BAB III KONSEP KHITBAH, HANTARAN, WALIMAH NIKAH DAN ADAT DALAM PANDANGAN ISLAM

dokumen-dokumen yang mirip
tradisi jalukan pada saat pernikahan. Jalukan adalah suatu permintaan dari pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB I PENDAHULUAN. pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang berbunyi Negara

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEBOLEHAN PENDAFTARAN PENCATATAN PERKAWINAN PADA MASA IDDAH

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, sebuah tindakan yang telah disyari atkan oleh Allah SWT

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELARANGAN NIKAH DIKALANGAN KIAI DENGAN MASYARAKAT BIASA DI DESA BRAGUNG KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP

BAB II KONSEP WALIMAH NIKAH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB IV ANALISIS. A. Analisis Terhadap Modernisasi Mahar Nikah di KUA Jambangan Surabaya

BAB IV ANALISIS TERHADAP METODE IJAB QABUL PADA MASYARAKAT SUKU SAMIN

BAB IV ANALISIS PRAKTEK SRAH-SRAHAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan keluarga yang nantinya akan berkembang menjadi kerabat dan

BAB I PENDAHULUAN. umat manusia untuk menikah, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan perkawinan sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Quran dan

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai manusia sosial sudah sepantasnya dan seharusnya mengenal,

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan dan tradisinya masing-masing. Syari at Islam tidak

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA

BAB I PENDAHULUAN. dan diabadikan dalam Islam untuk selama-lamanya. Pernikahan secara terminologi adalah sebagaimana yang dikemukakan

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI SAWAH BERJANGKA WAKTU DI DESA SUKOMALO KECAMATAN KEDUNGPRING KABUPATEN LAMONGAN

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB IV ANALISIS URF TERHADAP PEMBERIAN RUMAH KEPADA ANAK PEREMPUAN YANG AKAN MENIKAH DI DESA AENG PANAS KECAMATAN PRAGAAN KABUPATEN SUMENEP

PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT TERHADAP TRADISI BUBAKAN PADA WALIMATUR URSY (Studi Kasus di Desa Bendosari Kecamatan Pujon Kabupaten Malang)

BAB III KERANGKA TEORITIS. serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai dari satu generasi kepada generasi

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERCERAIAN KARENA ISTERI. A. Analisis terhadap Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim karena Isteri

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI REPENAN DALAM WALIMAH NIKAH DI DESA PETIS SARI KEC. DUKUN KAB. GRESIK

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

MBAREP DI DESA KETEGAN KECAMATAN TANGGULANGIN

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

Bolehkah melaksanakan perkawinan seorang perempuan dengan seorang laki laki yang bapak keduanya saudara sekandung, yaitu seayah dan seibu?

BAB I PENDAHULUAN. mensyariatkan perkawinan sebagai realisasi kemaslahatan primer, yaitu

dalam ibadah maupun muamalah. Namun nas-nas syarak tidak secara rinci memberikan solusi terhadap berbagai macam problematika kehidupan manusia.

BAB IV ANALISIS SADD AH TERHADAP JUAL BELI KREDIT BAJU PADA PEDAGANG PERORANGAN DI DESA PATOMAN ROGOJAMPI BANYUWANGI

BAB I PENDAHULUAN. peraturan tertentu, tidak demikian dengan manusia. Manusia di atur oleh

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN SEWA MENYEWA POHON UNTUK MAKANAN TERNAK

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

BAB IV ANALISIS DATA. A Pelaksanaan Adat Pelangkahan dalam Perkawinan dan Dampaknya Terhadap Keharmonisan Rumah Tangga

BAB V ANALISIS HASIL PENELITIAN. beberapa model kerangka berfikir yang kontradiksi antara Adat dan Hukum Islam.

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI LARANGAN PERKAWINAN NYANDUNG WATANG DI DESA NGUWOK KECAMATAN MODO KABUPATEN LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN PRIMBON JAWA TENTANG KEHARMONISAN DALAM PERKAWINAN

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB V ANALISIS. 1. Pendapat ulama yang Melarang Keluar Rumah dan Berhias Bagi Wanita Karier.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Allah SWT dalam jenis berbeda namun berpasangan,

BAB I PENDAHULUAN. istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang

BAB I PENDAHULUAN. hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan untuk meneruskan keturunan. Hal

BAB V PENUTUP. penelitian, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1. Prosesi Sebambangan Dalam Perkawinan Adat Lampung Studi di Desa

BAB IV ANALISIS MAṢLAḤAH TENTANG POLIGAMI TANPA MEMINTA PERSETUJUAN DARI ISTRI PERTAMA

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN NIKAH TUMBUK DESA DI DESA CENDIREJO KECAMATAN PONGGOK KABUPATEN BLITAR

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan.

