BAB VIII PENUTUP Bab Penutup ini berisi tiga hal yaitu Temuan Penelitian, Simpulan, dan Saran. Tiap-tiap bagian diuraikan sebagai berikut. 8.1 Temuan Penelitian Penelitian tentang relasi kuasa dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua, di Kabupaten Badung, Bali, dengan penggunaan secara eklektik teori hegemoni, diskursus kuasa/pengetahuan dan tindakan komunikatif, menghasilkan temuan sebagai berikut. Pertama, bentuk relasi kuasa antara ketiga pilar dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua ditandai pergeseran dari relasi kuasa hegemonik, ke relasi kuasa negosiasi, dan relasi kuasa oposisional/perlawanan atau dapat disebut pula dengan kontra hegemonik. Pergeseran ini terjadi sejak akhir 1990-an atau awal 2000-an dan dipengaruhi oleh perubahan sistem pemerintahan dan politik di Indonesia dari sistem sentralistik dan semi-otoriter ke sistem desentralistik dan demokratis yang terjadi akibat gerakan reformasi akhir tahun 1998. Pada era Orde Baru yang sentralistik, pembangunan bersifat top down, dan masyarakat sebagai target pembangunan dalam posisi lemah, tidak kuasa menolak, hanya bisa menerima atau pasrah. Itulah yang terjadi dalam proses pembebasan tanah, pembangunan, dan pengelolaan resor wisata Nusa Dua pada dekade-dekade awal, tahun 1970-an 213
214 dan 1980-an. Kekecewaan publik bukannya tidak ada tetapi tidak mendapat penyaluran karena media massa juga tidak banyak membantu. Sesudah era reformasi, sistem pemerintahan dan politik bersifat desentralisasi dan demokratis, masyarakat memperoleh keberanian untuk menyampaikan aspirasinya. Masyarakat lokal di Nusa Dua dan komunitaskomunitas menyampaikan aspirasinya, melakukan negosiasi, bahkan memprotes BTDC dan investor karena kepentingan mereka dihalangi secara tidak adil. Temuan ini menunjukkan bahwa relasi kuasa antara ketiga pilar dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua berkait erat dengan kondisi makro sosial politik nasional. Kedua, selain perubahan sosial dan politik makro nasional, relasi kuasa ketiga pilar juga dipengaruhi oleh ideologi pariwisata global, ideologi pariwisata hijau, dan ideologi pariwisata budaya berbasis kearifan lokal Bali. Ideologi pariwisata global tidak saja berhubungan dengan manajemen hospitality yang bermutu tetapi juga mengutamakan keamanan yaitu safety and security. Teknologi memainkan peranan penting dalam usaha menjaga keamanan seperti sistem pengawasan dengan CCTV ( close circuit television). Ideologi pariwisata hijau tampak dari mekanisme pengelolaan resor yang mengutamakan ruang terbuka hijau, pengelolaan limbah, dan hemat energi merupakan hal yang dipraktikkan di Nusa Dua sejak awal dan ditingkatkan terus. Akreditasi Green Globe dan kemudian Earth Check adalah bukti bahwa resor wisata Nusa Dua konsisten menerapkan ideologi Green Tourism. Hal ini sejalan dengan ideologi pariwisata budaya berbasis kearifan lokal Bali yang dibangun dengan dasar Tri Hita Karana.
215 Selaku badan pengelola, BTDC, dan beberapa hotel di kawasan telah lolos akreditasi THK Award bahkan level tertinggi diamond. Ketiga ideologi ini disambut baik oleh ketiga pilar bukan saja karena berkaitan langsung dengan usaha untuk meningkatkan citra dan kualitas resor wisata dalam konteks promosi dan pemasaran tetapi juga mengakomodasi berbagai kepentingan bersama termasuk kelestarian lingkungan, keamanan, dan nilai-nilai kebudayaan lokal Bali. Ketiga, pemerintah (BTDC), investor, dan masyarakat menunjukkan perbedaan dalam memberikan pemaknaan terhadap keberadaan dan pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua. Pilar pemerintah atau BTDC melihat resor wisata Nusa Dua sebagai fasilitas wisata untuk menyediakan sarana akomodasi, meeting, menggali devisa untuk negara, membuka lapangan kerja, dan mensejahterakan masyarakat. Bagi investor yang menanamkan uang dan profesionalismenya dalam usaha akomodasi dan hospitality memaknai kehadiran Resor Wisata Nusa Dua untuk berkontribusi dalam membangun industri pariwisata Indonesia dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan ingin memperoleh keuntungan (profit). Bagi masyarakat, Resor Wisata Nusa Dua secara langsung maupun tidak langsung memberikan kesempatan kerja, meningkatnya peluang berusaha baik secara langsung di usaha akomodasi maupun usaha pariwisata terkait lainnya. Ketiga pilar berkepentingan agar kepentingan mereka dapat terpenuhi dan relasi kuasa negosiasi dan bahkan protes akan muncul dari proses pemaknaan yang dirasakan tidak adil oleh salah satu pihak.
