BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 menjelaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. dan suami, ibu dan ayah, anak perempuan dan anak laki-laki, saudara perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, didapatkan data jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 87% memeluk agama

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit

BAB 1 PENDAHULUAN. sebenarnya ada dibalik semua itu, yang jelas hal hal seperti itu. remaja yang sedang berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. gereja, tetapi di sisi lain juga bisa membawa pembaharuan ketika gereja mampu hidup dalam

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. maupun perempuan (Knoers dkk, 2001: 261). Begitu pula dalam hubungan interaksi

Dengarkan Allah Bila Saudara Berdoa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Markus: Aku perhatikan dalam cerita Budi bahwa Budi bilang Yakub tidak bertanggung jawab. Tidak baik untuk menjelekkan orang begitu.

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. dasar kepribadiannya. Seberapa besar ia menghayati agama yang dianutnya,

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa adanya

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Saya Bebas Untuk Mengampuni!

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk

BAB I PENDAHULUAN. belajar mengenali kemampuan diri dan lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

Hidup dalam Kasih Karunia Allah 2Kor.6:1-10 Pdt. Tumpal Hutahaean

BAB I PENDAHULUAN. sejarah misi terdahulu di Indonesia yang dikerjakan oleh Zending Belanda, orang

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat GIDEON Kelapadua Depok TATA IBADAH MINGGU 18 Juni 2017

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

KARAKTERISTIK GURU SEBAGAI PEMBIMBING DI TAMAN KANAK-KANAK

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi baik itu organisasi profit. maupun non profit memiliki kebijakan mutasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada umumnya memiliki keberagamaan, dan hal tersebut berupa

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

Anggota Gereja GKKS [1]

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB V PENUTUP Kesimpulan. Persoalan perselingkuhan dalam hubungan pernikahan merupakan sebuah

Yoh. 13: Pdt. Andi Halim, S.Th.

Bertumbuh dalam Mendengarkan Suara Allah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk religius (homo religious), manusia memiliki

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali

Pertanyaan Alkitab (24-26)

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. JEMAAT BERHIMPUN LITURGI KEBAKTIAN UMUM DAN SYUKUR HUT KE-67 BPK PENABUR (19 JULI JULI 2017) HARMONI DALAM KEBERAGAMAN

no mate galitõ da õ. Suatu ungkapan yang hendak mengatakan bahwa tidak

RENUNGAN KITAB 1Tesalonika Oleh: Pdt. Yabes Order

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah dengan memaafkan. Memaafkan adalah salah satu cara untuk

Bab Empat. Penutup. 1. Kesimpulan. Salah satu pokok yang seharusnya diputuskan dalam SSA GTM adalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 2 LANDASAN TEORI. tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control dapat

TOPIK 2 = PEMBINAAN REMAJA & PEMUDA

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 PENJELASAN ISTILAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. luar keluarga seperti teman-teman atau sahabat. Santrock (2007) yang tinggi atas perbuatan yang mereka lakukan.

Gembala Jemaat adalah pemimpin regu, untuk memberikan sokongan rohani dan arah pada jemaat Ketua Jemaat penolong Pendeta dalam kepemimpinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Memaafkan. adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an

Karunia Karunia Pelayanan Lainnya: 1 Melayani Mengajar Menasihati

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

Level 2 Pelajaran 10

BAB III HASIL PENELITIAN MENGENAI PENGAMPUNAN DALAM MENYIKAPI PERSELINGKUHAN SUAMI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, perhatian masyarakat mengenai hal-hal yang menyangkut

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara Indonesia adalah. pertumbuhan ekonomi di Indonesia (Andika, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini di Indonesia dapat dilihat terjadinya banyak tindak

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

5. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya)

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing

Gereja Menyediakan Persekutuan

Harus Sempurna Seperti Bapa Matius 5:38-48

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

Doa Keutuhan. (Pemulihan dan Pemuridan) Sesi , 2007, 2006 Freedom for the Captive Ministries

