Subjective Well-Being Pada Peserta Akselerasi. Aini Nadiva Fakultas Psikologi

dokumen-dokumen yang mirip
Subjective Well-Being Pada Guru Sekolah Menengah. Dinda Arum Natasya Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA MASYARAKAT MISKIN DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO JEBRES SURAKARTA.

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak yang Bekerja sebagai Buruh Nelayan di Desa Karangsong Indramayu

Subjective Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Tuna Rungu

Abstrak. Kata-kata kunci: subjective well-being, kognitif, afektif, penghuni rumah susun

BAB III METODE PENELITIAN

Abstrak. Kata kunci : subjective wellbeing, lansia, penyakit kronis. vii Universitas Kristen Maranatha

SUBJECTIVE WELL BEING MAHASISWA YANG MENGGUNAKAN INTERNET SECARA BERLEBIHAN. Novrita Ade Putri

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERAN AYAH DENGAN REGULASI EMOSI PADA SISWA KELAS XI MAN KENDAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Bebas : Terapi Kebermaknaan Hidup

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Korban Pelecehan Seksual yang Berusia 8-12 Tahun di Sukabumi

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah combined

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak Kelas VI Sekolah Dasar Full-Day Darul Ilmi Bandung

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Marantha

RELATIONSHIP BETWEEN SPIRITUAL INTELLIGENCE AND SUBJECTIVE WELL-BEING IN CIVIL SERVANT GROUP II DIPONEGORO UNIVERSITY

LAPORAN PENELITIAN PERILAKU BERHUTANG DENGAN PERASAAN SENANG PADA MAHASISWA

SUBJECTIVE WELL-BEING DAN REGULASI DIRI REMAJA PELAKU TINDAK KEKERSAN (Studi pada anak pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang)

Prosiding Psikologi ISSN:

Subjective Well-Being Pada Istri yang Memiliki Pasangan Tunanetra

HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN SUBJECTIVE WELL- BEING PADA GURU SEKOLAH DASAR

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

HUBUNGAN ANTARA RASA BERSYUKUR DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA PENDUDUK MISKIN DI DAERAH JAKARTA

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PENARI STUDIO SENI AMERTA LAKSITA SEMARANG

Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN

BAB III METODELOGI PENELITIAN

Abstrak. Kata kunci: peers support, student engagement, dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informatif, dukungan penghargaan

HUBUNGAN ANTARA QUALITY OF SCHOOL LIFE DENGAN EMOTIONAL WELL BEING PADA SISWA MADRASAH SEMARANG

Abstrak. i Universitas Kristen Maranatha

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Desain Penelitian. menekankan analisis pada data-data numerikal (angka) yang diolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL BEING ANTARA GURU BERSERTIFIKASI DAN NON SERTIFIKASI

BAB V PENUTUP. SD Katolik Santa Clara kelas IV hingga VI akan diikuti oleh student wellbeing

INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental p-issn e-issn

STUDENT WELL-BEING DAN DUKUNGAN SOSIAL ORANGTUA PADA SISWA KELAS IV-VI SD KATOLIK SANTA CLARA SURABAYA SKRIPSI

Prosiding Psikologi ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

Abstrak. i Universitas Kristen Maranatha

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Siswa-Siswi Kelas 6 di SD Sains Al-Biruni Bandung

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed method yang merupakan suatu

v Universitas Kristen Maranatha

PERBANDINGAN MASALAH PERILAKU DAN EMOSIONAL ANTARA SISWA KELAS AKSELERASI DAN REGULER DI SEKOLAH AL-AZHAR MEDAN. Oleh : HUMIKO HESTIRA

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA

ABSTRAK. iii. Universitas Kristen Maranatha

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR DI SDN KEBON KACANG 01 PAGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR ISI. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR ORISINALITAS... iii. LEMBAR PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... iv. KATA PENGANTAR... v. ABSTRAK...

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

KONTRIBUSI RELIGIUSITAS TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA MAHASISWA

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

SKRIPSI. oleh Dita Dityas Hariyanto NIM

PERBEDAAN MOTIVASI BELAJAR DITINJAU DARI STATUS EKONOMI KELUARGA PADA MAHASISWA Oleh : Meriam Yuliana Mahasiswi jurusan Psikologi Fakultas Psikologi U

Study Deskriptif Children Well Being Anak Penderita Leukimia All di Rumah Cinta Bandung

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. data normal atau tidak. Alat yang digunakan adalah One Sample. Uji normalitas pada skala subjective well-being

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rini Restu Handayani, 2013

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF REMAJA SMA PROGRAM AKSELERASI DI KOTA SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