216 8.2 Simpulan Berdasarkan analisis atas relasi kuasa antara ketiga pilar (pemerintah/btdc, pengusaha dan masyarakat) yang hadir sebagai pengampu kepentingan dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua, dan sebagai jawaban atas rumusan masalah dalam Bab I, dengan ini dapat disimpulkan tiga hal berikut. Pertama, bentuk relasi kuasa dalam pengelolaan resor wista Nusa Dua, tercermin dalam tiga bentuk yaitu, bentuk relasi kuasa hegemonik, bentuk relasi kuasa negosiasi dan bentuk relasi kuasa oposisional. Sejak pascareformasi terjadi pergeseran bentuk relasi kuasa dari hegemonik ke negosiasi, dan akhirnya relasi kuasa oposisional. Perubahan ini terjadi akibat adanya perubahan sistem sosial dan politik di Indonesia. Bentuk relasi kuasa ini tidak bersifat mutlak, artinya tidak ada hegemoni penuh, begitu juga tidak ada relasi kuasa oposisional yang total. Dalam masa proses pembebasan lahan dan masa awal pembangunan dan pengelolaan hotel di resor wisata Nusa Dua, masyarakat secara umum tampak tunduk, tetapi di dalam hati mereka banyak yang kecewa dan harus menerima intimidasi bila menyampaikan gelagat menolak atau tidak setuju akan proyek pemerintah. Begitu juga halnya pada era relasi kuasa oposisional dewasa ini bahwa tidak ada sedikit pun keinginan masyarakat untuk serba menolak gagasan pembangunan, pengelolaan, atau penataan resor wisata Nusa Dua. Masyarakat hanya melakukan protes, demo, dan tindakan oposisional terhadap hal-hal yang merugikan sedangkan pada hal-hal yang lain seperti penciptaan pariwisata hijau, aplikasi ajaran Tri Hita Karana, masyarakat mendukung. Mereka mendukung agar Nusa Dua tetap menjadi kawasan wisata mewah secara berkelanjutan.
217 Kedua, relasi kuasa antara BTDC, investor, dan masyarakat dipengaruhi oleh tiga ideologi yaitu ideologi pariwisata global, ideologi pariwisata hijau, dan ideologi pariwisata budaya berbasis nilai lokal. Pengaruh ideologi pariwisata global terhadap Resor Wisata Nusa Dua bisa dilihat pada tuntutan universal pentingnya keamanan dalam pengelolaan pariwisata. Di seluruh dunia, resor wisata baik yang terbuka, tertutup, baik di sebuah daya tarik wisata maupun di sebuah theme park, keselamatan dan keamanan ( safety and security) merupakan hal yang utama. Dalam ideologi pariwisata global yang berurusan dengan keamanan relasi kuasa berjalan secara kolaboratif. Sejalan dengan ideologi pariwisata global, ketiga pilar juga memiliki kepentingan yang sama dalam menerima ideologi pariwisata hijau atau green tourism dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua. Menjadikan Nusa Dua sebagai kawasan terpadu yang hijau dan indah adalah kepentingan semua pilar. Pihak BTDC dan hotel sudah menunjukkan dalam cara mereka menata taman dan mengelola limbah hotel, sedangkan masyarakat mendukung melalui penjagaan lingkungan di wilayah masing-masing. Dalam kepentingan kebersihan dan menjaga kehijauan resor, relasi antara ketiga pilar juga berjalan secara kolaboratif, hanya saja beban dan tanggung jawab atas sumber daya lebih berada pada dua pilar utama yaiatu BTDC dan pengelola hotel. Kalau kemudian BTDC tampak lebih dominan dalam hal itu, itu terjadi karena kelebihan mereka dalam memberikan kontribusi pada pembiayaan. Pengaruh ideologi pariwisata budaya dan kearifan lokal juga merupakan kepentingan bersama karena menjadi ciri yang harus dipertahankan ketiga pilar
218 untuk mencapai cita-cita awal pembangunan Resor Wisata Nusa Dua sebagai kawasan pariwisata terpadu yang tidak saja melestarikan keindahan alam tetapi juga kekayaan budaya dan tradisi. Keistimewaan Bali sebagai destinasi wisata adalah karakter budaya dan tradisi yang khas yang menjadi daya tarik sekaligus yang menjadi target prioritas untuk dilestarikan. Pihak BTDC mengambil inisiatif untuk menggelar Festival Nusa Dua sejak tahun 1993 dengan mengajak hotel berpartisipasi dan mengundang masyarakat lokal dan luar Bali untuk mempromosikan seni budaya Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya. Perlu juga dicatat komitmen BTDC dan beberapa hotel di resor tersebut untuk menerima kehadiran sistem akreditasi untuk penghargaan Tri Hita Karana Award yang berbasis kearifan lokal. Selama ini, akreditasi terhadap