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

XII. Diunduh dari. Bab. Keluarga Kristen Menjadi Berkat Bagi Lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Mercu Buana, Universitas memberikan banyak wadah kegiatan untuk melengkapi

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

o Ketika hasil pekerjaan saya yang saya harapkan tidak tercapai, saya malas untuk berusaha lebih keras lagi

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan

25. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN BUDI PEKERTI SD

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN PEMUDA KRISTIYASA GKPB BAB I NAMA, WAKTU DAN KEDUDUKAN

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS

Komunikasi Antar Pribadi Pada Pasangan Romantis Pasca Perselingkuhan

BAB I PENDAHULUAN. dianutnya. Setiap orang memilih satu agama dengan bermacam-macam alasan, antara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian dapat ditarik

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Agama Kristen Protestan merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia. Pada Agama Kristen biasanya memiliki suatu organisasi di gereja yang melibatkan orang-orang yang biasa disebut dengan pejabat gerejawi. Pejabat gerejawi adalah seseorang yang menduduki posisi dan fungsi khusus dalam pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus oleh kuasa Roh Kudus melalui gereja. Pejabat gerejawi terdiri atas Penatua, Penatua Khusus dan Pendeta yang biasa juga dikenal sebagai Majelis Jemaat. Pada Gereja X di Kota Bogor ini, Majelis Jemaat membuat badan-badan pembantu yang juga dapat disebut sebagai pejabat gerejawi. Fungsi utama pejabat gerejawi adalah memimpin dan membangun gereja (dalam arti utuh, terutama spiritual). Mereka menjalankan kepemimpinan fungsional sendiri-sendiri tetapi juga secara bersama-sama (kolektif) dalam kerekanan yang saling berhadapan (kolegial). Pemilihan pejabat gerejawi di Gereja X dengan cara membuka kesempatan bagi seluruh jemaat untuk mendaftarkan diri kemudian akan melalui tahap seleksi. Dalam tahap seleksi tersebut, calon pejabat gerejawi dipilih lagi berdasarkan syarat-syarat yang sudah ditentukan. Syarat ini tidak sembarangan dibuat melainkan berdasarkan apa yang tertulis di Alkitab. Syaratnya adalah tidak bercacat (tingkah lakunya tak boleh memberikan alasan kepada orang lain untuk 1

2 melancarkan fitnah ataupun kritik yang beralasan), memiliki suami atau istri hanya satu orang, dapat menahan diri dari keinginan-keinginannya dan tidak hidup secara mewah, bijaksana dan sopan, murah hati, bukan pemabuk, bukan pemarah atau suka berkelahi, harus berelasi dengan orang lain dan bisa mengerti kekurangan orang lain, bukan hamba uang, cakap dalam mengajar dan sudah bertobat serta memiliki nama baik diluar jemaat. (Hendriks, 2000). Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pejabat gerejawi adalah sudah bertobat. Ciri-ciri orang yang sudah bertobat adalah mau belajar sabar, belajar mengasihi, belajar memaafkan, belajar setia, belajar untuk mendengar perintah Tuhan, belajar untuk menguasai diri, belajar menahan diri dari kemarahan dan masih banyak lagi. (Hendriks, 2000). Salah satu dari ciri tersebut yang sulit untuk dilakukan adalah belajar memaafkan. Hal tersebut juga menjadi bagian dari syarat yang harus dimiliki oleh seorang pejabat gerejawi, setidaknya mulai belajar untuk memaafkan. Jemaat dan orang-orang disekitar kehidupan para pejabat gerejawi akan melihat relasi yang rusak jika tidak adanya forgiveness antar pejabat gerejawi, antar jemaat dan juga dengan orang-orang disekitar kehidupannya, seperti keluarga, teman, rekan kerja, tetangga dan lain-lain. Pelayanan seorang pejabat gerejawi digunakan oleh Tuhan untuk menyampaikan berkatnya kepada anggota jemaat. Maka dari itu, menjalankan tugas menjadi pejabat gerejawi tidaklah mudah. Dilihat dari syarat yang langsung diberikan dari Alkitab dan pekerjaan ini dilakukan untuk Tuhan, maka tantangan dihadapi akan beragam, baik dari dalam dirinya sebagai manusia maupun dari orang-orang disekitarnya. Ekspektasi dari jemaat di gereja maupun sesama pejabat

