BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu bangsa adalah meningkatkan kesejahteraan setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing (UU No. 17/2007).

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

BAB I PENDAHULUAN. keemasan, yang memiliki masa tumbuh kembangnya berbagai organ tubuh. Bila

BAB 1 PENDAHULUAN. Puskesmas merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan. Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan

PEMERINTAH KOTA SURABAYA DINAS KESEHATAN KOTA UPTD PUSKESMAS SEMEMI

BAB I PENDAHULUAN. gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini diarahkan untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia. (SDM), karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh

5 / 7

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

Tabel 4.1 INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN Formulasi Penghitungan Sumber Data

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

I. PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan mempunyai visi mewujudkan masyarakat mandiri untuk

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesempatan Indonesia untuk memperoleh bonus demografi semakin terbuka dan bisa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan dewasa sampai usia lanjut. Dari seluruh siklus kehidupan, program perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut United Nations International

PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 adalah mengumpulkan. dan menganalisis data indikator MDG s kesehatan dan faktor yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan salah satu indikator masalah gizi yang menjadi fokus

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Maka kesehatan adalah dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I LATAR BELAKANG. Kekurangan Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

BAB I PENDAHULUAN. energi protein (KEP), gangguan akibat kekurangan yodium. berlanjut hingga dewasa, sehingga tidak mampu tumbuh dan berkembang secara

RENCANA KINERJA TAHUNAN KEGIATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PROMOSI KESEHATAN TAHUN 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI GIZI. di Indonesia. 25 Januari - Hari Gizi dan Makanan Sedunia

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. http ://digilip.unimus.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang bermutu. Menurut data United Nations Development Program

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Selama beberapa periode belakangan ini, pembangunan sosial di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN

LAUNCHING RENCANA AKSI NASIONAL PANGAN DAN GIZI (RAN-PG) TAHUN

BAB VI INDIKATOR KINERJA PERANGKAT DAERAH YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD

RINGKASAN EKSEKUTIF. L K j - I P D i n a s K e s e h a t a n P r o v. S u l s e l T A

PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA

BAB IV VISI MISI, TUJUAN, SASARAN STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. fisik. Pertumbuhan anak pada usia balita sangat pesat sehingga memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ialah. menurunkan angka kematian anak (Bappenas, 2007). Kurang gizi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. depan bangsa, balita sehat akan menjadikan balita yang cerdas. Balita salah

BAB I PENDAHULUAN. Tingginya angka kematian bayi dan anak merupakan ciri yang umum

Sikap ibu rumah tangga terhadap penyuluhan gizi dalam pemenuhan gizi balita di wilayah binaan puskesmas I Gatak kecamatan Gatak kabupaten Sukoharjo

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

REPUBLIK INDONESIA 2. PRIORITAS NASIONAL KESEHATAN

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang masih tersebar luas di negara-negara. berkembang termasuk di Indonesia, masalah yang timbul akibat asupan gizi

RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN KESEHATAN TAHUN

WALIKOTA PROBOLINGGO

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu bangsa adalah meningkatkan kesejahteraan setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas sumberdaya manusia. Ukuran kualitas sumberdaya manusia dapat diketahui dari indeks pembangunan manusia (IPM) dan ukuran kesejahteraan masyarakat dapat diketahui dari tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat (Bapenas, 2007). Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dan status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik (Unicef, 2002). Pembangunan Kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemauan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Masyarakat diharapkan mampu berpartisipasi aktif dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, dengan demikian masyarakat mampu menjadi subyek dalam pembangunan kesehatan. Banyak kemajuan sudah dicapai oleh Indonesia, tetapi keadaan masyarakat masih perlu mendapat perhatian. Kemajuan di bidang kesehatan dapat ditingkatkan melalui desentralisasi bidang kesehatan sebagai pendekatan yang dianggap paling tepat saat ini. Beberapa peraturan perundang-perundangan bidang kesehatan sebagai tindak lanjut adalah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang merupakan inti kebijakan desentralisasi. Pengertian kesehatan tertulis dalam Undang-Undang

