BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banjir yang terjadi di Kota Solo tahun 1966, merupakan bagian peristiwa banjir besar di DAS Solo, dan terulang kembali pada Desember 2007. Terjadinya banjir tersebut disebabkan karena wilayah tangkapan hujan di daerah hulu DAS Solo masih dalam keadaan kritis dan penanganannya belum dilakukan secara serius. Keadaan tersebut sebenarnya merupakan akibat dari limpasan permukaan dan laju erosi yang tinggi yang menyebabkan produksi lahan yang semakin menurun. Limpasan permukaan yang mengangkut material hasil erosi dan limbah pertanian serta limbah pekarangan permukiman dan ramah tangga yang berasal dari sungai-sungai di DTA waduk Gajah Mungkur yang menjadi sumber atau bahan pencemar air waduk. Disamping dari limpasan permukaan, sumber pencemar air waduk Gajah Mungkur juga berasal dari kegiatan manusia dalam budidaya ikan dalam karamba jaring apung (KJA), kegiatan wisatawan yang berwisata di perairan waduk Gajah Mungkur, serta kegiatan petani ikan yang memasang jaring-jaring ikan di luar kawasan KJA. Guna mengatasi permasalahan banjir tersebut di atas, maka sejak Pelita I Pemerintah telah melakukan upaya pengelolaan lahan di daerah tangkapan hujan melalui kegiatan penghijauan yang dilakukan oleh Dinas Teknis terkait. Upaya penghijauan diantaranya dilakukan dengan penanaman jenis tanaman pioner, yaitu tanaman yang tahan kekeringan serta bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah. Namun demikian, kenyataannya bahwa banjir masih terjadi di daerah hilir 1
dan laju erosi masih tetap tinggi. Oleh karena itu pemerintah membangun waduk, yang dinamakan Waduk Serbaguna Wonogiri atau dikenal sebagai Waduk Gajah Mungkur (WGM), yang pembangunannya dimulai tahun 1975 dan selesai tahun 1981 (Anonim, 2002). Waduk Gajah Mungkur dibangun dengan tujuan utama mengendalikan banjir di daerah hilir dengan cara menampung air dari tangkapan air hujan di bagian hulu. Selain itu, juga diperuntukkan; perikanan, pariwisata, hidrolistrik, dan keperluan irigasi di musim kemarau bagi daerah hilir. Waduk dibangun dengan perkiraan umur ekonomis 100 tahun berdasarkan perkiraan laju erosi aktual 1,2 mm/tahun (Sudradjat, dkk., 1995). Berdasarkan hasil monitoring, ternyata laju erosi pada Daerah Tangkapan Air (DTA/Catchment Area) Waduk Gajah Mungkur tinggi, sehingga akan terjadi sedimentasi yang tinggi pula di daerah genangan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Direktorat Penelitian Masalah Air (DPMA) tahun 1982 laju erosi diperkirakan sebesar 8,58 mm/tahun. Selanjutnya Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Solo (Sub Balai RLKT Solo, 1985) memperkirakan laju erosi sebesar 26,00 mm/tahun. Dengan laju erosi tersebut Fakultas Geografi UGM- SBRLKT Solo (1996) memperkirakan umur ekonomis waduk dapat berkurang secara drastis dari rencana semula 100 tahun menjadi hanya 27 tahun. Menurut Sudiro dalam Rosyid (2006), Waduk Gajah Mungkur Wonogiri diambang kritis. Elevasi air yang mencapai 134,26 meter telah berada di ambang kritis, sebab batas minimalnya adalah 136,65 meter. Bila elevasi air sudah mencapai 133,65 meter, maka pintu air waduk harus ditutup. Pada keadaan tersebut, waduk tidak akan mampu mengairi area pertanian dan menggerakkan mesin PLTA Gajah Mungkur Wonogiri. 2
Erosi yang membawa material dari kawasan atas waduk dengan laju yang tinggi, dan perilaku wisatawan, serta budidaya ikan melalui sistem karamba yang kurang ramah lingkungan, berdampak pada penurunan tingkat kesuburan dan meningkatkan pencemaran perairan Waduk Gajah Mungkur. Perubahan tingkat kesuburan dan pencemaran perairan waduk, berdampak pada penurunan produksi budidaya ikan, mutu perairan, wisatawan, dan peningkatan sedimentasi, yang akhirnya dapat menurunkan umur ekonomi WGM Wonogiri. Waduk Gajah Mungkur Wonogiri, merupakan salah satu waduk di Jawa Tengah, dan dimanfaatkan sebagai pengendali banjir, pariwisata, irigasi, pembangkit listrik, dan budidaya ikan. Daerah tangkapan air (DTA) Waduk Gajah Mungkur Wonogiri terletak pada 7 0 32 LS 8 0 15 LS dan 110 0 04 BT 110 0 18 BT. Secara administratif, sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah, dan sebagian kecil lainnya berada di wilayah Kabupaten Pacitan Propinsi Jawa Timur. Seluruhnya terdiri atas 20 kecamatan dan 224 desa, dengan total luas 135.000 ha, 126.064 ha berupa lahan dan sisanya (13.986 ha) berupa genangan. Daerah tangkapan air waduk Gajah Mungkur Wonogiri terdiri atas 6 sub DAS, yaitu; Sub DAS Keduang, Sub DAS Wiroko, Sub DAS Temon, Sub DAS Solo hulu, Sub DAS Alang Unggahan, dan Sub DAS Wuryantoro dengan luasan masing-masing 42.644 ha, 20.580 ha, 6.753 ha, 29.976 ha, 23.728 ha, dan 7.333 ha (Anonim., 2002). Waduk Gajah Mungkur Wonogiri, berpotensi menjadi waduk yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi (eutrofik), oleh karena peningkatan jumlah jaring karamba apung (jakapung) dan wisatawan atau pengunjung waduk. Hal ini dapat berpengaruh pada produktivitas perairan. Salah satu diantaranya adalah 3