3 gerejawi menuntut pejabat gerejawi untuk menunjukkan sikap hidup yang dapat menjadi teladan. Merupakan suatu kesenangan dan kepuasan ketika seorang pejabat gerejawi merasa bahwa mereka melakukan sesuatu dengan tidak sia-sia, seperti mendapatkan ucapan terimakasih dari jemaat yang mereka layani. (Abineno, 1997). Namun pada kenyataannya ketika pejabat gerejawi menjalankan tugas-tugasnya, tidak jarang terjadi konflik, baik dengan jemaat maupun pejabat gerejawi lainnya, yang menyebabkan seorang pejabat gerejawi menjadi kecewa bahkan tidak lagi mau melanjutkan tugas panggilannya sebagai pejabat gerejawi. Menurut salah seorang pendeta yang telah melayani di Gereja X selama kurang lebih 10 tahun, ada beberapa pejabat gerejawi yang tidak lagi datang untuk beribadah ke Gereja X bahkan sebelum masa jabatannya berakhir. Hal ini disebabkan oleh pejabat gerejawi tersebut memiliki konflik yang tidak terselesaikan dengan rekan pelayanannya yang lain dan tidak ada kerendahan hati untuk saling menunjukkan forgiveness. Fenomena ini cukup sering terjadi pada pejabat gerejawi di Gereja X dan terjadi pada hampir semua kalangan usia. Menurut hasil wawancara dengan 14 pejabat gerejawi di Gereja X di Kota Bogor didapatkan data bahwa konflik yang sering terjadi, antara lain terbagi atas konflik dengan sesama pejabat gerejawi dan dengan jemaat. Konflik yang terjadi dengan sesama pejabat gerejawi antara lain karena saling mengkritik sebanyak 30% pejabat gerejawi, adanya kesalahpahaman sebanyak 30% pejabat gerejawi, tidak sehati dengan keputusan yang sudah diambil sebanyak 15% pejabat gerejawi, saling mengandalkan tugas sebanyak 15% pejabat gerejawi dan adanya senioritas sebanyak 10% pejabat gerejawi. Konflik yang terjadi dengan

4 jemaat antara lain disebabkan oleh jemaat mencemooh pelayanan pejabat gerejawi sebanyak 25% pejabat gerejawi dan kesalahpahaman sebanyak 35% pejabat gerejawi, namun terdapat 40% pejabat gerejawi yang mengatakan bahwa dirinya tidak pernah memiliki konflik dengan jemaat. Berdasarkan hasil pengelompokan konflik yang dialami oleh pejabat gerejawi dengan sesama pejabat gerejawi dan jemaat tersebut, didapatkan data pengaruh dari konflik tersebut dilihat dari dengan siapa pejabat gerejawi memiliki konflik. Pejabat gerejawi yang berkonflik dengan sesama pejabat gerejawi, sebanyak 30% pejabat gerejawi merasa kecewa, 25% pejabat gerejawi merasa kesal, 10% pejabat gerejawi merasa tidak ada lagi damai sejahtera, namun sebanyak 35% pejabat gerejawi merasa biasa saja. Pejabat gerejawi yang mengaku pernah memiliki konflik dengan jemaat, sebanyak 10% pejabat gerejawi merasa kecewa, 15% pejabat gerejawi merasa sakit hati, 30% pejabat gerejawi merasa kesal, namun sebanyak 45% pejabat gerejawi merasa biasa saja. Perasaan negatif, seperti sakit hati, kekesalan, dan kekecewaan yang dirasakan oleh pejabat gerejawi ini akan berpengaruh pada relasinya dengan orang yang menyakiti hatinya, dan perasaan ini akan diselesaikan dengan mewujudkan forgiveness. Menurut hasil wawancara tersebut didapatkan juga data bahwa terdapat 50% pejabat gerejawi menunjukkan usaha untuk saling memaafkan dengan membicarakan masalahnya secara langsung, langsung meminta maaf, berdoa kepada Tuhan sehingga bisa melupakan rasa sakit hatinya dan langsung memaafkan. Dalam teori forgiveness yang diungkapkan oleh Worthington (2005), perilaku pejabat gerejawi tersebut berkaitan dengan emotional forgiveness.