PENGEMBANGAN GAME ANAK UNTUK PERKEMBANGAN KEMAMPUAN KOGNITIF DAN PSIKOMOTORIK

GAMBARAN STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan. Ujian Sarjana Psikologi. Oleh MERRY CHRISTINE SITORUS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah subjective well-being

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak Jalanan di Rumah Sanggar Waringin Bandung

ABSTRAK. iii Universitas Kristen Maranatha

Pengaruh Kecenderungan Neurotik yang Dimediasi Efikasi Diri terhadap Subjective Well Being pada Mahasiswa

GAMBARAN KECEMASAN ORANG TUA TERHADAP ORIENTASI MASA DEPAN ANAK TUNARUNGU DITINJAU DARI TUGAS PERKEMBANGAN MASA DEWASA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut muncul banyak perubahan baik secara fisik maupun psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

Studi Deskriptif Mengenai Kegigihan (Grit) dan Dukungan Sosial pada Siswa Gifted Kelas X IA di SMAN 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebijakan publik tentang masalah anak dan rencana anak, isu utama kebijakan

Abstrak. v Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keras untuk meraih kebahagiaaan (Elfida, 2008).

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. memiliki kesimpulan sebagai berikut : c) Ada hubungan antara kebahagiaan dengan kepuasan hidup.

Prosiding Psikologi ISSN:

SUBJECTIVE WELL-BEING (KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF) DAN KEPUASAN KERJA PADA STAF PENGAJAR (DOSEN) DI LINGKUNGAN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

Hubungan Antara Coping Stress dengan Subjective Well-Being pada Mahasiswa Luar Jawa

PERSEPSI TERHADAP PERILAKU SENIOR SELAMA KADERISASI DAN KOHESIVITAS KELOMPOK MAHASISWA TAHUN PERTAMA

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN SUBJECTIVE WELL- BEING SISWA SMA NEGERI 1 BELITANG NASKAH PUBLIKASI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

ABSTRAK PERANCANGAN GRAFIS UNTUK MENDUKUNG KAMPANYE MENGGALI POTENSI REMAJA. Oleh Stevanus Gunawan NRP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TENTANG PENTINGNYA BUDAYA PENGGUNAAN ASI BAGI IBU MENYUSUI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SEKEJATI TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Sekitar lima tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2005,

BAB I PENDAHULUAN. ini laju informasi dan teknologi berjalan dengan sangat cepat. Begitu juga dengan

Hubungan antara Self-Efficacy dengan Subjective Well-Being pada Siswa SMA Negeri 1 Belitang

GAMBARAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA AKSELERASI DI SD KRISTEN 10 PENABUR DAN SD AL-AZHAR SYIFA BUDI JAKARTA KELAS 4 DAN KELAS 6

Educational Psychology Journal

ABSTRAK. Kata kunci : self-esteem, power, significance, competence, virtue, make up. v Universitas Kristen Maranatha

HUBUNGAN KEIKUTSERTAAN ORGANISASI DENGAN REGULASI DIRI PADA REMAJA : STUDI KASUS DI SMA N 2 NGAWI

HUBUNGAN ANTARA ADVERSTY INTELLIGENCE DENGAN SCHOOL WELL-BEING (Studi pada Siswa SMA Kesatrian 1 Semarang)

Transkripsi:

Subjective Well-Being Pada Peserta Akselerasi Aini Nadiva Fakultas Psikologi nadivaaini@yahoo.com Abstrak - Subjective well-being merupakan sebuah evaluasi kehidupan dari bagaimana seseorang mengelola emosi baik positif ataupun negatif dalam dirinya dan bagaimana kepuasan seseorang tersebut dalam menjalani sebuah kehidupan. Terdapat tiga komponen di dalam subjecive well being, yaitu, positive affect, negative affect, dan life satisfaction. Subjective well-being bisa dialami oleh siapapun tanpa terkecuali remaja. Pada masa remaja individu sedang mengalami sebuah proses yang berlangsung kompleks pada aspek biologis, psikologis, emosi, kognitif, dan sosial. Proses tersebut juga dialami oleh para remaja peserta akselerasi. Siswa akselerasi memiliki karakteristik yang berbeda dengan siswa regular salah satunya materi yang diberikan lebih padat dan pemberian tugas yang lebih banyak. Oleh karena itu, peserta akselerasi harus memiliki komitmen dan tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang diberikan. Beban tersebut mengakibatkan munculnya permasalahan terkait aspek emosi, kognitif, dan sosial pada peserta akselerasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui subjective well being pada peserta akselerasi Subjek penelitian ini adalah 65 siswa yang mengikuti program akselerasi, yang berusia 13-17 tahun. Penelitian ini bersifat deskriptif dan data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis cluster. Hasil penelitian menunjukkan adanya empat kelompok subjek berdasarkan kondisi affect dan kognitif mereka, yaitu kelompok dengan well-being sangat rendah, well-being rendah, well being sedang, dan well being tinggi. Kata kunci: Subjective Well-being, Anak Berbakat Intelektual, Akselerasi, Remaja Awal Abstract Subjective well being is an evalution of life from how someone manage his/her emotion either positively or negatively inside his/her mind and how can a person become satisfied in life. There are three components of subjective well being, positive affect, negative affect, and life satisfaction. Subjective well being can be experienced by any person include teenagers. In the teenager phase, an individual is encountering a complex process in biological, psychological, emotional, cognitive, and social aspect. Acceleration program teenagers is also encountering that process. Acceleration program teenagers have a distinctive characteristic compared to a regular program, one of them is more subject to learn at a time and more assignments. That s why the accelation program participants had to have a high commitment and responsibility towards the given assignments. They become a problem related to the emotional, 1

