2016 DESAIN DIDAKTIS KONSEP PECAHAN UNTUK KELAS III SEKOLAH DASAR

dokumen-dokumen yang mirip
DESAIN DIDAKTIS KONSEP PECAHAN UNTUK KELAS III SEKOLAH DASAR Oleh: Wina Romdhani 1, Didi Suryadi 2 Universitas Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

2015 D ESAIN D IDAKTIS UNTUK MENGEMBANGKAN KOMPETENSI SISWA TERHAD AP KONSEP SUD UT PAD A BANGUN RUANG BERD ASARKAN LEARNING TRAJECTORY

DESAIN DIDAKTIS KONSEP VOLUME LIMAS PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMP BERDASARKAN LEARNING TRAJECTORY

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2015 DESAIN DIDAKTIS PERSAMAAN KUADRAT UNTUK SISWA SMP KELAS VIII

A. LATAR BELAKANG MASALAH

P 45 DESAIN DIDAKTIS PENGENALAN KONSEP PECAHAN SEDERHANA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR

2015 PENGEMBANGAN BAHAN AJAR UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP SISWA KELAS II D I SD N HARAPAN 1 BAND UNG

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PEMBELAJARAN MATEMATIKA di SD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan dari hasil penelitian ini diantaranya adalah : siswa dan terkait variasi informasi yang ada pada soal.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tri Aprianti Fauzia, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2015 DESAIN DIDAKTIS UNTUK MENGATASI LEARNING OBSTACLE TOPIK PERSAMAAN LINEAR SATU VARIABEL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maulana Malik Ibrohim, 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Analisis menurut Komaruddin (1979) adalah kegiatan berpikir untuk

BAB III METODE PENELITIAN A.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Nora Madonna, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang paling sulit (Mulyono, 1999:25). Meskipun demikian, semua orang

DESAIN DIDAKTIS KONSEP LUAS DAERAH LAYANG-LAYANG PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA KELAS V SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari seperti mengenal garis, bangun datar dan bangun ruang. Geometri

2015 DESAIN DIDAKTIS KONSEP ASAS BLACK DAN PERPINDAHAN KALOR BERDASARKAN HAMBATAN BELAJAR SISWA PADA TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS KELAS X

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tia Agnesa, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pergeseran pandangan terhadap matematika akhir-akhir ini sudah hampir

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan matematika sebagai pelajaran yang sulit bukanlah hal baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arif Abdul Haqq, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Intan Cahyaningrum, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

Tita Mulyati. Abstrak elajar menuntut peran serta semua pihak. Pengetahuan bukan sesuatu yang diserap

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

DAFTAR ISI. ABSTRAK... ii. KATA PENGANTAR... iv. UCAPAN TERIMA KASIH... v. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR TABEL... viii. DAFTAR GAMBAR...

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses perubahan tingkah laku dan kemampuan seseorang menuju ke arah yang lebih baik

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Akan tetapi, matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ine Riani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia yang berbekal akal tidak dapat sepenuhnya menggunakan akal. Memerlukan proses yang panjang agar

I. PENDAHULUAN. didiknya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan berusaha secara terus menerus dan

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA SEKOLAH DASAR

Pernyataan ini juga di ungkapkan oleh Bambang R (dalam Rbaryans, 2007) yang menyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

DESKRIPSI KEMAMPUAN GEOMETRI SISWA SMP BERDASARKAN TEORI VAN HIELE

BAB III METODE PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dhias Mei Artanti, 2013

DESAIN DIDAKTIS BANGUN RUANG SISI DATAR UNTUK MENINGKATKAN LEVEL BERPIKIR GEOMETRI SISWA SMP

ANALISIS KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL MATEMATIKA MATERI OPERASI PECAHAN BENTUK ALJABAR KELAS VIII SMP NEGERI 2 MALANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat, arus globalisasi semakin hebat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2003 (Depdiknas, 2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Saputro (2012), soal matematika adalah soal yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Awinda, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ejen Jenal Mustaqin, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi salah satu fokus dalam penyelenggaraan negara. Menurut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soedjadi (dalam Heruman 1 ), hakikat Matematika adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tujuan pembelajaran matematika di jenjang Pendidikan Dasar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Learning Obstacle pada Konsep Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu aspek penting bagi kehidupan. Auliya

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses belajar sehingga mereka dapat mencapai tujuan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1, ayat (1) 31, ayat (1). 1 Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional,

2014 PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE KUIS TIM UNTUK ENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS DAN SELF-CONFIDENCE SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, menjadi salah satu ilmu yang diperlukan pada saat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

2015 D ESAIN D IDAKTIS PAD A MATERI HID ROLISIS GARAM BERD ASARKAN KESULITAN BELAJAR SISWA SMA D AN REFLEKSI D IRI GURU MELALUI LESSON ANALYSIS

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metaphorical Thinking. (repository.upi.edu, 2013), 3.

