Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

dokumen-dokumen yang mirip
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut penjelasan Pasal 31 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG PENYADAPAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERADILAN KASUS KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB III INTERSEPSI DALAM KONSTRUKSI HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. INTERSEPSI DALAM RUMUSAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Presiden, DPR, dan BPK.

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai ranah kehidupan.

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

KETERKAITAN ARSIP ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH DI PENGADILAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

STRATEGI KHUSUS PEMULIHAN ASET DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk


BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah:

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

TUMPANG TINDIH KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Oleh : Sulistyo Utomo, SH* *

Surat surat yang dapat diperiksa Surat yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB V PENUTUP. 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BAB I PENDAHULUAN. Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa (extra ordenary crime) telah

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 010/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 13 Juni 2006

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

I. PENDAHULUAN. mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perubahan hukum baru. Perkembangan teknologi

2016, No Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Audit Penyadapan Informasi yang Sah (Lawful Interception) pada Komisi Pemberantasan Ko

I. PENDAHULUAN. perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. banyaknya persoalan-persoalan yang mempengaruhinya. Salah satu persoalan

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

Transkripsi:

PENYADAPAN OLEH KPK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh : Rizky O. U. Gultom 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan di Indonesia dan bagaimana penyadapan oleh KPK dalam tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif sehingga dapat disimpulkan: 1. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan kewenangan dalam melakukan tindakan penyadapan yang perpedoman dari Pasal 12 huruf (a) Undangundang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan, sesuai dengan Pasal 6 huruf (c), dan dalam penjelasannya dikatakan cukup jelas, sehingga jelas pula bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan penyidikan dalam suatu perkara pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi yang adalah merupakan lembaga independen dan dibentuk untuk menangani permasalahan khusus, dan memiliki sifat yang temporer. Sehingga diberikan wewenang oleh undangundang dalam melaksanakan tugasnya dalam memberantas korupsi yang adalah suatu tindakan yang merugikan bagi negara. 2. Sumber pengolahan alat bukti yang sah berupa petunjuk dirumuskan bahwa mengenai petunjuk selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa juga diperoleh dari keterangan alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan. Sehingga dengan demikian pula bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan suatu penyidikan dalam Tindak Pidana Korupsi jelas adanya dan dapat melakukan penyadapan sesuai dengan ketentuan dalam mengungkap suatu tindak pidana korupsi. 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Telly Sumbu, S.H., M.H., Gress Thelma Mozes, S.H., M.H. 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 110711120 Kata kunci: Penyadapan, KPK, korupsi. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. 3 Secara eksplisit ketentuan dalam Pasal 40 Undang- Undang a quo atau Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyatakan, Setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun. 4 Sebagai perbuatan pidana, penyadapan dapat dipahami bahwa mengingat ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapat informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 28 huruf (f) Undang-Undang Dasar Tahun 1945) kemudian Pasal 56 Undang- Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi menegaskan Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. 5 Dalam perkembangannya, terhadap bijzondere delicten (delik-delik khusus) yang diatur di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana, penyadapan boleh dilakukan dalam rangka mengungkap kejahatan. Pertimbangannya, aneka kejahatan itu biasanya dilakukan terorganisasi dan sulit pembuktiannya. 3 Lihat Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 4 Lihat Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. 5 https://www.academia.edu Pro_Kontra_Wewenang_Penyadapan_ oleh_kpk diakses pada pada hari selasa 13 mei 2015 jam 23.31 wita. 138

