1 I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Air adalah sumber kehidupan utama bagi makhluk hidup, karena itu kebersihan air dan terbebasnya air dari berbagai polutan sangatlah penting. Namun, pada kenyataannya terkadang mendapatkan air bersih yang bebas polutan menjadi sulit. Hal ini disebabkan karena kemajuan peradaban manusia menuju era teknologi menghasilkan limbah secara berlebihan, juga dikarenakan meningkatnya limbah yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia yang dapat membahayakan manusia maupun lingkungannya baik di kehidupan darat maupun perairan. Salah satu polutan air yang sering dibicarakan adalah fosfat, dimana fosfat merupakan bahan yang sangat penting untuk beberapa aplikasi industri yang digunakan dalam jumlah yang besar. Aplikasi yang paling penting adalah bahan utama dalam industri pupuk, aplikasi yang lain termasuk pada deterjen, pelunakan air, makanan dan minuman, metalurgi, dan lain sebagainya (Karageorgiou dkk., 2006). Penggunaan yang luas dari fosfat ini pasti menghasilkan sejumlah besar limbah yang dibuang ke perairan dan terkadang tanpa pengolahan yang merupakan pemicu utama terjadinya eutrofikasi. Selain perhatian terhadap limbah fosfat, kepedulian terhadap pembuangan limbah yang kaya sulfat dan nitrat juga perlu ditingkatkan, yang keduanya merupakan makronutrien tumbuhan. Pembuangan limbah industri yang mengandung sulfat dengan konsentrasi yang tinggi akan memasuki perairan sehingga memberikan kontribusi secara langsung dalam menganggu proses mineralisasi dan menyebabkan korosi pada pipa. Sementara itu, nitrat berkontribusi pada peristiwa eutrofikasi dan merupakan racun bagi bayi dan balita (Du Preeze dkk., 1999). Konsentrasi nitrat yang tinggi dalam air minum, dapat menyebabkan kanker lambung pada orang dewasa dan methemoglobinemia atau sindrom bayi biru yang merupakan resiko kesehatan yang serius (Almasri, 2007; Seliem dkk., 2013). Jika nitrat terkonversi menjadi nitrit kemudian bereaksi dengan hemoglobin akan menyebabkan warna kebiruan pada bayi yang baru lahir 1
2 karena haemoglobin berubah menjadi methaemoglobin yang tidak dapat mengangkut oksigen (Chatterjee dan Woo, 2009). Sulfat biasanya berasal dari penggunaan asam sulfat di bidang manufaktur, proses kimiawi dan metalurgi, atau dari oksidasi bahan pirit dalam bijih material dalam kondisi alamiah. Nitrat biasanya berasal dari limbah domestik, seperti manufaktur pupuk dan bahan peledak (Du Preeze, 1999). Telah banyak usaha yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan lingkungan oleh kontaminasi anion seperti nitrat, fosfat, dan sulfat. Salah satunya adalah teknik penghilangan fosfat dengan cara presipitasi dengan garam kalsium, aluminium dan besi yang dianggap metode yang paling efektif dan terkini. Namun, terkendala oleh pengelolaan dengan biaya yang tinggi serta produk imobilisasi berupa lumpur fosfat dengan kandungan fosfor yang relatif tinggi akan menimbulkan masalah baru karena penanganannya jauh lebih rumit, sehingga metode ini tidak dikembangkan secara luas (Karageorgiou dkk., 2007). Pengolahan limbah sulfat melalui teknik presipitasi kimia juga merupakan salah satu alternatif yakni dengan penambahan garam barium atau kalsium, terutama untuk pengolahan air limbah yang mengandung konsentrasi sulfat yang tinggi. Namun, kendalanya adalah diperlukan pemisahan fase padat dan cair sehingga termasuk metode yang rumit. Alternatif yang lain adalah penyaringan dengan menggunakan membran namun biaya dan konsumsi energi yang relatif tinggi proporsional dengan konsentrasi sulfat (Silva dkk., 2002). Berbagai metode penghilangan nitrat juga telah banyak dilakukan, diantaranya denitrifikasi secara biologi namun kurang efektif pada suhu di bawah 7 C dan kurang sesuai untuk penghilangan nitrat di perairan. Selain itu, reduksi secara kimiawi juga telah banyak dilakukan, namun prosesnya memungkinkan melepas residu senyawa toksik. Pertukaran ion dianggap metode yang efektif dan sederhana, namun pengelolaannya mahal karena menggunakan sejumlah bikarbonat dan sulfat serta meningkatkan jumlah ion klorida dalam limbah karena pergantian nitrat dengan klorida (Schipper dan Vukovic, 2001; Chatterjee dan Woo, 2009; Hu dkk., 2001; Bae dkk., 2001).