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL Jozua Sabandar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Vika Aprianti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

2015 PERBANDINGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS ANTARA SISWA YANG MENDAPATKAN MODEL DISCOVERY LEARNING DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING

Transkripsi:

A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sebagian besar siswa sekolah dasar menganggap pelajaran matematika sebagai pelajaran yang paling sulit. Anggapan tersebut mengakibatkan siswa tidak menyukai mata pelajaran matematika yang bagi mereka tidak lebih dari pembelajaran tentang perhitungan yang melibatkan angka-angka yang membuat pusing dan bosan. Pandangan siswa terhadap matematika tersebut tampaknya didasari oleh pola-pola pembelajaran matematika yang selama ini dilakukan oleh sebagian besar guru (Sumiati & Asra, 2012). Guru sering memandang matematika dari sudut pandang mereka, materi matematika sekolah dasar tentunya bukan merupakan persoalan yang sulit bagi seorang guru. Akan tetapi guru sering lupa, bahwa cara pandang dan cara pikir siswa SD terhadap matematika tidak sama dengan cara orang dewasa memahami matematika (Izsak, 2008). Guru matematika tidak cukup hanya menguasai pengetahuan matematika, tetapi juga harus memiliki pemahaman pedagogis bagi setiap konten matematika yang diajarkan (Turnuklu & Yesildere, 2007; Mirirai, 2012). Siswa sekolah dasar berada pada kisaran usia 7-12 tahun, menurut Piaget (Santrock, 2012; Heruman, 2007), rentang usia tersebut berada dalam tahapan perkembangan operasi konkrit yang ditandai dengan kemampuan dalam berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika tetapi masih terikat dengan objek yang bersifat konkrit. Siswa SD belum mampu untuk berpikir abstrak (Adji & Maulana, 2009). Di sisi lain, matematika merupakan ilmu tentang konsepkonsep yang abstrak. Sebagaimana pandangan para ahli yang salah satunya diungkapkan oleh Reys et al (2012, hal. 3) yang mengemukakan bahwa.mathematics is a study of paterns and relationships; a way of thinking; an art; a language that uses carefully defined terms and symbols; mathematic is a tool. Berdasarkan kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya matematika memiliki objek tujuan yang abstrak, bahasa simbol dan istilah yang bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif. Tampaklah bahwa ada 1

2 perbedaan mendasar antara karakteristik berpikir siswa dengan hakikat matematika. Perbedaan sebagaimana dimaksud di atas mengharuskan seorang guru untuk menjembatani antara cara berpikir siswa yang konkrit dan hakikat matematika yang abstrak (Castro, 2008; Fuentes, 2011). Proses pembelajaran pada tahapan usia ini dapat dimulai dari hal-hal yang konkrit, semi konkrit, semi abstrak hingga menuju ke konsep-konsep yang abstrak. Selain bersifat abstrak, konsep-konsep dalam matematika saling terkait antara satu dengan yang lainnya, sehingga pemahaman akan suatu konsep kerapkali menjadi prasyarat bagi siswa untuk dapat memahami konsep berikutnya yang lebih kompleks. Kekurangpahaman siswa terhadap materi prasyarat tersebut memungkinkan siswa mengalami hambatan belajar (learning obstacle) dalam mempelajari konsep matematika berikutnya. Matematika pada dasarnya juga merupakan ilmu terstruktur tentang pola yang memiliki keterkaitan yang konsisten dan logis. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang kuat bagi guru tentang konsep-konsep matematika yang akan ia ajarkan, urutan penyampaiannya juga cara penyampaiannya agar mudah dipahami oleh siswa (Ruseffendi dalam Maulana, 2009). Pecahan merupakan salah satu konsep matematika yang mulai diperkenalkan di kelas III sekolah dasar. Van De Walle (2007, hlm. 35) mengemukakan bahwa pecahan selalu menjadi tantangan yang cukup berat bagi siswa, bahkan hingga tingkat sekolah menengah. Hal ini terbukti dari hasil tes PISA yang secara konsisten menunjukkan bahwa para siswa memiliki pemahaman yang sangat lemah terhadap konsep pecahan, di samping konsep-konsep matematika lainnya (Istiandaru, 2014; Stacey, 2011). Konsep pecahan dianggap sulit karena memerlukan pemahaman tentang bagaimana bagian tertentu dibandingkan dengan keseluruhan dan menyatakannya dalam simbol-simbol yang khusus. Bahkan konsep pecahan dianggap sebagai konsep yang difficult-to-learn dan difficult-to-teach sehingga menciptakan tantangan pedagogis berkelanjutan di kalangan komunitas pendidikan matematika (Bruce et al, 2013; Charalambous, 2005).