cognitive, and social aspect of the participant. This research was conducted to find out subjective well being on acceleration program participants. The subject of this research are 65 student undergoing acceleration program within the age of 13 to 17 years old. This research is descriptive and the data collected will be analyzed using cluster analysis technique. The result of this research shows four cluster of subject based on affect condition and cognitive, which are a very low well being, low well being, moderate well being, and high well being. Keywords: Subjective Well-being, Gifted Children, Acceleration, Early Adolescent PENDAHULUAN Subjective well-being menurut Myers dan Diener (dalam Eryilmaz, 2011) merupakan evaluasi secara kognitif dan afektif dari kehidupan seseorang. Subjective well-being memiliki tiga komponen menurut Myers dan Diener (dalam Eryilmaz, 2011) yaitu positive affect dan negatife affect yang masuk dalam aspek afektif, dan life satisfaction yang masuk dalam aspek kognitif. Komponen yang lain adalah domain satisfactions atau kepuasan dalam area yang penting dalam kehidupannya, misal saja cinta, perkawinan, persahabatan, dan lain-lain. (Diener, Lucas, dan Smith, 1999). Myers dan Diener (dalam Eryilmaz, 2011) menyatakan bahwa apabila seseorang memiliki pengalaman dari kejadian yang menyenangkan, kepuasan hidup, dan hanya beberapa pengalaman yang tidak menyenangkan, individu tersebut memiliki subjective well-being yang tinggi. Individu dalam mengevaluasi kehidupan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah intelegensi atau kecerdasan. Hasil penelitian dalam Diener, Lucas, dan Smith (1999) menunjukkan subjective well-being memiliki hubungan dengan kecerdasan, namun tergantung dari macam-macam bentuk kecerdasannya. Subjective well-being dapat dialami oleh siapapun tanpa terkecuali seorang remaja. Pada tingkat remaja sendiri individu sedang mengalami sebuah proses yang berlangsung kompleks pada aspek biologis, psikologis, emosi, kognitif, dan sosial (Eryilmaz, 2011). Proses yang kompleks tersebut juga dapat memengaruhi bagaimana seorang remaja mengevaluasi kehidupannya. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Wu dan Zhou (2010) bahwa dalam dimensi subjective well-being pada remaja, kepuasan keluarga dan kepuasan persahabatan memiliki 2