5 Adapula 50% pejabat gerejawi yang menunjukkan bahwa mereka tetap menyapa dan memberikan salam setiap bertemu namun dalam hati terkadang ada kekesalan dan kekecewaan dan berusaha untuk tetap baik kepada pelaku walaupun luka dihati masih ada namun tidak ada dendam. Worthington (2005) menyebutkan bahwa perilaku itu berkaitan dengan decisional forgiveness. Pejabat gerejawi yang tidak menunjukkan adanya pengampunan kepada rekan sepelayanannya walaupun dalam hatinya sudah memaafkan akan memperlihatkan banyak reaksi dan berpengaruh pada pelayanan mereka, seperti 4 dari 14 pejabat gerejawi di Gereja X yang memunculkan sikap bermusuhan, seperti tidak mau bertegur sapa dan mengacuhkan saat harus berada dalam satu pelayanan. Perilaku ini memungkinkan pejabat gerejawi yang seharusnya menjadi teladan dalam kehidupannya bagi jemaat tetapi yang dilihat oleh jemaat tidak bisa menjadi teladan. Selain itu ada juga pejabat gerejawi yang memilih untuk purapura bersikap baik dan terkesan tidak memiliki masalah walaupun dalam hati ada rasa kesal yang masih tersimpan. Akibat dari perilaku pejabat gerejawi tersebut, apapun yang dilakukan oleh pelaku akan dianggap salah dan negatif sehingga tanpa disadari perilaku memusuhi semakin lama akan semakin jelas. Selain dari 4 pejabat gerejawi yang memunculkan sikap kurang bersahabat tersebut, tetap ada 10 pejabat gerejawi lainnya yang berusaha menampilkan sikap yang lebih positif, seperti mau bertegur sapa, bersalaman dan menanyakan kabar. Pandangan mengenai pelayanan sebagai pejabat gerejawi yang diembannya memegang peranan penting bagi tindakan yang akan diambil oleh para pejabat gerejawi, seperti memutuskan untuk memaafkan. Ketika pejabat

6 gerejawi memandang bahwa posisi atau kedudukan dalam struktural menjadi yang paling tinggi atau merasa paling berkuasa maka mengambil keputusan untuk memaafkan (forgiveness) akan sulit. Dalam hal ini kepribadian seseorang menjadi pengaruh bagi pejabat gerejawi untuk memaafkan atau tidak. Kesan buruk yang diperlihatkan dari hubungan yang tidak baik antar pejabat gerejawi akan tertangkap oleh jemaat di gereja tersebut. Kemudian kehidupan pelayanan pejabat gerejawi tersebut tidak lagi menjadi berkat dan teladan bagi jemaat yang melihatnya. Selain itu, jemaat yang ingin bergabung dalam pelayanan di gereja akan berpikir ulang bila kemungkinan yang akan dihadapi dalam pelayanannya adalah kekecewaan. Jadi, pejabat gerejawi yang memiliki syarat utama untuk memiliki hidup yang sudah bertobat yang salah satu tandanya adalah mampu untuk belajar mewujudkan forgiveness atau memaafkan orang yang menyakitinya. Dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat gerejawi tidak selalu kesenangan dan kepuasan yang didapatkan tetapi juga adanya ketegangan yang berasal dari konflik dengan sesama rekan pelayanan atau pejabat gerejawi atau jemaat di gereja tersebut. Konflik tersebut menyebabkan hubungan antar pejabat gerejawi atau dengan jemaat menjadi tidak baik dan dapat menimbulkan kesan yang buruk bagi jemaat yang mengetahuinya dan juga tidak menjadi berkat bagi pelayanannya kepada Tuhan. Maka dari itu, pejabat gerejawi diharapkan mampu mewujudkan emotional forgiveness, salah satu dari tipe forgiveness, kepada semua orang yang pernah menyakitinya. Berdasarkan paparan masalah diatas, maka peneliti tertarik