3 Berdasarkan studi awal yang dilakukan terhadap siswa kelas IV SD yang telah belajar tentang konsep pecahan, diketahui bahwa tingkat pemahaman siswa masih terbilang rendah. Tes yang diberikan pada studi awal terdiri dari soal yang tersusun atas 7 tipe soal yakni, soal tipe 1) membaca dan menuliskan lambang pecahan, tipe 2) menentukan nilai pecahan berdasarkan gambar bangun geometri, tipe 3) mewarnai bidang geometri berdasarkan nilai pecahan tertentu, tipe 4) membagi dan mewarnai gambar sesuai nilai pecahan yang ditentukan, tipe 5) membandingkan pecahan dengan membubuhkan tanda <, > atau =, tipe 6) dan tipe 7) soal aplikasi yang berhubungan dengan konsep pecahan sederhana. Dari ketujuh tipe soal itu, diketahui bahwa sebagian besar siswa masih mengalami kesalahan terutama pada soal tipe 4, 5, 6 dan 7. Bahkan pada saat studi awal tersebut, beberapa siswa menanyakan tentang pecahan setengah yang harus ditentukan lambang pecahannya (soal tipe 1), sebagian besar siswa yang mengalami kesalahan juga mengaku telah lupa dengan konsep pecahan tersebut sekalipun telah mempelajarinya di kelas III. Dari gambaran hasil studi awal tersebut dapat disimpulkan bahwa secara didaktis siswa belum memahami betul konsep pecahan. Ada indikasi siswa mengalami hambatan belajar karena faktor yang berasal dari pengetahuan siswa sendiri yaitu kurangnya kemampuan siswa dalam memahami konsep dasar pecahan serta kurangnya kemampuan siswa untuk mengaitkan konsep dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Adapun secara pedagogis, ada indikasi bahwa proses pembelajaran konsep pecahan yang dialami siswa kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi konsep melalui kegiatan learning by doing. Berdasarkan pertanyaan yang muncul dari siswa saat studi awal, ada kemungkinan pembelajaran tentang pecahan yang siswa alami kurang mengaitkan konsep pecahan dengan apa yang sudah diketahui siswa sebelumnya. Dalam pengalaman kehidupan sehari-hari sebenarnya siswa sering bersentuhan dengan masalah yang melibatkan pecahan. Sebagai contoh, ketika ibu membagi satu buah kue untuk ketiga anaknya sama besar, maka setiap anak akan mendapatkan sepertiga bagian kue tersebut. Hanya saja bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari siswa tidak seperti bahasa simbol formal matematika,

4 misalnya seperti bahasa sepotong, separuh dan setengah. Pembelajaran hendaknya dimulai dari hal yang sudah diketahui siswa dalam konteks kehidupan nyata agar proses pembelajaran yang terjadi bermakna dan konsep yang dipelajari lebih mudah dan lebih lama tertanam dalam struktur pemahaman siswa (Fazio& Siegler, 2011; Bruce & Ross, 2009). Demikian halnya dalam mengenalkan konsep pecahan, guru berupaya untuk mengelaborasinya secara optimal dengan pengetahuan awal siswa. Beberapa penelitian terdahulu juga banyak mengungkap tentang masalah kesulitan belajar siswa dalam mempelajari konsep pecahan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Pitta-Pantazi (2004) yang didasari oleh adanya kesulitan siswa untuk melakukan abstraksi dalam konsep pecahan. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa siswa memiliki representasi mental yang berbeda dalam mempelajari aritmetika termasuk pecahan, hal ini tergantung pada pengalaman dan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya. Banyak siswa yang tidak bisa mengubah masalah nyata ke dalam konsep matematika yang sesuai, hal ini menunjukkan ketidakmampuan siswa dalam membentuk representasi mental yang menghubungkan masalah nyata dengan ekspresi matematika yang tepat (Hart, 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Haser & Ubuz (2003) yang mengungkapkan tentang tujuh tipe kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah sehari-hari yang berkaitan dengan pecahan di antaranya karena kekurangpahaman siswa terhadap konsep bagian dan keseluruhan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Suryana, dkk (2012) dengan desain didaktis pembelajaran pecahan yang berawal dari adanya hambatan belajar yang dialami siswa dalam pengenalan konsep pecahan sederhana. Brown & Quinn (2007) merekomendasikan bahwa dalam pembelajaran pecahan pada tingkat awal (kelas III atau IV) tugas-tugas informal dalam konsep pecahan harus diperhatikan dari pada untuk membangun pemahaman melalui pengalaman natural seperti membagi adil atau situasi yang melibatkan uang. Pemahaman yang mendalam mengenai konsep pecahan penting bagi siswa, hal ini dikarenakan masalah pecahan banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari yang memerlukan pemecahan secara realistis dan logis. Baruto (2004) mengemukakan bahwa Understanding fractions requires comprehension and