Berdasarkan dengan latar belakang diatas, maka penulis berkeinginan untuk dilakukannya kajian hukum terhadap tindakan penyadapan yang dilakukan oleh KPK dalam penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana korupsi melalui skripsi yang berjudul: Penyadapan oleh KPK dalam Tindak Pidana Korupsi menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan di Indonesia? 2. Bagaimana penyadapan oleh KPK dalam tindak pidana korupsi menurut Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? C. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian normatif yaitu dengan melihat hukum sebagai kaidah (norma). Metode penelitian normatif disebut juga sebagai metode perpustakaan atau studi dokumen, karena penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. 6 PEMBAHASAN A. Kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan di Indonesia Dalam pertimbangan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tepatnya dalam Pasal 9 huruf (a) dan huruf (b) dikemukakan dengan tegas bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. 7 Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Selain 6 Bambang Waluyo, penelitian hukum dalam praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1991, hal. 13. 7 Lihat Pasal 9 huruf a dan huruf b Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana itu, dikemukakan pula bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. 8 Hal senada dapat ditemukan pula dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara atau perekonomian negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkungannya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Kerana itu semua, maka tindakan pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa, salah satunya adalah dengan diaturnya tindakan penyadapan yang dilakuan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlikan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan seperti yang dimiliki dan selalu diupayakan oleh Komisi Pemberantasan Sebagaimana yang menjadi salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai penyidik tindak pidana korupsi adalah 8 Kristian dan Yopi Gunawan, Penyadapan dalam Hukum Positif di Indonesia, Op-Cit hal 288. 139

kewenangan untuk melakukan penyadapan. 9 Hal ini bukanlah suatu hal yang aneh mengingat bahwa di dalam pertimbangan lahirnya Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri, lembaga Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang dibentuk sebagai lembaga khusus yang berbeda dengan lembaga penegak hukum lainya (misalnya, lembaga Kepolisian dan lembaga Kejaksaan). 10 Demikian pula dengan kewenangan yang dimilikinya, kewenangan yang dimiliki oleh lembaga Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jauh lebih istimewa dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lain. Pada dasarnya, terdapat banyak kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi namun tidak dimiliki oleh lembaga penegak hukum lainnya, misalnya pembuktian terbalik, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian atau yang meresahkan masyarakat, diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah serta yang tidak kalah pentingnya adalah kewenangan untuk melakukan penyadapan. Terkait dengan kewenangan untuk melakukan tindakan penyadapan ini, berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikemukakan dengan tegas bahwa: Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf (c), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. 11 Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf a diatas, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tegas telah memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi selaku penyelidik, penyidik, dan penuntut pada kasus tindak pidana korupsi untuk melakukan penyadapan 9 Ibid hal 289. 10 Op-Cit. 11 Ibid hal 290. dan merekam pembicaraan terhadap orang yang diduga keras telah melakukan tindakan pidana korupsi atau terhadap orang-orang yang dianggap dapat membuat terang suatu tindak pidana korupsi atau terhadap mereka yang diduga terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi. Juga dalam hal melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur secara khusus dalam Pasal 6 huruf (c) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa: Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi sesuai dengan yang tertulis dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana 12 Selain itu, perbedaan yang sangat mencolok antara penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan penyadapan yang dilakukan oleh lembaga lain adalah berkenan dengan pada tahap mana tindakan penyadapan dilakukan, apabila dicermati dengan saksama, di dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang telah dijelaskan diatas, kewenangan penyadapan yang dimiliki harus dilakukan pada tahap penyidikan. Sedangkan pada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan penyadapan dapat dilakukan pada tahap penyelidikan atau bahkan pada tahap penuntutan. 13 Hal ini tentu akan membawa konsekuensi hukum yang sangat berbeda, dikatakan demikian karena apabila lembaga penegak hukum lain hanya diperkenankan untuk melakukan penyadapan pada proses penyidikan (hanya untuk menemukan pelaku tindak pidana), pada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kewenangan melakukan penyadapan dapat dilakukan dimulai dari tahap penyelidikan (tahap di mana bertujuan untuk menentukan apakah perkara ini tindak pidana korupsi atau bukan), tahap penyidikan (tahap 12 Lihat Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana 13 Kristiandan Yopi Gunawan, Penyadapan dalam Hukum Positif di Indonesia, Op-Cit hal 290. 140