7 untuk meneliti lebih lanjut mengenai gambaran tipe forgiveness pada pejabat gerejawi di Gereja X di Kota Bogor. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka peneliti ingin memperoleh gambaran mengenai tipe forgiveness pada pejabat gerejawi di Gereja X di Kota Bogor. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai tipe forgiveness pada pejabat gerejawi di Gereja X di Kota Bogor. 1.3.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran lebih lanjut mengenai tipe forgiveness yang cenderung digunakan, yaitu tipe decisional forgiveness, emotional forgiveness atau decisional dan emotional forgiveness oleh pejabat gerejawi di Gereja X di Kota Bogor. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis 1. Memberikan informasi mengenai forgiveness bagi ilmu psikologi, secara khusus untuk psikologi positif yang berkaitan dengan keagamaan. 2. Memperdalam pengetahuan mengenai forgiveness khususnya dalam bidang keagamaan.

8 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi kepada pejabat gerejawi mengenai tipe forgiveness yang lebih baik digunakan dan pengaruhnya terhadap pelayanan di gereja. 2. Memberikan informasi kepada pihak gereja yang berkaitan dengan para pejabat gerejawi mengenai forgiveness agar dapat mengadakan kegiatan yang dapat mewujudkan forgiveness. 1.5 Kerangka Pemikiran Pejabat gerejawi adalah seseorang yang menduduki posisi dan fungsi khusus dalam pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus oleh kuasa Roh Kudus melalui gereja. Menurut buku Tata Gereja di Gereja X tahun 2008, pejabat gerejawi terdiri atas Penatua, Penatua Khusus dan Pendeta yang biasa juga dikenal sebagai Majelis Jemaat, lalu Majelis Jemaat diberi wewenang untuk membentuk badan-badan pembantu. Dalam menjalankan tugasnya menjadi seorang pejabat gerejawi, merupakan suatu kepuasan dan kesenangan ketika pelayanannya mendapatkan respon yang positif dari jemaat maupun pejabat gerejawi lainnya. Selain respon positif, tidak menutup kemungkinan pejabat gerejawi menghadapi konflik dengan sesama anggota pejabat gerejawi ataupun dengan jemaat. Konflik yang biasanya terjadi antara lain disebabkan karena senioritas, pengkritikan, kesalahpahaman, mempertahankan pendapat, saling melempar tugas dan tanggung jawab serta tidak setuju dengan keputusan yang sudah diambil. Seorang pejabat gerejawi dituntut untuk mampu belajar memaafkan (forgiveness) kepada orang yang pernah

9 menyakitinya karena para pejabat gerejawi harus menunjukkan sikap hidup yang dapat menjadi teladan bagi jemaat dan sesama pejabat gerejawi. Forgiveness adalah motivasi untuk mengurangi penghindaran dan penarikan dari seseorang yang telah menyakiti kita, serta kemarahan, keinginan dan desakan untuk membalas terhadap orang itu. (Worthington, 1997, dalam Dimensions of Forgiveness). Forgiveness juga memiliki dua tipe, yaitu decisional forgiveness dan emotional forgiveness. Decisional forgiveness melibatkan niat untuk melakukan perubahan perilaku terhadap pelaku dengan cara memperlakukan pelaku sebagai orang yang bernilai dan tidak balas dendam. Emotional forgiveness melibatkan penggantian emosi negatif yang dirasakan korban terhadap pelaku dengan emosi positif (seperti empati, simpati, iba dan kasih sayang) yang biasanya tergantung pada jenis hubungan dengan pelaku. Menurut Worthington, seseorang dapat memiliki kedua tipe forgiveness, yaitu decisional dan emotional forgiveness, yang membedakan hanya derajat yang muncul dalam peristiwa tertentu. Maka dari itu, sangat memungkinkan bahwa pejabat gerejawi memiliki kedua tipe forgiveness. Seorang pejabat gerejawi yang menggunakan decisional forgiveness akan mengubah perilakunya kepada pelaku, seperti kembali bertegur sapa setiap bertemu, saling menanyakan kabar, kembali berbincang-bincang satu sama lain dan bekerjasama dalam pelayanan bersama, namun tidak menutup kemungkinan di dalam hati masih tersimpan kekesalan. Dalam tipe ini, pejabat gerejawi memunculkan niat prososial kepada pelaku dan menghambat munculnya niat untuk menyakiti pelaku atau balas dendam. Pejabat gerejawi menggunakan