5 coordination of several powerful mathematical processes (e.g., unitising, reunitising, and multiplicative relationships). Pemahaman tentang pecahan penting bagi siswa sebagai prasyarat dipahaminya konsep matematika lanjut baik pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun dalam konteks masalah seharihari (Siegler, 2013). Sebagaimana hasil penelitian yang menemukan adanya pemahaman yang lebih baik pada materi aljabar pada siswa yang memahami setiap tingkatan dalam konsep pecahan (Brown & Quinn, 2007).Untuk dapat mencapai hal itu maka diperlukan pondasi pemahaman yang kuat pada saat pengenalan konsep dasar pecahan (Idris & Narayanan, 2011). Demikian pentingnya pemahaman yang baik terhadap konsep pecahan, mendorong para pemerhati pendidikan khususnya guru sebagai ujung tombak pembelajaran untuk meneliti mengenai cara paling efektif untuk membelajarkan siswa agar memahami pecahan. Penelitian yang dimaksud terkait dengan upaya mencari berbagai alur belajar siswa dalam memahami pecahan, kesulitan atau hambatan belajar yang dialami siswa dalam konsep pecahan serta sejauh mana dampak penguasaan konsep pecahan siswa terhadap kompetensi mereka dalam memahami matematika lanjut. Hal ini sejalan dengan tuntutan perubahan pemahaman tentang bagaimana siswa belajar matematika yang menuntut guru untuk lebih memahami bahwa belajar bukan hanya sebagai proses transfer pengetahuan namun harus diupayakan dengan memperhatikan pengetahuan yang telah dimiliki siswa (prior knowledge), mengasimilasi informasi baru dan membangun pemahaman sendiri. Seorang guru yang baik memahami syarat cukup dan syarat perlu bagi pembelajaran matematika. Syarat cukup terkait dengan pemahaman yang optimal terhadap setiap konsep matematika yang harus ia ajarkan. Sedangkan syarat perlu berarti guru memahami bagaimana cara mengajarkan konsep matematika tersebut sehingga dapat dipahami oleh siswa secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada (Rayner, 2009). Guru hendaknya memahami bahwa mengajar bukanlah suatu perbuatan natural sehingga memerlukan perencanaaan yang matang (designed learning) (Ball & Forzani, 2009; Sukirman & Jumhana, 2007).

6 Proses pembelajaran matematika juga hendaknya lebih ditekankan kepada mengajarkan pemahaman konseptual dan bukan mengajarkan pengetahuan prosedural semata. Dengan pemahaman konseptual, siswa belajar untuk memahami matematika dengan kemampuan menginterpretasikan dan menerapkan konsep pada berbagai situasi. Sedangkan dengan pengetahuan prosedural, siswa hanya belajar untuk memecahkan masalah menggunakan manipulasi keahlian matematika seperti prosedur, prinsip, rumus, algoritma dan simbol matematika (Lin: 2009). Dengan demikian, penting bagi guru memahami bagaimana merencanakan, menyusun bahan ajar, mempersiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, merancang aktivitas pembelajaran yang mengoptimalkan keterlibatan siswa, mengantisipasi tindakan didaktis pedagogis atas respon siswa dalam belajar yang semuanya dikembangkan dengan memperhatikan bagaimana siswa belajar matematika (learning trajectory) serta kesulitan yang dialami dalam pembelajaran matematika (learning obstacle). Pentingnya kemampuan guru dalam mendiagnosa learning obstacle serta pemahaman seorang guru tentang learning trajectory siswa dalam konsep pecahan, menarik minat penulis untuk lebih jauh mengidentifikasi berbagai kesulitan atau hambatan belajar yang dialami siswa dalam konsep pecahan. Penulis juga ingin merumuskan rancangan aktivitas pembelajaran (desain didaktis) untuk mengatasi kesulitan yang terjadi dan dugaan tentang cara berpikir siswa dalam memahami konsep pecahan. Untuk itu, penulis merancang suatu prosedur penelitian yang diharapkan dapat menambah informasi tentang learning obstacle yang dialami siswa dalam memahami konsep pecahan, memperkaya alternatif desain didaktis yang dapat dikembangkan sesuai dengan alur berpikir siswa serta mengatasi kesulitan yang dialami siswa dalam pembelajaran konsep pecahan. B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana fenomena learning obstacle konsep pecahan pada siswa kelas IV sekolah dasar?