A. Analisis Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Dalam Pernikahan Gadis dan. 1. Analisis prosesi tradisi standarisasi penetapan mahar

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG KHITBAH

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun

PEMBEBASAN NAFKAH SEMENTARA DALAM PERKAWINAN DI DESA MOJOKRAPAK KECAMATAN TEMBELANG

BAB IV ANALISIS TERHADAP JUAL BELI IKAN BANDENG DENGAN PEMBERIAN JATUH TEMPO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah. 3 Agar

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

BAB II TINJAUAN HUKUM ISLAM DALAM PROSES PERKAWINAN

BAB IV ANALISIS. A. Tinjauan Yuridis terhadap Formulasi Putusan Perkara Verzet atas Putusan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH DENGAN SISTEM KELOMPOK DI BMT KUBE SEJAHTERA KRIAN SIDOARJO

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK SIMPAN PINJAM PEREMPUAN PADA PNPM MP DI DESA IMA AN KECAMATAN DUKUN KABUPATEN GRESIK STUDI ANALISIS KOMPILASI HUKUM

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

BUYUT POTROH SEBELUM PROSESI AKAD NIKAH DI DESA

BAB III TINJAUAN UMUM PEMINANGAN MENURUT HUKUM ISLAM. Kata peminangan berasal dari kata pinang, meminang (kata kerja).

BAB IV ANALISIS PANDANGAN ULAMA DESA SUKOMALO KECAMATAN KEDUNGPRING KABUPATEN LAMONGAN TERHADAP LARANGAN PERKAWINAN ANTAR DUSUN NGULON NGALOR

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG TRADISI MELARANG ISTRI MENJUAL MAHAR DI DESA PARSEH KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Munakahat ZULKIFLI, MA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN UPAH DENGAN KULIT HEWAN KURBAN DI DESA JREBENG KIDUL KECAMATAN WONOASIH KABUPATEN PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.

BAB I PENDAHULUAN. boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya 1. Diakui secara ijma

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM JUAL BELI IKAN DENGAN PERANTAR PIHAK KEDUA DI DESA DINOYO KECAMATAN DEKET KABUPATEN LAMONGAN

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM. harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49).

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

Kang, sebenarnya khitbah sama tunangan itu sama gak sih?

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang dinamakan adat. Adat ini telah turun-menurun dari generasi. kegerasi yang tetap dipelihara hingga sekarang.

BAB I PENDAHULUAN. menghimpit, menindih atau berkumpul, sedangkan arti kiasanya ialah watha

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG URF

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam undang

BAB I PENDAHULUAN. antara orang lain agar mereka saling tolong-menolong dan tukar-menukar

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB IV ANALISIS PENDAPAT TOKOH NU SIDOARJO TENTANG MEMPRODUKSI RAMBUT PALSU

BAB I PENDAHULUAN. benar, salah satunya adalah larangan menikah dengan orang-orang tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. suatu keluarga melalui sebuah pernikahan, dari sebuah pernikahan inilah

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak pada garis khatulistiwa. Dengan

Transkripsi:

BAB III KONSEP KHITBAH, HANTARAN, WALIMAH NIKAH DAN ADAT DALAM PANDANGAN ISLAM A. Pinangan (Khitbah) 1. Pengertian Pinangan (Khitbah) Menurut bahasa, meminang atau melamar artinya antara lain adalah meminta wanita dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut istilah, peminangan ialah kegiatan atau upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau, seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku ditengah-tengah masyarakat. 1 Ditinjau dari akar kata ini, khitbah berarti pembicaraan yang berkaitan dengan lamaran atau permintaan untuk nikah.peminangan merupakan pendahuluan perkawinan, disyari atkan sebelum ada ikatan suami istri. 2. Syarat-syarat peminangan (Khitbah) Meminang dimaksudkan untuk mendapatkan atau memperoleh calon istri yang ideal atau memenuhi syarat menurut syari at Islam. Selain itu untuk syarat-syarat wanita yang boleh dipinang terdapat pada pasal 12 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berbunyi: 1 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2009), cet.ke- 2, h. 24 23

a. Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. b. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj iyyah, haram dan dilarang untuk dipinang. c. dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang orang lain selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita. d. Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang telah meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang. 3. Landasan Hukum Pinangan (Khitbah) Memang terdapat dalam Al-Qur an dan dalam banyak hadis nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Al-Qur an maupun dalam hadis nabi. Oleh karena itu dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya adalah mubah. Berkenaan dengan landasan hukum dari peminangan, telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya terdapat dalam pasal 11, 12 dan 13, yang menjelaskan bahwa peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh. Tapi dapat pula diwakilkan atau dilakukan oleh perantara yang dipercaya. 24

