1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Krisis ekonomi yang dimulai sejak tahun 1997/1998 telah membawa dampak pada kerusakan sistem perbankan nasional di Indonesia. Tidak sedikit bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas sehingga terpaksa dilikuidasi, dibekukan kegiatan usahanya dan menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Bank-bank lain yang masih layak usaha harus dibantu Pemerintah melalui langkah pengambil-alihan (take over) dan Program Rekapitalisasi. Bank-bank dimaksud tidak hanya bank umum swasta nasional, tetapi termasuk juga bank milik Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara (BUMN), baik bank yang telah go public (PT terbuka) maupun yang belum go public (PT tertutup). Sinstesis dari berbagai kajian menunjukkan bahwa krisis yang dialami Indonesia disebakan oleh 6 faktor pokok 1 : Pertama, pertumbuhan ekonomi yang pesat sebelum krisis lebih didorong oleh karena pertumbuhan investasi dan bukan karena efisiensi dan inovasi. Booz-Allen & Hamilton menemukan fakta bahwa pertumbuhan antara 1990-1996 yang sangat cepat disebabkan oleh pertumbuhan pasar modal yang mencapai 35 % per tahun, sedangkan investasi di sektor riil justru ditempatkan pada sektor yang kurang produktif seperti real estate. Kedua, sebagian nilai pasar perusahaan-perusahaan yang tercatat di pasar modal di kawasan ini adalah overvalued. McKinsey & Co menemukan bahwa sekitar 90 % nilai pasar perusahaan publik Indonesia ditentukan oleh harapan pertumbuhan perusahaan 1 Tanri Abeng, Kelemahan Fundamen Mikro Perekonomian Indonesia, dalam Sofyan A. Djalil, Good Corporate Governance, Makalah, September 2000
2 (growth expectation), dan hanya 10 % sisanya ditentukan oleh current earning stream, yaitu kemampuan riil perusahaan dalam menciptakan laba. Sebagai pembanding, nilai pasar perusahaan-perusahaan publik yang sehat di negara-negara maju hanya 30 % yang ditentukan dari growth expectation, 70 % sisanya ditentukan oleh kinerja riil perusahaan atau current earning stream. Ketiga, struktur finansial perusahaan pada dasarnya tidak sehat. Sejumlah perusahaan besar di luar perbankan, mengandalkan pinjaman lebih dari 100 % dibandingkan ekuitas. Padahal komposisi dana eksternal yang sehat umumnya di bawah 50 % dari ekuitinya sehingga perusahaan tersebut memiliki daya tahan yang tinggi terhadap krisis. Keempat, dalam proses penyaluran kredit terjadi praktek mark-up sehingga pada akhirnya hanya menghancurkan struktur kapital itu sendiri. Temuan Booz Allen & Hamilton menunjukkan bahwa mark-up dari dana pinjaman yang diminta (application of funds) sampai 10 kali operating cash flow yang riil. Jika pun tidak di mark-up, perusahaanperusahaan tersebut berusaha menutup kekurangan biaya untuk operasi dari pinjaman. Akibatnya perusahaan akan rugi terus-menerus, meminjam dana dari luar negeri, yang bahkan melampaui pendapatan operasionalnya sendiri sehingga mengalami deteorating financial performance. Kelima, terjadi konsentrasi ekonomi yang tidak sehat. Data di tahun 1996 menunjukkan bahwa puncak piramida struktur ekonomi Indonesia hanya diisi oleh 200 konglomerat swasta yang dimiliki oleh kurang lebih 50 keluarga dan 100 BUMN besar. Di lapisan tengah hampir kosong. Sementara di lapisan bawah terdapat lebih kurang 39 juta pelaku ekonomi kecil dan koperasi termasuk sektor informal. Laporan Bank Dunia tentang Private Sector di tahun 1999 mencatat, Indonesia memiliki konsentrasi kepemilikan
