BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR PUSTAKA. Indonesia, Undang-Undang Perjanjian Internasional UU No. 24 Tahun 2000 LN. No. 185 Tahun 2000, TLN No

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING)

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF

Oleh: Rachma Indriyani. Abstract

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN

Rekomendasi Kebijakan 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan Hak Kekayaan Intelektual, 2007), hal 1.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

BAB III PENUTUP. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU ( ) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom

Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Irawati

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG

IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI ZEE INDONESIA Ida Kurnia*

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGATURAN PENANGKAPAN IKAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA ARTIKEL

perikanan berkelanjutan, dan keterlibatan tingkat tinggi dan kerja sama perikanan pada tingkat operasional.

BAB Respon Masyarakat Internasional dalam Menanggulangi Praktik Penangkapan Ikan Ilegal

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC)

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.50/MEN/2012 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data

2 negara lain. Dari situlah kemudian beberapa negara termasuk Indonesia berinisiatif untuk membentuk organisasi yang berguna untuk mengatur seluruh pe

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. 1

KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC) (Indonesian s Participation in Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)) Abstract

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Oleh : Komang Meilia In Diana Putri Pratiwi Edward Thomas Lamury Hadjon Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) saat ini merupakan satu satunya organisasi

KEBIJAKAN INDONESIA MASUK KEANGGOTAAN IOTC (INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION) TAHUN Abstrack

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: HARY TAMA SIMANJUNTAK

BAB IV PENGGUNAAN TRADE RELATED MEASURES OLEH CCSBT DAN DAMPAKNYA BAGI INDONESIA Peranan CCSBT dalam Perdagangan Internasional SBT

Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement.

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

BAB I PENDAHULUAN. zona maritim yang berada di luar wilayah yuridiksi nasional suatu negara.

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade

BAB I PENDAHULUAN. makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

Garis-Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) MK DASAR KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP (PSP-301 )

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing dan untuk Memajukan

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya

BAB III PRASARANA DAN SARANA Pasal 7

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

Journal of International Relations, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2015, hal Online di

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Rusaknya lingkungan akibat eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya perikanan telah menyebabkan ancaman bagi keberlangsungan sumber daya tersebut. Meningkatnya populasi manusia dan ditambah dengan kecanggihan teknologi mengakibatkan berbagai perubahan negatif baik terhadap sumber daya laut maupun terhadap aspek fisik dari laut tersebut sebagai wadahnya. 1 Ketergantungan manusia terhadap sumber daya perikanan mengakibatkan berkembangnya perdagangan antar negara terhadap komoditas ini. Namun demikian ketergantungan tersebut tidak dapat mengabaikan kebutuhan manusia di masa yang akan datang. 2 Akibatnya terjadi benturan antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan kelestarian. Masalah tersebut di atas telah menjadi isu di WTO. Perdagangan dan lingkungan hidup telah menjadi salah satu isu global yang kontroversial di World Trade Organization (WTO). Isu eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya hayati memberikan sumbangan kepada kerusakan lingkungan hidup. Dalam rangka mengurangi kerusakan lingkungan akibat tersebut, saat ini WTO menggunakan aturan perdagangan internasional untuk mengatur subsidi yang diberikan kepada industri yang melakukan perusakan lingkungan. 3 WTO merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui persetujuan yang berisikan aturan-aturan dasar perdagangan 1 Darmawan. Indonesia Dalam Kerjasama Perikanan Tangkap Regional: Tinjauan Aspek Dasar Kesiapan dan Implementasinya Dewasa Ini dalam Responsible Fisheries. Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law), Volume 2 Nomor 3. (Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 2005), Hlm. 484 2 Ibid. 3 Michael Sheng-Ti Gau, Asia Perspectives on Fishery Subsidy Issues and Linkages With Environment http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1019725. diunduh tanggal 25 April 2009, Hlm. 143