untuk menemukan pelaku tindak pidana dan pihak-pihak lain yang terlibat), bahkan pada tahap penuntutan (tahap dimana perkara sudah masuk di pengadilan). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kewenangan penyadapan yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sangat luar biasa. Karenanya, tidaklah mengherankan apabila Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memperoleh banyak bukti dan membuktikan sangkaan dan tuntutannya. Namun demikian bahwa, berdasarkan penjelasan dari Pasal 6 huruf (c) diatas, mengingat dalam melakukan penyidikan, hal yang sama juga dapat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu dan diberikan wewenang juga oleh undang-undang. Di dalam Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyatakan dengan tegas bahwa Penyidik ialah Polisi dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang. 14 Demikian pula dalam Pasal 1 angka 1 Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana menyatakan dengan tegas bahwa penyidik adalah Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang kusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 15 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kepolisian Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan dalam kapasitasnya sebagai penyidik bertugas untuk mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu dapat membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya. 16 Selanjutnya bukti pemeriksaan berkas penyidikan yang dikumpulkan oleh penyidik kepolisian diserahkan kepada Jaksa untuk kepentingan selanjutnya. Berdasarkan Pasal 6 Jo. Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan dengan tegas bahwa apabila Jaksa merasa pemeriksaan yang dilakukan oleh 14 Lihat Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tentang penyidik. 15 Lihat Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,tentang Ketentuan Umum. 16 Ibid hal 325. penyidik kepolisian masih belum lengkap, Jaksa dapat mengembalikan berkas penyidikan tersebut dan memberikan perintah atau instruksi untuk melengkapi penyidikan tersebut. 17 Demikian pula dengan Pasal 30 Undangundang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menyatakan dengan tegas bahwa Jaksa berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa, kewenangan yang diberikan kepada Kejaksaan adalah kewenangan sebagaimana diatur, misalnya dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaiman telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana 18 Berkaitan dengan kewenangan melakukan penyadapan, hanya dapat dilakukan oleh Kejaksaan apabila hasil penyidikan masih dianggap kurang. 19 Selain itu, Kejaksaan juga memiliki kewenangan untuk langsung melakukan penyidikan, akan tetapi hanya terbatas untuk tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, yaitu tindak pidana yang berhubungan dengan pelanggaran hak asasi manusia dan tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, terkait dengan dua tindakan pidana tersebut pada dasarnya Kejaksaan berwenang untuk melakukan tindakan penyadapan. Meskipun ada beberapa pernyataan dari pasal-pasal diatas yang menyatakan kerjasama antara Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri dan Kejaksaan, terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga ini tetapi, dapat dipastikan dalam Pasal 8 ayat (1) (4) Undang-Undang No. 30 tahun 2002, bahwa penyidikan atau penuntutan yang menjadi kewenangan dari kepolisian dan kejaksaan, dapat dialihkan dan wajib menyerakan segala berkas yang diminta oleh Komisi 17 Ibid hal 326. 18 Loc-Cit hal 327. 19 Op-Cit hal 326. 141

Pemberantasan Korupsi terkait dengan perkara yang terjadi. 20 Berdasarkan pernyataan di atas maka penulis menarik kesimpulan bahwa dengan mendasari bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah sebagai lembaga yang bertugas untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, maka sangat jelas memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan penyadapan sebagaimana mestinya dan sesuai dengan Undang-undang No. 30 tahun 2002. Adapun undang-undang yang mengatur secara tegas dan jelas mengenai kewenangan penyidik untuk melakukan penyadapan, di antaranya adalah; 21 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; 2. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi; 3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 4. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; 5. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; 6. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 7. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokad; 8. Undang-undang Nomor 08 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindank Pidana Pencucian Uang (money laundring). 9. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan Pada Pusat Pemantauan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 10. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya: a. Putusan Mahkama Konstitusi Nomor 006/PUU-1/2003; 20 Lihat Pasal 8 ayat (1-4) Undang-Undang No. 30 tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana 21 Kristian dan Yopi Gunawan, Penyadapan dalam Hukum Positif di Indonesia, Op-Cit hal 25. b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006; c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010; dan Ketentuan-Ketentuan Lainnya; B. Penyadapan oleh KPK terhadap tindak pidana korupsi menurut UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa KPK dalam megoptimalkan apa yang menjadi tugas dan wewenangnya untuk melakukan penyidikan dengan mengunakan tindakan penyadapan, sehingga diperolehnya suatu rekaman pembicaraan dari hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK. 22 Rekaman ini mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, karena hasil penyadapan tersebut merupakan bagian dari informasi elektronik, sehingga hasil penyadapan merupakan salah satu alat bukti yang sah secara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang ITE, selain itu disebutkan pula dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang ITE bahwa hasil penyadapan sebagai informasi elektronik yang dianggap sah secara hukum sebagai alat bukti merupakan perluasan dari ketentuan alat bukti sesuai hukum acara yang berlaku, dalam hal ini Pasal 184 KUHAP, khususnya sebagai alat bukti petunjuk, sehingga hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK memiliki kekuatan pembuktian menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimaksudkan. 23 Terkait dengan hal yang pertama, yaitu mengenai pengaturan dan legitimasi tindakan penyadapan dalam ketentuan Pasal 26 A Undang-undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang meyatakan bahwa: Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan 22 http://www.kpk.go.id/tugas-kpk.php? id=1. Ibid. 23 TE Sianturi, hasil penyadapan kpk sebagai alat bukti/ibid. 142

hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Sedangkan apabila dilihat dari penjelasannya, dikemukakan dengan tegas bahwa: Kewenangan penyidik dalam pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan. 24 Sedangkan mengenai hal yang kedua, yaitu mengenai hasil sadapan sebagai alat bukti petunjuk dapat dilihat dari ketentuan Pasal 26 A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur dengan jelas bahwa, alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan; b. Dokumen, yakni seperti rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik ataupun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, surat, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau preforasi yang memilki makna. 25 Selanjutnya, apabila dilihat dari penjelasannya, dikemukakan dengan tegas bahwa, yang dimaksud dengan disampaikan secara elektronik misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM). Sedangkan yang dimaksud dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektonik (e-mail), telegram, teleks dan faksimali. 26 Terkait dengan dokumen, dalam Pasal 28 B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dengan tegas bahwa, Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar,peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforansi yang memiliki makna. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh seorang penyidik dalam rangka membuat terang dan menemukan pelaku dari suatu dugaan tindak pidana korupsi adalah dengan melakukan tindakan penyadapan. Berdasarkan ketentuan diatas pula, dapat dilihat bahwa dalam hal terjadi tindak pidana korupsi maka hasil penyadapan diakui sebagai alat bukti yang sah di pengadilan, yaitu berupa alat bukti petunjuk. Selain itu, perlu disadari bahwa alat bukti lain yang berupa informasi dalam hal ini dirumuskan denagan sangat luas. 27 Dengan demikian, tidaklah berlebihan apabila disimpukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana kerah putih (white collar crime) yang bersifat ekstra ordinari (extra ordinary crime) dan terorganisasi (organized crime) dengan dimensi kejahatan baru (new dimention of crime) yang sudah tentu akan sangat berdampak negatif dan sangat berbahaya sehingga dalam upaya pencegahan dan pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula, salah satunya adalah dengan tindakan penyadapan dan mengakui hasil sadapan sebagai bukti petunjuk dalam pembuktian tindak pidana korupsi. 28 24 Kristian dan Yopi Gunawan, Penyadapan dalam Hukum Positif di Indonesia, Op-Cit hal 57. 25 LihatPasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana 26 Kristian danyopi Gunawan, Penyadapan dalam Hukum Positif di Indonesia, Op-Cit hal 58. 27 Ibid hal 59. 28 Ibid hal 57. 143