3 perusahaan publik tertinggi di Asia (61,7 %) dibanding Malaysia (28,3 %), Thailand (53,5 %), Singapura (29,9 %), dan Jepang hanya 2,8 %. Keenam, runtuhnya perekonomian Indonesia juga disebabkan oleh karena tidak adanya good corporate governance di dalam pengelolaan perusahaan. Karakteristik lemahnya Corporate Governance di Asia Tenggara adalah (Suprayitno, G., dkk., 2004 : 14): 1. Konsentrasi kepemilikan dan kekuatan insider shareholders (termasuk pemerintah dan pihak-pihak yang berhubungan dengan pusat kekuatan), 2. Lemahnya governance sektor keuangan, 3. Ketidakcukupan dan ketidakefektifan internal rules dan lingkungan hukum yang melindungi investor luar berhadapan dengan pemegang saham mayoritas dan manajer. Herwidayatmo mengelompokkan praktek-praktek di Indonesia yang bertentangan dengan konsep Good Corporate Governace menjadi (Suprayitno, G., dkk., 2004:15): 1. Konsentrasi kepemilikan oleh pihak tertentu yang memungkinkan terjadinya hubungan afiliasi antara pemilik, pengawas dan direktur perusahaan, 2. Tidak efektifnya peran Dewan Komisaris, 3. Lemahnya law enforcement. Karakteristik lemahnya Corporate Governance yang melekat di perusahaanperusahaan Indonesia dan terjadinya berbagai skandal menyebabkan rendahnya penilaian penerapan GCG di Indonesia. Kajian Booz Allen & Hamilton pada tahun 1998 menunjukkan bahwa indeks good corporate governance Indonesia adalah yang paling rendah di Asia Timur (2,88) dibanding Malaysia (7,72), Thailand (4,89), Singapura (8,93) dan Jepang (9,17). Hal tersebut diperparah oleh inefisiensi hukum dan pengadilan. Dalam
4 studi yang sama ditemukan bahwa indeks efisiensi hukum dan peradilan di Indonesia hanya 2,5, jauh apabila dibandingkan dengan Malaysia (9,00), Thailand (3,25), Singapura (10,00) dan Jepang (10,00). Terpuruknya sektor perbankan selain disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang sehingga menimbulkan masalah likuiditas bagi bank, juga diperberat oleh lemahnya kondisi internal perbankan, antara lain, kurangnya atau tidak diterapkannya prinsip kehatihatian dan prinsip GCG oleh bank. Hal ini terlihat dalam praktek pemberian kredit yang berlebihan pada pihak terkait dan kelompok-kelompok usaha tertentu dan pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK); kelemahan manajemen bank dan intervensi pemilik yang dominan terhadap kegiatan operasional bank; kecenderungan para pemilik dan pengurus bank untuk melakukan berbagai penyimpangan dan pelanggaran (moral hazard). Para pemegang saham menggunakan kedudukannya untuk memanfaatkan bank bagi kepentingannya sendiri. Misalnya untuk memberikan bantuan pembiayaan bagi perusahaannya sendiri atau perusahaan yang terkait dengan dirinya. Contoh lain penyebab buruknya kondisi perbankan di Indonesia adalah campur tangan pemilik yang berlebihan dalam manajemen bank, bahkan tidak sedikit pemilik bank yang merangkap jabatan sebagai pengurus bank. Bank-bank swasta hampir seluruhnya dimiliki oleh atau merupakan bagian dari konglomerat besar yang bergerak dibidang usaha non bank seperti properti dan manufaktur. Dengan struktur kepemilikan seperti itu, peran komisaris yang berdasarkan undang-undang bertugas mengawasi kebijakan direksi dalam menjalankan perusahaan menjadi tidak efektif. Kedudukan komisaris diisi oleh pemilik bank atau diangkat sebagai jabatan kehormatan. Hal ini menyebabkan fungsi pengawasan
