V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

III. METODOLOGI PENELITIAN

4.17 PERENCANAAN DAN PEMETAAN GARIS SEMPADAN KALI SEMEMI

ANALISA HIDROLOGI dan REDESAIN SALURAN PEMBUANG CILUTUNG HULU KECAMATAN CIKIJING KABUPATEN MAJALENGKA

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses pengangkutan dan pengendapan sedimen tidak hanya tergantung pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

Gambar 3.1 Daerah Rendaman Kel. Andir Kec. Baleendah

PENANGGULANGAN BANJIR SUNGAI MELAWI DENGAN TANGGUL

BAB III METODOLOGI 3.1 METODE ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

ABSTRAK. Kata Kunci: debit banjir, pola aliran, saluran drainase sekunder, Mangupura. iii

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini adalah di saluran drainase Antasari, Kecamatan. Sukarame, kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung.

Studi Penanggulangan Banjir Kali Lamong Terhadap Genangan Di Kabupaten Gresik

1 BAB VI ANALISIS HIDROLIKA

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

BAB IV METODOLOGI. Gambar 4.1 Flow Chart Rencana Kerja Tugas Akhir

METODOLOGI Tinjauan Umum 3. BAB 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

Studi Penanggulangan Banjir Kali Lamong Terhadap Genangan di Kabupaten Gresik

EVALUASI ASPEK TEKNIS PADA SUB SISTEM PEMATUSAN KEBONAGUNG HULU KOTA SURABAYA. Prisma Yogiswari 1, Alia Damayanti

BAB V ANALISIS HIDROLIKA DAN PERHITUNGANNYA

BAB 3 METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM

BAB V ANALISIS HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

EVALUASI ASPEK TEKNIS PADA SUB SISTEM PEMATUSAN KEBONAGUNG HULU KOTA SURABAYA. Prisma Yogiswari 1, Alia Damayanti

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang akan digunakan untuk keperluan penelitian. Metodologi juga merupakan

PENERAPAN SISTEM SEMI POLDER SEBAGAI UPAYA MANAJEMEN LIMPASAN PERMUKAAN DI KOTA BANDUNG

Studi Pengendalian Banjir Sungai Kalidawir Tulungagung

STUDI PERUBAHAN DASAR KALI PORONG AKIBAT SEDIMEN LUMPUR DI KABUPATEN SIDOARJO TUGAS AKHIR

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir

PILIHAN TEKNOLOGI SALURAN SIMPANG BESI TUA PANGLIMA KAOM PADA SISTEM DRAINASE WILAYAH IV KOTA LHOKSEUMAWE

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODOLOGI. Mulai. Identifikasi Masalah. Identifikasi kebutuhan Data

Perencanaan Sistem Drainase Perumahan Grand City Balikpapan

Analisa Frekuensi dan Probabilitas Curah Hujan

TUGAS AKHIR Perencanaan Pengendalian Banjir Kali Kemuning Kota Sampang

BAB III LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

TUGAS AKHIR DAMPAK SISTEM DRAINASE PEMBANGUNAN PERUMAHAN GRAHA NATURA TERHADAP SALURAN LONTAR, KECAMATAN SAMBIKEREP, SURABAYA

ANALISIS EFEKTIFITAS KAPASITAS SALURAN DRAINASE DAN SODETAN DALAM MENGURANGI DEBIT BANJIR DI TUKAD TEBA HULU DAN TENGAH

ANALISA DAN PEMBAHASAN

STUDI PENERAPAN SUMUR RESAPAN DANGKAL PADA SISTEM TATA AIR DI KOMPLEK PERUMAHAN

PERENCANAAN NORMALISASI SUNGAI KEMUNING KABUPATEN SAMPANG PULAU MADURA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I-1

Tahun Penelitian 2005

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

III - 1 BAB III METODOLOGI BAB III METODOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum 1.2 Latar Belakang

PERENCANAAN EMBUNG MEMANJANG DESA NGAWU KECAMATAN PLAYEN KABUPATEN GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA. Oleh : USFI ULA KALWA NPM :

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

BAB V ANALISA DATA. Dalam bab ini ada beberapa analisa data yang dilakukan, yaitu :

Rt Xt ...(2) ...(3) Untuk durasi 0 t 1jam

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISA DATA. Analisa Data

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

MEREDUKSI BANJIR MELALUI OPTIMASI TATAGUNA LAHAN (Studi Kasus DAS Sungai Krueng Keureuto)

BAB III METODA ANALISIS. desa. Jumlah desa di setiap kecamatan berkisar antara 6 hingga 13 desa.

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB I PENDAHULUAN. karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan lahan yang salah.

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

PERENCANAAN PENGENDALIAN BANJIR KALI BANGILTAK DAN KALI WRATI DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN NORMALISASI TUGAS AKHIR

ANALISIS METODE INTENSITAS HUJAN PADA STASIUN HUJAN PASAR KAMPAR KABUPATEN KAMPAR

BAB III METODA ANALISIS. Wilayah Sungai Dodokan memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) Dodokan seluas

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS

aintis Volume 13 Nomor 2, Oktober 2013,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

SISTEM DRAINASE UNTUK MENANGGULANGI BANJIR DI KECAMATAN MEDAN SUNGGAL (STUDI KASUS : JL. PDAM SUNGGAL DEPAN PAM TIRTANADI)

BAB III METODE ANALISIS

BAB III METODOLOGI. 3.2 Pengumpulan Data Pengumpulan data meliputi data primer maupun data sekunder Pengumpulan Data Primer

Bab V Analisa dan Diskusi

ANALISIS DAN EVALUASI KAPASITAS PENAMPANG SUNGAI SAMPEAN BONDOWOSO DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM HEC-RAS 4.1

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta terletak di daerah dataran rendah di tepi pantai utara Pulau

BAB V RENCANA PENANGANAN

Lampiran 1 Lokasi dan kondisi Banjir Kota Bekasi (Lanjutan)

NORMALISASI SUNGAI RANTAUAN SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN BANJIR DI KECAMATAN JELIMPO KABUPATEN LANDAK

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Perencanaan Sistem Drainase Kebon Agung Kota Surabaya, Jawa Timur

dasar maupun limpasan, stabilitas aliran dasar sangat ditentukan oleh kualitas

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini adalah di saluran Ramanuju Hilir, Kecamatan Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung.

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

Perencanaan Penanggulangan Banjir Akibat Luapan Sungai Petung, Kota Pasuruan, Jawa Timur

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

Oleh : Maizir. Dosen Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Padang. Abstrak

JIME, Vol. 3. No. 1 ISSN April 2017 ANALISA PENYEBAB BANJIR DAN NORMALISASI SUNGAI UNUS KOTA MATARAM

IDENTIFIKASI PEMANFAATAN DAERAH SEMPADAN SUNGAI TUKAD PETANU

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hidrologi dengan panjang data minimal 10 tahun untuk masing-masing lokasi

BAB IV ANALISA DATA CURAH HUJAN

PERHITUNGAN DEBIT DAN LUAS GENANGAN BANJIR SUNGAI BABURA

BAB III METODA ANALISIS

BAB IV ANALISA HIDROLOGI. dalam perancangan bangunan-bangunan pengairan. Untuk maksud tersebut

BAB III METODOLOGI Rancangan Penulisan

Transkripsi:

73 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Model Pengelolaan Sungai Berbasis Pada Konsep Ekohidrolik Permodelan atau modeling dapat diartikan sebagai satu gugus aktivitas pembuatan model sehingga dihasilkan model yang berfungsi sebagai perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual (sistem yang sebenarnya) (Eriyatno, 2003). Uraian tentang struktur model pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik disajikan pada Gambar 23. Input : - Data curah hujan - Kondisi hidrolika sungai - Tata guna lahan pada bantaran sungai - Luas DAS - Tutupan lahan DAS Proses : - Analisis hidrologi - Analisis hidrolika - Analisis tata guna lahan - Analisis beban banjir - Analisis ekohidrolik Output - Lebar bantaran sungai - Tinggi genangan banjir - Diameter vegetasi Gambar 23. Model pengelolaan sungai berbasis konsep ekohidrolik Berdasarkan Gambar 23 maka nampak lima jenis analisis, sehingga model tersebut dibangun berdasarkan sub model yang diuraikan sebagai berikut:

74 Sub Model Hidrologi Sub model hidrologi merupakan proses analisis yang terdiri atas dua tahapan yaitu perhitungan probabilitas curah hujan dan perhitungan debit banjir rencana. Dalam perhitungan probabilitas curah hujan digunakan data curah hujan. Data curah hujan yang memenuhi syarat diatur dalam Sosrodarsono dan Takeda (2006) bahwa data curah hujan yang diperlukan untuk perhitungan frekwensi curah hujan minimal sebanyak 20 tahun. Frekwensi curah hujan dianalisis untuk memperoleh besarnya curah hujan maksimum yang terjadi dalam periode ulang tertentu. Probabilitas hujan ini diungkapkan dengan Probable Maximum Precipitation (PMP). Nilai PMP menunjukkan ketebalan hujan maksimum untuk lama waktu tertentu yang secara fisik mungkin terjadi dalam suatu wilayah aliran dalam kurun waktu tertentu (Asdak, 2002). Data curah hujan terlebih dahulu dianalisis probabilitasnya dengan menggunakan metode Gumbell dan metode Log Pearson Type III. Metode yang dipilih adalah metode yang datanya terdistribusi normal berdasarkan analisis Chi Square. Jika kedua metode memberikan hasil terdistribusi normal, maka dipilih metode yang menghasilkan nilai curah hujan harian maksimum terbesar (Soemarto, 1986). Adapun kegiatan perhitungan probabilitas curah hujan diuraikan dalam bagan alir pada Gambar 24. Selanjutnya dalam perhitungan debit banjir digunakan data probabilitas curah hujan dengan menggunakan metode Van Breen dan Metode Bell Tanimoto. Kedua metode tersebut diuji kesesuaiannya dengan menggunakan persamaan Talbot, Sherman dan Ishiguro (Soemarto, 1986). Persamaan intensitas hujan yang memberikan hasil delta terkecil dipilih sebagai persamaan intensitas hujan. Persamaan ini digunakan untuk menentukan besarnya intensitas hujan pada periode ulang 50 tahunan untuk selanjutnya dilakukan perhitungan hujan efektif. Analisis selanjutnya adalah penggambaran hidrograf Nakayashu. Dalam analisis hidrograf Nakayashu terlebih dahulu dilakukan penggambaran skematik sungai berdasarkan pembagian wilayah pengaliran. Luas wilayah pengaliran berpengaruh terhadap besarnya debit puncak banjir. Hasil penggambaran hidrograf Nakayashu digunakan sebagai dasar perhitungan debit

75 banjir rencana. Uraian tentang bagan alir perhitungan debit banjir rencana disajikan pada Gambar 25. Mulai Data Curah Hujan Hitung probabilitas curah hujan dengan metode Gumbell. (Persamaan 1,2) Hitung probabilitas curah hujan dengan metode Log Pearson.(Persamaan 3,4,5) Curah Hujan Rancangan 50 tahun (Gumbell) Uji Chi Square (Persamaan 6) Curah Hujan Rancangan 50 tahun (Log Pearson) Uji Chi Square (Persamaan 6) Tidak Terdistribusi normal Terdistribusi normal Tidak Data CH ditolak Ya Ya Data CH ditolak Probabilitas CH Probabilitas CH Pilih data curah hujan yang terbesar Probabilitas CH Selesai Gambar 24. Bagan alir perhitungan probabilitas curah hujan

76 Mulai Probabilitas CH Hitung intensitas curah hujan dengan metode Van Breen (Persamaan 7) Intensitas Hujan (Van Breen) Uji kesesuaian metode Van Breen dengan rumus Sherman, Talbot dan Ishiguro (Persamaan 9,10,11,12,13,14, 15,16,17) Persamaan Intensitas Hujan (Van Breen) Hitung intensitas curah hujan dengan metode Bell Tanimoto (Persamaan 8) Intensitas Hujan (Bell Tanimoto) Uji kesesuaian metode Bell Tanimoto dengan rumus Sherman, Talbot dan Ishiguro (Persamaan 9,10,11,12,13,14, 15,16,17) Persamaan Intensitas Hujan (Bell Tanimoto) Hitung delta terkecil Persamaan Intensitas Hujan Hitung Intensitas hujan Hujan Efektif Hitung hujan efektif Intensitas Hujan Gambar hidrograf Nakayashu Hidrograf Nakayashu Debit banjir 50 tahunan Selesai Gambar 25. Bagan alir perhitungan debit banjir

77 Sub Model Hidrolika Sub model hidrolika dilakukan untuk menggambarkan karakteristik hidrolika penampang sungai. Input data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer yaitu kecepatan air aktual, tinggi air aktual dan geometri penampang sungai. Selain itu hasil perhitungan sub model hidrologi juga menjadi input dalam sub model hidrolika. Secara rinci uraian tentang struktur sub model ini disajikan pada Gambar 26 berikut ini. Input : - Kecepatan air aktual - Tinggi air aktual - Geometri penampang sungai - Debit banjir peiode ulang 50 tahun Proses : - Model matematis kekasaran saluran - Model matematis h - Q Output : Tinggi muka air banjir Gambar 26. Sub model hidrolika Model Matematis Kekasaran Saluran Sungai sebagai saluran alamiah memiliki kondisi kekasaran dinding yang tidak seragam, sedang variabel ini mempengaruhi kecepatan air di sungai. Nilai koefisien kekasaran di sepanjang sungai bervariasi. Hal ini tergantung pada beberapa faktor diantaranya ketidakteraturan sungai, perubahan tata guna lahan, urbanisasi, erosi dan sedimentasi (Purwanto, 2002). Koefisien kekasaran sungai juga biasa disebutkan sebagai koefisien hambatan. Pada saluran alamiah, koefisien hambatan merupakan gabungan antara koefisien hambatan bentuk dasar saluran, bentuk tebing, bentuk memanjang saluran dan struktur vegetasi (Maryono, 2005). Nilai kekasaran saluran (Ks) ditentukan dengan berdasarkan karakteristik hidrolika pada saat pengukuran. Data yang dibutuhkan adalah ketinggian air

78 aktual, kecepatan aktual, radius hidrolik dan kemiringan memanjang. Berdasarkan keempat parameter tersebut dapat diperoleh nilai drag koefisien untuk berbagai nilai Ks (dugaan). Banyaknya pasangan data yang diperoleh sebagian digunakan sebagai data dalam pembuatan persamaan, dan sebagian lagi digunakan untuk kepentingan validasi. Pasangan data antara λ 1/ dan R/K s dibuat persamaan matematisnya dengan syarat nilai R 2 yang mendekati nilai 1. Secara rinci bagan alir penyusunan model matematis kekasaran saluran disajikan pada Gambar 27. Mulai h aktual Vaktual Kemiringan memanjang Hitung luas penampang Basah (A) A Hitung jari-jari hidrolis R (30) R Ks dugaan Hitung R/Ks Hitung 1/ λ (Persamaan 29) 1/ λ Selesai Gambar 27. Bagan alir perhtiungan model matematis kekasaran saluran Model Matematis Hubungan Muka Air Banjir dan Debit Model matematis ini digunakan untuk menentukan tinggi muka air banjir berdasarkan debit rencana. Tinggi muka air banjir merupakan dasar perencanaan dalam upaya pengendalian banjir. Model ini disusun dengan pasangan data muka

79 air banjir (h) dan debit (Q). Secara rinci bagan alir dari perhitungan sub model hidrolika disajikan pada Gambar 28. Mulai h dugaan λ Hitung Luas penampang basah A A Hitung Kec. Aliran V (Pers. 31) Hitung Debit Q (Pers. 32) V Q Buat Persamaan h -Q Tidak R2 1 Ya Persamaan h -Q Q50 Hitung m.a.b m.a.b Selesai Gambar 28. Bagan alir sub model hidrolika Pada gambar 28 nampak bahwa sub model hidrolika diawali dengan menduga tinggi muka air (h) kemudian dilakukan perhitungan debit berdasarkan luas penampang basah (A) dan kecepatan aliran (V). Kegiatan ini dilakukan secara berulang untuk memperoleh beberapa pasangan data muka air banjir dan