Agama Islam membenarkan bahwa sebelum terjadi perkawinan boleh diadakan peminangan (khitbah) dimana calon suami boleh melihat calon istri dalam batas-batas kesopanan Islam yaitu melihat muka dan telapak tangannya, dengan disaksikan oleh sebagian keluarga dari pihak laki-laki atau perempuan, dengan tujuan untuk saling kenal mengenal. Sebagaimana ulama berpendapat bahwa peminang boleh melihat wanita yang akan dinikahi itu pada bagian-bagian yang dapat menarik perhatian kepada pernikahan yang akan datang untuk mengekalkan adanya suatu perkawinan kelak tanpa menimbulkan adanya suatu keragu-raguan atau merasa tertipu setelah terjadi akad nikah. Pinangan atau lamaran seorang laki-laki kepada seorang perempuan boleh dengan ucapan langsung maupun secara tertulis. Meminang perempuan sebaiknya dengan sindiran. dalam meminang dapat dilakukan dengan tanpa melihat wajahnya, juga dapat melihat wanita yang dipinangnya. Dalam hal ini Al-Qur an menegaskan dalam Surat Al Baqarah ayat 235: 25

Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebutnyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. 2 4. Tata Cara Pinangan (Khitbah) Salah satu hal yang dapat membawa kesegaran bagi kehidupan rumah tangga sakinah yang akan diliputi rasa kasih sayang dan kebahagiaan ialah terbukanya kesempatan bagi pria untuk melihat calon istrinya pada waktu peminangan. Sehingga dapat diketahui kecantikannya yang bisa jadi faktor menggalakkan dia untuk mempersuntingnya, atau untuk mengetahui cacat-celanya yang bisa jadi penyebab kegagalannya sehingga berganti mengambil orang lain. Melihat wanita yang dipinang itu dianjurkan oleh agama. Tujuannya adalah supaya laki-laki itu dapat mengetahui keadaan wanita itu sebetulnya, tidak hanya mendengar dari orang lain. 30 2 Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya (Semarang: CV. Asy Syifa ), h. 26

Mengenai bagian tubuh mana saja yang boleh dilihat oleh peminang pada saat peminangan tidak diterangkan secara jelas, baik dalam Al-Qur an maupun dalam hadits, oleh karena itu ada beberapa pendapat yang berbeda dikalangan para ulama fiqh: a. Sebagian besar ulama fuqoha berpendapat bahwa laki-laki yang meminang seorang wanita hanya boleh melihat muka dan telapak tangannya saja. Karena dengan melihat muka dapat dilihat cantik tidaknya orang itu, sedangkan dari telapak tangannya dapat diketahui subur atau tidaknya wanita itu. b. Imam Daud dan para ulama dari mazhab dhahiri berpendapat bahwa laki-laki yang meminang seorang wanita boleh melihat seluruh bagian tubuhnya. 3 Namun dalam melihat seluruh tubuhnya mazhab dhahiri berpendapat dengan melihat seluruh tubuhnya harus satu muhrim atau melalui perantara. B. Hantaran Dalam Peminangan Peminangan adalah sebuah langkah awal pernikahan sebelum akad nikah dan biasanya diikuti dengan pemberian atau pembayaran mas kawin baik seluruhnya atau sebagian, juga hadiah-hadiah lain serta pemberian yang bermacam-macam untuk memperkokoh pertalian atau hubungan yang baru akan dilangsungkan. 4 Meskipun Islam menganjurkan umatnya untuk memenuhi janji, 3 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1992) h. 27 4 As-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa Mohammad Thalib, cet. I (ttp: PT. al Ma arif, 1980), h. 48. 27

dalam hal ini adalah janji untuk menikahi wanita yang telah dipinang, kadang terjadi alasan yang kuat dan sah untuk tidak menikahi wanita tersebut misalnya karena ditemukan adanya cacat fisik atau cacat mental pada salah satu pihak sehingga pihak lain tidak bisa memenuhi janjinya. 5 Menurut Prof. Hilman Hadikusumo, bahwa peminangan atau lamaran dipandang sebagai langkah awal yang harus dilakukan seteliti mungkin agar tidak terjadi kekeliruan. Tawar-menawar yang dilakukan juga harus kita pahami sebagai usaha mencari titik temu kemaslahatan, tidak diartikan sebagai tawar-menawar, seperti dalam jual beli, mencari harga jual yang tinggi, atau upaya mempersulit peminangan. Di samping itu, dapatlah kita anggap adanya adat peminangan sebagai kekayaan budaya kita, sebagai aset nasional. 6 Dalam agama Islam seorang wanita yang telah dilamar adalah milik si pelamar walaupun kepemilikan tersebut belum muthlak, artinya terbatas pada pengakuan saja. Pemberian dalam peminangan hanya sebagai hadiah dan bukan merupakan mahar. Oleh karena itu, ketentuan antara halal dan haram masih tetap berlaku seperti biasa. Pada saat itu mereka masih dianggap ajnabiyyah (orang asing) dan kebolehan melihat calonpun terbatas pada saat sebelum atau sesudah meminang, bukan setiap dikehendaki. 7 Namun demikan, dalam menjalankan proses khitbah diantara 48. 5 Ibid., h. 21. 6 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 7 Ibid., h. 49. 28