2 Nomor 23 tahun 1992, bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Berdasar Undang-undang tersebut, kesehatan menjadi tanggung jawab semua pelaku pembangunan (Trisnantoro, 2001). Instansi kesehatan memerlukan kemampuan dalam mensosialisasikan dan mengadvokasikan pemahaman dampak pembanguan terhadap kesehatan sehingga aspek kesehatan menjadi kebijakan bagi setiap pengelola program kesehatan, lintas sektor dan masyarakat. Salah satu upaya kesehatan dasar yang merupakan program minimal dan harus dilaksanakan setiap Puskesmas adalah Program Promosi Kesehatan dengan melaksanakan berbagai kegiatan promosi hidup bersih dan sehat dengan indikator keberhasilan adalah perbaikan perilaku sehat masyarakat (Kemenkes, 2007). Status gizi anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan indikator kesehatan yang penting karena anak balita merupakan kelompok yang rentan terhadap penyakit dan kurang gizi (Suhardjo et al, 2003). Unsur gizi merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan SDM yang berkualitas yaitu manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. Gangguan gizi pada awal kehidupan dapat mempengaruhi kualitas kehidupan berikutnya. Gizi kurang pada balita tidak hanya menimbulkan gangguan pertumbuhan fisik, tetapi juga mempengaruhi kecerdasan dan produktivitas ketika dewasa (Atmojo dan Surjono,1998) Asupan energi pada 40,7% penduduk Indonesia berada di bawah kebutuhan minimal yaitu kurang dari 70% dari angka kecukupan gizi (AKG) Indonesia. Asupan protein pada 37% penduduk Indonesia juga berada di bawah kebutuhan minimal yaitu kurang dari 80% AKG Indonesia, Provinsi Bali merupakan provinsi dengan penduduk yang mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal dengan persentase terendah sebesar 30,9%, dan yang persentasenya tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Barat (46,7%). Provinsi yang penduduknya mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal dengan persentase terendah adalah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (18,0%), dan yang persentasenya tertinggi adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (56,0%) (Puslitbang Kemenkes, 2010).

3 Secara nasional sudah terjadi penurunan prevalensi gizi kurang (berat badan menurut umur) pada balita dari 18,4 persen tahun 2007 menjadi 17,9 % tahun 2010. Penurunan terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen pada tahun 2007 menjadi 4,9 persen tahun 2010. Tidak terjadi penurunan pada prevalensi gizi kurang, yaitu tetap 13,0 %. Prevalensi pendek pada balita adalah 35,7 %, menurun dari 36,7 % pada tahun 2007. Penurunan terutama terjadi pada prevalensi balita pendek yaitu dari 18,0 persen tahun 2007 menjadi 17,1 persen tahun 2010, sedangkan prevalensi balita sangat pendek yaitu dari 18,8 % tahun 2007 menjadi 18,5 % tahun 2010. Penurunan juga terjadi pada prevalensi anak kurus, dimana prevalensi balita sangat kurus menurun dari 13,6 % tahun 2007 menjadi 13,3 % tahun 2010 (Puslitbang Kemenkes, 2010). Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan antar provinsi. Terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk diatas prevalensi nasional. Masih ada 15 provinsi memiliki prevalensi anak pendek, dan prevalensi anak kurus di atas angka nasional. Prevalensi pendek pada balita yang diatas prevalensi nasional ditemukan di 15 provinsi dan untuk prevalensi anak kurus diatas prevalensi nasional diidentifikasi 19 provinsi (Puslitbang Kemenkes, 2010). Tabel 1 meyajikan data prevalensi status gizi balita (TB/U dan BB/TB) menurut Provinsi tahun 2010. Tabel 1. Prevalensi status gizi balita (TB/U & BB/TB) menurut Provinsi Tahun 2010 Sumber. Puslitbang Kementerian Kesehatan, Riskesdas (2010)