nilai yang tertinggi, dan untuk school work satisfaction memiliki nilai yang terendah. Subjective well-being pada remaja dapat dilihat dari beberapa faktor salah satunya adalah umur (Eryilmaz, 2010). Dari penelitian yang telah dilakukan di China ( Wu dan Zhou, 2010), ditemukan bahwa remaja yang berumur 14-17 tahun lebih mampu mengevaluasi kehidupannya dibandingkan remaja yang berumur 11-13 tahun. Berdasarkan hasil-hasil penelitian diatas peneliti mengambil kesimpulan bahwa subjective well-being pada remaja dapat dipengaruhi oleh banyak hal seperti faktor biososial serta kepuasan terhadap hubungan sosial keluarga, dan sekolah. Faktor biososial menurut Diener salah satunya adalah intelegensi atau kecerdasan (dalam Diener, Lucas, dan Smith, 1999). Menurut Terman (dalam Hawadi, Wiharjo, dan Wiyono, 2001) intelegensi atau kecerdasan merupakan determinan dari keberbakatan. Individu yang dapat dikategorikan sebagai anak berbakat intelektual yaitu yang memiliki IQ score diatas 125 (berdasarkan Weschler). Individu berbakat intelektual adalah individu yang memiliki kemampuan untuk kerja yang tinggi dalam bidang intelektual, artistik kreatif, kapasitas kepemimpinan, dan akademik khusus (dalam Hawadi, Wiharjo, dan Wiyono, 2001). Berbagai program pendidikan khusus dibuat untuk anak-anak berbakat inteletual dengan tujuan agar potensinya dapat tersalurkan dengan baik (Hawadi, 2004). Salah satu program pendidikan khusus tersebut adalah program akselerasi. Pengertian akselerasi menurut Pressey (dalam Hawadi, 2004) adalah suatu kemajuan yang diperoleh dalam sebuah program pembelajaran dengan waktu yang lebih cepat atau usia yang lebih mudah dari yang pada umumnya. Hasil penelitian Chandra (2005) menunjukkan bahwa anak-anak peserta program akselerasi lebih banyak mengalami frustrasi dibandingkan anak-anak lainnya. Hal ini didukung oleh hasil suvey awal (N=10) peneliti pada siswa akselerasi di SMAN 5 Surabaya, menunjukkan sebesar 70 % subjek lebih banyak mendapatkan pengalaman yang tidak menyenangkan ketika mengikuti program akselerasi. Sejalan dengan hasil penelitian Maimunah (2009) yang menunjukkan bahwa siswa akselerasi merasa tertekan karena dianggap mampu dalam segala hal 3

oleh gurunya, padahal siswa akselerasi tersebut masih butuh pengarahan dan penjelasan. Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut memiliki dampak pada perkembangan emosi dan sosial remaja peserta akselerasi. Hawadi (2004) memaparkan bahwa remaja yang mengikuti program tersebut merasa frustrasi dengan adanya tekanan dan tuntutan yang ada, dan bisa menjadi siswa yang underachiever. Sekitar 20-25% dari remaja yang mengikuti program akselerasi ini mengalami masalah sosial dan emosional, yaitu dua kali lebih besar dari angka normal (Hawadi, 2004). Permasalahan sosial tersebut didukung pula oleh hasil penelitian Maimunah (2009) menyatakan bahwa siswa akselerasi merasa kurang puas terhadap waktu istirahat dan bermainnya dikarenakan terlalu banyak tugas yang harus dikerjakan Melihat fenomena yang ada, peneliti tertarik dengan penelitian terkait subjective well-being. Keunikan dari penelitian ini adalah pada penelitian sebelumnya banyak yang hanya memaparkan bagaimana subjective well-being pada remaja saja. Untuk penelitian ini, peneliti ingin menggali lebih dalam subjective well-being pada remaja yang memiliki bakat intelektual khususnya pada remaja yang mengikuti program akselerasi. METODE PENELITIAN Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah remaja SMAN di Surabaya dan di Malang yang mengikuti program akselerasi pada siswa kelas X dan XII baik laki-laki maupun perempuan yang berusia 13-17 tahun sebanyak 65 siswa. Pada penelitian ini data yang diperoleh melalui data primer yaitu data yang langsung didapat dari subjek penelitian dengan menggunakan angket. Sebelum membuat angket terlebih dahulu dilakukan survey awal guna memperoleh gambaran lapangan. Angket yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 2 jenis, yaitu angket tertutup dan terbuka. Angket tertutup yang akan peneliti gunakan yaitu Satisfaction with Life Scale (SWLS) dari Diener, Emmons, Larsen, dan Griffin (1985) dan Positive and Negative Affect Scale (PANAS) dari Watson, Clark, dan Tellegan (1988). Angket-angket tersebut sudah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. 4