5 internal bank tidak berjalan, sehingga pengawasan bank bergantung sepenuhnya kepada pengawas bank yaitu Bank Indonesia. Praktek itulah yang banyak terjadi dalam perbankan Indonesia pada periode sebelum terjadinya krisis moneter 1997. Perilaku itu menjadi salah satu penyebab utama rapuhnya ketahanan perbankan di Indonesia. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang dalam bekerjanya dilandasi prinsip kepercayaan. Krisis perbankan mengakibatkan krisis kepercayaan dari masyarakat kepada perbankan nasional. Hal ini berdampak pada buruknya kinerja pemulihan ekonomi nasional dan mempengaruhi iklim investasi yang sedang digalakkan karena buruknya citra perbankan nasional. Dimana dalam era globalisasi/pasar bebas, baik investor asing maupun domestik akan menanamkan modalnya di sebuah negara dengan menggunakan jasa perbankan. Oleh karena itu, usaha mengembalikan kepercayaan kepada dunia perbankan Indonesia melalui restrukturisasi dan rekapitalisasi hanya dapat mempunyai dampak jangka panjang dan mendasar apabila disertai tiga tindakan penting lain, yaitu: (i) Ketataan terhadap prinsip kehati-hatian; (ii) Pelaksanaan GCG; dan (iii) Pengawasan yang efektif dari Otoritas Pengawas Bank. Terjadinya kasus-kasus kejatuhan perusahaan-perusahaan besar termasuk bank dan krisis perbankan yang terjadi, telah mendorong semakin kerasnya tuntutan agar bank lebih transparan dalam menjelaskan kondisi bank, termasuk implementasi prinsip-prinsip GCG. Pelaksanaan GCG menjadi faktor penting bagi bank untuk membangun dan memulihkan kepercayaan masyarakat. Untuk bangkit dari krisis ekonomi, perbankan harus bersaing secara global guna mendapatkan modal. GCG sudah menjadi keharusan, karena investor (global) menjadikan hal tersebut sebagai salah satu syarat.
6 Guna meningkatkan kinerja bank, melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundanga-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku umum pada industri perbankan, Bank Indonesia telah menerbitkan, antara lain, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum, dan Surat Edaran kepada Semua Bank Umum Konvensional Di Indonesia Nomor 15/15/DPNP tanggal 29 April 2013 tentang Pelaksanan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum. a Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, permasalahan yang hendak penulis teliti adalah: a. Bagaimana penerapan prinsip GCG dalam Perbankan? b. Apa sanksi terhadap bank yang tidak melaporkan penerapan prinsip GCG? b Keaslian Penelitian Setelah dilakukan penelusuran kepustakaan di perpustakaan program pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, berkaitan dengan permasalahan penerapan atau pelaksanaan prinsip GCG telah menarik minat mahasiswa Fakultas Hukum untuk menulis dan menelitinya, yaitu:
7 a. Pelaksanaan Pasal 3 Undang-undang Perseroan Terbatas Sebagai Implementasi Good Corporate Governance di Indonesia yang ditulis oleh Siti Nur Intihani, Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada angkatan 2001. b. Penerapan Prinsip Good Corporate Governance Pada PT Tertutup (Studi Kasus PT Bali Giri Kencana dan PT Taman Burung Citra Bali Internasional) yang ditulis oleh A A Gede Duwira Hadi Santoso, Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada angkatan 2002. Penelitian yang membahas tentang penerapan prinsip GCG di bidang perbankan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya khazanah pengetahuan mengenai prinsip GCG di bidang perbankan serta memperdalam hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya. c Kegunaan Penelitian Dari penelitian ini diharapkan diperoleh kegunaan atau manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritikal : 1.1. menambah khazanah pengetahuan mengenai GCG di bidang perbankan; 1.2. memasyarakatkan prinsip GCG tidak hanya pada kalangan perbankan, tetapi juga terhadap pihak yang berkepentingan lainnya (stakeholder). 2. Secara Praktikal : 2.1. menumbuhkan kesadaran akan pentingnya GCG dalam pengelolaan bank; 2.2. tidak terulang kembali krisis perbankan sebagaimana telah terjadi pada tahun 1997/1998.
8 2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui praktik penerapan prinsip GCG dalam Perbankan dan sanksi terhadap bank yang tidak melaporkan penerapan prinsip GCG.