80 debit. Pasangan data tersebut digunakan untuk menyusun persamaan h-q. Persamaan yang dapat diterima adalah persamaan dengan nilai R 2 yang hampir sama dengan 1. Berdasarkan persamaan tersebut, maka ditentukan muka air banjir yang bersesuaian dengan debit rencana 50 tahunan. Sub Model Tata Guna Lahan Kegiatan tata guna lahan oleh masyarakat sangat mempengaruhi kemungkinan penerapan ekohidrolik. Tata guna lahan biasanya dibagi atas lima kategori yaitu hutan, sawah, kebun/tegalan, tanah kosong/semak dan pemukiman. Tata guna lahan dengan potensi besar untuk ekohidrolik adalah hutan, kebun dan tanah kosong. Sedang sawah dan pemukiman memiliki potensi kecil. Olehnya itu, dalam analisis tata guna lahan dibuat tiga kategori potensi yaitu: - Potensi besar jika prosentase tataguna lahan hutan, kebun dan tanah kosong lebih besar dari 66.67%. - Potensi sedang jika prosentase tataguna lahan hutan, kebun dan tanah kosong antara 33.33% dan 66.67%. - Potensi kecil jika prosentase tataguna lahan hutan, kebun dan tanah kosong lebih kecil dari 66.67%. Wilayah dengan potensi besar dan sedang memungkinkan untuk dilakukan penerapan ekohidrolik. Sedang pada wilayah dengan potensi kecil tidak memungkinkan untuk dilakukan pengelolaan secara ekohidrolik. Sub Model Beban Banjir Beban banjir pada suatu wilayah menunjukkan tinggi rendahnya resiko banjir yang terjadi. Beban tersebut didasarkan pada selisih tinggi muka air dan tinggi tanggul. Semakin tinggi nilai beban banjir semakin besar pula resiko banjir yang terjadi. Dengan resiko banjir yang rendah, maka pengendalian sungai dengan struktural memungkinkan untuk dilakukan dengan biaya yang relatif kecil, namun pada beban banjir yang besar hal tersebut sulit dilakukan. Alternatif pengendalian banjir dengan ekohidrolik dapat menurunkan beban banjir suatu wilayah Sub Model Ekohidrolik Sub model ekohidrolik adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh lebar bantaran optimal, diameter vegetasi yang cocok untuk pengelolaan di bantaran sungai serta tinggi genangan banjir. Sub model ini dibagi atas dua

81 tahapan yaitu perhitungan lebar bantaran optimal dan perhitungan tinggi genangan banjir. Perhitungan lebar bantaran optimal dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: - Menentukan tinggi genangan pada bantaran sungai berdasarkan gambar potongan melintang sungai. - Menentukan lebar bantaran sungai yang lebih besar dari 100 m. Hal ini didasarkan pada Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang garis sempadan sungai, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai dan bekas sungai Pasal 15 bahwa bahwa batas daerah penguasaan sungai yang berupa daerah retensi ditetapkan 100 (seratus) meter dari elevasi banjir rencana di sekeliling daerah genangan, sedangkan yang berupa daerah banjir ditetapkan berdasarkan debit banjir rencana sekurang-kurangnya periode ulang 50 (lima puluh) tahunan. - Merencanakan jarak tanaman melintang dan menanjang dan menentukan nilai kekasaran saluran untuk daerah bantaran dengan berdasarkan pada diameter tanaman. - Menghitung karakteristik hidrolika dengan tinggi genangan yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam disain. - Menghitung kecepatan aliran dan debit total yang terjadi. - Mengulangi tahapan tersebut dengan mengubah parameter penentu yaitu tinggi genangan dan lebar bantaran untuk berbagai diameter vegetasi. Perhitungan dilakukan hingga mencapai debit yang diperoleh lebih besar dari debit rencana 50 tahunan. Uraian tentang tahapan tersebut digambarkan pada Gambar 29. Selanjutnya dilakukan penentuan tinggi genangan optimal yang sesuai dengan debit rencana dengan tahapan yang digambarkan dengan bagan alir pada Gambar 30

82 Mulai Disain lebar bantaran sungai Disain tinggi genangan pada bantaran sungai Disain diameter dan jarak vegetasi Hitung karakteristik hidrolik sungai dan bantaran Hitung kekasaran pada bantaran sungai (Persamaan 33, 34, 35) A λ Hitung kecepatan air V (Persamaan 31) Hitung debit Qek (Persamaan 36) V Tidak Qek Qek > Q50 Ya Tinggi genangan pada bantaran sungai Q50 Selesai Gambar 29. Bagan alir penentuan lebar bantaran optimal

83 Mulai h dugaan Luas penampang Kekasaran Hitung kecepatan aliran V (Persamaan 31) Hitung debit Qek (Persamaan 36) Qek V Buat Persamaan h -V Buat Persamaan h -Qek R 2 1 Ya Persamaan h -Qek Tidak R 2 1 Ya Persamaan h -V Tidak Q50 Hitung tinggi genangan Tinggi genangan Hitung V Selesai Kecepatan aliran (V) Gambar 30. Bagan alir perhitungan tinggi genangan optimal

84 Tinggi genangan optimal ditentukan dengan terlebih dahulu membuat dugaan tinggi genangan yang nilainya lebih rendah daripada tinggi genangan yang diperoleh pada penentuan lebar bantaran optimal. Selanjutnya dilakukan perhitungan debit dan kecepatan aliran. Tahapan ini diulangi hingga persamaan hubungan antara tinggi genangan dan debit (h Q) serta persamaan tinggi genangan dan kecepatan (h V) dapat diperoleh. Persamaan matematis yang dinilai valid adalah persamaan dengan R 2 mendekati nilai 1. Berdasarkan persamaan tersebut, lakukan metode trial and error untuk mencapat tinggi genangan yang bersesuaian dengan debit 50 tahunan. Nilai tinggi genangan dimasukkan dalam persamaan h V untuk memperoleh kecepatan aliran. Model pengelolaan sungai dengan konsep ekohidrolik secara keseluruhan yang terdiri atas lima jenis analisis dilakukan berdasarkan bagan alir yang diuraikan pada Gambar 31. Berdasarkan gambar tersebut dapat diuraikan bahwa konsep ekohidrolik dapat diterapkan jika beban banjir lebih besar daripada satu, atau dengan kata lain jika perbedaan tinggi tanggul dan muka air banjir kurang dari 1 meter, maka pengelolaan sungai tidak perlu dilakukan. Selanjutnya jika tata guna lahan di bantaran sungai memberikan hasil analisis dengan potensi yang lebih kecil dari nol, maka konsep ekohidrolik tidak memungkinkan untuk dilakukan pada bantaran sungai. Kelemahan dari model pengelolaan sungai ini adalah tidak diperhitungkannya pola meandering sungai. Sungai dengan aliran yang dinamis memiliki meander yang berbeda-beda. Bentuk meandering ini sangat terkait dengan proses erosi dan sedimentasi sehingga berpengaruh terhadap bentuk dasar dan tampang sungai. Kondisi ekologi sungai dan bantarannya merupakan parameter penting dalam perbaikan kualitas lingkungan sungai. Vegetasi yang spesifik pada bantaran sungai tidak diperhitungkan dalam model ini. Sedang vegetasi pada bantaran dan badan sungai juga dapat berpengaruh terhadap kecepatan aliran. Selain itu, model pengelolaan sungai ini dapat pula dikembangkan dengan kajian vegetasi yang optimum untuk upaya konservasi air dan sesuai dengan kondisi lahan.