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis cluster. Perhitungan dalam analisis cluster ini akan dilakukan dengan menggunakan SPSS for Windows Version 16 Windows. Sebelum melakukan analisis data dengan menggunakan teknik analisis cluster, peneliti menentukan kategori dari hasil data pada angket tertutup yang dilakukan dengan menggunakan visual binning pada program SPSS. Kategori yang ditentukan oleh peneliti yaitu berada pada rentang 1 hingga 3, yaitu 1 untuk kategori rendah, 2 untuk kategori sedang, dan 3 kategori tinggi. HASIL DAN PEMBAHASAN Subjek pada penelitian ini adalah siswa akselerasi berjumlah 65 siswa dengan distribusi jumlah subjek paling banyak berusia 15 tahun (47,7%) dan berjenis kelamin perempuan (66,1%). Kegiatan yang menjadi prioritas utama siswa akselerasi adalah melakukan kegiatan akademis (73,8%), sedangkan kegiatan yang menjadi prioritas terakhir adalah melakukan kegiatan organisasi (46,1%). Sebesar 74,4% subjek menyukai pelajaran dalam bidang eksak, sedangkan sisanya menyukai pelajaran dalam bidang bahasa, sosial, seni, olah raga, dan agama. Tabel 1. Hasil Final Cluster Well-Being sangat rendah Berdasarkan hasil analisis cluster diperoleh empat kelompok. Kelompok tersebut diberi nama yang berbeda sesuai dengan nilai dari masing-masing komponen subjective well-being yaitu positive affect, negative affect, dan life satisfaction (Guardiola dan Munoz, 2008). Empat kelompok tersebut antara lain kelompok well-being sangat rendah, kelompok well-being rendah, kelompok wellbeing sedang, dan kelompok well-being tinggi. Kelompok Cluster Well-Being Wellrendah Being Sedang Positifve Affect 1,93 2,67 2,17 3,00 Negative Affect 3,00 3,00 2,00 1,93 Life Satisfaction 1,93 2,92 2,50 3,00 Well-Being tinggi 5

Tabel 2. perbedaan kelompok cluster Tabel 3. Persamaan kelompok cluster Tabel 4. Hasil Tabulasi Silang Domain Satisfaction dengan Setiap Kelompok Domain Satisfaction Kelompok Cluster Mendapatkan prestasi yang sesuai dengan harapan Well Being Sangat Rendah Sangat tidak puas, sangat puas (26,7%) Memiliki banyak teman Netral, puas (26,7%) Memiliki materi (uang atau Netral, puas benda seperti: HP, gadget, (26,7%) dll) yang diinginkan Dapat membahagiakan orang tua dan keluarga Melakukan kegiatan refreshing (membaca novel,makan, bersenda gurau, main game, dll) Mendapatkan kejutan yang menyenangkan Mendapatkan perhatian atau kasih sayang dari orang lain Sangat (40%) Agak (26,7%) puas puas Netral, sangat puas (26,7%) Netral (46,7%) Libur Sekolah Sangat puas (33,3%) Tercapainya cita-cita Sangat puas (40%) Well Being Rendah Sangat (45,8%) puas Well Being Sedang Puas, sangat puas (33,3%) Well Being Tinggi Sangat puas (57,1%) Puas (37,5%) Puas (41,7%) Puas (57,1%) Puas (37,5%) Puas (50%) Puas (42,9%) Sangat (50%) Puas Sangat (75%) puas Sangat puas (64,3%) Puas (35,7%) Puas (58,3%) Sangat puas (35,7%) Puas (35,7%) Netral (33,3%) Agak puas (35,7%) Puas (37,5%) Sangat puas (41,7%) Puas, sangat puas (20,8%) Sangat puas (54,2%) Agak (33,3%) Sangat (66,7%) puas puas Sangat puas (50%) Sangat puas (42,9%) Sangat puas (85,7%) 6

Kelompok well-being sangat rendah berjumlah 15 orang. Pada kelompok ini diberi nama well-being sangat rendah karena komponen positive affect yang rendah, negative affect yang tinggi, dan life satisfaction rendah. Jika dibandingkan dengan kelompok lain, pada kelompok ini komponen positive affect dan life satisfaction yang paling rendah, maka well-being pada kelompok ini tergolong sangat rendah. Subjek dalam kelompok ini merasa stress ketika masuk dalam program akselerasi. Hal ini menandakan bahwa emosi negatif lebih sering muncul dalam kehidupan sehari-hari subjek, maka dari itu well-being pada kelompok ini sangat rendah. Disisi lain emosi positif pada kelompok ini juga dirasakan oleh subjek dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ada perasaan bangga yang muncul dalam diri subjek ketika masuk program akselerasi. Pada kelompok ini subjek merasa sangat puas apabila dapat membahagiakan orang tua dan keluarga, ketika libur sekolah, dan tercapainya cita-cita. Kelompok well-being rendah berjumlah 24 orang. Pada kelompok ini diberi nama well-being rendah karena komponen positive affect yang sedang, negative affect yang tinggi, dan life satisfaction sedang. Hanya saja nilai positive affect dan life satisfaction pada kelompok ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok well being sangat rendah, maka dari itu well-being pada kelompok ini tergolong rendah. Subjek dalam kelompok ini tidak merasakan hal positif ketika masuk program akselerasi, namun subjek merasa sress. Hal ini menandakan bahwa emosi negatif lebih sering muncul dalam kehidupan sehari-hari subjek, maka dari itu well-being pada kelompok ini rendah. Pada kelompok ini subjek merasa sangat puas apabila mendapatkan prestasi yang sesuai dengn harapan, dapat membahagiakan orang tua dan keluarga, dan tercapainya cita-cita. Kelompok well-being sedang berjumlah 12 orang. Pada kelompok ini diberi nama well-being sedang karena komponen positive affect, negative affect, dan life satisfaction sedang. Subjek dalam kelompok ini tidak merasakan hal positif ketika masuk program akselerasi, namun subjek merasa cemas. Pada kelompok ini 7

