19 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola adalah sebagai berikut : Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Eumycophyta : Eumycotina : Deutromycetes : Coryneales : Hipomycetaceae : Corynespora : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei. Konidia berkecambah dalam 4 jam dan membentuk tabung kecambah satu atau lebih diantara septa, tetapi lebih sering diujung konidia. Perkecambahan konidia diperlukan kelembaban optimum 96-100 % atau titik air, suhu optimum 28 30 0 C dan cahaya terang biasa maupun gelap. Perkecambahan akan terhambat bila kelembaban rendah dibawah 90 %, suhu dibawah 20 0 C dan diatas 30 0 C dan pemberian sinar secara langsung (Liyanage, 1987). Konidiofor berwarna coklat, keluar dari permukaan bawah daun dengan ujung membengkak. Konidium berwarna coklat, seperi gada atau silindris, ujungnya agak runcing, bersepta 2-14 dengan ukuran 40-120 µm x 8-18 µm. (Semangun, 2000).
20 a. Konidia C. cassiicola b. Miselium C. cassiicola Gambar 1. Konidia jamur Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei. Perbesaran : 10 x 40 Sumber : Foto Langsung Konidium berkecambah dan membentuk apresorium. Jamur dapat menembus langsung kedalam jaringan. Dalam jaringan daun, miselium berkembang di dalam dan diantara sel-sel. Patogen menghasilkan enzim dan toksin. Dalam biakan murni bermacam-macam isolat C. cassiicola dari tanaman mempunyai miselium beragam morfologisnya. Belum ditemukan adanya korelasi antara sifat morfologis dan molekuler dengan derajat virulensi patogen tanaman karet (Semangun, 2000). Konidium jamur ini berkecambah paling baik pada suhu 30 0 C. pertumbuhan dan sporulasinya tidak peka terhadap sinar matahari. Konidium mulai dipencarkan pukul 06.00 WIB pagi, mencapai pada puncaknya pukul 10.00-13.00 WIB. Pada waktu malam hari sedikit sekali atau bahkan tidak ada konidium yang dilepaskan. Pola pelepasan konidium tampaknya berhubungan dengan kelembaban nisbi udara, konidium ini lebih banyak dilepaskan pada kelembaban udara rendah. Ini dikarenakan relatif besarnya dan beratnya konidium, sehingga konidium tidak dipencarkan jauh (Mushrif, 2006).
21 Gejala Serangan Penyakit Jamur terutama menyerang daun, baik pada tanaman muda maupun tua. Mula-mula pada daun terdapat bercak hitam, terutama pada tulang-tulang daun. Bercak berkembang mengikuti tulang-tulang daun dan meluas ketulang-tulang yang lebih halus, sehingga bercak tampak menyirip seperti tulang ikan. Pada tingkat yang lebih lanjut bercak makin meluas, berbentuk bundar atau tidak teratur. Bagian tepi bercak berwarna coklat dengan sirip-sirip berwarna coklat atau hitam. Bagian pusatnya mengering atau dapat berlubang. Di sekitar bercak biasanya terdapat daerah yang berwarna kuning (halo) yang agak lebar. Daun yang sakit menguning menjadi coklat dan akhirnya gugur (Semangun, 2000). Jamur dapat menginfeksi tunas muda dan tangkai daun yang menyebabkan matinya tunas dan terjadinya bercak coklat memanjang pada tangkai daun dengan kulit yang pecah. Akibat dari jamur ini tanaman yang rentan dapat menjadi gundul dengan ranting dan cabang mati, menyebabkan pertumbuhan terhambat sehingga terlambat memasuki masa sadap (Semangun, 2000). Bibit, tanaman entres dan tanaman yang belum menghasilkan maka pertumbuhannya menjadi terhambat. Pada tanaman yang menghasilkan produksinya dapat menurun sampai + 30 % (Liyanage, 1987). Patogen menyebabkan penyakit pada tumbuhan dengan cara melemahkan inang dengan cara menyerap makanan secara terus-menerus dari sel inang untuk kebutuhannya, menghentikan atau mengganggu metabolisme sel inang dengan toksin, enzim atau zat pengatur tumbuh yang disekresikannya, menghambat transportasi makanan, hara mineral dan air melalui jaringan pengangkut dan mengkonsumsi kandungan sel inang setelah terjadi kontak (Agrios, 1996).
