BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

Rekomendasi Kebijakan 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. zona maritim yang berada di luar wilayah yuridiksi nasional suatu negara.

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP

BAB II KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM ORGANISASI PERIKANAN INTERNASIONAL. A. Prosedur dan Persyaratan dalam Organisasi Perikanan Internasional

Oleh: Rachma Indriyani. Abstract

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU ( ) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom

Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Irawati

2 Mengingat b. bahwa untuk itu perlu menetapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kelautan dan

2 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the La

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

DISTRIBUSI PANJANG DAN ESTIMASI TOTAL TANGKAPAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN (Thunnus maccoyii) PADA MUSIM PEMIJAHAN DI SAMUDERA HINDIA

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada

KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC) (Indonesian s Participation in Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)) Abstract

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

STRATEGI INDONESIA DALAM MENGHADAPI SISTEM ALOKASI KUOTA TUNA YANG AKAN DIBERLAKUKAN OLEH IOTC DI SAMUDERA HINDIA ADITYA SETIANINGTYAS

DAFTAR PUSTAKA. Anderson, Lee, G. (1984). The Economic of Fisheries Management. The John Hopkins University Press. Baltimore and London.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB Respon Masyarakat Internasional dalam Menanggulangi Praktik Penangkapan Ikan Ilegal

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data

KEANGGOTAAN INDONESIA DI ORGANISASI PERIKANAN INTERNASIONAL DALAM RANGKA KERJA SAMA PENGELOLAAN PERIKANAN REGIONAL DAN INTERNASIONAL SKRIPSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

MODUL I MODUL II HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERIKANAN (UNCLOS 1982)

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Romawi menegaskanya ubi societas ubi ius dimana ada masyarakat,

UNIVERSITAS INDONESIA

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

PERATURAN WALIKOTA DUMAI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DI KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 69 TAHUN 2012 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: HARY TAMA SIMANJUNTAK

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PERMEN-KP/2014 TENTANG WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.50/MEN/2012 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pengenalan Data Collection. Apa itu data collection dan mengapa pengumpulan data perikanan tuna sangat penting?

I. PENDAHULUAN buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PEMANTAU KAPAL PENANGKAP IKAN DAN KAPAL PENGANGKUT IKAN.

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENJAGA HIU DAN PARI INDONESIA SAMPAI TAHUN 2040 *)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Hukum Laut Indonesia

BAB III PRASARANA DAN SARANA Pasal 7

LANGKAH INDONESIA MENANGGAPI DICANTUMKANNYA HIU DALAM LAMPIRAN II CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES (CITES)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA

IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI ZEE INDONESIA Ida Kurnia*

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGATURAN PENANGKAPAN IKAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA ARTIKEL

IUU FISHING DI WILAYAH KEDAULATAN DAN YURISDIKSI INDONESIA SERTA DI LAUT BEBAS. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki arti strategis bagi industri perikanan, karena wilayah laut tersebut merupakan spawning ground (tempat pemijahan) ikan Tuna Sirip Biru atau Southern Bluefin Tuna (SBT) yang bernama ilmiah Thunnus maccoyii. Spawning ground SBT berada pada lintang 30 0 LS - 50 0 LS seperti pada Gambar 1 13 dan fase pemijahan tersebut berlangsung sepanjang Agustus-Juni. Juvenile SBT selanjutnya bermigrasi ke arah selatan dan pantai timur Australia dan melewati musim dingin di laut yang lebih dalam (Posiding Simposium Perikanan, 1997). Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999) 13 Menurut Permen No. PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan, spawning ground SBT sebagian berada dalam wilayah WPP 10 atau wilayah WPP Samudera Hindia B yang meliputi selatan Jawa dan Nusa Tenggara.

2 SBT merupakan ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory fish) dan bernilai ekonomi tinggi di pasar ikan internasional, khususnya pasar Sukiji Jepang dengan harga yang dapat mencapai US$50-600 per kilogram (Wudianto, 2007). Kategori highly migratory fish dan nilai ekonomi SBT yang tinggi mendorong negara-negara pemanfaat komoditas ini, seperti Australia, Jepang dan Selandia Baru pada 10 Mei 1993 menandatangani Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna. Setahun setelah penandatanganan tersebut, dibentuk Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Tujuan utama CCSBT adalah menjamin konservasi dan pemanfaatan optimal tuna sirip biru selatan melalui pengelolaan yang tepat. Area kewenangan CCSBT mencakup perairan laut pada 30 0 LS - 50 0 LS dan spawning ground SBT di laut selatan Indonesia dan secara juridiksi, konvensi CCSBT tidak diterapkan pada wilayah geografik tertentu, melainkan mengikat wilayah-wilayah yang menjadi habitat SBT. Wilayah pemijahan dan tujuan migrasinya yang mencakup wilayah perairan seperti pada Gambar 2. Gambar 2. Peta Wilayah Kewenangan Juridiksi CCSBT (CCSBT, 2007) CCSBT adalah yang dibentuk sebagai Regional Fisheries Management Organizationn (RFMO) tindak lanjut United Nation Fisheries Stock Agreement