Akhirnya, subjek atau lembaga yang berwenang untuk melakukan tindakan penyadapan apabila mengacu pada Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 maka, penyidik yang berwenang untuk melakukan penyidikan adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Keadaan yang demikian secara otomatis akan memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk melakukan tindakan penyadapan (mengingat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan penyadapan telah diatur dengan tegas). Namun demikian, dalam hukum positif Indonesia, terdapat lembaga lain yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, yaitu lembaga kejaksaan. Yang menjadi permasalahan adalah di dalam Undang-Undang Kejaksaan tidak diatur secara tegas mengenai tindakan penyadapan atau dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa lembaga Kejaksaan (meskipun bertindak sebagai penyidik tindak pidana korupsi) tidak berwenang untuk melakukan tindakan penyadapan. Ini artinya, kewenangan untuk melakukan tindakan penyadapan hanya dimiliki oleh penyidik Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan mengenai tindakan penyadapan tidak dapat dilakukan langsung oleh lembaga Kejaksaan (lembaga Kejaksaan dalam hal ini hanya dapat meminta untuk dilakukan tindakan penyadapan kepada penyelengara jasa telekomunikasi). 29 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil dari pembahasan, dalam mengungkap kasus korupsi di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan kewenangan dalam melakukan tindakan penyadapan yang perpedoman dari Pasal 12 huruf (a) Undang-undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan, sesuai dengan 29 Ibid hal 59. Pasal 6 huruf (c), dan dalam penjelasannya dikatakan cukup jelas. Sehingga jelas pula bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan penyidikan dalam suatu perkara pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi yang adalah merupakan lembaga independen dan dibentuk untuk menangani permasalahan khusus, dan memiliki sifat yang temporer. Sehingga diberikan wewenang oleh undangundang dalam melaksanakan tugasnya dalam memberantas korupsi yang adalah suatu tindakan yang merugikan bagi negara. Untuk itu maka dalam menjalankan tugasnya Komisi Pemberantasan Korupsi berhak atas segala upaya tindakan yang dilakukan, namun sesuai dengan ketentuan yang berlaku, agar supaya dapat mempercepat mencapai tujuan nasional. 2. Sesuai dengan ketentuan yang dituliskan dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa telah dikemukakan mengenai sumber pengolahan alat bukti yang sah berupa petunjuk dirumuskan bahwa mengenai petunjuk selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa juga diperoleh dari keterangan alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan. Sehingga dengan demikian pula bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan suatu penyidikan dalam Tindak Pidana Korupsi jelas adanya dan dapat melakukan penyadapan sesuai dengan ketentuan dalam mengungkap suatu tindak pidana korupsi. B. Saran 1. Agar regulasi atau peraturan perundangundangan dapat memberikan kekuatan atau setidaknya lebih mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Melihat kenyataan sekarang ini banyak peraturan-peraturan yang terkesan menghalang-halangi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan 144

2. Sejak didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi telah banyak membawa perubahan yang sangat besar dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Maka dari itu perlu adanya dukungan yang lebih dari lembagalembaga seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Agar Komisi Pemberantasan Korupsi tetap dapat melaksanakan tugastugasnya dengan baik dan mampu menjawab harapan publik untuk mempercepat mencapai tujuan nasional. DAFTAR PUSTAKA Adamichazawi, Bagian 1 Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: PTGrafindoPersada,2003. Bambang Waluyo, penelitian hukum dalam praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1991. Kristian dan Yopi Gunawan, Penyadapan dalam Hukum Positif diindonesia, Bandung: Nuansa Aulia, 2013. Marwan Effendy, Korupsi & Strategi Nasional (Pencegahan sertapemberantasannya), Jakarta selatan: Referensi (GP Press Group),2013. O C. Kaligis, Optimalisasi pemberantasan korupsi melalui penerapan delikdi luar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Jakarta: Disajikan dalam seminar kerjasama Antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung R.I dengan World Bank. 2009. P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. CitraAditya Bakti, 1997. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Jakarta:Alumni Bandung, Cetakan keempat,1996. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 TentangTelekomunikasi. Artikel dalam Internet. http://www.m.liputan6.com/news/read/25137 5/rekomendasi-tim-8-ada-kesan-rekayasa. https://www.academia.edupro_kontra_wewe nang_penyadapan_oleh_kpk. http://www.wikipedia.com/sejarahpenyadapan/2013. http://www.kpk.go.id/tentang-kpk.php? id=1 http://sitimaryamnia.blogspot.com/2012/02/p engertian-tindak-pidana-korupsi.html. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5 15ac961b655d/kpk-berhak-lakukanpenyadapan. http://krjogja.com/liputankhusus/analisis/1819/mengaturpenyadapan-kpk.kr. http://nasional.kompas.com/read/2012/09/27/ 10050865/Ini. Aturan.Penyadapan.di.KPK.Versi.DPR. http://www.te Sianturi.org/hasil penyadapankpk sebagai alatbukti/2011/usu.ac.id/beatstream/12345 6789/25802/5/abstract/. http://awx19.blogdetik.com/2010/02/08/mend ekonstruksikan-kekuasaan/. 145