85 Mulai Data hidrolika sungai Data CH Kondisi DAS Analisis hidrolika Analisis hidrologi Q50 Tinggi tanggul m.a.b Analisis beban banjir Tidak dilakukan disain ekohidrolik Tidak Beban banjir > 1 Data TGL Analisis tata guna lahan Ya Potensi > 0 Ya Disain ekohidrolik Tidak Tidak dilakukan disain ekohidrolik Tinggi genangan Lebar bantaran Kecepatan aliran Selesai Gambar 31. Bagan alir model pengelolaan sungai berbasis konsep ekohidrolik

86 5.2. Kebijakan Pengelolaan Sungai Berbasis Pada Konsep Ekohidrolik Kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik merupakan arahan bagi pemerintah daerah dalam mengambil keputusan tentang kegiatan pengelolaan sungai yang tepat. Kebijakan ini disusun berdasarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat partisipasinya dalam pengelolaan sungai. Kajian tingkat partisipasi masyarakat dilakukan dengan skala perbandingan komparatif yaitu dengan membagi atas tiga kategori tingkat partisipasi yaitu tinggi, sedang dan rendah. Penentuan tingkat partisipasi berdasarkan jawaban responden pada kuesioner yang diberikan. Kajian kondisi sosial ekonomi masyarakat menggambarkan distribusi setiap parameter yang ditinjau dan menunjukkan karakteristik pribadi yang dominan terdapat pada kelompok masyarakat. Masyarakat yang menjadi responden adalah pemilik lahan dan pengelola lahan. Selanjutnya pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat dianalisis dengan metode neural network yang terbagi atas tiga tahapan yaitu tahapan training, validasi dan aplikasi. Tahapan training adalah tahapan penyusunan model dengan menggunakan sebagian data dari masyarakat. Tahapan ini merupakan proses iterasi dan model dapat diterima jika akurasinya mendekati 100%. Sebagian data digunakan dalam proses validasi untuk melihat tingkat akurasi dari model. Model neural network yang menunjukkan akurasi mendekati 100% dapat dilanjutkan pada tahapan aplikasi. Tahapan aplikasi adalah kegiatan simulasi parameter sosial ekonomi masyarakat yang dinaikkan atau diturunkan, dan jika terjadi perubahan terhadap tingkat partisipasinya maka dapat dinilai bahwa parameter tersebut berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat. Diagram alir penyusunan model pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat terhadap partisipasinya diuraikan pada Gambar 32.

87 Mulai Data Partisipasi Masyarakat Data kondisi sosial ekonomi masyarakat Training Tidak Error < 0.05 Tidak Ya Validasi Akurasi > 95% Ya Aplikasi Interpretasi Selesai Gambar 32. Diagram alir analisis neural network Interpretasi hasil aplikasi dibagi berdasarkan prosentase sampel yang menunjukkan adanya pengaruh. Jika prosentasenya kecil, maka tingkat pengaruhnya dinilai kecil, demikian pula sebaliknya. Variabel yang menunjukkan pengaruh besar terhadap partisipasi masyarakat menjadi rujukan dalam penentuan arahan kebijakan pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sungai.

88 Kegiatan strategis yang dapat mempengaruhi implementasi model kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik dapat diperoleh berdasarkan analisis AHP dan analisis kegiatan strategis dengan metode Bayes. Analisis AHP diawali dengan kegiatan pengumpulan data yaitu identifikasi kriteria pada faktor, stakeholder, program dan skenario. Identifikasi ini dilakukan dalam focus group discussion bersama responden. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut dilakukan penyusunan struktur hirarki AHP yang merupakan dasar dalam pembuatan kuesioner. Kuesioner dibagikan pada pakar untuk menilai perbandingan berpasangan antar kriteria pada setiap level. Hasil pengisian kuesioner oleh pakar dimasukkan dalam matriks pendapat individu untuk selanjutnya dilakukan perhitungan eigen, indeks consistensi dan consistensi rasio. Pemeriksaan nilai consistensi rasio dilakukan untuk melihat apakah pendapat pakar dapat dinilai valid atau tidak. Nilai CR harus memenuhi syarat yang disajikan pada Tabel 5, dan jika syarat ini tidak dipenuhi maka jawaban pakar tidak dapat dimasukkan dalam penggabungan pendapat responden. Hasil matriks penggabungan pendapat responden dihitung nilai CRnya untuk menilai validitas pendapat pakar. Selanjutnya dilakukan perhitungan eigen untuk memperoleh bobot setiap kriteria. Kriteria yang memiliki bobot tertinggi menunjukkan kriteria yang prioritas diperhatikan dalam kebijakan pengelolaan sungai secara ekohidrolik. Uraian tentang bagan alir kegiatan analisis AHP disajikan pada Gambar 33. Metode Bayes dilakukan untuk menilai kegiatan pemerintah daerah yang strategis dalam pelaksanaan pengelolaan sungai secara ekohidrolik. Adapun tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut: - Mengidentifikasi kegiatan pemerintah daerah yang terkait dengan kegiatan pengelolaan sungai secara ekohidrolik. - Menentukan nilai skoring untuk setiap alternatif. Menghitung hasil kali antaran skoring dengan bobot setiap kriteria (hasil dari AHP). - Menyusun matriks hubungan antara alternatif dan kriteria. - Menjumlahkan nilai alternatif dan tentukan peringkat dari setiap alternatif.

89 Mulai Identifikasi kriteria pada setiap level Penyusunan struktur AHP Struktur AHP Matriks pendapat individu Pembuatan dan pengisian kuesioner Hitung CR CR memenuhi syarat Tidak Jawaban pakar tidak valid Ya Matriks penggabungan pendapat Hitung CR CR memenuhi syarat Ya Tidak Jawaban pakar tidak valid Hitung bobot kriteria Bobot kriteria Selesai Gambar 33. Bagan alir analisis AHP

90 Kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik yang menghasilkan arahan bagi pemerintah daerah dalam penerapan konsep ekohidrolik disusun atas lima tahapan. Secara detail model kebijakan tersebut diuraikan tahapannya dalam bagan alir pada Gambar 34. Mulai Data sosek masyarakat Data partisipasi masyarakat Analisis kondisi sosial ekonomi masyarakat Analisis tingkat partisipasi masyarakat Distribusi kondisi sosek masyarakat Tingkat partisipasi masyarakat Analisis faktor sosial ekonomi yang paling berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sungai Identifikasi kriteria pada setiap level Faktor sosial ekonomi yang paling berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sungai Selesai Analisis AHP Bobot Metode Bayes Kegiatan strategis yang mendukung pengelolaan sungai dengan ekohidrolik Kegiatan pemda Gambar 34. Disain Kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik.

91 Pada pengembangan kebijakan pengelolaan sungai, kondisi masyarakat merupakan fokus kajian. Sedang kemampuan pemerintah daerah sebagai salah satu stakeholder tidak diperhitungkan. Kemampuan tersebut terkait dengan kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki, teknologi serta keuangan daerah. Selain itu, model ini juga tidak memberikan arahan tentang upaya manajemen operasional dalam implementasinya. Regulasi yang memberikan kepastian hukum bagi pemerintah daerah dan masyarakat juga hendaknya diperhitungkan dalam model kebijakan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diuraikan bahwa sempadan sungai merupakan kawasan lindung setempat, atau sempadan sungai memiliki fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup dan sungai. Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya bantaran sungai dimiliki oleh masyarakat dan dijadikan sebagai kawasan budidaya. Olehnya itu, maka perlu adanya kajian tentang kebijakan pemanfaatan ruang khususnya pada daerah sempadan sungai. 5.3.Penerapan Model Pengelolaan Sungai Berbasis pada Konsep Ekohidrolik di Sungai Lawo Kabupaten Soppeng Provinsi Sulawesi Selatan. Model pengelolaan sungai berbasis konsep ekohidrolik yang terbagi atas lima analisis selanjutnya diterapkan pada Sungai Lawo Kabupaten Soppeng Provinsi Sulawesi Selatan. Kelima tahapan analisis tersebut diuraikan di bawah ini. 5.3.1. Analisis Hidrologi Kondisi hidrologi yang terkait dengan pengelolaan sungai adalah data frekuensi kejadian hujan. Data curah hujan harian yang digunakan pada Sungai Lawo adalah data selama kurun waktu 29 tahun yaitu antara tahun 1980 hingga tahun 2009 dari Stasiun pengamat Lapajung (Lampiran 1). Hasil analisis curah hujan harian maksimum untuk setiap tahun disajikan pada Tabel 19.