3 (UNFSA) 1995 yang saat ini tengah diratifikasi. UNFSA mengatur ketentuan bahwa pemanfaatan dan pengelolaan tuna sebagai spesies yang bermigrasi jauh dan melewati batas-batas laut kontinen beberapa negara, perlu diatur oleh organisasi regional, seperti CCSBT yang mengatur masalah pengelolaan dan pemanfaatan SBT. Keanggotaan CCSBT saat ini terdiri dari member, cooperating nonmember dan observer. Pada 8 April 2008, Indonesia resmi menjadi member CCSBT mengikuti status negara-negara yang telah yang telah menjadi member terlebih dahulu, seperti Australia, Jepang, Selandia Baru, Republik Korea dan Fishing Entity of Taiwan s. Beberapa negara lainnya terdaftar sebagai cooperating non-member yakni, Filipina, Afrika Selatan 14 dan European Community 15. Status keanggotaan penuh Indonesia pada 2008 terkait dengan embargo ekspor produk SBT Indonesia di pasar negara-negara anggota CCSBT, khusus Jepang sebagai tujuan utama pasar ekspor. Embargo yang diterapkan pada 1 Juni 2005 disebabkan negara-negara anggota CCSBT, khususnya Australia dan Jepang, menaruh kecurigaan bahwa Indonesia enggan ikut serta melestarikan sumberdaya SBT. Embargo tersebut ternyata efektif menekan Indonesia agar bersedia mengikat diri dalam Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna, karena secara geografis sebagian wilayah ZEEI merupakan spawning ground SBT. Embargo yang berlangsung sejak 2005 membawa dampak kerugian bagi Indonesia, diantaranya kerugian dari penerimaan devisa, lapangan kerja dan mengancam pengembangan industri perikanan pada umumnya. Kondisi tersebut mendorong Indonesia perlu mengambil langkah-langkah regulasi dengan mengikat diri dalam konvensi CCSBT. Langkah perubahan status keanggotaan merupakan salah satu jalan untuk mengatasi tekanan embargo dan membuka isolasi pasar ekspor. 14 Sebagian juvenile yang memijah di pantai selatan Jawa bermigrasi ke barat melintasi Afrika Selatan. 15 Keanggotaan CCSBT terdiri atas member, cooperating non-member dan observer. Konvensi dapat diikuti oleh negara yang terlibat dalam pemanfaatan SBT atau negara pantai yang memiliki ZEE atau daerah perikanan yang dilintasi migrasi SBT.

4 Mengikuti perubahan status keanggotaan tersebut, Indonesia perlu menata kembali keragaan industri perikanan SBT dengan menerapkan pola pemanfaatan SBT yang mengadopsi tujuan konvensi, yakni ikut melestarikan sumberdaya SBT dengan tetap mempertahankan tujuan-tujuan ekonomi. Kondisi tersebut membutuhkan suatu penelitian untuk merumuskan optimalisasi dan strategi pemanfaatan sumberdaya Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia Selatan Indonesia, yang diarahkan untuk mencari titik keseimbangan antara kepentingan konservasi yang menjadi concern CCSBT, dengan kepentingan ekonomi yang menjadi tujuan pengembangan industri perikanan Indonesia. Titik keseimbangan tersebut diharapkan dapat menjadi kerangka regulasi pemanfaatan SBT di Indonesia. 1.2. Rumusan Masalah Ratifikasi United Nations Conservatioan on The Law af The Sea (UNCLOS) 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 pada dasarnya membuka peluang Indonesia untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya ikan di laut lepas (high sea), baik sumberdaya ikan jenis beruaya jauh (highly migratory fish stocks), sumberdaya ikan beruaya terbatas (straddling fish stock) dan share stock atau sumberdaya ikan yang beruaya di antara batas laut negara. Pengaturan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber daya ikan tersebut selanjutnya dituangkan dalam United Nation Fisheries Stock Agreement (UNFSA) 1995. Hal ini perlu terus ditindaklanjuti sebagai bagian dari strategi untuk menjamin kepentingan Indonesia dalam melindungi dan memanfaatkan kekayaan sumberdaya perikanan di laut lepas, khususnya di ZEEI. UNFSA 1995 mengatur ketentuan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna, sepenuhnya ditangani dan dikoordinasikan oleh badanbadan pengelolaan ikan regional atau RFMO. Ada empat RFMO seperti terlihat pada Gambar 3, yang wilayah kewenangannya bersentuhan langsung dengan kepentingan Indonesia di ZEEI, yakni Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) serta Asia-Pacific Fishery Commission (APFIC).