2 internasional yang dihasilkan oleh para negara anggota 4 melalui proses negosiasi. Persetujuan tersebut merupakan perjanjian antar negara anggota yang mengikat pemerintah negara anggota untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan mereka. 5 Namun demikian WTO bukan merupakan organisasi lingkungan yang mempunyai mandat untuk mengatur atau mencampuri kebijakan dan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan lingkungan di tingkat nasional dan internasional. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri dan penandatangan Agreement Establishing The World Trade Organization. Persetujuan tersebut telah diratifikasi pada tahun 1994 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Pada akhir perundingan Uruguay Round 1994, para Menteri Perdagangan Negara-negara peserta sepakat untuk memulai suatu program kerja yang komprehensif mengenai masalah perdagangan dan lingkungan hidup dalam WTO dengan membentuk suatu komite yang menangani masalah perdagangan dan lingkungan hidup (Committee on Trade and Environment/CTE). Program kerja CTE dipengaruhi difokuskan pada 10 bidang yaitu: 6 a. Ketentuan-ketentuan Multilateral Environmental Agreements (MEAs) dan WTO; b. Mekanisme Penyelesaian Sengketa dan MEAs; c. Kebijakan-kebijakan lingkungan hidup; d. Perpajakan, ketentuan teknis, dan labelling; e. Transparansi; f. Akses pasar; g. Barang-barang yang dilarang secara domestik; h. Hak atas kekayaan intelektual; 4 Penyebutan istilah negara anggota atau negara anggota WTO digunakan oleh penulis guna mempermudah pemahaman mengenai anggota WTO. Anggota WTO sebenarnya tidak sebatas pada negara karena didalamnya juga terdapat separate customs territory seperti Hong Kong China, Macau China, dan China Taipei. Dengan menggunakan istilah negara anggota atau negara anggota WTO, dianggap anggota-anggota WTO tersebut telah tercakup didalamnya. 5 Departemen Luar Negeri, Sekilas WTO (World Trade Organization), ed. 4, (Jakarta: Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan Hak Kekayaan Intelektual, 2007), Hlm. 1. 6 Ibid., Hlm. 55

3 i. Sektor jasa; dan pengaturan dengan organisasi non-pemerintah; Pada saat ini terdapat kurang lebih 200 MEAs, sekitar 20 diantaranya memiliki ketentuan (pasal-pasal) yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki dampak kepada perdagangan. 7 Di bidang perikanan saat ini banyak negara, organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organizations/RFMOs) industri perikanan serta lembaga non pemerintah di bidang lingkungan hidup menggunakan trade related measures dalam rangka memaksakan konservasi dan pengelolaan perikanan, serta mengurangi illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing. Beberapa trade related measures yang dikeluarkan oleh RFMOs berpotensi mengakibatkan konflik dengan aturan aturan yang ada di WTO. RFMOs juga mempertimbangkan sanksi perdagangan (trade sanction) sebagai sesuatu salah satu jalan untuk memaksakan tindakan pengelolaan dan konservasi perikanan. Sanksi perdagangan diberikan antara lain adalah penolakan pendaratan dan transhipments, penolakan pemberian fasilitas pelabuhan, diskriminasi terhadap kapal dari negara- negara tertentu, hingga pelarangan impor. Walaupun dapat digolongkan sebagai pengecualian yang diatur dalam Pasal XX GATT, namun hingga saat ini masih belum ada penyelesaian terhadap potensi konflik tersebut. 8 RFMOs merupakan organisasi kerjasama pengelolaan perikanan sebagaimana diatur dalam pada Pasal 8 dan Pasal 9 Agreement for the implementation of the Provisions of the United Nations Convention on The law of The Sea of 10 December 1982 Relating to The Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (UNIA) 1995. 9 Secara 7 Ibid. 8 Cathy Roheim and Jon G. Sutinen Trade and Marketplece Measures to Promote Sustainable Fishing Practices. http://ictsd.org/i/publications/11838/. diunduh tanggal 25 Maret 2009. Hlm. vii 9 Pengaturan tentang konservasi dan pemanfaatan sumber daya hayati di zona ekonomi eksklusif diatur oleh Pasal 61 sampai dengan 64 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)1982 lebih lanjut Pasal 63 dan 64 mengamanatkan adanya kerjasama secara regional maupun internasioanal dalam rangka konservasi dan pengelelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks) dan sediaan ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish stocks). Pada tanggal 4 Desember 1995 disetujui Agreement for the implementation of the Provisions of the United Nations Convention on The law of The Sea of 10 December 1982 Relating to The

