1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki arti strategis bagi industri perikanan, karena wilayah laut tersebut merupakan spawning ground (tempat pemijahan) ikan Tuna Sirip Biru atau Southern Bluefin Tuna (SBT) yang bernama ilmiah Thunnus maccoyii. Spawning ground SBT berada pada lintang 30 0 LS - 50 0 LS seperti pada Gambar 1 13 dan fase pemijahan tersebut berlangsung sepanjang Agustus-Juni. Juvenile SBT selanjutnya bermigrasi ke arah selatan dan pantai timur Australia dan melewati musim dingin di laut yang lebih dalam (Posiding Simposium Perikanan, 1997). Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999) 13 Menurut Permen No. PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan, spawning ground SBT sebagian berada dalam wilayah WPP 10 atau wilayah WPP Samudera Hindia B yang meliputi selatan Jawa dan Nusa Tenggara.
2 SBT merupakan ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory fish) dan bernilai ekonomi tinggi di pasar ikan internasional, khususnya pasar Sukiji Jepang dengan harga yang dapat mencapai US$50-600 per kilogram (Wudianto, 2007). Kategori highly migratory fish dan nilai ekonomi SBT yang tinggi mendorong negara-negara pemanfaat komoditas ini, seperti Australia, Jepang dan Selandia Baru pada 10 Mei 1993 menandatangani Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna. Setahun setelah penandatanganan tersebut, dibentuk Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Tujuan utama CCSBT adalah menjamin konservasi dan pemanfaatan optimal tuna sirip biru selatan melalui pengelolaan yang tepat. Area kewenangan CCSBT mencakup perairan laut pada 30 0 LS - 50 0 LS dan spawning ground SBT di laut selatan Indonesia dan secara juridiksi, konvensi CCSBT tidak diterapkan pada wilayah geografik tertentu, melainkan mengikat wilayah-wilayah yang menjadi habitat SBT. Wilayah pemijahan dan tujuan migrasinya yang mencakup wilayah perairan seperti pada Gambar 2. Gambar 2. Peta Wilayah Kewenangan Juridiksi CCSBT (CCSBT, 2007) CCSBT adalah yang dibentuk sebagai Regional Fisheries Management Organizationn (RFMO) tindak lanjut United Nation Fisheries Stock Agreement
3 (UNFSA) 1995 yang saat ini tengah diratifikasi. UNFSA mengatur ketentuan bahwa pemanfaatan dan pengelolaan tuna sebagai spesies yang bermigrasi jauh dan melewati batas-batas laut kontinen beberapa negara, perlu diatur oleh organisasi regional, seperti CCSBT yang mengatur masalah pengelolaan dan pemanfaatan SBT. Keanggotaan CCSBT saat ini terdiri dari member, cooperating nonmember dan observer. Pada 8 April 2008, Indonesia resmi menjadi member CCSBT mengikuti status negara-negara yang telah yang telah menjadi member terlebih dahulu, seperti Australia, Jepang, Selandia Baru, Republik Korea dan Fishing Entity of Taiwan s. Beberapa negara lainnya terdaftar sebagai cooperating non-member yakni, Filipina, Afrika Selatan 14 dan European Community 15. Status keanggotaan penuh Indonesia pada 2008 terkait dengan embargo ekspor produk SBT Indonesia di pasar negara-negara anggota CCSBT, khusus Jepang sebagai tujuan utama pasar ekspor. Embargo yang diterapkan pada 1 Juni 2005 disebabkan negara-negara anggota CCSBT, khususnya Australia dan Jepang, menaruh kecurigaan bahwa Indonesia enggan ikut serta melestarikan sumberdaya SBT. Embargo tersebut ternyata efektif menekan Indonesia agar bersedia mengikat diri dalam Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna, karena secara geografis sebagian wilayah ZEEI merupakan spawning ground SBT. Embargo yang berlangsung sejak 2005 membawa dampak kerugian bagi Indonesia, diantaranya kerugian dari penerimaan devisa, lapangan kerja dan mengancam pengembangan industri perikanan pada umumnya. Kondisi tersebut mendorong Indonesia perlu mengambil langkah-langkah regulasi dengan mengikat diri dalam konvensi CCSBT. Langkah perubahan status keanggotaan merupakan salah satu jalan untuk mengatasi tekanan embargo dan membuka isolasi pasar ekspor. 14 Sebagian juvenile yang memijah di pantai selatan Jawa bermigrasi ke barat melintasi Afrika Selatan. 15 Keanggotaan CCSBT terdiri atas member, cooperating non-member dan observer. Konvensi dapat diikuti oleh negara yang terlibat dalam pemanfaatan SBT atau negara pantai yang memiliki ZEE atau daerah perikanan yang dilintasi migrasi SBT.