subjek merasa sangat puas apabila dapat membahagiakan orang tua dan keluarga, mendapatkan perhatian atau kasih sayang dari orang lain, dan tercapainya citacita. Kelompok well-being tinggi berjumlah 14 orang. Pada kelompok ini komponen positive affect yang tinggi, negative affect yang rendah, dan life satisfaction tinggi, sehingga well-bieng pada kelompok ini tergolong tinggi. Pada kelompok ini subjek merasa bahagia ketika masuk dalam program akselerasi. Hal ini menandakan bahwa emosi positif lebih sering muncul dalam kehidupan sehari-hari subjek. Disisi lain emosi negatif juga muncul sehingga subjek merasa stress ketika masuk program akselerasi. Subjek pada kelompok well-being tinggi merasa sangat puas dengan 6 domain satisfaction yaitu mendapatkan prestasi yang sesuai dengan harapan, dapat membahagiakan orang tua dan keluarga, melakukan kegiatan refreshing, mendapatkan perhatian atau kasih sayang dari orang lain, libur sekolah, dan tercapainya cita-cita. Menurut Eddington dan Shuman (2005), subjective well-being adalah sebuah evaluasi kehidupan seseorang yang terdiri dari evaluasi perkembangan kognitif seperti kepuasan hidup dan evaluasi afektif (mood dan emosi), seperti emosi positif dan negatif. Pada kelompok well-being sangat rendah dan wellbeing rendah menunjukkan emosi negatif lebih sering muncul dibandingkan emosi positif. Hal ini terlihat dari negative affect kedua kelompok lebih rendah dibandingkan positive affect. Pada kedua kelompok tersebut, subjek kurang puas akan kehidupannya. Hal ini terlihat pada domain satisfaction, pada kelompk wellbeing sangat rendah dan well-being rendah merasa sangat puas hanya pada 3 domain saja. Kelompok well-being tinggi memiliki perbedaan dengan kelompok wellbeing sangat rendah dan well-being sangat rendah, dimana subjek dalam kelompok well-being tinggi emosi positif lebih sering muncul ditandai dengan positive affect tinggi sedangkan negative affect rendah. Menurut Hoorn (2007) subjective well-being merupakan sebuah kategori fenomena secara luas yang meliputi respon emosional seseorang, domain satisfaction, dan penilaian secara 8

global dari kepuasan hidup seseorang. Life satisfaction pada kelompok ini tergolong tingggi karena didukung oleh domain satisfaction dimana subjek merasa sangat puas hampir pada semua area kehidupannya, sedangkan pada kelompok well-being sangat rendah dan well-being rendah hanya pada 3 area kehidupannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Myers dan Diener (dalam Eryilmaz, 2011) bahwa apabila seseorang memiliki pengalaman dari kejadian yang menyenangkan, kepuasan hidup, dan hanya beberapa pengalaman yang tidak menyenangkan, individu tersebut memiliki subjective well-being yang tinggi. Perbedaan karakteristik lain yang ada pada tiap kelompok yaitu, pada kelompok well-being sangat rendah subjek masuk program akselerasi atas dasar ingin meraih impian jadi dokter di umur 23 tahun, ingin cepat lulus, ingin masuk kelas akselerasi lagi, ingin menghemat waktu, dan pelajaran kelas biasa terlalu lama. Hal ini sejalan dengan tujuan dari program akselerasi (Hawadi, 2004) yaitu memfasilitasi peserta didik yang berkarakter khusus. Pada kelompok well-being rendah, well-being sedang, dan well-being tinggi subjek masuk program akselerasi karena merasa tertantang. Program akselerasi dibentuk untuk mewadahi individu pada rentang usia berapa saja, tanpa terkecuali remaja. Pada tahap operasional formal (Piaget dalam Santrock, 2003) remaja memiliki karakteristik yaitu memiliki konsep yang ideal terhadap segala hal, memiliki cara berpikir yang abstrack dan logis, dan pikiran menjadi lebih idealistik. Pemikiranpemikiran tersebut yang mendasari subjek pada tiga kelompok ini untuk masuk program akselerasi dengan alasan karena merasa tertantang Perbedaan kondisi well-being pada penelitian ditunjukkan adanya beban tugas atau workload yang harus dilalui. Workload merupakan salah satu faktor dari sisi psikososial yang dapat memengaruhi subjective well-being seseorang (Diener et al, 1997). Pada kelompok well-being sangat rendah dan well-being rendah subjek menghabiskan waktu 6-10 jam dalam satu minggu untuk melakukan kegiatan bimbingan belajar, sedangkan pada kelompok well-being sedang dan well-being tinggi subjek tidak mengikuti bimbingan belajar. Hal ini terlihat pada kelompok well-being sangat rendah dan well-being rendah 9