jasa pariwisata dilakukan lembaga sertifikasi internasional yang datang dari luar, oleh karena itu perhatian pada ideologi pariwisata budaya dan kearifan lokal merupakan hal yang menarik. Dalam beberapa tahun belakangan ini, sistem akreditasi THK Awards ini menghadapi keterpecahan lembaga, syukurnya akreditasi untuk penghargaan ini masih tetap jalan oleh dua lembaga berbeda dari orang-orang yang dulunya berada dalam satu payung. Ketiga, dalam memberikan makna terhadap relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata Nusa Dua, tiap-tiap pilar memiliki strategi yang berbedabeda dan itu ditentukan oleh posisi dan kepentingan masing-masing. Dalam pemaknaan ini antara BTDC dan pengusaha hotel ada kepentingan yang hampir sama yaitu menjalankan usaha untuk mendapatkan profit tinggi tetapi bisa berusaha secara berkelanjutan, namun dalam praktiknya mereka juga sering
219 terperangkap dalam miskomunikasi yang membuat pemaknaan relasi kuasa mereka berbeda. Hal yang sama juga terjadi antara masyarakat dengan kedua pilar lainnya. Dalam hal ini, masyarakat tidak bisa digeneralisasi sebagai satu kelompok karena di dalamnya terdapat kelompok, asosiasi, persatuan, dan tokoh yang sering dianggap berbicara atas nama komunitas, yang semuanya memiliki cara yang berbeda-beda memaknai relasi kuasa dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua. Misalnya, pihak hotel sudah berusaha memenuhi perjanjian untuk menerima tenaga kerja dari masyarakat dalam jumlah tertentu, dan masyarakat merasa keinginan itu sudah terpenuhi, namun kalau kelompok taksi merasa mereka dipinggirkan dari hak menikmati keuntungan ekonomi pariwisata, mereka melakukan demonstrasi, menduduki halaman hotel. Ini adalah bentuk pemaknaan yang beragam dari lapisan masyarakat. Perbedaan pemaknaan yang berbeda ini akan terus terjadi secara dinamis dan akan menjadi bagian dari perjalanan pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua. 8.3 Saran Berdasarkan analisis, temuan, dan simpulan di atas, dapat disarankan dua jenis saran yaitu pertama, saran yang berkaitan dengan objek penelitian relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata; dan kedua, saran yang berkaitan dengan penelitian ke depan. Pertama, derasnya perkembangan pariwisata sehingga menyebabkan tingginya minat investor untuk berinvestasi di Bali khususnya Nusa Dua, maka disarankan kepada BTDC yang menjadi pengelola Resor Wisata Nusa Dua agar;
220 1. Wacana dan implementasi gagasan pariwisata hijau agar dijalankan dengan komitmen yang lebih luas, artinya tidak saja bersifat dari oleh dan untuk BTDC dan resor tetapi juga sampai pada tingkat penanaman kesadaran akan lingkungan hijau pada masyarakat sekitar resor dan masyarakat Bali secara umum. Wilayah di luar BTDC juga perlu ditata secara bersama dengan masyarakat sehingga keindahan Nusa Dua bersifat menyeluruh karena hal itu akan memperkuat citra kelas mewah Resor Wisata Nusa Dua. 2. BTDC perlu menjaga relasi kuasa yang dinamis dan harmonis sehingga keamanan dan kenyamanan wisatawan berlibur di BTDC bisa dijaga. Kondisi ini akan memberikan keuntungan bisnis kepada BTDC dan hotelhotel yang beroperasi di resor tersebut. Sebagai pengelola, BTDC agar memperhatikan keadaan masyarakat sekitar, dan diharapkan melakukan ganti rugi kepada masyarakat yang belum mendapatkan ganti rugi atas tanah yang dibebaskan untuk Resor Wisata Nusa Dua, sehingga tidak terjadi perselisihan antara BTDC sebagai pengelola resor wisata Nusa Dua dengan masyarakat yang menuntut kompensasi hingga sekarang. 3. Demikian juga halnya dengan hotel hendaknya dapat membuka lebih banyak lowongan pekerjaan untuk masyarakat sekitar Nusa Dua agar mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Jangan hanya mengutamakan pekerja luar yang memiliki kemampuan yang lebih sehingga masyarakat sekitar terlupakan.
221 Kedua, untuk agenda penelitian ke depan, perlu dikaji bagaimana relasi kuasa antara pilar-pilar di kawasan pariwisata dan resor wisata lainnya di Indonesia. Penelitian seperti itu akan memberikan manfaat praktis untuk mewujudkan pengelolaan kawasan wisata yang dapat menguntungkan semua pengampu kepentingan dan mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan.