BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI memberi semua energi dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya. Pemberian ASI eksklusif mengurangi tingkat kematian bayi yang disebabkan berbagai penyakit yang umum menimpa anak-anak seperti diare dan radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit dan membantu menjarangkan kelahiran (Linkages, 2009). Edmond K, dkk (2006) bahwa 16% kematian bayi baru lahir dapat dicegah apabila bayi segera diberi ASI eksklusif sejak hari pertama kelahirannya dan 22% kematian bayi baru lahir dapat dicegah apabila bayi diberi kesempatan menyusu dalam 1 jam pertama setelah kelahirannya. Menyusui dalam 1 jam pertama dapat menyelamatkan 22% bayi, dan menyusui pada hari pertama menyelamatkan 16% bayi (Roesli, 2008). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang dan perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Semakin baik pengetahuan ibu post partum tentang manfaat ASI Eksklusif untuk pertumbuhan dan perkembangan
anak akan membantu ibu dalam memberikan ASI sedini mungkin (Dianartiana, 2011). Keberhasilan pemberian ASI eksklusif akan tercapai apabila ada dukungan antara penerima pelayanan kesehatan yaitu masyarakat dan pemberi pelayanan kesehatan yaitu tenaga kesehatan terutama bidan. Bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan wajib melaksanakan ASI eksklusif. Berdasarkan Permenkes 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan, bidan dalam menjalankan praktiknya berwenang untuk memberikan pelayanan ibu menyusui dengan memfasilitasi/memberi bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif (Widiastuti, 2013). Persiapan menyusui pada masa kehamilan dan nifas merupakan hal yang penting, sebab dengan persiapan yang lebih baik, maka ibu lebih siap untuk menyusui bayinya. Oleh karena itu di Rumah Sakit, Puskesmas atau di Rumah Bersalin terdapat kelas seperti kelas persiapan menjadi orang tua (parent education), yang salah satu materi yang disampaikannya adalah bimbingan persiapan menyusui. Bidan dan perawat sangat berperan dalam memberikan penyuluhan-penyuluhan persiapan menyusui bagi ibu agar mendapatkan air susu yang optimal, salah satu yang dapat dilakukan bidan yaitu dengan memberikan konseling menyusui kepada ibu hamil sebelum melahirkan. Protokol baru tentang ASI segera sebagai tindakan Life saving. Berdasarkan penelitian WHO 2000, di enam Negara berkembang yaitu Brasil, Ghana, India, Oman, Norwegia, dan Amerika Serikat, resiko kematian bayi antara
usia 9-12 bulan meningkat 40% jika bayi tersebut tidak disusui untuk menyelamatkan kehidupan bayi baru lah Untuk bayi kurang dua bulan, angka kematian ini meningkat menjadi 48%, sekitar 40% kematian balita terjadi satu bulan pertama kehidupan bayi. Permasalahan Angka kematian bayi (AKB) masih merupakan masaalah utama bagi negara berkembang. Di negara berkembang, saat melahirkan, minggu pertama melahirkan merupakan priode kritis bagi ibu dan bayinya, sekitar dua pertiga kematian terjadi pada masa neonatal, dua per tiga kematian neonatal terjadi pada minggu pertama dan hari pertama. AKB di Indonesia mencapai 32 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Angka ini masih jauh dari target MDGs 2015, yakni menurunkan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (Kemenkes, 2014). American Academy of pediatrics merekomendasikan para ibu untuk menyusui bayinya, karena tidak ada makanan ataupun susu formula yang dapat menyaingi ASI, yang benar-benar memenuhi kebutuhan bayi. Hasil penelitian dari Allan Cunningham, associate professor of pediatric pada State University of New York Health Sciene Center, bahwa untuk setiap 1000 bayi yang sakit dan dirawat di rumah sakit, 77 bayi yang sakit tersebut diberikan susu formula oleh orang tuanya dan hanya 5 orang bayi yang diberikan ASI (Roesli, 2008). Persentase bayi berumur 6 bulan yang diberi ASI eksklusif paling tinggi di Swedia yaitu sebesar 72,5%. Secara global pemberian ASI eksklusif telah meningkat secara signifikan dengan kemajuan yang luar biasa khususnya di wilayah Sub-Sahara Afrika, 22% pada tahun 1996 menjadi 30% tahun 2006 peningkatan bayi yang lahir.
Demikian.juga di wilayah Asia Selatan mencapai 45% dan Asia Timur & Pasifik. sebesar 43% adalah ASI eksklusif. Peningkatan substansial tersebut telah memberikan kontribusi untuk kelangsungan hidup anak, kesehatan dan gizi bayi (UNICEF, 2009). Upaya peningkatan pemberian ASI sedini mungkin di Indonesia hingga saat ini masih banyak menemui kendala. Studi kualitatif Fikawati & Syafik (2010) melaporkan faktor predisposisi kegagalan ASI adalah pengetahuan dan pengalaman ibu yang kurang dari faktor pemungkin yang menyebabkan terjadinya kegagalan karena ibu tidak difasilitasi melakukan IMD. Berdasarkan survei International di Indonesia, diketahui bahwa rata-rata bayi Indonesia hanya mendapatkan ASI eksklusif selama 1,7 bulan. Padahal kajian WHO yang dituangkan dalam SK KepMenKes No. 450/MENKES/IV/2004 menganjurkan agar bayi diberi ASI eksklusif selama 6 bulan. Turunnya angka ini terkait pengaruh sosial budaya di masyarakat, yang menganjurkan supaya bayi diberikan makanan tambahan sebelum berusia 6 bulan (Prasetyono, 2012). Diketahui data profil Dinas Kesehatan Aceh Persentase bayi yang diberi ASI eksklusif tahun 2012 baru mencapai 27%. Rendahnya cakupan ini banyak dipengaruhi oleh budaya memberikan makanan dan minuman terlalu dini kepada bayi baru lahir. Akibat dari pengetahuan keluarga tentang ASI yang masih sangat minim. Disamping itu gencarnya propaganda susu formula terutama di perkotaan dan prilaku ibu terhadap pemberian ASI (Profil Dinas Prov. Aceh).
Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie pada tahun 2014, dari 26 Puskesmas di wilayah Kabupaten Pidie, Puskesmas Kembang Tanjong termasuk masih rendah melaksanakan pemberian ASI eksklusif yaitu hanya 11, 46%, yang memberikan ASI hanya ada 48 dan yang tidak memberikan sebanyak 80 orang. Cakupan Asi di Puskesmas di wilayah Kabupaten Pidie, Puskesmas Kembang Tanjong saat ini untuk petugas Konselor laktasinya adalah sejumlah 7 orang untuk memberikan bimbingan pada ibu hamil dan menyusui. Menyikapi permasalahan pentingnya pemberian ASI bagi bayi, pemerintah Indonesia telah menggalakkkan program pemberian ASI eksklusif sejak tahun 1990 yang dikenal dengan Gerakan Nasional Peningkatan Air Susu Ibu (PP-ASI). Sehubungan dengan itu telah ditetapkan dengan keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/Men.Kes/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI eksklusif pada bayi Indonesia (Dep.Kes RI, 2005). Pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) mencakup mengembangkan media promosi kesehatan, dan melaksanakan dukungan administratif dan operasional pelaksanaan program promosi kesehatan. Upaya tersebut dilakukan dengan menggunakan media cetak, elektronik maupun media ruang. Dalam hal ini media diposisikan untuk membuat suasana yang kondusif terhadap perubahan perilaku yang positif terhadap kesehatan. Melalui media cetak telah dikembangkan berbagai leaflet, brosur, poster, kelender, dan lain-lain (De Vito, 2001).
Dalam pemilihan metode promosi kesehatan beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemilihan metode berkaitan erat dengan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, penelitian bangun (2009) yang dilakukan pada keluarga dengan menggunakan metode ceramah, ternyata bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan keluarga dalam penanganan tuberkulosa paru. Hasil penelitian Harap (2010) menunjukkan bahwa intervensi yang dilakukan dengan metode ceramah pada perawat menunjukkan ada perubahan pengetahuan dan sikap dalam pembuangan limbah medis padat sebelum dan sesudah intervensi. Ceramah sebagai salah satu metode yang digunakan dalam promosi kesehatan cukup efektif sebagai penyampaian pesan, karena pesan dapat diterima dengan cepat, feedback langsung dapat dilihat, efektifitasnya lebih tinggi dari metode lainnya. Ceramah merupakan metode yang dapat menyajikan materi/informasi yang luas. Artinya materi yang disampaikan banyak dapat dirangkum atau dijelaskan pokokpokoknya oleh penceramah dalam waktu yang singkat (Anneahira, 2013). Menurut Syaefuddin (2002), metode simulasi dapat digunakan untuk menyampaikan materi pendidikan kesehatan reproduksi dalam bentuk sosiodrama, permainan dan dramatisasi. Metode ini bertujuan untuk melatih dan memahami konsep atau prinsip dari pendidikan yang disampaikan sehingga dapat memecahkan masalah yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi. Dengan metode simulasi, hasil yang diharapkan ialah agar kelompok belajar menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan ide yang ditemukannya dan dianggap benar.
Veronica (2009) telah membuktikan dengan metode simulasi memberi perbedaan yang signifikan terhadap pengetahuan dan sikap guru tentang pendidikan kesehatan reproduksi remaja di Sekolah Menengah Umum dan Sekolah Menengah Kejuruan Swasta Pencawan Medan. Afniwati (2012) bahwa metode simulasi lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan tindakan tentang kesehatan jiwa di ruang rawat jalan Rumah sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumetera Utara. 1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi perumusan masalah adalah bagaimanakah efektifitas penyuluhan melalui metode simulasi dan ceramah terhadap peningkatan perilaku ibu dalam memberikan ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Kembang Tanjong Kabupaten Pidie tahun 2015. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efektifitas penyuluhan melalui metode simulasi dan ceramah terhadap peningkatan perilaku ibu dalam memberikan ASI eksklusif di Wilayah kerja Puskesmas Kembang Tanjong Kabupaten Pidie tahun 2015.
1.4. Hipotesis Ada pengaruh penyuluhan melalui metode simulasi dan ceramah terhadap peningkatan perilaku ibu dalam memberikan ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Kembang Tanjong Kabupaten Pidie tahun 2015. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Memberi masukan bagi Dinas Kesehatan dan Puskesmas Kembang Tanjong Kabupaten Pidie agar dapat digunakan sebagai model dalam penyuluhan selanjutnya dan kiranya menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi dalam menetukan strategi pelayanan kesehatan tentang pemberian ASI eksklusif, sehingga tujuan program akan tercapai. 2. Memberikan masukan bagi bidan agar dapat menyusun program-program atau strategi apa yang harus dilakukan dalam hal peningkatan perilaku ibu dalam hal pemberian ASI eksklusif wilayah kerjanya. 3. Sebagai bahan informasi kepada masyarakat khusunya ibu yang menyusui dalam upaya meningkatkan kualitas kesehatan bayi melalui penilaian Perilaku dalam hal pemberian ASI eksklusif.