem apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi yang dibangun antara ekosistem dengan masyarakat sekitar kawasan tidak mengalami perubahan dan secara langsung menimbulkan akibat berupa sumber daya alam akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga ke tingkat yang sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat, tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun (Purwoko et al, 2005). Kehilangan atau kerusakan hutan mangrove di suatu wilayah akan menurunkan produktivitas mangrove dalam mendukung ekosistem pesisir dan telah menimbulkan berbagai persoalan lingkungan seperti banjir, intruksi air laut, abrasi pantai, penurunan volume dan keragaman jenis ikan yag ditangkap (Onrizal., 2010). Mangrove merupakan hutan yang mengandung karbon yang sangat besar di kawasan tropika. Kerusakan dan kehilangan mangrove akan mengurangi karbon hutan dan menjadi salah satu faktor penting perubahan iklim (Onrizal et al., 2016)

Tingkat kerusakan hutan mangrove di balik papan semakin bertambah setiap tahunnya di dikarenakan pertumbuhan penduduk sebesar 1.34% per tahun dan kepadatan penduduk yang terus meningkat sebesar 3.84% per tahun sehingga 50% lahan mangrove rusak karena dibangun pemukiman, pelabuhan, dan pertambakan. Melihat 3 aspek yaitu aspek teknik, aspek sosial, dan aspek kelembagaan, konsep ekowisata akan berhasil jika dilakukan konservasi hutan mangrove serta adanya dukungan dari Pemerintah Kota Balikpapan, Peraturan Undang-undang, peran serta masyarakat, dan Partisipasi BLH dan kalangan Perguruan Tinggi (Mulyadi., 2010) Restorasi Hutan Mangrove Restorasi adalah suatu proses yang bertujuan untuk mendapatkan kembali integritas ekologi dan meningkatkan kesejahteraan manusia di lanskap hutan gundul atau terdegradasi. Untuk memastikan bahwa upaya restorasi berhasil, langkah pertama adalah untuk memahami dinamika lanskap hutan dan kekuatan dominan yang bertanggung jawab untuk perubahan tersebut. (Zhang et al., 2010). Sebuah tim restorasi mangrove harus terdiri dari wakil-wakil dari berbagai disiplin ilmu sehingga potensi penuh dari kerangka dapat diwujudkan. Di tempat pertama penekanan sosial, ekonomi dan faktor ekologi dengan pertimbangan khusus untuk Asia Tenggara (pengaruh antropogenik yang tinggi). Mangrove yang mengalami Tipe II degradasi (penurunan karena peristiwa alam), pertimbangan sosial dan ekonomi mungkin kurang kritis. Kedua pengetahuan ekologi lokal, memiliki tinggi potensi untuk digunakan dalam restorasi mangrove karena dapat bertindak sebagai agen simbiosis antara restorasi mangrove ekologi dan masyarakat lokal. Pengetahuan ini bisa juga memajukan ilmu pengetahuan

dan memiliki potensi untuk memberikan arah baru. Hal ini diinginkan untuk memanfaatkan pengetahuan ekologi tradisional bersama dengan ilmiah pengetahuan yang diperoleh dari eksperimen. Pengetahuan Tradisional juga dapat disempurnakan melalui bertahap pengembangan pemahaman ilmiah. Ketiga, pada pengukuran yang komprehensif saat keberhasilan restorasi merupakan tantangan karena kurangnya indikator kuantitatif. Jika diukur Indikator dikembangkan, akan lebih mudah untuk memantau keberhasilan atau kegagalan dari restorasi mangrove (Biswas et al., 2009). Rehabilitasi dan restorasi mangrove dapat mendorong kembalinya spesiesspesies seperti herbivora, kepiting dan moluska secara umum. Mangrove hasil restorasi mampu menyetarakan dengan tegakan alami. Dengan demikian diperlukan upaya upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dapat menjamin keberlanjutan ekosistem mangrove. Langkah awal yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan menganalisis status kerusakan yang terjadi, sehingga dapat dilakukan tingkatan kegiatan konservasi sebagai alat untuk mengembalikan ekosistem mangrove yang hilang (Bosire et al., 2008). Penggalakan kegiatan konservasi sebagai alat dan pengikut sertaan masyarakat dalam kegiatan pemulihan serta pengelolaan mangrove sebagai upaya antisipasi yang dapat dilakukan merupakan kunci keberhasilan pelestarian mangrove. Upaya ini harus disertai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, melalui kegiatan ekowisata. Hal ini dilakukan untuk mencapai pembangunan pesisir yang berkelanjutan, sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi yang optimum bagi pemerintah daerah dan masyarakat sekaligus mempertahankan