4 geografis, posisi Indonesia terkait langsung dengan tiga RFMOS yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) dan Commission For The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), sedangkan dua RFMOS lainnya yaitu Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC) dan International Commission For The Conservation Of Atlantic Tuna (ICCAT), Indonesia tidak memiliki kaitan secara langsung. Indonesia telah menjadi anggota dari Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pengesahan Agreement on the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission (Persetujuan tentang Pembentukan Komisi Tuna Samudera Hindia) dan Commission For The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), melalui Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (Konvensi tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan). CCSBT mempunyai pengaruh terhadap perikanan Indonesia karena salah satu spesies tuna yaitu Tuna Sirip Biru Selatan (Southern Bluefin Tuna/SBT) karena merupakan tempat berpijah (spawning ground) SBT di Samudera Hindia terutama di perairan pulau Jawa bagian selatan. CCSBT dibentuk oleh Jepang, Australia dan Selandia Baru pada bulan Mei tahun 1993. Tujuan dari dibentuknya CCSBT adalah menjamin, melalui pengelolaan yang tepat, konservasi dan pemanfaatan optimum Tuna Sirip Biru Selatan. 10 Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh CCSBT adalah berkurangnya persediaan perikanan Tuna Sirip Biru Selatan di Samudra Pasifik dikarenakan penangkapan yang berlebihan. Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the implementation of the Provisions of the United Nations Convention on The law of The Sea of 10 December 1982 Relating to The Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (Persetujuan tentang Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tanggal 10 Desember 1982 yang berkaitan dengan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh) 10 Pasal 4 Convention on the Conservation of Southern Bluefin Tuna