10 emotional forgiveness akan mengganti kekesalan, kemarahan dan kekecewaannya dengan empati, simpati dan kasih sayang. Mereka akan kembali menjalin hubungan yang baik seperti sebelum mereka berkonflik. Mereka akan menghadirkan emosi positif kepada pelaku dan secara perlahan namun pasti akan menghilangkan emosi negatif. Pejabat gerejawi yang memunculkan kedua tipe forgiveness akan menunjukkan perubahan perilaku kepada pelaku sekaligus emosi negatif yang dirasakan akibat peristiwa yang menyakitkan sudah berubah menjadi emosi positif. Decisional forgiveness erat kaitannya dengan aspek kognitif, karena niat yang ditunjukkan oleh pejabat gerejawi untuk memaafkan pelaku akan terlihat dimasa depan. Secara rasional, pejabat gerejawi tidak lagi memikirkan untuk membalas dendam dan berusaha untuk menghargai pelaku. Dalam emotional forgiveness, aspek yang sangat berkaitan adalah emosi, karena respon emosi yang ditunjukkan untuk mewujudkan forgiveness. Respon emosi tersebut muncul karena pejabat gerejawi merasakan adanya perubahan emosi negatif, seperti kecewa, marah dan dendam, dan mengganti dengan emosi positif, seperti empati, simpati, dan kasih sayang, yang berorientasi pada pelaku. Menurut Worthington (dalam Dimensions of Forgiveness, 1998) terdapat beberapa faktor yang memengaruhi seseorang untuk mewujudkan forgiveness, yaitu sikap rendah hati dan kemampuan untuk melakukan empati, karakteristik peristiwa yang menyakitkan, kualitas hubungan personal dan faktor kepribadian. Dalam sikap rendah hati dan kemampuan untuk melakukan empati, pejabat gerejawi yang mampu melakukan empati akan memahami apa yang ada dalam

11 diri orang yang pernah menyakitinya. Ia akan menganggap bahwa kesalahan tersebut mungkin juga terjadi pada dirinya karena mengetahui bahwa semua orang mungkin berbuat salah. Semakin rendah hati dan mampu berempati maka pejabat gerejawi akan semakin mudah untuk mewujudkan emotional forgiveness Selain sikap rendah hati dan kemampuan untuk melakukan empati, karakteristik peristiwa yang menyakitkan pun menjadi faktor yang dapat memengaruhi seseorang dalam memberikan maaf. Faktor ini berkaitan dengan persepsi pejabat gerejawi terhadap peristiwa yang dihadapinya. Permintaan maaf dari pelaku yang disertai dengan perilaku sangat menyakitkan tidak terlalu mengurangi penilaian negatif pejabat gerejawi yang tersakiti terhadap pelaku. Semakin menyakitkan persepsi dari pejabat gerejawi mengenai peristiwa tersebut maka menentukan tingkat hukuman bagi pelaku, harga ganti ruginya bahkan sampai memutuskan untuk tidak memaafkan pelaku. Pejabat gerejawi yang terus berpikir bahwa peristiwa tersebut sangat menyakitkan maka mereka akan semakin sulit mewujudkan emotional forgiveness. Faktor kualitas hubungan antara pejabat gerejawi dan pelaku juga menjadi berpengaruh pada tipe forgiveness. Pejabat gerejawi di gereja X sangat memungkinkan untuk memaafkan pelaku yang masih memiliki hubungan yang dekat, seperti masih memiliki hubungan keluarga atau persahabatan. Pejabat gerejawi yang memiliki hubungan yang sangat dekat dan sering berkomunikasi serta menjalin hubungan yang positif sebelum terjadi peristiwa menyakitkan akan membantu dalam mewujudkan emotional forgiveness pada pejabat gerejawi.