22 Patogen dapat merusak pertahanan struktural yang telah ada pada tumbuhan. Biasanya, tumbuhan dapat memberikan pertahanan dengan membentuk satu jenis struktur yang mampu mempertahankan tumbuhan dari patogen (struktur pertahanan jaringan) (Agrios, 1996). Patogen masuk ke dalam dinding sel, setelah patogen kontak dengan protoplasma sel, warna sitoplasma berubah menjadi coklat dan akhirnya mati, hifa yang menyerang mulai mengalami degenerasi, hifa tidak tumbuh keluar dari jaringan sel dan serangan patogen akan terhenti (Agrios, 1996). C. cassiicola dalam proses penyerapannya menghasilkan toksin yang dapat mempercepat rusaknya jaringan daun yang terserang. Pada kenyataannya, meskipun hanya berbentuk bercak tunggal dan berukuran kecil pada tulang daun dapat menyebabkan daun menjadi kuning, coklat dan kemudian menjadi gugur (Umayah, 1999). Pada klon yang sangat rentan, serangan terjadi terus-menerus sehingga mengakibatkan kematian. Sedangkan pada klon resisten, serangan C. cassiicola pada daun menimbulkan bercak kehitaman tetapi tidak berkembang, demikian juga warna daun disekitar bercak tidak berubah dan daun tidak gugur (Sumarmadja, 2005). Bercak daun C. cassiicola Gambar 2. Gejala Serangan Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei. Sumber : Foto Langsung
23 Dalam kombinasi inang patogen, patogen (jamur) dapat memproduksi toksin spesifik-inang yaitu toksin yang bertanggung jawab terjadinya gejala, dan diduga bereaksi terhadap reseptor spesifik atau sisi sensitif dalam sel inang. Hanya tanaman yang mempunyai reseptor ini atau sisi sensitif semacam ini yang akan menjadi sakit. Spesies atau varietas tanaman yang tidak mempunyai reseptor atau sisi sensitif semacam ini yang akan tahan terhadap toksin dan tidak akan terjadi gejala penyakit pada inang (Abadi, 2003). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyakit Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit gugur daun Corynespora adalah cuaca, tofografi, umur tanaman, kondisi tanaman, jenis klon dan terknik budidaya. Pertanaman karet yang terdapat pada daerah yang beriklim basah biasanya mengalami serangan Corynespora yang berat. Serangan penyakit yang berat sering terjadi pada peralihan musim hujan kemusin kemarau. Beberapa pengamatan menunjukkan cuaca yang lembab atau mendung, dengan curah hujan yang tidak terlalu tinggi dan sepanjang hari, serta suhu udara sekitar 26 0 29 0 C merupakan kondisi yang sesuai untuk perkembangan penyakit. Infeksi dapat terjadi pada suhu dengan kisaran 20 0 35 0 C dan suhu optimum 25 0 C. Apabila ada udara jenuh, infeksi dapat terjadi tanpa adanya air (Semangun, 2001). Penyakit ini umumnya muncul pada kondisi cuaca agak lembab yaitu dengan curah hujan rata-rata 12.4 mm/hari, hari hujan 27 hari/bulan dan kelembaban nisbi udara rata-rata 89 % per hari serta suhu udara rata-rata 27 0 C pada waktu pembentukan daun muda. Kondisi hujan pada waktu
24 pembentukan daun muda dengan suhu tinggi mendorong terjadinya epidemi (Sumarmadja, 2005). Terdapat keragaman (variabilitas) genetik dalam satu spesies patogen yaitu terdapat perbedaan ras-ras patogen, yang serangannya terbatas pada varietas tertentu dari satu spesies inang. Dalam satu spesies patogen, terdapat ras-ras fisiologis patogen yang secara morfologis tidak dapat dibedakan, tetapi berbeda kemampuannya dalam menginfeksi kelompok-kelompok varietas yang tahan pada suatu daerah geografis tertentu menjadi rentan pada daerah geografis lain, terjadinya perubahan ketahanan dari tahun ketahun dan adanya varietas yang tahan berubah menjadi rentan dan resisten menjadi agak resisten, hal ini disebabkan oleh adanya perubahan ras fisiologis pada patogen (Agrios, 1996). Variasi ketahanan terhadap patogen diantara varietas tanaman disebabkan adanya gen ketahanan yang berbeda, dan mungkin pula karena adanya jumlah gen ketahanan yang berbeda dalam varietas tanaman (Agrios, 1996). Mekanisme ketahanan tanaman karet terhadap penyakit gugur daun Corynespora belum diketahui secara pasti, tetapi kerapatan stomata daun menentukan ketananan tanaman karet walaupun pengaruhnya kecil, akan tetapi tebal kutikula, epidermis, dan mesofil daun tidak menentukan tingkat ketahanan tanaman karet (Hadi, 2003). Tanaman yang masih muda, baik dipembibitan, dikebun kayu okulasi (entres), maupun dilapangan biasanya lebih rentan terhadap penyakit, tanaman diatas umur 15 tahun mempunyai ketahanan yang lebih tinggi terhadap penyakit gugur daun Corynespora (Semangun, 2001).
25 Kebun-kebun yang terletak pada ketinggian kurang dari 300 m dpl, biasanya akan menderita serangan Corynespora lebih berat bila dibandingkan dengan kebun-kebun yang terletak lebih tinggi. Kebun yang lahannya kurang subur atau tanaman tidak dipupuk, umumnya juga mudah terserang (Pawirosoemardjo, 2003). Tetapi bila terlalu banyak mendapat pupuk nitrogen, tanaman akan menjadi lebih rentan (Semangun, 2001). Di kebun percobaan, klon PR 261 dan BPM 24 termasuk agak resisten sampai moderat, sedangkan klon RRIM 712, RRIM 255 dan BPM 1 termasuk agak resisten dan klon PB 260 termasuk resisten. Lima klon karet terakhir memperlihatkan gejala bercak hitam yang tertekan (Sinulingga dkk, 1996). Klon karet BPM 1, PB 260, PR 261 dan RRIM 712 bersifat tahan, AVROS 2037, BPM 24, PR 300, PR 303, RRIC 110, RRIC 100 dan RRIM 600 bersifat moderat sedangkan PPN 2058, PPN 2444, PPN 2447, RRIC 103 dan RRIM 725 rentan terhadap penyakit gugur daun Corynespora cassiicola (Sinulingga dkk, 1996). Klon anjuran komersial terdiri dari : a.) Klon penghasil lateks adalah : BPM 24, BPM 107, BPM 109, IRR 104, PB 217 dan PB 260, b.) Klon penghasil lateks-kayu adalah : BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112 dan IRR 118, c.) Klon penghasil kayu adalah : IRR 70, IRR 71, IRR 72, IRR 78. Dan klon harapan terdiri dari : IRR 24, IRR 33, IRR 41, IRR 54, IRR 64, IRR 105, IRR 107, IRR 111, IRR 119, IRR 141, IRR 144, IRR 208, IRR 211 dan IRR 220 (Sinulingga dkk, 1996).
26 Pengendalian Penyakit Adapun upaya untuk mengendalikan penyakit gugur daun Corynerspora menurut Pawirosoemadjo (2003) adalah sebagai berikut : 1. Penanaman klon yang resisten yang telah dianjurkan Pusat Penelitian Karet dan mengganti tanaman yang rentan dengan klon yang resisten diantarannya PR 228, PR 225, PR 300, AVROS 2037, BPM 1, BPM 24. 2. Memelihara tanaman seoptimal mungkin agar tetap tumbuh secara normal. Perlakuan teknis yaitu Pemberian pupuk tambahan dengan kandungan unsur hara yang berimbang, perbaikan saluran drainase, intensitas dan sistem penyadapan akan sangat mempengaruhi penyakit ini. 3. Upaya terakhir yaitu pemberantasan dengan penyemprotan fungisida. Pemberantasan dengan fungisida pada kebun yang mengalami serangan dapat dianjurkan apabila dianggap masih memberikan hasil yang menguntungkan. Beberapa tindakan kultur teknis seperti penyiangan gulma. Pemupukan, perbaikan drainase dan penyadapan. Eradikasi inang alternatif bagi penyakit gugur daun Corynespora perlu dilakukan. Praktek kultur teknis sebagai komponen pengendalian yang diyakini dapat meningkatkan toleransi terhadap penyakit melalui perbaikan keturunan pertumbuhan tanaman (Sinulingga dkk, 1996).