5 Sejak tahun 2006 CCSBT menerapkan trade restrictive measures kepada Indonesia berupa pelarangan ekspor (trade bans) tuna Indonesia ke negara anggota CCSBT (Australia, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan) dan Amerika Serikat. Alasan penerapan trade restrictive measures teresebut dikarenakan Indonesia belum menjadi anggota CCSBT. Dengan telah masuk menjadi anggota CCSBT, Indonesia telah berhasil mendesak negara-negara yang tergabung dalam CCSBT untuk mencabut pelarangan ekspor tuna Indonesia ke negara-negara tersebut. Mengingat Indonesia menjadi anggota WTO dan anggota dari beberapa RFMOs, maka dalam hal Indonesia menganggap bahwa pengenaan trade related measures oleh salah satu RFMOs merupakan hambatan perdagangan, apakah Indonesia dapat menggunakan mekanisme pengajuan sengketa sesuai dengan Dispute Settlement Understanding (DSU) WTO atau melalui lembaga penyelesaian sengketa yang lain. 11 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka untuk lebih memfokuskan penelitian ini, disusun perumusan masalah sebagai berikut: 11 Hingga saat ini belum pernah ada sengketa berkaitan dengan pengenaan pengenaan sanksi perdagangan yang diajukan oleh RFMOs kepada Dispute Settelement Body (DSB). Namun demikian pernah ada kasus sengketa antara Meksiko dengan Amerika Serikat diajukan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh GATT. Kasus tersebut berkaitan dengan pelaksanaan dari UU Perlindungan Mamalia Laut Amerika Serikat (US Marine Mammal Protection Act) atau yang lebih dikenal dengan Sengketa Ikan Tuna-Lumba-Lumba (US-Tuna I). Meksiko mengajukan gugatan karena UU Perlindungan Mamalia Laut Amerika Serikat mengatur standar perlindungan ikan lumba-lumba untuk armada ikan domestic Amerika Serikat dan negara- negara lain yang armada penagkap ikan tunanya beroperasi di Samudera Pasifik. Apabila tuna jenis yellowfin yang ditangkap tersebut terbukti tidak sesuai dengan standar yang diatur dalam UU Perlindungan Mamalia Laut Amerika Serikat maka Pemerintah Amerika Serikat diharuskan melakukan embargo terhadap seluruh impor tuna dari negara tersebut. Embargo tersebut juga berlaku bagi negaranegara perantara yang menangani impor tuna tersebut samapai ke Amerika Serikat. Panel mengambil kesimpulan bahwa: 1. Amerika Serikat tidak dapat melakukan embargo produk ikan tuna dari meksiko hanya karena peraturan untuk produksi tuna di Meksiko tidak memuaskan Amerika Serikat, tetapi Amerika Serikat dapat menerapkan peraturannya untuk kualitas dan kandungan tuna yang diimpor. 2. Peraturan dalam GATT tidak memperbolehkan satu negara untuk mengambil tindakan perdagangan dengan maksud untuk memkasakan peraturan hukum domestiknya kepada negara-negara lain, meskipun dengan alasan melindungi kesehatan hewan atau sumber daya alam yang dapat habis (exhaustible natural resources) Laporan ini tidak pernah disahkan, lihat Departemen Luar Negeri, Sekilas WTO (World Trade Organization), Op.cit, Hlm 57.

6 a. Bagaimanakah pengaturan konservasi dan pengelolaan perikanan yang beruaya jauh (highly migratory species) dan kaitannya dengan hukum perdagangan internasional? b. Bagaimanakah kewenangan CCSBT sebagai organisasi regional dibidang konservasi dan pengelolaan perikanan dalam pengaturan terkait perdagangan internasional? c. Bagaimanakah alternatif penyelesaian sengketa dalam hal Indonesia dirugikan atas trade related measure oleh CCSBT? d. Bagaimanakah posisi Indonesia terkait trade related measures yang diterapkan CSSBT kepada Indonesia dalam perdagangan internasional SBT? 1.3. Kerangka Teori Dalam penelitian ini, sebagai landasan teoritis dalam analisis terhadap pengenaan trade related measures oleh CCSBT kepada Indonesia dalam kaitannya dengan perdagangan tuna dipergunakan Theory of Justice terutama Distributive Justice. Distributive Justice pada dasarnya merupakan prinsip yang didesain sebagai panduan untuk alokasi manfaat dan beban dari aktivitas ekonomi. Prinsip ini kemudian dikembangkan oleh John Rawls yang dikenal dengan Justice as Fairness yang kemudian dirinci lebih lanjut menjadi The Principle of Equal Liberty dan The Different Principle. Menurut Rawls seluruh barang sosial primer (social primary goods) seperti kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kesejahteraan, dan dasar-dasar self-respect harus didistribusikan secara merata kecuali ketidakmerataan distribusi tersebut diberikan untuk keuntungan mereka yang paling tidak beruntung. 12 Dalam perkembangannya, Frank J. Garcia mengembangkan teori tersebut sehingga relevan untuk diterapkan pada lingkungan internasional. Menurut Garcia, ketidaksetaraan di lingkungan internasional dalam bidang sosial dan ekonomi adalah dianggap adil hanya jika dapat menghasilkan keuntungan untuk 12 Frank J. Garcia (1), Trade And Inequality: Economic Justice And The Developing World, (Michigan: Journal of International Law, 2000), http://students.law.umich.edu/mjil/ diunduh tanggal 29 Maret 2009