4 Mengikuti perubahan status keanggotaan tersebut, Indonesia perlu menata kembali keragaan industri perikanan SBT dengan menerapkan pola pemanfaatan SBT yang mengadopsi tujuan konvensi, yakni ikut melestarikan sumberdaya SBT dengan tetap mempertahankan tujuan-tujuan ekonomi. Kondisi tersebut membutuhkan suatu penelitian untuk merumuskan optimalisasi dan strategi pemanfaatan sumberdaya Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia Selatan Indonesia, yang diarahkan untuk mencari titik keseimbangan antara kepentingan konservasi yang menjadi concern CCSBT, dengan kepentingan ekonomi yang menjadi tujuan pengembangan industri perikanan Indonesia. Titik keseimbangan tersebut diharapkan dapat menjadi kerangka regulasi pemanfaatan SBT di Indonesia. 1.2. Rumusan Masalah Ratifikasi United Nations Conservatioan on The Law af The Sea (UNCLOS) 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 pada dasarnya membuka peluang Indonesia untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya ikan di laut lepas (high sea), baik sumberdaya ikan jenis beruaya jauh (highly migratory fish stocks), sumberdaya ikan beruaya terbatas (straddling fish stock) dan share stock atau sumberdaya ikan yang beruaya di antara batas laut negara. Pengaturan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber daya ikan tersebut selanjutnya dituangkan dalam United Nation Fisheries Stock Agreement (UNFSA) 1995. Hal ini perlu terus ditindaklanjuti sebagai bagian dari strategi untuk menjamin kepentingan Indonesia dalam melindungi dan memanfaatkan kekayaan sumberdaya perikanan di laut lepas, khususnya di ZEEI. UNFSA 1995 mengatur ketentuan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna, sepenuhnya ditangani dan dikoordinasikan oleh badanbadan pengelolaan ikan regional atau RFMO. Ada empat RFMO seperti terlihat pada Gambar 3, yang wilayah kewenangannya bersentuhan langsung dengan kepentingan Indonesia di ZEEI, yakni Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) serta Asia-Pacific Fishery Commission (APFIC).
5 AFIC Gambar 3. Peta Wilayah Kewenangan 13 RFMO Dunia (Bird Life International, 2008) Suatu negara akan memiliki akses untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya perikanan di wilayah yang kewenangannya diatur oleh suatu RFMO, bila negara tersebut menjadi anggota RFMO tersebut. Terkait dengan hal ini, penerapan sanksi embargo ekspor SBT pada 1 Juli 2005 oleh negara-negara anggota CCSBT pada Indonesia, bertujuan untuk mendesak negara-negara pemanfaat SBT, khususnya Indonesia, agar bersedia meningkatkan keanggotaannya dari cooperating non-member menjadi member. Sanksi ini akan terus diberlakukan hingga Indonesia bersedia mengikat diri dalam konvensi CCSBT dengan menjadi anggota penuh RFMO tersebut. Embargo atas ekspor SBT tentunya membawa dampak kerugian bagi Indonesia, terutama kalangan pengusaha industri perikanan SBT yang beroperasi di Samudera Hindia, khususnya di laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Perhitungan kerugian dapat dilihat dari kuota minimal bila Indonesia menjadi cooperating non-member CCSBT. Berdasarkan Annual Meeting 2006, pada posisi Indonesia sebagai cooperating non-member, kuota penangkapan SBT Indonesia yang diberikan sebesar 750 ton per tahun. Jika diasumsikan hasil tangkap SBT berkualitas sashimi dengan pasar ekspor tujuan Jepang, maka harga
6 produk SBT Indonesia berkisar pada US$50,00 per kg. Kerugian atas sanksi embargo ekspor SBT Indonesia tiap tahun diperkirakan dapat mencapai US$37,5 juta atau setara dengan Rp345 milyar per tahunnya. Perhitungan kerugian ini akan meningkat bila potential lost lainnya ikut dihitung, seperti lapangan kerja dan kegiatan-kegiatan ekonomi yang ikut mendukung industri penangkapan SBT. Langkah-langkah pembenahan perlu diupayakan agar syarat-syarat keanggotaan dapat dipenuhi, salah satunya seperti perbaikan data-data statistik produksi SBT yang selama ini cenderung bias. Disamping pembenahanpembenahan seperti itu, Indonesia perlu menyusun perencanaan jangka panjang, mengingat peningkatan status keanggotaan di CCSBT hanya berdampak jangka pendek, yakni lepasnya sanksi embargo ekspor atas produk SBT Indonesia. Untuk itu, peningkatan status keanggotaan ini harus diikuti pula dengan perencanaan jangka panjang, yakni perencanaan pemanfaatan SBT yang dapat menjamin aktivitas penangkapan tidak akan mengurangi keefektifan langkahlangkah pengelolaan, konservasi dan semua keputusan yang tertuang dalam konvensi. Artinya, keanggotaan dalam CCSBT harus mampu menjamin keberlangsungan sumberdaya SBT sekaligus menjamin keberlangsungan industri penangkapan SBT nasional 16. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah : 1. Mengkaji alokasi optimal pemanfaatan sumberdaya perikanan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia sepanjang laut selatan Jawa dan Bali. 2. Menyusun opsi kebijakan dalam mengoptimalkan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia sepanjang laut selatan Jawa dan Bali. 16 Disamping itu, keanggotaan di CCSBT akan dibebani iuran sebesar Aus$ 130 ribu atau setara dengan Rp910 juta(asumsi Aus$1 = Rp7.000,-), yang tentunya ditanggung oleh Indonesia dari pajak rakyat.
7 3. Menganalisis langkah-langkah kebijakan Indonesia pasca keanggotaan di CCSBT dalam rangka meningkatkan kemampuan negosiasi kepentingan sebagai negara yang menjadi wilayah pemijahan Southern Bluefin Tuna. 1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah menjadi bahan referensi ilmiah bagi penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan Southern Bluefin Tuna di Samudera Indonesia, khususnya di laut selatan Jawa dan Bali, dalam rangka meningkatkan kemampuan negosiasi kepentingan industri perikanan SBT Indonesia.