7 2) Bagaimana desain didaktis awal yang dikembangkan pada pembelajaran konsep pecahan berdasarkan fenomena learning obstacle yang terjadi? 3) Bagaimana hasil implementasi desain didaktis konsep pecahan itu dalam pembelajaran konsep pecahan di kelas III sekolah dasar? 4) Bagaimana rancangan desain didaktis alternatif yang dikembangkan pada pembelajaran konsep pecahan berdasarkan analisis hasil implementasi desain didaktis yang telah dilakukan? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) Memaparkan fenomena learning obstacle konsep pecahan pada siswa sekolah dasar yang pernah belajar tentang konsep pecahan. 2) Menjelaskan desain didaktis yang dapat dikembangkan pada pembelajaran konsep pecahan berdasarkan learning obstacle yang terjadi. 3) Menjelaskan proses dan hasil implementasi desain didaktis konsep pecahan tersebut ditinjau dari perspektif situasi didaktis, learning trajectory, learning obstacle dan kontrak didaktis. 4) Menjelaskan desain didaktis alternatif yang dapat dikembangkan pada pembelajaran konsep pecahan berdasarkan analisis hasil implementasi desain didaktis yang telah dilakukan. D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa: 1. Manfaat Praktis 1) Bagi Sekolah, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi sekolah dalam mengembangkan kurikulum terutama terkait dengan pengembangan aktifitas pembelajaran matematika yang sesuai dengan learning trajectory dan learning obstacle yang dialami siswa. 2) Bagi guru, sebagai pertimbangan dalam merancang proses perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran tentang konsep pecahan terutama di kelas III sekolah dasar.

8 3) Bagi siswa, terciptanya proses pembelajaran yang dapat mendiagnosa kesulitan belajar yang mungkin dialami siswa dalam pembelajaran konsep pecahan serta memberikan alternatif desain pembelajaran yang sesuai dengan cara siswa belajar matematika. 2. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi proses pembelajaran matematika. Hasil penelitian berupa data empiris yang memperkuat pandangan tentang learning obstacle dan learning trajectory dalam pembelajaran konsep pecahan sebagai suatu hal yang penting untuk diperhatikan oleh guru dalam merancang aktifitas pembelajaran matematika serta mendukung teori bahwa dalam belajar matematika setiap siswa memiliki cara sendiri dalam memahami konsep-konsep matematika sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. E. Struktur Organisasi Tesis Tesis ini terdiri dari lima bab. Setiap bab terdiri dari beberapa bagian bab. Rincian struktur organisasi tesis ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, terdiri dari bagian bab latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi tesis. Bab II Kajian Pustaka, terdiri dari bagian bab yang memaparkan tentang konsep pecahan dalam matematika sekolah dasar, hakikat pembelajaran matematika di sekolah dasar, teori-teori belajar matematika, teori situasi didaktis dan kajian hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Bab III Metode Penelitian, terdiri dari bagian bab yang memaparkan tentang desain penelitian, partisipan dan tempat penelitian, pengumpulan data, analisis data dan isu etik yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, terdiri dari bagian bab yang mendeskripsikan tentang hasil analisis learning obstacle siswa pada konsep pecahan, desain didaktis awal (Prospective Analysis) lesson design 1 sampai 4, deskripsi hasil analisis implementasi desain didaktis dari lesson design 1 sampai 4, dan deskripsi desain didaktis revisi 1 sampai 4.

9 Bab V Simpulan, Implikasi dan Rekomendasi, terdiri dari bagian bab simpulan yang memaparkan intisari hasil penelitian serta bagian bab implikasi dan rekomendasi yang menjelaskan implikasi dan rekomendasi hasil penelitain terhadap pihak-pihak terkait serta bagi penelitian lanjut.