kualitas ekosistem mangrove sebagai sistem penyangga kehidupan (Wardhani, M., 2011). Pendugaan Karbon Sebagian besar unsur C yang terurai ke udara biasanya terikat dengan O2 (oksigen) dan menjadi CO2 (karbon dioksida), ketika satu hektar hutan menghilang (pohon-pohonnya mati), maka biomasa pohon-pohon tersebut cepat atau lambat akan terurai dan unsur karbonnya terikat ke udara menjadi emisi (terlepas dari perdebatan laju dekomposisi kayu yang bervariasi). Satu lahan kosong ditanami tumbuhan, maka akan terjadi proses pengikatan unsur C dari udara kembali menjadi biomasa tanaman secara bertahap ketika tanaman tersebut tumbuh besar (sekuestrasi). Ukuran volume tanaman penyusun lahan tersebut kemudian menjadi ukuran jumlah karbon yang tersimpan sebagai biomasa (cadangan karbon) (Harja et al., 2012). Penyimpanan karbon yang diukur dari pohon, biomassa kayu mati, kandungan karbon tanah, dan kedalaman tanah di hutan bakau. Pentingnya penyimpanan karbon secara global di lahan basah pesisir di Indonesia dinilai berdasarkan pengukuran kandungan karbon organik lamun hidup, biomassa bakau dan tanah kolam, Lahan yang terus-menerus degradasi dan perusakan lahan basah ini memiliki konsekuensi penting bagi emisi CO 2 dan pertukaran karbon dengan perairan pesisir yang berdekatan. Sekitar 29.040 Gg (Giga gram) CO 2 kembali setiap tahun ke atmosfer- dasar laut, ini Jumlah yang setara dengan 3,2% dari emisi tahunan Indonesia yang terkait dengan hutan dan konversi lahan gambut (Alongi., 2015).

Berdasarkan persamaan alometrik umum faktor 0,5 biomassa dari karbon, simpanan karbon di atas dan di bawah tanah, semua individu pohon yang memiliki diameter 5 cm dan lebih dalam setiap jenis penggunaan lahan harus dihitung. Simpanan karbon total bervariasi untuk setiap penggunaan jenis tanah, simpanan karbon tertinggi ditemukan di lahan rehabilitasi mangrove (RM), yaitu 202,06 ton C / ha dengan distribusi karbon di atas tanah (138,17 ton C / ha atau 68,4%) dan karbon di bawah tanah (63,89 ton C / ha atau 31,6%). Jumlah karbon pada penggunaan lahan SM lebih dari penggunaan lahan kolam sylvofishery, yaitu 145,64 ton C / ha dan 60,08 ton C / ha, masing-masing. Sementara itu simpanan karbon tersimpan di lahan tambak intensif tidak ada dikarenakan semua pohon bakau di tambak tersebut telah di bersihkan (Onrizal et al., 2009). Kehilangan karbon di atas permukaan tanah terbesar (97%) ditemukan pada hutan mangrove yang ditebang untuk arang bakau (PF), dan 87% hutan mangrove yang ditebang bukan untuk arang bakau namun untuk penggunaan lain (NF) oleh masyarakat sekitar hutan. Pengelolaan hutan mangrove sebagai hutan desa mampu menjaga karbon di atas permukaan tanah sebagai bagian dari karbon di dalam ekosistem mangrove, tipe pengelolaan hutan mangrove berpengaruh nyata terhadap karbon di atas permukaan tanah. Pengelolaan hutan mangrove berupa hutan konservasi belum mampu menjaga karbon dibandingkan hutan mangrove yang dikelola sebagai hutan desa (Onrizal et al., 2016)