4 Data Riskesdas 2010 menunjukkan terjadinya penurunan prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi 17,9 persen. Dengan melihat kecenderungan ini, diharapkan target MDG s sebesar 15,5 persen dapat tercapai pada tahun 2015 (Puslitbang Kemenkes, 2010). Saat ini diperkirakan sekitar 50 persen penduduk Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa mengalami beraneka masalah kekurangan gizi, yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Masalah gizi kurang sering luput dari penglihatan atau pengamatan biasa dan seringkali tidak cepat ditanggulangi, padahal masalah tersebut dapat memunculkan masalah besar. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (Bapenas, 2007). Kekurangan gizi merupakan salah satu penyebab tingginya kematian pada bayi dan anak. Apabila anak kekurangan karbohidrat (zat tenaga) dan protein (zat pembangun) berakibat anak menderita gizi kurang yang disebut KEP tingkat ringan dan sedang, apabila hal ini berlanjut lama maka akan berakibat terganggunya pertumbuhan, terganggunya perkembangan mental, menyebabkan terganggunya sistem pertahanan tubuh, hingga menjadikan penderita KEP tingkat berat sehingga sangat mudah terserang penyakit dan dapat berakibat kematian (Pudjiati, 1993). United Nations International Children's Emergency Fund (2002), menjelaskan terdapat dua faktor langsung penyebab gizi kurang pada anak balita, yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling mendorong. Sebagai contoh, anak balita yang tidak mendapat cukup makanan bergizi seimbang memiliki daya tahan yang rendah terhadap penyakit sehingga mudah terserang infeksi. Sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dapat mengakibatkan asupan gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik sehingga berakibat pada gizi buruk. Faktor penyebab langsung adalah infeksi yang berkaitan dengan tingginya prevalensi dan kejadian penyakit infeksi terutama diare, ISPA, TBC,

5 malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS. Infeksi ini dapat mengganggu penyerapan asupan gizi sehingga mendorong terjadinya gizi kurang dan gizi buruk. Sebaliknya, gizi kurang melemahkan daya tahan anak sehingga mudah sakit (Unicef, 2002). Faktor penyebab tidak langsung pertama adalah makanan yang dikonsumsi, harus memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, yang pada tingkat makro ditunjukkan oleh tingkat produksi nasional dan cadangan pangan yang mencukupi; dan pada tingkat regional dan lokal ditunjukkan oleh tingkat produksi dan distribusi pangan. Ketersediaan pangan sepanjang waktu, dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau sangat menentukan tingkat konsumsi pangan di tingkat rumah tangga. Selanjutnya pola konsumsi pangan rumah tangga akan berpengaruh pada komposisi konsumsi pangan (Unicef, 2002) Untuk menjaga agar seseorang tidak kekurangan gizi maka akses setiap individu terhadap pangan harus dijamin ketersediaannya. Akses pangan setiap individu ini sangat tergantung pada ketersediaan pangan dan kemampuan untuk mengakses pangan secara kontinyu (spasial dan waktu). Kemampuan mengakses pangan ini dipengaruhi oleh daya beli, yang berkaitan dengan tingkat pendapatan dan kemiskinan seseorang (World Bank, 2006). World Bank (2006) mengungkapkan pentingnya penanggulangan kekurangan gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok umur sesuai siklus kehidupan. Investasi di sektor sosial menjadi sangat penting dalam peningkatan SDM karena akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara. Investasi gizi juga berperan penting untuk memutuskan lingkaran setan kemiskinan dan kurang gizi sebagai upaya peningkatan SDM. Beberapa dampak gizi kurang adalah: (1) rendahnya produktivitas kerja; (2) kehilangan kesempatan sekolah; dan (3) kehilangan sumberdaya karena biaya kesehatan yang tinggi (World Bank, 2006). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 secara tegas telah memberikan arah Pembangunan Pangan dan Gizi dengan sasaran meningkatnya ketahanan pangan dan meningkatnya status kesehatan dan