92 Tabel 19. Curah hujan harian maksimum pada Daerah Aliran Sungai Lawo Tahun Hujan harian Hujan harian maks Tahun maks (mm) (mm) 1980 85 1995 57 1981 80 1996 139 1982 73 1997 135 1983 73 1998 136 1984 66 1999 112 1985 109 2000 61 1986 68 2001 94 1987 87 2002 115 1988 162 2003 146 1989 83 2004 85 1990 70 2005 82 1991 62 2006 100 1992 87 2007 110 1993 83 2008 127 1994 58 Sumber : PSDA Prov. Sul Sel. Curah hujan harian maksimum yang terjadi pada daerah aliran sungai Lawo bervariasi antara 57 mm hingga 162 mm. Nilai curah hujan tersebut selanjutnya dihitung probabilitasnya dalam berbagai periode ulang. Dalam kajian ini dilakukan analisis probabilitas dengan menggunakan metode Gumbell dan metode Log Pearson diperoleh curah hujan harian untuk berbagai periode ulang seperti pada Tabel 20. Tabel 20. Probabilitas curah hujan pada Sungai Lawo Periode Ulang Curah hujan harian maks (mm) (tahun) Gumbell Log Pearson 2 90.232 90.557 5 119.985 116.228 10 139.749 133.119 20 158.549 146.797 25 164.554 154.149 50 183.001 169.646 Berdasarkan hasil perhitungan chi kuadrat, maka kedua data tersebut terdistribusi dengan normal, sehingga pemilihan data yang digunakan adalah data curah hujan harian terbesar. Dalam kajian digunakan hasil dari metode Gumbell. Hasil analisis berupa intensitas hujan dengan durasi dan periode ulang tertentu

93 diuraikan dalam kurva Intensity Duration Frequency (IDF) dan digunakan dalam perhitungan debit maksimum. Nilai intensitas hujan dianalisis dengan metode Van Breen dengan persamaan Talbot. Kurva IDF disajikan dalam Gambar 35. Gambar 35. Kurva intensitas hujan di Sungai Lawo Berdasarkan kurva IDF tersebut pula diperoleh intensitas hujan dalam periode satu jam untuk berbagai periode. Nilai intensitas hujan pada periode ulang tertentu dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan debit maksimum pada Sungai Lawo. Hasil perhitungan intensitas hujan dan hujan efektif ditampilkan pada Tabel 21. Tabel 21. Intensitas hujan pada Daerah Aliran Sungai Lawo Periode Ulang (tahun) Intensitas Hujan (mm/jam) Hujan efektif (mm/jam) 2 56.035 42.03 5 67.698 50.77 10 74.361 55.77 20 80.051 60.04 25 81.752 61.31 50 86.665 65.00 Dalam analisis debit banjir, lokasi penelitian dibagi atas 3 bagian lokasi yaitu Seppang dan Lawo ditentukan sepanjang 6 400 meter (Sta 000 hingga Sta 6 400), lokasi Cenrana, Paowe dan Talumae sepanjang 5 000 meter (Sta 6 400

94 hingga Sta 11 400) sedang lokasi Ganra dan Bakke sepanjang 5 000 meter (Sta 11 400 hingga Sta 16 400)(Lampiran 2). Hasil perhitungan analisis hidrograf Nakayashu pada ketiga lokasi untuk periode ulang 50 tahun disajikan pada Gambar 36. Hasil analisis hidrograf Nakayashu menunjukkan bahwa waktu yang digunakan dari permulaan hujan hingga terjadinya banjir puncak adalah 4 jam pada daerah Seppang-Lawo dan daerah Cenrana-Paowe-Talumae. Debit puncak pada daerah pertama adalah sebesar 425.432 m 3 /s sedang pada daerah kedua adalah sebesar 433.795 m 3 /s. Pada daerah Ganra-Bakke puncak banjir terjadi pada jam ke-5 dengan debit puncak sebesar 441.692 m 3 /s Gambar 36. Hidrograf Nakayashu pada Sungai Lawo Berdasarkan hidrograf tersebut, maka diperoleh debit maksimum yang mungkin terjadi pada Sungai Lawo pada periode ulang tertentu pada ketiga wilayah. Perhitungan debit maksimum menunjukkan bahwa semakin ke hilir, debit maksimum semakin besar. Hal ini disebabkan karena adanya akumulasi aliran sungai. Hasil perhitungan debit maksimum untuk ketiga wilayah sebagaimana ditampilkan pada Tabel 22.

95 Periode (tahun) Tabel 22. Debit maksimum Sungai Lawo Seppang - Lawo Qmax (m 3 /s) Cenrana-Paowe- Talumae Ganra - Bakke 2 256.326 257.458 295.549 5 320.418 279.918 322.612 10 359.269 366.255 362.496 20 393.876 395.121 391.820 25 404.493 412.358 409.150 50 425.432 433.705 441.692 Tabel 22 menunjukkan bahwa pada Daerah Seppang dan Lawo, sungai Lawo memiliki debit maksimum sebesar 256.32 m 3 /s sekali dalam dua tahun. Sedang pada Cenrana-Paowe dan Talumae debit maksimum yang mungkin terjadi pada periode tersebut sebesar 257.48 m 3 /s dan pada Ganra dan Bakke debit tersebut sebesar 295.55 m 3 /s. Debit yang lebih besar akan memberikan kemungkinan banjir yang lebih besar pula. 5.3.2. Analisis Hidrolika Analisis hidrolika dilakukan untuk memperoleh seberapa besar debit yang dapat ditampung oleh sungai sebelum terjadi banjir. Sebagai saluran terbuka, maka sungai yang memiliki penampang alami diidealisasikan dengan bentuk trapesium. Hasil pengukuran lapangan menujukkan variasi karakteristik penampang sungai pada daerah hulu, tengah dan daerah hilir (perhitungan pada lampiran 2) sebagaimana disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Lebar Sungai Lawo pada berbagai lokasi Lokasi Lebar dasar (meter) Lebar Atas (meter) Max Min Rata-rata Max Min Rata-rata Seppang 29.6 12.8 20.9 49.6 26.1 35.7 Lawo 31.2 6.6 17.9 49.1 14.4 30.2 Cenrana 48.0 10.3 28.0 58.2 31.0 41.4 Paowe 37.2 11.2 21.2 48.3 21.1 32.0 Talumae 44.0 5.9 24.1 52.0 13.2 33.3 Ganra 26.8 2.2 18.2 53.9 7.4 24.6 Bakke 16.0 11.2 13.7 53.9 30.3 36.0

96 Tabel 23 menunjukkan bahwa lebar sungai pada lokasi Seppang yang berada pada daerah hulu lebih besar dibandingkan dengan lebar sungai pada lokasi Lawo. Hal ini disebabkan karena pada daerah Seppang nampak terjadi erosi tebing yang tinggi sedang pada daerah Lawo terjadi banyak tumpukan sediman batuan sehingga lebar sungai menyempit. Pada daerah Cenrana sungai nampak melebar disebabkan karena adanya kegiatan pelebaran alur sungai akibat adanya penambangan batuan. Pada lokasi Paowe banyak terjadi penimbunan sedimen, sedang di Talumae terjadi pengikisan akibat erosi tebing tanpa adanya tindakan perkuatan sehingga terjadi pelebaran sungai. Di daerah Ganra dan Bakke sungai semakin menyempit akibat tingginya sedimentasi. Kondisi hidrolika lain yang juga mempengaruhi kapasitas sungai adalah kedalaman sungai. Tabel 24 menunjukkan bahwa kedalaman sungai bervariasi antara 10 cm hingga 4.5 meter. Data tersebut juga menunjukkan bahwa daerah hulu dan daerah tengah memnunjukkan kedalaman rata-rata dibawah 2 meter sedang di daerah hilir sungai semakin dalam. Tabel 24. Kedalaman Sungai Lawo Lokasi Kedalaman (meter) Max Min Rata-rata Seppang 1.9 0.2 0.7 Lawo 1.5 0.2 0.6 Cenrana 2.6 0.1 0.9 Paowe 1.8 0.1 0.7 Talumae 3.7 0.2 1.6 Ganra 4.5 0.4 2.0 Bakke 3.4 0.9 2.1 Karakteristik hidrolika sungai yang terdiri atas lebar dan kedalaman sungai memberikan pengaruh terhadap luas penampang sungai. Gambaran luas penampang sungai untuk setiap lokasi disajikan pada Gambar 37.

97 Gambar 37. Luas penampang Sungai Lawo Gambar 37 menunjukkan bahwa pada ketujuh daerah pengamatan luas penampang maksimum dan minimum sangat besar perbedaannya. Hal ini menunjukkan ketidakteraturan sungai sangat besar. Kondisi sungai pada daerah Talumae, Ganra dan Bakke memiliki luas penampang rata-rata yang lebih besar dibandingkan dengan dengan daera Seppang, Lawo, Cenrana dan Paowe. Karakteristik hidrolika lain adalah kemiringan sungai atau gradien sungai. Karakteristik ini berpengaruh pada kecepatan aliran. Dasar sungai dari hulu ke hilir memperlihatkan perbedaan tinggi (elevasi), dan pada jarak tertentu atau keseluruhan sering disebut dengan istilah gradien sungai yang memberikan gambaran berapa presen rataan kelerengan sungai dari bagian hulu kebagian hilir. Besaran nilai gradien berpengaruh besar terhadap laju aliran air (Waryono, 2008). Daerah dengan kemiringan memanjang yang tinggi akan menyebabkan terjadinya kecepatan yang tinggi dan memungkinkan terjadinya erosi tebing. Sedang pada daerah dengan kemiringan kecil akan menyebabkan terjadinya sedimentasi. Kemiringan sungai pada beberapa lokasi diuraikan pada Gambar 38.