memiliki beban tugas yang lebih besar yaitu harus mengikuti bimbingan belajar dalam waktu 4 jam dalam satu minggu, sedangkan kelompok well-being sedang dan well-being tinggi tidak ikut bimbingan belajar. Hal tersebut menjadikan kondisi well-being pada kelompok yang harus mengikuti bimbingan belajar lebih rendah dibandingkan kelompok yang tidak mengikuti bimbingan belajar. Tidak hanya dari aktivitas bimbingan belajar, munculnya workload atau beban tugas pada tiap kelompok ditunjukkan dengan pada kelompok well-being sangat rendah subjek menghabiskan waktu 1-10 jam dalam seminggu, sedangkan pada kelompok well-being rendah dan well-being sedang subjek menghabiskan waktu 1-5 jam dalam seminggu untuk mengerjakan tugas sekolah. Pada kelompok well-being tinggi subjek menghabiskan waktu 6-10 jam dalam seminggu untuk mengerjakan tugas sekolah. Pada aktivitas mengerjakan tugas sekolah, jika dibandingkan kelompok well-being sangat rendah harus menghabiskan waktu 9 jam dalam satu minggu, sedangkan pada kelompok pada kelompok well-being rendah, well-being sedang dan well-being tinggi subjek hanya menghabiskan waktu 4 jam. Hal ini yang akhirnya dapat memengaruhi kondisi well-being dari kedua kelompok tersebut. Berbagai beban tugas yang harus dilalui oleh peserta akselerasi dapat memengaruhi aktivitas sosialnya. Menurut Diener et al (1997) aktivitas sosial dapat memengaruhi subjective well-being seseorang. Subjek pada kelompok yang harus mengikuti bimbingan belajar dan mengerjakan tugas sekolah dengan waktu yang lebih lama ini kurang dapat melakukan aktivitas sosial sehingga memiliki kondisi well-being yang rendah. Sebaliknya, subjek pada kelompok yang tidak mengikuti bimbingan belajar dan mengerjakan tugas sekolah dengan waktu yang lebih sedikit ini masih dapat melakukan aktivitas sosialnya, sehingga memiliki kondisi well-being yang lebih baik. Disamping itu, subjek pada penelitian ini adalah remaja. Pada masa remaja aktivitas sosial merupakan hal yang penting (dalam Santrock, 2003), akan tetapi ada beberapa kelompok yang masih kurang dalam melakukan aktivtas sosial. Hal ini sejalan dengan prioritas kegiatan subjek yaitu melakukan kegiatan organisasi (46,1%) yang merupakan bentuk dari aktvitas sosial. 10