3 Dengan demikian, perlu dipikirkan cara yang sederhana dan biaya pengelolaan yang relatif murah namun dengan hasil yang efektif dalam mengatasi masalah limbah oleh kontaminasi anion seperti nitrat, fosfat, dan sulfat yakni melalui metode adsorpsi. Adsorpsi lebih menarik perhatian karena merupakan salah satu teknik yang sederhana, prosesnya mudah dan cepat dengan biaya pengelolaan yang murah (Ali dan Gupta., 2006; Ahmad, 2009). Adsorben yang paling sering digunakan adalah karbon aktif namun karena keterbatasan kapasitas loadingnya terhadap beberapa polutan dan proses regenerasinya pun sulit serta dibatasi oleh biaya pengelolaan yang tinggi dibanding dengan adsorben yang lain (Ma dkk., 2012; Ali dan Gupta., 2006; Sayari dkk., 2004). Beberapa kerugian yang lain seperti resiko kebakaran, sifat higroskopisitas yang tinggi dan kemungkinan pori tersumbat dikarenakan polimerisasi beberapa senyawa organik volatil yang dikatalisis oleh abu yang ada pada permukaan karbon aktif (Adebajo dkk., 2003). Sekarang ini, banyak adsorben murah yang sedang dikembangkan di seluruh dunia untuk menggantikan karbon aktif, salah satunya adalah lempung yang dikenal murah karena kelimpahannya (Toor dkk., 2014; Ma dkk., 2012; Bailey dkk., 1999). Lempung adalah mineral aluminosilikat terhidrasi yang secara dominan terbuat dari fraksi koloid (<2 µm) dari tanah, sedimen, batu dan air (Pinnavaia, 1983). Lempung banyak digunakan sebagai adsorben karena kelebihan yang dimiliki seperti luas permukaan yang tinggi, stabilitas mekanik dan kimia, struktur berlapis dan kapasitas tukar kation yang tinggi (Gupta dan Bhattacaryya, 2006; Bailey dkk., 1999; Du dan Hayashi, 2006). Bentonit adalah salah satu mineral lempung yang melimpah di alam dengan ukuran partikel yang halus, luas permukaan yang besar, kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi, memiliki beberapa situs asam serta permeabilitas yang rendah dan kemampuan untuk swelling, sehingga banyak diaplikasikan sebagai adsorben (Komadel dkk., 2003; Kaufhold dkk., 2007; Ma dkk., 2012). Bentonit memungkinkan digunakan sebagai adsorben polutan kationik karena memiliki muatan negatif pada lembarannya, namun kapasitas adsorpsinya kecil terhadap polutan anionik, sehingga perlu dilakukan modifikasi. Dengan demikian bentonit
4 yang telah dimodifikasi juga dapat digunakan sebagai adsorben anionik melalui modifikasi dengan metode partisi (Zhu dkk., 2008; Chen dkk., 2005). Modifikasi bentonit alam biasanya dilakukan dengan pencucian asam ataupun interkalasi dengan surfaktan kationik seperti CTAB (cetyltrimethyl ammonium bromide) atau HDTMA (Hexadecyltrimethyl ammonium bromide), sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas adsorpsinya. Beberapa studi tentang modifikasi bentonit dengan surfaktan menunjukkan kapasitas adsorpsi meningkat terhadap senyawa anionik (Utami 2014; Hayati 20; Kaufhold dkk., 2007; Li dan Bowman, 2001). Struktur tiga dimensi dari bentonit mendukung dilakukannya interkalasi surfaktan kationik pada permukaan luarnya sehingga akan ada bagian bentonit yang