Prolog Stasiun Tugu Desember 2009 Hujan rintik-rintik menyambutku ketika aku keluar dari stasiun. Siang itu mendung menaungi kota kelahiranku, sesekali angin yang membawa wangi hujan bertiup, membuat Yogyakarta jadi bersaing dinginnya dengan Bandung. Sudah dua tahun ini aku kuliah di Bandung dan hanya pulang ke Yogyakarta setiap libur semester. But still... rasanya selalu begini setiap akhir semester. Aku selalu tidak sabar untuk segera pulang. Aku bukannya tidak betah di Bandung. Di sana, aku menganggap diriku beruntung karena dikelilingi teman-teman yang seru. Di awal semester, setiap kali ada dari kami yang berasal dari luar kota mulai merasa homesick, yang lain siap menghibur. Suasana kekeluargaan di tempat kostku terasa solid sekali, karena semua yang tinggal di sana
berasal dari berbagai daerah di tanah air. Ada yang dari Semarang, Jakarta, Surabaya, Jayapura... jadi kami semua merasa senasib, jauh dari keluarga. Dan itu membuat kami sangat dekat satu sama lain. Tapi khususnya satu bulan terakhir ini, aku merasa satu hari seperti setahun lamanya. Aku tidak sabar menyelesaikan urusan administrasi tetekbengek lain untuk semester depan, supaya aku bisa segera pulang ke Yogya dengan tenang. Aku tidak sabar ingin segera pulang. Tidak hanya karena Papa, tapi karena seseorang telah mendahuluiku pulang ke Yogya. Dia sudah pulang lebih dulu dan dia menungguku di sana. Aku sangat, sangat, sangat rindu padanya. Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku bertemu dengannya? Sekarang usiaku 20 tahun... berarti sudah 8 tahun lamanya sejak terakhir kali aku bertemu dengannya. Aku tidak akan lupa ketika aku menerima surat darinya. Agak mengherankan, karena ia tidak meminta alamat e-mail, nomor HP atau messengerku. Membaca nama di amplop itu, seperti kalap aku 2
menyobek amplopnya. Teman-teman satu kos langsung heboh melihat mukaku yang seperti habis melihat hantu. Trish, loe kenapa? Ya ampun! Duduk, duduk... ada apa? Ada berita buruk? tanya Brina sambil mendudukanku di meja tamu, ia berteriak pada teman yang lain untuk mengambilkan minum. Enggak. Justru ini... my God... aku tidak pernah menganggap diriku sebagai drama queen dan sebenarnya aku sangat benci orang yang menunjukkan emosi mereka secara lebay, tapi saat itu aku benar-benar speechless oleh emosi yang meluapluap. Jantungku memukul-mukul rongga dada seperti kelinci mengamuk, nafasku seperti ditarik keluar dari paru-paruku dan otakku terasa buntu. Setelah aku menemukan suaraku kembali, aku hanya bisa berkata, Sahabat masa kecil gue pulang. Sahabat yang pernah gue ceritain ke loe semua. Fido! 3
Serentak, semuanya langsung berseru gembira. Mereka memintaku membacakan surat yang diteruskan oleh Papa padaku itu. Dear Trisha, To be honest I don t know what to say. Aku sudah menulis ulang surat ke kamu ini sepuluh kali, tapi tetep aja aku tidak tahu harus berkata apa. It s been quite a long while since the last time we see each other. I cannot tell you how much I really, really miss you. Aku menyesal sekali waktu harus meninggalkan kamu. Tapi waktu itu aku benar-benar tidak punya pilihan lain. Tapi aku ingin kamu tau kalau sampai sekarang, kamu tetap sahabatku yang paling aku sayang. Tidak ada yang bisa menggantikan kamu, Trish dan enggak akan pernah ada. Anyway, sekarang aku sudah pulang ke Yogyakarta. Di sana aku membuka galeri kerajinan tangan merangkap kafe di sekitar Malioboro. 4
Aku baru pindah ke sini setengah tahun lalu. Aku sempat ke rumahmu, tapi kata Papamu kamu kuliah di Bandung. Trish, bukannya aku tidak mau bertemu denganmu, tapi aku takut kalau nanti aku mengganggu konsentrasi kuliahmu. Karena itu aku menunggu sampai dekat libur akhir tahun sebelum mengabarimu. Aku berharap saat kamu pulang nanti, kita bisa bertemu. I miss you ever so much, Trisha... please, please, please tell me that you will see me. You are still my dearest best friend no matter how many years had passed. Love, hugs n kisses Fido 5