98 Gambar 38. Kemiringan memanjang pada Sungai Lawo Gambar 38 menunjukkan bahwa kemiringan sungai semakin ke hilir semakin kecil. Bahkan pada daerah Ganra dan Bakke kemiringan sungai sangat kecil sehingga menunjukkan terjadinya sedimentasi yang tinggi. Kemiringan yang kecil menunjukkan pengaliran air juga lambat dan jika terjadi peningkatan debit air yang cukup besar, maka akan menyebabkan terjadinya banjir. Sungai sebagai saluran alamiah memiliki kondisi kekasaran dinding yang tidak seragam, sedang variabel ini mempengaruhi kecepatan air di sungai. Nilai koefisien kekasaran di sepanjang sungai bervariasi. Hal ini tergantung pada beberapa faktor diantaranya ketidakteraturan sungai, perubahan tata guna lahan, urbanisasi, erosi dan sedimentasi (Purwanto, 2002). Koefisien kekasaran sungai juga biasa disebutkan sebagai koefisien hambatan. Pada saluran alamiah, koefisien hambatan merupakan gabungan antara koefisien hambatan bentuk dasar saluran, bentuk tebing, bentuk memanjang saluran dan struktur vegetasi (Maryono, 2005). Kondisi kekasaran saluran dapat dilihat berdasarkan koefisien kekasaran equivalen (berdasarkan rumus dari Keulegan dalam Maryono, 2005). Persamaan matematis kekasaran saluran yang diperoleh berdasarkan data kecepatan aktual, tinggi muka air aktual, jari-jari hidrolis dan kemiringan saluran disajikan pada Gambar 39

99 Gambar 39. Persamaan matematis kekasaran saluran Nilai drag koefisien dapat diperoleh berdasarkan persamaan matematis tersebut dan nilai kekasaran saluran ekuivalen juga dapat diperoleh. Pada Sungai Lawo diperoleh gambaran nilai koefisien kekasaran equivalen saluran yang berbeda-beda untuk ketujuh lokasi penelitian. Perbedaan tersebut digambarkan pada Gambar 40. Gambar 40. Kekasaran ekivalen sungai Gambar 40 menunjukkan bahwa tingkat kekasaran ekuivalen pada Sungai Lawo berada diantara 0.276 m hingga 0.700 m. Nilai kekasaran tersebut dibandingkan dengan nilai kekasaran yang disajikan oleh Zanke dan DVWK dalam Maryono (2005) bahwa sungai dengan kondisi jelek dan rusak memiliki

100 kekasaran ekivalen antara 300 mm hingga 500 mm. Dengan demikian secara umum kondisi sungai Lawo termasuk dalam kategori sangat jelek. Selanjutnya menurut Purwanto (2002) bahwa pada dasarnya nilai koefisien kekasaran sepanjang sungai adalah bervariasi. Hal ini tergantung pada beberapa faktor diantaranya ketidakteraturan sungai, perubahan tata guna lahan, urbanisasi, erosi, dan sedimentasi yang kesemuanya sangat mempengaruhi nilai koefisien kekasaran dari sungai yang bersangkutan. Kapasitas sungai menunjukkan kemampuan sungai dalam mengalirkan air. Jika debit air lebih besar dari kapasitas tersebut maka akan terjadi banjir. Berdasarkan analisis hidrolika diperoleh variasi nilai kapasitas sungai seperti pada Gambar 41. Gambar 41. Kapasitas Sungai Lawo Gambarl 41 menunjukkan bahwa kapasitas rata-rata sungai berkisar antara 15 m 3 /s hingga 122 m 3 /s. Nilai maksimum menunjukkan bahwa terjadi pelebaran sungai dan kedalaman yang lebih tinggi. Sedang nilai minimum disebabkan akibat adanya penyempitan sungai dan pendangkalan. Gambaran kapasitas tersebut menunjukkan bahwa Sungai Lawo memiliki ketidakteraturan yang cukup tinggi dimana terdapat titik pembacaan dengan kapasitas yang sangat kecil.

101 5.3.3. Analisis Tata Guna Lahan Bantaran sungai merupakan daerah yang rawan banjir namun dengan letaknya yang strategis dan terdekat dengan sumber air, maka bantaran dimanfaatkan oleh masyarakat. Kondisi tata guna lahan pada bantaran sungai di sepanjang Sungai Lawo terbagi atas empat jenis yaitu tanah kosong/semak, kebun, sawah dan pemukiman, dan tidak ditemukan adanya hutan di bantaran sungai. Adapun distribusi pemanfaatan lahan pada bantaran sungai di sisi kiri dan kanan sungai disajikan pada Gambar 42. Hutan 0% Kanan Hutan 0% Kiri Pemuki man 13% Tanah kosong/ semak 16% Pemuki man 24% T.Kosong/ Semak 13% Sawah 43% Kebun 28% Sawah 30% Kebun 33% Gambar 42. Distribusi tata guna lahan pada bantaran Sungai Lawo Pada gambar 42 nampak bahwa bantaran sungai Lawo sebagian besar ditutupi oleh lahan sawah. Pada sisi kanan sungai, terdapat lahan sawah sebanyak 43% sedang pada sisi kiri lahan sawah sebanyak 30%. Secara spesifik pembagian tata guna lahan diuraikan berikut ini. Tanah kosong/semak Tanah kosong merupakan lahan yang tidak dikelola secara intensif oleh masyarakat. Pada bantaran sungai di sepanjang sungai Lawo tanah kosong pada umumnya ditumbuhi oleh semak belukar atau tanaman bambu. Lahan ini pada umumnya tidak ditanami karena dinilai rawan banjir atau erosi. Selain itu adapula yang tidak ditumbuhi oleh semak belukar karena tanahnya terbentuk oleh batuan atau lahan bekas sebagai areal tambang material. Penyebaran lahan kosong pada bantaran sungai sebagian besar terdapat di daerah Cenrana, sedang di Paowe tidak terdapat lahan kosong sebagaimana diuraikan pada Gambar 43.

102 Gambar 43. Penyebaran lahan kosong/semak di Sungai Lawo Kebun Masyarakat di bantaran sungai mengelola lahan sebagai kebun yang pada umumnya menanam tanaman coklat, pisang, mangga dan jagung, Distribusi penggunaan lahan ini pada sisi kiri dan kanan sungai disajikan pada Gambar 42. Gambar 44. Penyebaran tataguna lahan kebun di Sungai Lawo Pada Gambar 44 nampak sebagian besar kebun terdapat pada daerah Ganra baik pada sisi kiri dan kanan sungai. Pada wilayah Cenrana tidak satupun kebun baik pada sisi kiri maupun sisi kanannya.

103 Sawah Lahan sawah merupakan tata guna lahan yang paling diminati oleh masyarakat Kabupaten Soppeng. Hal ini disebabkan karena nilai ekonomis sawah lebih tinggi dibandingkan dengan tataguna lahan kebun. Pada Daerah Seppang Lawo dan Paowe, jumlah sawah di bantaran sungai lebih banyak dibandingkan dengan lokasi lain, dan bahkan pada daerah Ganra dan Bakke tidak satupun sawah ditemukan di bnataran sungai. Hal ini disebabkan oleh ancaman banjir yang tinggi, sehingga masyarakat merasa rugi untuk mengolah lahannya sebagai sawah. Keberadaan pemanfaatan bantaran sungai sebagai sawah disajikan pada Gambar 45. Gambar 45. Penyebaran tataguna lahan sawah pada Sungai Lawo Gambar 45 menunjukkan bahwa sebagian besar sawah terdapat pada daerah Seppang dan Lawo, sedang pada daerah Bakke dan Ganra lahan sawah di bantaran sungai tidak ada disebabkan karena petani merasa rugi akibat bencana banjir jika lahan tersebut dimanfaatkan sebagai sawah. Pemukiman Pemanfaatan bantaran sungai sebagai pemukiman pada umumnya terdapat di daerah Paowe, Talumae dan Ganra. Sedang di daerah Seppang dan Bakke tidak satupun yang dimanfaatkan sebagai pemukiman. Uraian penyebaran pemukiman di bantaran sungai disajikan pada Gambar 46.