12 Faktor yang terakhir yang dapat memengaruhi forgiveness adalah kepribadian. Menurut teori kepribadian The Big Five yang menguraikan dalam sebuah akronim OCEAN menjabarkan mengenai pengaruh tiap tipe pada forgiveness. Tipe openness yaitu seseorang yang melihat pengalaman baru dan menerima pengalaman tersebut, memiliki kaitan dengan pejabat gerejawi yang memiliki konflik dengan pejabat gerejawi lainnya dan tidak akan kesulitan mewujudkan sampai pada emotional forgiveness. Semakin openness maka akan semakin mudah untuk mewujudkan emotional forgiveness. Pada tipe conscientiousness, yaitu seseorang yang memperhatikan tanggung jawab, kewajiban dan detil. Setiap pejabat gerejawi yang menyadari tanggung jawab dan tugas yang dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada gereja tetapi juga kepada Tuhan akan mempermudah mereka mewujudkan emotional forgiveness. Tipe extraversion, dimana seseorang yang memiliki tipe ini akan mudah berinteraksi dengan orang lain dan mengeluarkan apa yang ada pada dirinya. Pejabat gerejawi yang memiliki tipe ini tidak akan menemukan kesulitan dalam mewujudkan emotional forgiveness. Pejabat gerejawi dengan tipe agreeableness, yaitu seseorang yang bergaul dengan baik, tidak membiarkan situasi sulit dan tantangan, dan menekan kemarahan, akan mudah mewujudkan decisional forgiveness. Terakhir, tipe neuroticism, pejabat gerejawi dengan tipe kepribadian ini memiliki emosi yang labil dan reaktif. Tipe ini akan kesulitan untuk mewujudkan decisional forgiveness dan akan sangat sulit mewujudkan emotional forgiveness.

13 Faktor yang memengaruhi : 1. Sikap rendah hati dan kemampuan untuk melakukan empati 2. Karakteristik peristiwa yang menyakitkan 3. Kualitas hubungan interpersonal 4. Faktor kepribadian (The Big Five) Decisional forgiveness Pejabat gerejawi Forgiveness Emotional forgiveness Aspek yang terkait : - Kognitif - Emosi Decisional dan emotional forgiveness Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran 1.6 Asumsi Pejabat gerejawi dapat mengalami kekecewaan terhadap rekan sepelayanan dan jemaat memerlukan forgiveness. Pejabat gerejawi dapat melakukan forgiveness untuk mengurangi kekecewaan yang dirasakan.

14 Forgiveness pada pejabat gerejawi yang mengalami kekecewaan dapat terdiri dari decisional forgiveness, emotional forgiveness atau decisional dan emotional forgiveness. Pejabat gerejawi dikatakan melakukan decisional forgiveness bila forgiveness yang diberikan berupa niat untuk melakukan perubahan perilaku terhadap pelaku, mereka masih merasakan emosi negatif di dalam dirinya namun mereka mengatakan sudah memaafkan. Pejabat gerejawi dikatakan melakukan emotional forgiveness bila forgiveness yang diberikan penggantian emosi negatif dengan emosi positif seperti empati, simpati, belas kasihan kepada orang yang telah menyakiti. Pejabat gerejawi yang melakukan decisional dan emotional forgiveness secara bersamaan berarti pejabat gerejawi mengubah perilaku dan emosi yang dirasakan kepada pelaku yang pernah menyakitinya. Forgiveness yang dimiliki pejabat gerejawi berbeda-beda karena dipengaruhi oleh faktor-faktor forgiveness, yaitu sikap rendah hati dan kemampuan untuk melakukan empati, karakteristik peristiwa yang menyakitkan, kualitas hubungan interpersonal, dan faktor kepribadian.