keduanya boleh saling melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dan lain sebagainya. Hal ini karena, khitbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma ruf. Pertunangan dalam hukum adat sering disamakan dengan melamar, yakni orang tua pihak calon pengantin laki-laki mangajukan permintaan agar diperbolehkan seorang anak laki-lakinya menikahi anak gadis orang lain yang akan menjadi isterinya kelak. Untuk memenuhi uang hantaran atau biaya perkawinan pada pihak kerabat wanita yang jumlahnya tidak sedikit, biasanya kalangan masyarakat adat kekerabatan berlaku adat tolong menolong, dimana tidak semata-mata disediakan oleh orang atau keluarga pihak laki-laki yang akan nikah melainkan juga dengan bantuan dari pihak keluarga wanita. Sikap tolong menolong tersebut sesuai dengan firman Allah: 8 و ت ع او ن وا ع ل ى ال ب ر و الت ق و ى و لا ت ع او ن وا ع ل ى الا ث م و ال ع د و ان Semua adat atau kebiasaan masyarakat dapat terlaksana dengan baik, asalkan tidak bertentangan dengan hukum atau norma agama yang dianutnya. Dalam agama Islam, adat kebiasaan tersebut dapat diterima apabila tidak melanggar syari at atau hukum yang lebih kuat, yakni Al- qur an dan Hadits. C. Walimah Nikah 8 Al-Maidah (5) : 2. 29

Walimah artinya al-jam u : kumpul, sebab antara suami dan istri berkumpul. Walimah berasal dari arab artinya makanan pengantin, adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bisa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan atau lainnya. 9 Walimah adalah istilah yang terdapat dalam literatur Arab yang secara arti kata berarti jamuan yang khusus untuk perkawinan dan tidak digunakan untuk perhelatan di luar perkawinan. Sebagian ulama menggunakan kata walimah itu untuk setiap jamuan makan, untuk setiap kesempatan mendapatkan kesenangan, hanya penggunaannya untuk kesempatan perkawinan lebih banyak. 10 Walimah nikah atau walimatul ursy adalah perayaaan pengantin sebagai ungkapan rasa syukur atas pernikahannya, dengan mengajak sanak saudara beserta masyarakat untuk ikut berbahagia dan menyaksikan peresmian pernikahan tersebut, sehingga mereka dapat ikut serta menjaga kelestarian keluarga yang dibinanya. Jadi, pada dasarnya walimah nikah merupakan suatu pengumuman pernikahan pada masyarakat. 11 Agama Islam menganjurkan agar setelah melangsungkan akad nikah kedua mempelai mengadakan upacara yang ditujukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah dan ekspresi kebahagiaan kedua mempelai atas nikmat perkawinan yang mereka alami. 9 Slamet Abidin et al, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV Purtaka Setia, 2005), h, 149 10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),h 155. 11 M. Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Istri Sejak Malam Pertama, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), h, 82. 30

Upacara tersebut dalam Islam dikonsepsikan sebagai walimah. 12 Manfaat walimah adalah agar keluarga, dan tetangga ikut menyaksikan dan mendoakan mempelai berdua. Walimah diadakan ketika acara akad nikah berlangsung, atau sesudahnya. Bisa juga diadakan tergantung adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. 13 Sehubungan dengan walimah, adat kebiasaan masing-masing daerah dapat dipertahankan bahkan dilestarikan sepanjang tidak menyalahi prinsip ajaran Islam. Dan apabila adat kebiasaan yang berhubungan dengan walimah tersebut bertentangan dengan syariat Islam, setuju atau tidak, harus ditinggalkan. Resepsi pernikahan tidak mesti mewah cukup dengan mengundang tetangga, kawan, d a n kerabat, untuk makan bersama, sekalipun tidak memakai daging atau lainnya. Dengan diundurnya resepsi ke beberapa bulan ke depan dengan dalih agar lebih meriah, tentu hal ini sama dengan mengambil hal yang mubah hukumnya dan meninggalkan hal yang sunnah. Namun demikian, Islam sangatlah bijak. Adat kebiasaan setempat terkadang harus dihormati dan dijadikan sebagai hukum. Bagi orang yang resepsi pernikahannya diundur ke beberapa bulan ke depan dengan dalih adat dan lainnya, hal itu sah-sah saja. 12 Rahmat Sudirman, Konstruksi Seksualitas Islam dalam Wacana Sosial, (Yogyakarta: CV Adipura, 2003), h, 113. 13 Slamet Abidin et al,opcit., h, 149. 31