6 gizi masyarakat. Sedangkan, strategi nasional yang menjabarkan kebijakan diatas meliputi: (1) Perbaikan gizi masyarakat, terutama pada ibu pra-hamil, ibu hamil, dan anak melalui peningkatkan ketersediaan dan jangkauan pelayanan kesehatan berkelanjutan difokuskan pada intervensi gizi efektif pada ibu pra-hamil, ibu hamil, bayi, dan anak baduta; (2) Peningkatan aksebilitas pangan yang beragam melalui peningkatan ketersediaan dan aksesibiltas pangan yang difokuskan pada keluarga rawan pangan dan miskin; (3) Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan melalui peningkatan pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri rumah tangga (PIRT) tersertifikasi; (4) Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui peningkatan pemberdayaan masyarakat dan peran pimpinan formal serta non formal, terutama dalam peribahan perilaku atau budaya konsumsi pangan yang difokuskan pada penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, perilaku hidup bersih dan sehat, serta merevitalisasi posyandu; dan (5) Penguatan kelembagaan pangan dan gizi melalui penguatan kelembagaan pangan dan gizi di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten dan kota yang mempunyai kewenangan merumuskan kebijakan dan program bidang pangan dan gizi,termasuk sumber daya serta penelitian dan pengembangan (Bapenas, 2010). Kotamadya Surabaya merupakan salah satu kota yang belum terbebas dari permasalahan gizi buruk. Menurut data Dinas Kesehatan Kota Surabaya, sampai dengan akhir tahun 2007, sebanyak 1,96% Balita mengalami gizi buruk dan sebanyak 6,85 % gizi kurang, sehingga jumlah total penderita kurang energi protein sebanyak 8,80%. Tahun 2008, jumlah balita meninggal yang dirawat di Rumah Sakit Dr Soewandi Surabaya karena gizi buruk mencapai 10 anak dari total 197 anak gizi buruk yang dirawat di Rumah Sakit Kota Surabaya. Sementara total balita gizi buruk yang dirawat di berbagai Puskesmas Perawatan di wilayah Kotamadya Surabaya mencapai jumlah 372 anak (DKK Surabaya, 2009) Data Dinas Kesehatan Kotamadya (DKK) Surabaya menyebutkan terjadinya penurunan penderita kurang energi protein (KEP) dari 10,41% pada tahun 2008 menjadi 7,99 %, kecamatan dengan kondisi KEP Total terburuk

7 adalah Kecamatan Sukomanunggal dan Kecamatan Sidotopo (DKK Surabaya, 2009). Melihat kenyataan bahwa Kotamadya Surabaya belum terbebas dari masalah gizi buruk, maka pembangunan kesehatan di Kota Surabaya saat ini diarahkan pada peningkatan upaya promotif dan preventif, disamping peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat terutama penduduk miskin. Peningkatan kesehatan masyarakat, meliputi upaya pencegahan penyakit menular ataupun tidak menular, dengan cara memperbaiki kesehatan lingkungan, gizi, perilaku dan kewaspadaan dini. Paradigma masyarakat terhadap kesehatan yang selama ini diartikan pengobatan (kuratif), diubah menjadi sehat itu indah, dan sehat itu gratis (DKK Surabaya, 2009). Upaya kesehatan dasar yang meliputi upaya promotif dan preventif merupakan program minimal dan harus dilaksanakan oleh setiap Puskesmas. Program Promosi Kesehatan dengan melaksanakan berbagai kegiatan promosi hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan indikator keberhasilan adalah perbaikan perilaku sehat pada masyarakat. Upaya pemberdayaan kesehatan masyarakat yang dilaksanakan melalui beberapa kegiatan antara lain pendekatan advokasi kesehatan, bina suasana masyarakat dan gerakan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut ditujukan untuk masyarakat, individu dan keluarga oleh tenaga promosi kesehatan masyarakat di Puskesmas dengan metode kampanye kesehatan melalui penyebarluasan informasi kesehatan (Hapsara, 2004.) Salah satu kegiatan promotif dan preventif tersebut adalah meningkatkan kegiatan promosi kesehatan di setiap pelayanan kesehatan dasar yaitu pada tingkat pelayanan di puskesmas maupun di posyandu tentang gizi buruk yang dirasa masih sangat kurang. Selama ini, promosi kesehatan dilakukan hanya penyebaran leaflet yang diberikan oleh petugas dinas kesehatan Provinsi kepada Dinas Kesehatan Kotamadya Surabaya dan leaflet hanya dibagikan ke puskesmas. Kegiatan yang hanya bersifat pendistribusian leaflet mengakibatkan kegiatan penanggulangan gizi buruk yang dilakukan oleh Pemerintah Kotamadya Surabaya belum optimal (DKK Surabaya, 2009).