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis cluster diperoleh empat kelompok yaitu wellbeing sangat rendah, kelompok well-being rendah, kelompok well-being sedang, dan kelompok well-being tinggi. Kelompok well-being sangat rendah memiliki positive affect rendah, nilai negative affect tinggi, dan nilai life satisfaction rendah. Subjek dalam kelompok ini merasa stress ketika masuk dalam program akselerasi, namun juga merasa bangga. Pada kelompok ini subjek merasa sangat puas pada 3 domain yaitu membahagiakan orang tua dan keluarga, ketika libur sekolah, dan tercapainya cita-cita. Kelompok well-being rendah memiliki positive affect sedang, nilai negative affect tinggi, dan nilai life satisfaction sedang. Subjek dalam kelompok ini tidak merasakan hal positif ketika masuk program akselerasi, namun subjek merasa stress. Pada kelompok ini subjek merasa sangat puas pada 3 domain yaitu mendapatkan prestasi yang sesuai dengn harapan, dapat membahagiakan orang tua dan keluarga, dan tercapainya cita-cita Kelompok well-being sedang memiliki kategori sedang pada komponen positive affect, negative affect, dan life satisfaction. Subjek dalam kelompok ini tidak merasakan hal positif ketika masuk program akselerasi, namun subjek merasa cemas. Pada kelompok ini subjek merasa sangat puas pada 3 domain yaitu dapat membahagiakan orang tua dan keluarga, mendapatkan perhatian atau kasih sayang dari orang lain, dan tercapainya cita-cita. Kelompok well-being tinggi memiliki positive affect tinggi, nilai negative affect rendah, dan nilai life satisfaction tinggi. Pada kelompok ini subjek merasa bahagia, namun merasa stress ketika masuk program akselerasi. Subjek pada kelompok ini merasa sangat puas pada 6 domain yaitu mendapatkan prestasi yang sesuai dengan harapan, dapat membahagiakan orang tua dan keluarga, melakukan kegiatan refreshing, mendapatkan perhatian atau kasih sayang dari orang lain, libur sekolah, dan tercapainya cita-cita Keterbatasan-keterbatasan yang dipaparkan di atas diharapkan dapat diperbaiki pada penelitian selanjutnya. Saran yang bisa diberikan bagi siswa 11

akselerasi yaitu mencoba hal-hal baru yang sesuai dengan minatnya supaya dapat mendalami bakat dan minat masing-masing siswa tanpa harus difasilitasi dari pihak sekolah. Selain itu, diharapkan siswa akselerasi dapat menyeimbangkan kegiatan akademis dan non-akademis sehingga dapat membantu siswa akselerasi untuk mengembangkan diri sesuai minat dan bakat masing-masing. Kepada pihak sekolah yang memiliki program akselerasi disarankan agar menyeimbangkan antara tuntutan sekolah dengan perkembangan siswa akselerasi. Bagi penelitian selanjutnya dharapkan untuk menggali lebih dalam pada aspek-aspek subjective well-being secara spesifik. Selain itu, menggali lebih dalam terkait akselerasi dengan sudut pandang yang berbeda supaya memperkaya pemahaman tentang perkembangan siswa akselerasi. DAFTAR PUSTAKA Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., & Griffin, S. (1985). The Satisfaction with Life Scale. Journal of Personality Assessment, 49, 71-75. Diener, E., Oishi, S., & Suh, E. (1997). Recent findings on Subjective Well Being. Journal of Clinical Psychology. Diener, E., Lucas, R., & Smith. H. (1999). Subejective well-being: Three decades of progress. Psychological Bulletin, Vol. 125, No. 2 Diener, E., Lucas, R., Oishi, S. (2003). Personality, culture, & subjective wellbeing : Emotional & cognitive evaluations of life. The Annual Review of Psychologi, 54:403, 25. Eddington, N. & Shuman, R. (2005). Subjective well-being (happiness). Continuing Psychology Education. Eryilmaz, A. (2010). Turkish adolescents subjective well-being with respect to age, gender, amd SES of parents. International Journal of Human and Social Sciences, Vol. 5, No. 8 Eyilmaz, A. (2011). A model for subjective well-being in adolescence: Need satisfaction and reason for living. Journal Science and Business. Eryilmaz, Ali. (2011). The relationship between adolescents subjective wellbeing and positive expectations towards future. Journal of Psychiatry and Neurological Sciences, Vol. 24, No. 3. 12

Guardiola, J. & Munoz, T. (2008). Subjective well-being and basic needs: evidence from rural. University of Granada, Guatemala. Hawadi, R., Wiharjo, R., Wiyono, M. (2001). Keberbakatan intelektual. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Hawadi, R. (2004). A-Z informasi program percepatan belajar dan anak berbakat intelektual. Jakarta: Gramedia Widiasarana Hoorn, A. (2007). A short introduction to subjective well-being : It s measurement, correlates and policy uses. University of Rome Tor Vergata Joronen, K. (2005). Adolescents subjective well-being in their social contexts. Academic Dissertation University of Tempere, Departement of Nursing Science, Finland. Santrock, J. (2002). Life-span development: perkembangan masa hidup 5 th edition. Jakarta: Penerbit Erlangga Santrock, J. (2003). Remaja 11 th edition. Jakarta : Penerbit Erlangga. Watson, D., Clark, L. A., & Tellegen, A. (1988). Development and validation of brief measures of positive and negative affect: The PANAS scales. Journal of Psychology, 54(6), 1063-1070. Wu, D. & Zhou, T. (2010). Subjective well-being of Sichuan adolescents from han, qiang, and yi nationalities. Journal of Chinese Public Health, Vol. 2, No. 10 13