104 Gambar 46. Penyebaran pemukiman pada Sungai Lawo Gambar 46 menunjukkan bahhwa pada daerah Seppang dan Cenrana tidak satupun dimanfaatkan sebagai pemukiman. Pemanfaatan lahan sebagai pemukiman sebagian besar terdapat pada daerah Cenrana, Paowe dan Ganra. Gambaran pemanfaatan lahan di bantaran sungai jika dikaitkan dengan pengelolaan sungai secara ekohidrolik dianalisis potensinya (Lampiran 6). Potensi wilayah sesuai dengan jumlah prosentase tata guna lahan hutan, kebun dan lahan kosong digambarkan pada Gambar 47. Gambar 47. Grafik potensi tata guna lahan Berdasarkan Gambar 47 maka nampak daerah Paowe memiliki potensi terkecil yaitu hanya sebesar 0.6, sedang daerah Ganra dan Bakke memiliki potensi

105 yang besar untuk pengelolaan sungai secara ekohidrolik. Wilayah Paowe yang didominasi dengan tataguna lahan sawah dan pemukiman relative lebih sulit untuk dikelola dibandingkan wilayah Ganra dan Bakke. 5.3.4. Analisis Beban Banjir Muka air banjir yang menunjukkan ketinggian air yang terjadi pada saat banjir dengan debit yang diperkirakan. Hasil perhitungan muka air banjir untuk periode ulang 2 tahun di 8 stasiun di Seppang menunjukkan nilai tertinggi muka air banjir adalah 3.93 meter. Untuk periode ulang 5 tahun adalah 4.29 meter, 10 tahun adalah 4.49 meter, 20 tahun adalah 4.66 meter, 25 tahun 4.70 meter dan untuk periode 50 tahun adalah 4.80 meter. Dari delapan titik yang ditinjau di lokasi Seppang menunjukkan semua wilayah menerima ancaman banjir untuk periode ulang 50 tahun. Hal ini digambarkan pada Gambar 48. Gambar 48. Kondisi banjir di Daerah Seppang Gambar 48 menunjukkan tinggi muka air banjir lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi tanggul pada semua titik. Selisih terbesar diperoleh pada sta 800 yaitu sebesar 4.4 meter dan selisih terkecil sebesar 1.0 meter pada sta 2 200. Pada daerah Lawo dengan jarak 2 400 hingga 6 400 meter dilakukan analisis muka air banjir pada enam titik. Muka air banjir tertinggi pada daerah ini adalah sebesar 4.415 meter pada periode ulang 50 tahun. Hasil analisis tersebut disajikan pada Gambar 49

106 Gambar 49. Kondisi banjir di Daerah Lawo Gambar 49 menunjukkan bahwa terdapat satu titik pembacaan yang tidak mengalami ancaman banjir yaitu pada sta 2 600 akibat ketinggian tanggul relatif aman. Pada lima titik lainnya, selisih tinggi muka air banjir dengan tinggi tanggul melebih satu meter dan bahkan mencapai 4.1 meter pada Sta 3 200. Kondisi sungai pada daerah Cenrana juga menunjukkan karakter banjir yang hampir sama dengan dua daerah sebelumnya. Muka air banjir untuk periode ulang 2 tahun berkisar antara 1.4 meter dan 2.2 meter, sedang untuk periode 50 tahun muka air banjir antara 1.9 meter dan 3.0 meter. Pada lima stasiun yang dianalisis, nampak bahwa muka air banjir 50 tahunan melebihi ketinggian tanggul. Hal ini diuraikan pada Gambar 50. Gambar 50. Kondisi banjir di Daerah Cenrana

107 Pada Gambar 50 nampak bahwa selisih tertinggi antara muka air banjir dan ketinggian tanggul adalah pada 6 800 yaitu sebesar 2.5 meter dan selisih terendah sebesar 1.0 meter pada stasiun 7 200. Data menunjukkan bahwa ketinggian tanggul kanan pada statiun 6 800 dan 7 200 lebih tinggi dibandingkan dengan muka air banjir yang mengindikasikan bahwa pada kedua titik tersebut banjir hanya terjadi pada sisi kiri. Pada daerah Paowe banjir terjadi di sepanjang sungai. Muka air banjir tertinggi pada daerah ini untuk periode ulang 50 tahunan sebesar 4.864 meter. Perbandingan antara tinggi muka air dan tinggi tanggul dapat dilihat pada Gambar 51. 14.000 12.000 m.a.b (meter) 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000-8000 8400 8800 9200 9600 10000 Sta Tinggi tanggul m.a.b 50 Gambar 51. Kondisi banjir di Daerah Paowe Gambar 51 menunjukkan bahwa di sepanjang dua kilometer dengan analisis muka air banjir pada enam titik memberikan hasil bahwa muka air banjir lebih tinggi dibandingkan dengan ketinggian tanggul. Selisih tertinggi antara muka air banjir dan tinggi tanggul diperoleh pada sta 9 800 sebesar 4.7 meter dan selisih terendah pada sta 9 000 sebesar 1.2 meter. Kondisi serupa juga nampak pada wilayah Talumae. Muka air banjir maksimum periode 2 tahun bahkan mencapai 4.3 meter sedang pada periode 50 tahun diperoleh nilai maksimum sebesar 5.8 meter. Ketinggian muka air banjir dibandingkan dengan tinggi tanggul pada analisis enam stasiun disajikan pada Gambar 52.

108 Gambar 52. Kondisi banjir pada Daerah Talumae Gambar 52 menunjukkan bahwa sta 10 200 hingga sta 11 200 terjadi ancaman banjir yang relatif tinggi dimana selisih tinggi muka air banjir dengan tinggi tanggul melebihi 2 meter. Pada wilayah Ganra banjir juga terjadi di sepanjang sungai namun dengan pola ancaman yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 53. Gambar 53. Kondisi banjir di Daerah Ganra Gambar 53 menunjukkan bahwa di wilayah Ganra mengalami ancaman banjir yang besar di sepanjang sungai. Tinggi muka air banjir yang melebihi 11 meter sedang tinggi tanggul hanya berkisar 4 meter. Bahkan untuk banjir dengan periode ulang 2 tahun, ketinggian muka air banjir di sembilan stasiun melebihi tiga meter. Hasil wawancara dengan masyarakat di lokasi ini menguraikan bahwa

109 di Ganra sering terjadi banjir bahkan pada kondisi tidak ada hujan di Ganra. Pada tahun 2010 antara bulan Januari hingga Juli telah terjadi banjir besar selama 3 kali dan menggenangi pemukiman setinggi hampir 1 meter. Hal ini menggambarkan bahwa kapasitas sungai di Ganra yang sangat kecil akibat sedimentasi serta tingginya kecepatan air dari hulu. Daerah Bakke memberikan gambaran banjir yang hampir sama dengan Ganra. Kejadian banjir di daerah Bakke juga terjadi di sepanjang sungai sebagaimana diuraikan pada Gambar 54. Gambar 54. Kondisi banjir di Daerah Bakke Gambar 54 menunjukkan bahwa wilayah Bakke mengalami ancaman banjir yang cukup tinggi dimana selisih muka air banjir dengan tinggi tanggul berkisar antara 2 meter hingga 12 meter. Hasil pemantauan di lapangan menunjukkan bahwa banjir terjadi setiap tahun dan bahkan terjadi berkali-kali dalam setahun. Banjir menggenangi pemukiman, sawah dan infrastruktur sehingga menimbulkan kerugian masyarakat. Uraian kejadian banjir pada setiap lokasi menunjukkan bahwa Sungai Lawo mengalami ancaman banjir yang cukup besar terutama pada daerah hilir sungai. Ancaman tersebut bahkan tidak dapat direduksi dengan adanya upaya normalisasi sungai serta pembuatan tanggul secara parsial. Analisa beban banjir yang dilakukan untuk melihat besarnya ancaman banjir di setiap lokasi menunjukkan bahwa daerah Seppang, Lawo, Cenrana dan Paowe mengalami ancaman banjir