menangkap kation dan anion serta molekul netral pada bagian inti hidrofobiknya yang menjadikan bentonit mampu digunakan sebagai adsorben multifungsi (Alkaram dkk., 2009). Namun, dalam penelitian ini fokus pada adsorbat berupa anion. Salah satu masalah lingkungan yang menjadi perhatian secara global adalah penggunaan pupuk komersial yang tidak efisien. Hal ini menyebabkan kurangnya asupan nutrisi bagi tanaman berupa unsur hara yang dapat berakibat terhadap kualitas panen dan timbulnya kekhawatiran akan terjadinya pencemaran lingkungan dengan pemakaian pupuk secara berlebihan. Oleh karena itu, dipikirkan cara untuk mengatasi masalah ini dengan mengurangi pemakaian sumber nutrisi dari pupuk serta menghindari pemakaian secara berlebihan namun dengan asupan nutrisi yang cukup bagi tanaman. Dengan demikian, hasil panen tetap bahkan bisa meningkat, serta dapat mengurangi terjadinya polusi baik pada tanah maupun perairan yaitu dengan penggunaan pupuk lepas lambat (Matson dkk., 1997; Oosterhuis dan Howard, 2008) Adanya potensi terlepasnya kembali anion-anion yang telah teradsorpsi pada material yang dimaanfaatkan sebagai adsorben, menjadi suatu ketertarikan untuk memanfaatkan material tersebut untuk dijadikan material kontrol dalam aplikasi pupuk lepas lambat sehingga mengefisienkan penggunaan pupuk. Dengan demikian, syarat untuk menjadi material kontrol pupuk lepas lambat harus mampu menjerap sebanyak-banyaknya adsorbat yang kemudian akan dilepaskan lagi
5 secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu selama fase pertumbuhan tanaman sesuai kebutuhan tanaman akan hunsur hara tersebut (Khitome dkk., 1998). Uraian yang telah dikemukakan menjadi dasar dilakukannya studi adsorpsi-desorpsi anion seperti nitrat, fosfat, dan sulfat pada bentonit termodifikasi yang merupakan kontaminan utama dalam perairan namun juga merupakan komponen unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Dari studi yang dilakukan, dapat ditentukan kapasitas adsorpsi bentonit termodifikasi surfaktan kationik terhadap limbah anionik serta kemungkinan bentonit termodifikasi dimanfaatkan sebagai material kontrol untuk aplikasi pupuk lepas lambat. Dengan demikian, selain dapat mengatasi masalah lingkungan dengan cara adsorpsi juga adanya manfaat lanjutan yakni berperan penting dalam aplikasi pupuk lepas lambat. I.2 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah antara lain: 1. Uji adsorpsi bentonit termodifikasi CTAB terhadap anion yaitu nitrat, fosfat dan sulfat 2. Uji desorpsi anion yaitu nitrat, fosfat, dan sulfat yang menempel pada bentonit termodifikasi CTAB melalui proses adsorpsi yang dilakukan pada medium air dan asam sitrat 0,33 M I.3 Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain: 1. Memberikan informasi bagaimana kemampuan adsorpsi bentonit termodifikasi terhadap anion seperti nitrat, fosfat, dan sulfat 2. Memberikan informasi bagaimana kemampuan bentonit termodifikasi yang mengandung anion nitrat, fosfat dan sulfat mendesorpsikan kembali anion-anion tersebut melalui medium air dan asam sitrat