5 AFIC Gambar 3. Peta Wilayah Kewenangan 13 RFMO Dunia (Bird Life International, 2008) Suatu negara akan memiliki akses untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya perikanan di wilayah yang kewenangannya diatur oleh suatu RFMO, bila negara tersebut menjadi anggota RFMO tersebut. Terkait dengan hal ini, penerapan sanksi embargo ekspor SBT pada 1 Juli 2005 oleh negara-negara anggota CCSBT pada Indonesia, bertujuan untuk mendesak negara-negara pemanfaat SBT, khususnya Indonesia, agar bersedia meningkatkan keanggotaannya dari cooperating non-member menjadi member. Sanksi ini akan terus diberlakukan hingga Indonesia bersedia mengikat diri dalam konvensi CCSBT dengan menjadi anggota penuh RFMO tersebut. Embargo atas ekspor SBT tentunya membawa dampak kerugian bagi Indonesia, terutama kalangan pengusaha industri perikanan SBT yang beroperasi di Samudera Hindia, khususnya di laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Perhitungan kerugian dapat dilihat dari kuota minimal bila Indonesia menjadi cooperating non-member CCSBT. Berdasarkan Annual Meeting 2006, pada posisi Indonesia sebagai cooperating non-member, kuota penangkapan SBT Indonesia yang diberikan sebesar 750 ton per tahun. Jika diasumsikan hasil tangkap SBT berkualitas sashimi dengan pasar ekspor tujuan Jepang, maka harga

6 produk SBT Indonesia berkisar pada US$50,00 per kg. Kerugian atas sanksi embargo ekspor SBT Indonesia tiap tahun diperkirakan dapat mencapai US$37,5 juta atau setara dengan Rp345 milyar per tahunnya. Perhitungan kerugian ini akan meningkat bila potential lost lainnya ikut dihitung, seperti lapangan kerja dan kegiatan-kegiatan ekonomi yang ikut mendukung industri penangkapan SBT. Langkah-langkah pembenahan perlu diupayakan agar syarat-syarat keanggotaan dapat dipenuhi, salah satunya seperti perbaikan data-data statistik produksi SBT yang selama ini cenderung bias. Disamping pembenahanpembenahan seperti itu, Indonesia perlu menyusun perencanaan jangka panjang, mengingat peningkatan status keanggotaan di CCSBT hanya berdampak jangka pendek, yakni lepasnya sanksi embargo ekspor atas produk SBT Indonesia. Untuk itu, peningkatan status keanggotaan ini harus diikuti pula dengan perencanaan jangka panjang, yakni perencanaan pemanfaatan SBT yang dapat menjamin aktivitas penangkapan tidak akan mengurangi keefektifan langkahlangkah pengelolaan, konservasi dan semua keputusan yang tertuang dalam konvensi. Artinya, keanggotaan dalam CCSBT harus mampu menjamin keberlangsungan sumberdaya SBT sekaligus menjamin keberlangsungan industri penangkapan SBT nasional 16. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah : 1. Mengkaji alokasi optimal pemanfaatan sumberdaya perikanan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia sepanjang laut selatan Jawa dan Bali. 2. Menyusun opsi kebijakan dalam mengoptimalkan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia sepanjang laut selatan Jawa dan Bali. 16 Disamping itu, keanggotaan di CCSBT akan dibebani iuran sebesar Aus$ 130 ribu atau setara dengan Rp910 juta(asumsi Aus$1 = Rp7.000,-), yang tentunya ditanggung oleh Indonesia dari pajak rakyat.

7 3. Menganalisis langkah-langkah kebijakan Indonesia pasca keanggotaan di CCSBT dalam rangka meningkatkan kemampuan negosiasi kepentingan sebagai negara yang menjadi wilayah pemijahan Southern Bluefin Tuna. 1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah menjadi bahan referensi ilmiah bagi penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan Southern Bluefin Tuna di Samudera Indonesia, khususnya di laut selatan Jawa dan Bali, dalam rangka meningkatkan kemampuan negosiasi kepentingan industri perikanan SBT Indonesia.