8 Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini memfokuskan pada penggalian informasi bagaimana proses pelaksanaan implementasi kebijakan program promosi kesehatan penanggulangan gizi buruk di Kecamatan Sukomanunggal dan Kecamatan Sidotopo wilayah Kotamadya Surabaya. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, fokus permasalahan yang akan dikaji adalah masih tingginya kasus gizi buruk di Kotamadya Surabaya ditinjau dari kebijakan program promosi kesehatan. Rumusan masalah yang diajukan adalah bagaimana proses implementasi kebijakan program promosi kesehatan dalam upaya penanggulangan gizi buruk di Kotamadya Surabaya. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Secara umum tujuan yang diharapkan adalah memperoleh informasi dan gambaran tentang proses pelaksanaan implementasi kebijakan program promosi kesehatan dalam upaya penanggulangan gizi buruk di Kotamadya Surabaya. 2. Tujuan Khusus a. Memperoleh informasi secara mendalam tentang proses komunikasi dalam implemntasi kebijakan program promosi kesehatan penanggulangan gizi buruk. b. Memperoleh informasi secara mendalam tentang pemenuhan sumberdaya dalam implementasi kebijakan program promosi kesehatan penanggulangan gizi buruk. c. Memperoleh informasi secara mendalam tentang proses disposisi dalam implementasi kebijakan program promosi kesehatan penaggulangan gizi buruk. d. Memperoleh informasi mendalam tentang struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan program promosi kesehatan penanggulangan gizi buruk

9 D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitianyang diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Bagi Pemerintah Kotamadya Surabaya, sebagai masukan dalam memberikan sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan untuk penyusunan kebijakan program promosi kesehatan dalam upaya penanggulangan gizi buruk; 2. Bagi Dinas Kesehatan Kotamadya Surabaya, diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna dalam menyusun program promosi kesehatan khususnya bagi penanggulangan gizi buruk; 3. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat dijadikan referensi atau masukan bagi penelitian selanjutnya yang akan melakukan penelitian serupa. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang implementasi kebijakan program promosi kesehatan dalam upaya penanggulangan gizi buruk di Kotamadya Surabaya sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti lain dan memiliki kemiripan antara lain adalah: 1. Yuniarti (2009) meneliti tentang strategi implementasi program askeskin di rumah sakit umum daerah Tugurejo Semarang. Desain Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan cara wawancara mendalam, pengamatan/observasi, dan studi dokumentasi. Subyek utama penelitian ini adalah pengelola program askeskin di rumah sakit. Analisis data yang digunakan adalah analisis domain dan analisis taksonomi. Analisis datanya menggunakan strategi targeting, strategi sosialisasi, strategi pendanaan dan pelayanan Rumah Sakit Uumum Daerah Tugurejo kepada pasien miskin. Hasil penelitian ini menyatakan Keberagaman instansi yang melaksanakan suatu program dapat dipandang sebagai modal dari segi sumber daya manusia yang harus dikelola sedemikian rupa sehingga dapat menjadi sisi positif dari implementasi program. Namun ketika instansi-instansi ini gagal

10 dipadukan, maka hanya akan menjadi penghambat jalannya implementasi yang efektif dan efisien. Selain itu Ada beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi Program Askeskin di RSUD Tugurejo, antara lain mengenai kejelasan tentang kelompok sasaran, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga atau instansiinstansi pelaksana, dukungan publik, komunikasi, dan pengawasan. Persamaan dengan penelitian ini adalah penggalian informasi stakeholder dan metode yang digunakan. Perbedaan dengan penelitian ini adalah dalam analisis data yang digunakan, 2. Kadir (2004) meneliti persepsi stakeholder dan evaluasi terhadap perencanaan strategis di Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan cara pengambilan data dengan wawancara mendalam dan FGD. Proses Analisis datanya penelitian ini mengenai implementasi keputusan stratejik UNM terpilih yakni Peraturan Akademik dan Renstra UNM 2005-2009. Dalam analisis datanya implementasi keputusan stratejik bukan saja ditentukan aktor atau unit organisasi yang terlibat, melainkan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu: 1) Sumber daya manusia baik dari segi kuantitas, maupun kualitasnya; 2) komunikasi dalam arti keputusan stratejik yang menjadi kajian penelitian ini tidak disosialisasikan secara baik kepada sivitas akademika; 3) disposisi artinya setiap pelaksana harus memiliki watak dan karakter, komitmen dan kejujuran, serta sifat demokratis dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya; 4) para pelaksana tidak mengetahui tugas dan tanggung jawabnya karena tidak adanya pembagian tugas dan wewenang, 5) struktur birokrasi, artinya tiap unit kerja belum memiliki ditunjang standar oprasional prosedur (SOP). Hasil penelitian ini menunjukkan persepsi stakeholder terhadap perencanaan strategis mempunyai persepsi kurang positif. Jumlah stakeholder Dinas Kesehatan Kabupaten yang mempunyai persepsi kurang positif, lebih besar dibanding dengan stakeholder puskesmas petugas