7 semua negara khususnya negara yang kurang beruntung, dalam hal ini negara berkembang. 13 Pada hubungan antaranegara maju dan negara berkembang, pada artikelnya berjudul Building A Just Trade Order for A New Millenium, Garcia mengemukakan pendapatnya bahwa hukum ekonomi internasional juga meliputi mekanisme untuk identifikasi dan koreksi terhadap keuntungan yang diperoleh secara tidak wajar, melalui mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan multilateral. 14 Teori Frank J.Garcia dapat digunakan sebagai analisis dalam penelitian karena pendiri dan sebagian besar anggota dari CCSBT merupakan negara maju yang menguasai sebagian besar pasar SBT di dunia. Penggunaan trade related measures kepada Indonesia yang sebenarnya wilayahnya menjadi tempat pemijahan SBT menjadikan apa yang dikatakan oleh Rawls sebagai pendistribusian barang primer sosial tidak terjadi. Penggunaan trade related measures menjadikan ketidakadilan karena Indonesia tidak pada posisi sama di bidang sosial dan ekonomi negara anggota yang lain, disamping itu perairan Indonesia adalah tempat dimana banyak terdapat SBT. Pendapat Garcia tentang mekanisme penyelesaian sengketa merupakan salah satu alternatif penyelesaian masalah ketidakadilan akibat Pemberlakuan trade related measures tersebut. 1.4. Kerangka Konsepsional Dalam penelitian ini akan diuraikan tentang pembentukan RFMOs dan peraturan internasional yang terkait dengan pembentukannya dan lebih lanjut akan diuraikan trade related measures yang digunakan oleh RFMOs dan CCSBT khususnya berkenaan dengan perdagangan internasional SBT. Trade related measures tersebut kemudian akan dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan yang ada di WTO untuk melihat apakah hal tersebut merupakan hambatan dalam perdagangan atau bukan. Kemudian akan diuraikan alternatif penyelesaian 13 Frank J. Garcia (2), Trade,Inequality, and Justice: Toward a Liberal Theory of Just Trade. New York: Transnational Publishers Inc, 2003. Hlm 134.. 14 Frank J. Garcia (3), Building A Just Trade Order for A New Millenium, (George Washington International Law Review, Vol.33, 2001), www.lawdigitalcommons.bc.edu/cgi/viewcontent. Hlm.1015-1062

8 sengketa dalam hal terjadi kerugian akibat diberlakukannya trade related measures tersebut. Berikut akan diuraikan istilah-istilah yang akan dipergunakan dalam penelitian ini dengan tujuan menghindarkan perbedaan pengertian dan memperoleh pemahaman yang sama. Istilah-istilah tersebut: Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. 15 Organisasi Internasional adalah organisasi antar pemerintah yang diakui sebagai subjek hukum internasional dan mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional. 16 Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs) adalah sebuah organisasi antar pemerintah atau pengaturan perikanan, yang memiliki kompetensi untuk menyusun tindakan konservasi dan pengelolaan perikanan. 17 Trade related measures yang digunakan oleh RFMOs dalam menentukan sanksi perdagangan menurut Richard Tarasofsky, antara lain: 18 a. Documentation schemes based on either catch or trade required as a condition of landing or transhipments; b. prohibiting landings and transhipments (to RFMO parties) from particular vessels; c. Trade-restrictive measures, such as import bans, against parties or nonparties, in fish products covered by an RFMOs; and d. Certification and labelling of fish products entering the market. World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara. 19 15 Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012). 16 Ibid. 17 Pasal 6.c International Plan of Action to Prevent, Deter And Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (Rome: FAO. 2001) 18 Richard Tarasofsky, Enhancing the Effectiveness of Regional Fisheries Management Organizations through Trade and Market Measures1, (Chatham House, The Royal Institute of International Affairs, 2007, http://www.traffic.org). diunduh tangggal 25 Maret 2009.