110 yang lebih kecil dari 2 meter, sedang Talumae mengalami ancaman banjir yang lebih besar dari 2 meter. Nilai beban banjir yang dihitung berdasarkan rata-rata selisih muka air banjir dan tinggi tanggul (Lampiran 5) untuk setiap wilayah di Sungai Lawo dapat dilihat pada Gambar 55. Gambar 55 Beban Banjir di Sungai Lawo Hasil analisis pada Gambar 55 juga menunjukkan bahwa Ganra mengalami ancaman dua kali lipat dibandingkan dengan Talumae. Dearah Bakke mengalami ancaman banjir yang sangat besar yaitu sebesar 7.85 meter. Pada daerah Ganra dan Bakke mengalami ancaman banjir yang besar akibat terjadinya pendangkalan dan sedimentasi. Kemiringan memanjang sungai yang juga semakin kecil menyebabkan aliran air semakin lambat. Hal ini juga diperburuk dengan meningkatnya muka air banjir di Danau Tempe sehingga terjadi aliran balik ke sungai. 5.3.5. Analisis Ekohidrolik Kondisi banjir pada sepanjang Sungai Lawo menuntut adanya tindakan pengelolaan. Pengelolaan sungai yang umum dilakukan yaitu secara struktural telah dilakukan pada beberapa titik namun dinilai belum mampu mengendalikan banjir dan bahkan menyebabkan peningkatan energi kinetik pada tebing sungai. Konsep pengelolaan sungai secara ekohidrolik dapat dilakukan dengan melakukan

111 pengaturan tataguna lahan di bantaran sungai yang dapat memperkecil kecepatan air. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis hidrolika maka dibuat disain pengelolaan sungai pada setiap lokasi. Disain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidrolik adalah mendisain vegetasi tanaman pada bantaran sungai, dan menjadikan bantaran sungai sebagai areal banjir. Adapun pengaruh vegetasi pada bantaran sungai tergantung pada tingkat kekasarannya. Tingkat kekasaran daerah bantaran dipengaruhi oleh diameter vegetasi, jarak tanaman dan lebar bantaran sungai. Pada kajian ini dibuat disain tanaman tinggi atau tanaman yang lebih tinggi daripada muka air banjir. Jarak tanaman dalam arah melintang dan memanjang sepanjang 100 cm dengan lebar bantaran sepanjang 100 meter, 120 meter dan 150 meter. Hasil perhitungan kekasaran daerah bantaran disajikan pada Gambar 56. Gambar 56. Nilai kekasaran pada bantaran sungai pada tiga alternatif panjang bantaran. Gambar 56 menunjukkan bahwa untuk vegetasi dengan diameter 5 cm memberikan nilai kekasaran yang lebih kecil dari 50. Nilai ini meningkat seiring dengan peningkatan diameter vegetasi hingga ukuran vegetasi sebesar 25 cm. Pada vegetasi dengan diameter 50 cm dan 100 cm, nilai kekasaran ekivalen ini tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dengan peningkatan kekasaran bantaran, maka kecepatan air juga dapat direduksi. Hal ini sesuai dengan uraian Maryono (2005) bahwa pada sungai alamiah berbentuk mendekati trapesium, dimana bagian bantarannya bervegetasi lebat, akan terjadi interaksi yang lebar dan

112 proses kehilangan energi akibat gesekan kecepatan dari antar tampang. Di sini aliran yang relatif cepat pada sungai utama mendesak ke daerah bantaran dan keluar lagi dengan kecepatan yang lebih rendah. Dengan adanya daerah interaksi ini maka akan terjadi reduksi kecepatan secara keseluruhan. Seppang Panjang sungai yang diamati pada penelitian di daerah Seppang adalah 2 400 m. Adapun muka air banjir maksimum pada debit 50 tahunan di daerah ini adalah 4.803 m. Pada daerah Seppang dilakukan analisis ekohidrolik di Sta 000. Hasil analisis ekohidrolik dengan tinggi genangan 2.00 meter di sisi kiri sungai dan 0.75 meter di sisi kanan sungai dinilai dapat mereduksi banjir periode 50 tahunan adalah dengan lebar bantaran 150 m. Hal ini didasarkan pada nilai debit total yang dihasilkan lebih besar dibandingkan debit rencana 50 tahunan (425.43 m 3 /s). Selanjutnya dilakukan perhitungan tinggi muka air pada berbagai diameter vegetasi untuk memperoleh seberapa besar tinggi genangan dan kecepatan air yang bersesuaian dengan debit rencana. Berdasarkan analisis ekohidrolik diperoleh tinggi genangan pada sisi kiri yang disajikan pada Gambar 57. Gambar 57. Tinggi genangan pada sisi kiri sungai di Sta 000 Pada Gambar 57 nampak bahwa dengan diameter vegetasi 0.1 meter terjadi penurunan tinggi genangan setinggi 1 meter, yaitu dari 2.885 meter menjadi 1.821 meter. Pada diameter vegetasi yang melebihi 0.2 meter nampak bahwa tinggi genangan relatif sama yaitu setinggi 1.746 meter hingga 1.756 meter. Dengan

113 demikian penambahan diameter vegetasi tidak berpengaruh terhadap tinggi genangan. Disain ekohidrolik ini juga memberikan gambaran penurunan kecepatan air, namun dengan variasi yang berbeda untuk setiap diameter vegetasi. Gambaran hasil analisis tersebut disajikan pada Gambar 58. Gambar 58. Kecepatan air pada bantaran sungai di Sta 000 Gambar 58 menunjukkan bahwa kecepatan air awal sebelum adanya penataan bantaran adalah 2.885 m/s sedang dengan adanya vegetasi 0.1 meter maka kecepatan air di bantaran menurun menjadi 0.897 m/s atau kecepatan air dapat direduksi sebesar 60%. Kecepatan pada diameter vegetasi yang lebih besar menghasilkan kecepatan yang lebih besar pula namun dengan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan kondisi tanpa vegetasi. Reduksi kecepatan terkecil dengan adanya penataan bantaran adalah sebesar 57.9 % pada diameter vegetasi 1 meter. Lawo Daerah Lawo yang memiliki panjang sungai sepanjang 4 km dan lebar dasar rata-rata sungai sebesar 18 meter dengan kedalaman rata-rata 60 cm. Ketinggian muka air banjir maksimum pada daerah ini adalah setinggi 4.4 meter untuk periode ulang 50 tahun. Sebagai upaya pengendalian sungai di Lawo, maka dilakukan analisis ekohidrolik pada sta 3 200. Pada titik ini diperoleh tinggi tanggul kanan sebesar

114 1.41 meter dan tanggul kiri setinggi 1.08 meter. Debit maksimal yang dapat ditampung sungai pada penampang ini sebesar 4.558 m 3 /s atau hanya berkisar 1% dibandingkan dengan debit banjir 50 tahunan (425.43 m 3 /s). Hasil analisis ekohidrolik untuk panampang tersebut memberikan hasil yang sangat kecil, yaitu dengan lebar bantaran 150 meter penggenangan setinggi 1.08 meter di sisi kiri sungai hanya memberikan debit sebesar 197.32 m 3 /s atau masih sangat kecil dibandingkan dengan debit 50 tahunan. Dengan pertimbangan analasis awal tersebut, maka dilakukan disain ekohidrolik dengan melakukan pengerukan sungai sedalam 1 meter sehingga kapasitas sungai menjadi 18.37 m 3 /s. Hasil perhitungan debit dengan penggenangan 1.58 meter di sisi kiri sungai dan 0.5 meter di sisi kanan menunjukkan disain ini layak untuk mereduksi banjir. Disain ini menunjukkan bahwa penataan bantaran sungai dengan penanaman tanaman tinggi akan dapat menurunkan muka air banjir. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 59. Gambar 59. Tinggi genangan pada sisi kiri sungai di sta 3 200 Gambar 59 menunjukkan bahwa konsep ekohidrolik dapat mereduksi muka air banjir setinggi 2.7 meter yaitu dari 4.0 meter menjadi 1.3 meter. Hal ini dapat diperoleh dengan menata bantaran selebar 150 meter dengan vegetasi berdiameter lebih besar dari 20 cm. Dengan konsep ini pula, maka kecepatan air dapat direduksi sebesar 37.7% yaitu kecepatan 1.6 m/s menjadi 1 m/s. Gambaran penurunan kecepatan pada Sta 3 200 disajikan pada Gambar 60.