11 kesehatan. Persamaan dengan penelitian adalah metode yang digunakan serta penggalian informasi yaitu stakeholder sedangkan perbedaan dalam penelitian ini adalah analisis data yang digunakan. 3. Devita (2007), melakukan penelitian dengan judul study implementasi kebijakan pengadaan garam yodium di kecamatan Batangan Kabupaten Pati. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif dengan wawancara mendalam, observasi, studi pustaka dan dokumentasi. Analisis datanya mengenai proses pelaksanaannya dan penerapan isi Keppres No. 69 Tahun 1994 oleh implementor kebijakan dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Pati, produsen garam maupun masyarakat /petani garam dan faktor - faktor pendorong dan penghambat implementasi kebijakan Keppres No. 69 Tahun 1994 di Kecamatan Batangan Kabupaten Pati. Hasil penelitian ini menunjukkan keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh sikap kelompok sasaran yaitu produsen garam dan Proses komunikasi juga memberi kontribusi terhadap berhasilnya implementasi program pengadaan garam beriodium. Komunikasi yang melibatkan aparat pelaksana, produsen, dan elemen lain yang terkait bila berjalan tidak efektif akan menghambat implementasi Program Pengadaan Garam Beryodium. Selain itu pemahaman produsen garam di Kecamatan Batangan Kabupaten Pati mengenai isi Keppres Nomor 69 Tahun 1994 sangat kurang dikarenakan sejak tahun 2004 dari pemerintah / petugas lapangan sendiri tidak melakukan sosialisasi kepada para produsen garam tentang Keppres tersebut karena tidak adanya alokasi anggaran kegiatan tersebut. Persamaan penelitian terletak pada metode yang digunakan, sedangkan perbedaan pada penelitian ini adalah analisisi data yang digunakan. 4. Zaeni (2006), melakukan penelitian dengan judul implementasi kebijakan program keluarga berencana di Kabupaten Batang studi kasus peningkatan kesertaan KB pria di Kecamatan Gringsing. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif dengan pengumpulan data primer dan dilakukukan dengan dua cara, yaitu wawancara mendalam (indept interview) dan observasi lapangan. Tekhnik analisa data yang digunakan

12 adalah analisis taksonomis (taxonomic analysis), yaitu bentuk analisis yang lebih rinci dan mendalam dalam membahas suatu tema atau pokok permasalahan. Analisis datanya adalah mengenai dimensi kemunikasi amat menentukan dalam berhasilnya suatu program karena dengan komunikasi yang baik, akibat komunikasi yang ditimbulkan juga akan berbuah baik, oleh karena itu penyampai pesan merupakan hal yang mutlak harus diperhatikan. Selain itu konteks kebijakan publik, sumber daya manusia dan dana juga memiliki peran yang amat menentukan, karena dengan sumber daya dan sumber dana yang memadai dan berkualitas kebijakan akan dapat dikomunikasikan kepada sasaran penerima kebijakan dengan baik pula, sebaliknya juga, sebagaimana realitas yang ada dalam kebijakan peningkatan kesertaan KB pria ini meskipun pendanaan sudah tidak menjadi persoalan, karena ditopang dari tiga sumber (APBD Kabupaten, APBD provinsi, serta APBN), namun nampak sekali bahwa sumber daya manusia yang dimiliki kurang memadai baik dari sisi usia, tingkat pendidikan, peningkatan kualitas serta dana yang tersedia, sehingga hasil kebijakannyapun kurang maksimal. Hasil penelitian ini adalah belum terbentuknya Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) di kecamatan yang pasti, menjadikan pola menejemen sumber daya manusia di lapangan kurang maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan keragu-raguan koordinator atau pengendali di lapangan, karena ketiadaannya payung hukum dalam menentukan wilayah kewenangan, menunjukkan kebijakan peningkatan kesertaan KB pria merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masalah sosial, sehingga faktor lingkungan sosial kebijakan juga ikut mempengaruhi implementasi kebijakan. Persamaan penelitian ini adalah metode yang digunakan, yaitu wawancara mendalam. Sedangkan perbedaannya adalah analisis data yang digunakan.