9 Commisssion on the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) adalah RFMOs yang didirikan oleh Australia, Selandia Baru melalui Convention on the Conservation of Southern Bluefin Tuna dengan tujuan untuk memastikan melalui pengelolaan yang tepat konservasi dan pemanfaatan yang optimal tuna sirip biru selatan (Thunnus macoyyii). 20 1.5. Metodologi Penelitian Penelitian hukum pada dasarnya adalah kegiatan pemecahan masalah. Pemecahan masalah tersebut dilakukan oleh peneliti dengan jalan melakukan identifikasi dan kualifikasi fakta-fakta, dan norma hukum yang berlaku untuk kemudian digunakan guna pemecahan masalah. Berdasarkan fakta-fakta yang ada kemudian norma hukum yang berlaku maka diambil kesimpulan. 21 Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk memahami penerapan norma-norma terhadap fakta-fakta. Penelitian hukum ini dilakukan terhadap bahan-bahan hukum sehingga dapat dikatakan sebagai kajian ilmu hukum. 22 Penelitian hukum normatif akan menghasilkan kajian yang bersifat preskriptif kritis. 23 Penelitian ini mempergunakan pendekatan kualitatif dan data yang digunakan merupakan data sekunder yang diambil melalui sumber-sumber seperti Undang-Undang, buku, makalah, kamus dan internet namun demikian tidak menutup kemungkinan menggunakan data primer berupa hasil wawancara dengan beberapa narasumber terkait apabila dirasa perlu. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari melalui: a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat misalnya peraturan perundang-undangan. 24 Perundang-undangan yang terkait dalam hal 19 Departemen Luar Negeri, Sekilas WTO (World Trade Organization), Op.cit., Hlm 1. 20 Pasal 3 Convention For The Conservation of Southern Bluefin Tuna 21 Agus Brotosusilo, et al., Penulisan Hukum: Buku Pegangan Dosen. (Jakarta: Konsorsium Ilmu Hukum, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), Hlm. 8. 22 Valerine J.L.K, Modul Kuliah Metode Penelitian Ilmu Hukum (Jakarta: Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), Hlm.46. 23 Agus Brotosusilo, Paradigma Kajian Empiris dan Normatif, Materi Kuliah Teori Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum,(Jakarta: FH-UI, 2008), Hlm.1 24 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), Hlm. 112.

10 ini antara lain adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, Undang Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (Konvensi tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan), United Nations Convention on The law of The Sea (UNCLOS) 1982, Agreement for the implementation of the Provisions of the United Nations Convention on The law of The Sea of 10 December 1982 Relating to The Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (UNIA) 1995, General Agreement on Tariffs and Trade 1994, dan Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang berisi penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer 25, seperti buku, hasil-hasil penelitian, artikel, jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian. Pada penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum sekunder antara lain buku-buku mengenai WTO seperti World Trade Organization, The Legal Text, The Result of The Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations dan A Handbook on WTO Dispute Settlement System, perdagangan internasional seperti Peter Van Den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization, Text Cases and Materials, Raj Bhala, International Trade Law: Interdisciplinary Theory and Practices dan Michael J. Terbilcock and Robert Howse, The Regulation of International Trade, Bradley J Condon, Environmental Sovereignty and WTO, Trade Sanctions and International dan penyelesaian sengketa internasional seperti Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, dan serta artikel dan jurnal tentang WTO dan perikanan antara lain M. Lack, Catching On? Trade Related Measures as a Fisheries Management Tools, Richard Tarasofsky, Enhancing the Effectiveness of Regional Fisheries Management Organizations through 25 Ibid.