Walimah yang dianjurkan Islam adalah bentuk upacara yang tidak berlebih-lebihan dalam segala halnya. Dalam walimah dianjurkan pada pihak yang berhajat untuk mengadakan makan guna disajikan pada tamu yang menghadiri walimah. Namun demikan, semua itu harus disesuaikan dengan kemampuan kedua belah pihak. Islam melarang upacara tersebut dilakukan, bila ternyata mendatangkan kerugian bagi kedua mempelai maupun kerugian dalam kehidupan masyarakat. Setelah akad acara nikah maupun walimah selesai, dianjurkan bagi mempelai laki-laki untuk tinggal di rumah mempelai wanita selama beberapa hari. Untuk mempelai wanita yang masih perawan, pihak keluarga siwanita dapat menahan menantunya selam tujuh hari berturut-turut. Adapun bagi mempelai wanita yang janda, pihak keluarga dapat menahan menantu laki- laki selama tiga hari berturut-turut. 14 Makna dari anjuran agar mempelai laki-laki setelah melangsungkan akad nikah tinggal selama seminggu di rumah istrinya adalah untuk memberikan kesempatan si istri dalam menyelami makna kehidupan berkeluarga. Selain itu, anjuran tersebut juga dimaksudkan agar keluarga istri mendapat kesempatan untuk berbagi rasa pada putrinya yang sebentar lagi akan meninggalkan kedua orangtunya dan hidup bersama selamanya dengan laki-laki pilihannya. 15 D. Adat Dalam Pandangan Islam 14 Rahmat Sudirman, Op.cit., h. 114. 15 Ibid. 32

Dalam hukum islam adat dikenal dengan kata urf yaitu secara etimologi berarti sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat. Al- urf (adat istiadat) yaitu sesuatu yang telah diyakini mayoritas orang, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang sudah berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan diterima oleh akal mereka. 16 Menurut ulama ushuliyyin urf adalah apa yang bisa dimengerti oleh sekelompok manusia dan mereka jalankan, baik berupa perbuatan, perkataan atau meninggalkan. 17 Al- urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya, baik berupa ucapan, perbuatan atau pantangan-pantangan,dan disebut juga adat, menurut ahli syara tidak ada perbedaan antara al- urf dan adat istiadat. 18 Dalam memahami adat ini tentu kita mungkin banyak melihat betapa banyaknya adat yang dikemas dengan nuansa islami yang memberikan kesusahan dan tekanan terhadap masyarakat, walaupun masyarakat saat ini sudah tidak sadar akan tekanan yang telah diberlakukan adat tersebut. Namun tidak bisa kita pungkiri tradisi sebenarnya yang memberikan manfaat yang baik demi berlangsungnya tatanan dan nilai ritual yang telah diwariskan secara turun temurun. 16 Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri (Jakarta: Grafindo Persada, 2009), h. 167. 17 Masykur Anhari, Ushul Fiqh (Surabaya: CV. Smart, 2008), h. 110. 18 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 133. 33

Para ulama ushul fiqh membagi urf kepada tiga macam, antara lain sebagai berikut : 19 a. Dari segi objeknya di bagi menjadi dua: a) Al- urf al- lafdzi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas di pikiran masyarakat b) Al- urf al- amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan) adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan.yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan orang libur pada hari-hari tertentu dalm satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu makan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara acara khusus. b. Dari segi cakupannya urf dibagi menjadi dua yaitu : 19 Dahlan Abd. Rahman, Ushul fiqh (Jakarta: HAMZAH, 2010), h. 209. 34

a) Al- urf al- am ( kebiasaan yang bersifat umum) adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. b) Al- urf al- khas (kebiasaan yang bersifat khusus) adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan di masyarakat tertentu. c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara dibagi menjadi dua yaitu: a) Al- urf al- shahih (kebiasaan yang dianggap sah) adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. b) Al- urf al- fasid (kebiasaan yang dianggap rusak) adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dali syara dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara. 35