11 Trade and Market Measures, Patricia Lee Devaney, Regional Fisheries Management Organization: Bringing Order to Disorder Melda Kamil Ariadno, Kepentingan Indonesia Dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas, dan lain-lain. c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang berisi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.misalnya kamus dan ensiklopedi hukum. 26 Sebagai bahan hukum tertier, penulis menggunakan antara lain Black s Law Dictionary, dan Kamus Lengkap Perdagangan Internasional. Data yang didapat akan dianalisis dengan menghubungkan beberapa peraturan di bidang perikanan dan ketentuan WTO dengan trade related measures yang diterapkan oleh RFMOs, serta bagaimana pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan nasional. Hasil analisis tersebut lebih lanjut akan diterapkan kepada beberapa alternatif penyelesaian sengketa dalam kerangka WTO. 1.6. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimanakah kaitan upaya koservasi dan pengelolaan ikan yang beruaya jauh dengan ketentuan perdagangan internasional yang diatur oleh WTO; b. Apakah CCSBT sebagai organisasi di bidang konservasi dan pengelolaan ikan yang beruaya jauh mempunyai kewenangan untuk melakukan pengaturan dalam perdagangan internasional SBT; c. Apakah ada kemungkinan penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa menggunakan Dispute Settelement Understanding (DSU) WTO akibat penerapan trade related measures oleh CCSBT dan bagaimanakah efektivitasnya dibandingkan dengan penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa diluar Dispute Settelement Understanding (DSU) WTO; d. Apakah upaya Indonesia terkait dengan pemberlakuan trade related measures CCSBT kepada Indonesia. 26 Ibid..

12 1.7. Manfaat Penelitian Berdasarkan dari tujuan di atas maka manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. memberikan gambaran tentang kaitan upaya pengelolaan dan konservasi ikan yang beruaya jauh dengan hukum perdagangan internasional; b. mengidentifikasi permasalahan terkait pemberlakuan trade related measures yang diberlakukan oleh CCSBT kepada Indonesia; c. memberikan masukan terkait dengan pelaksanaan kewajiban yang menyertai keanggotaan Indonesia di CCSBT serta memberikan alternatif penyelesaian sengketa berkaitan dengan pemberlakuan trade related measures oleh CCSBT kepada Indonesia; d. memberikan masukan dalam penyesuaian peraturan perundang-undangan Indonesia di bidang perdagangan internasional hasil perikanan. 1.8. Sistematika Penelitian Dalam penelitian ini, penulis membagi ke dalam lima bab yang terdiri dari: a. Bab 1, yang merupakan pendahuluan, menguraikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, metodologi yang dipergunakan, kerangka teori dan konsep yang digunakan, tujuan penelitian dan sistematika penelitian. b. Bab 2, akan membahas mengenai pengaturan perikanan di laut lepas secara umum secara umum. Diawali dengan pengertian, sejarah, pengaturan, tindakan pengelolaan, konservasi perikanan (pembahasan dari sudut UNCLOS 1982, Compliance Agreement 1993,UNIA 1995, CCRF, IPOA of Management Fishing Capacity, IPOA-IUU, Convention on The Conservation of Southern Bluefin Tuna, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2009 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas, serta pengaturan dalam GATT/WTO berkaitan dengan perdagangan dalam kaitannya dengan isu-isu lingkungan hidup termasuk

13 membahas mengenai MEAs dan Pengaturan Perdagangan yang diatur dalam CCRF dan IPOA-IUU. c. Bab 3, akan membahas mengenai trade related measures yang diatur oleh RFMO secara umum, penggunaan trade related measures oleh CCSBT dan alternatif mekanisme penyelesaian sengketa yang mungkin digunakan dalam hal terjadi kerugian akibat penggunaan trade related measures. d. Bab 4, membahas trade related measures yang dikenakan dihubungkan dengan GATT/WTO, membahas ketentuan dalam tersebut dari sudut kepentingan negara anggota dan Indonesia pada khususnya dan terakhir, melihat kemungkinan pengajuan penyelesaian sengketa dalam hal pengenaan trade related measures menggunakan Dispute Settlement Understanding (DSU) atau lembaga penyelesaian sengketa lainnya serta memberikan alternatif penyelesaian sengketa. e. Bab 5, merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran atas penelitian ini.