meningkatkan unsur hara (nitrogen dan fosfor) yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan dan sisa metabolisme ikan (feses dan urin). Kandungan unsur hara yang berlebihan dapat merangsang pertum-buhan fitoplankton dengan cepat dan berlimpah (blooming), sehingga dapat mempengaruhi fluktuasi dan kelimpahan fitoplankton di perairan waduk. Fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu parameter ekologi yang dapat menggambarkan kondisi kualitas perairan. Fitoplankton merupakan dasar produsen primer mata rantai makanan di perairan (Dawes, 1981). Kehadirannya di suatu perairan juga dapat menggambarkan status suatu perairan, apakah berada dalam keadaan subur atau tidak subur. Kelimpahan fitoplankton di suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa parameter lingkungan dan karakteristik fisiologinya. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton, akan berubah pada berbagai tingkatan sebagai tanggapan terhadap perubahan kondisi lingkungan, baik fisik, kimiawi maupun biologi (Reynolds, et al., 1984). Faktor penunjang pertumbuhan fitoplankton sangat kompleks dan saling berinteraksi antara faktor fisik-kimia perairan, seperti; intensitas cahaya, oksigen terlarut, stratifikasi suhu, dan ketersediaan unsur nitrogen dan fosfor, sedangkan aspek biologi adalah adanya aktivitas pemangsaan oleh hewan, mortalitas alami, dan dekomposisi (Goldman and Horne, 1983). Setiawan dan kawan-kawan pencari ikan (dengan alat jaring) warga Dusun Karang Widodo Desa Glesungrejo Kecamatan Baturetno, yang menganggap waduk sebagai sumber kehidupan setelah lahan pertaniannya hilang, sekarang merasakan perairan waduk Gajah Mungkur sudah mengalami penurunan produktivitas ikannya. Dalam sehari mencari ikan hanya memperoleh antara 2 3 kg, padahal 4
biasanya dapat diperoleh hingga 5 7 kg. Keadaan ini juga terjadi di perairan waduk muara SubDAS Keduang dan daerah wisata, sehingga meningkatkan kekawatiran pencari ikan karena hasil tangkapan akan menurun lagi. Budidaya ikan sistem karamba dan tradisional diperkirakan menjadi pemicu terjadinya penurunan kualitas air, sehingga menurunkan produktivitas ikan alami. Bejo dengan kawankawan yang menggunakan alat tangkap branjang, merasa kurang bebas dalam mencari ikan dengan adanya larangan oleh Pengelola WGM Wonogiri (wawancara dengan warga, 2007). Kegiatan pertanian, permukiman, rumah tangga di daerah tangkapan air, serta kegiatan perikanan dan wisata di perairan waduk Gajah Mungkur, diperkirakan menghasilkan sisa atau limbah yang dapat menurunkan kualitas air waduk (baik kesuburan dan pencemaran) dan menyebabkan penurunan produkivitas waduk sesuai dengan tujuan dibangunnya WGM, yaitu; pencegah banjir, pembangkit listrik tenaga air, perikanan, irigasi dan kegiaan wisata. Disamping kegiatan tersebut, curah hujan di kawasan DTA WGM juga berpengaruh terhadap kualitas air waduk. 1.2. Perumusan Masalah Aktivitas penduduk di daerah tangkapan air WGM menghasilkan limbah domestik, yang pada umumnya dibuang ke lingkungan sekitarnya. dan pada akhirnya dapat sampai ke perairan WGM. Budidaya ikan karamba jaring apung (KJA), dengan pemberian pakan kurang tepat, berdampak terbentuknya sisa pakan yang tidak semua termakan, dan bersama dengan urin serta kotoran ikan cenderung berpotensi menjadi racun. Penguraian bahan organik oleh organisme dekomposer, 5
cenderung meningkatkan ketersediaan bahan anorganik, yang selanjutnya meningkatkan pertumbuhan organisme produsen. Tingginya kesuburan, menimbulkan blooming fitoplankton, karena meningkatnya eutrofikasi, sehingga menurunkan Dissolved Oxygen (DO) dan meningkatkan Biological Oxygen Demand (BOD) serta Chemical Oxygen Demand (COD). Faktor lain yang berpengaruh pada lingkungan perairan, antara lain; suhu, kecerahan, padatan tersuspensi, padatan terlarut, ph, dan kandungan bahan kimia lainnya, serta iklim. Perilaku wisatawan dan pelayanan jasa wisata air dengan sarana perahu motor, sering kurang ramah lingkungan. Keadaan ini akan menambah beban lingkungan perairan, sehingga dapat menurunkan kemampuannya untuk pemurnian diri (self purification). Dari uraian tersebut di atas, dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut; 1. Bagaimana existing condition status kesuburan air WGM Wonogiri ditinjau dari pengaruh aspek internal dan ekternal sumber asal kesuburan (muara SubDAS, KJA, daerah wisata, daerah tanpa kegiatan manusia) dan musim (penghujan dan kemarau)? 2. Bagaimana existing condition status pencemaran air WGM Wonogiri ditinjau dari pengaruh aspek internal dan ekternal sumber asal pencemar (muara SubDAS, KJA, daerah wisata, daerah tanpa kegiatan manusia) dan musim (penghujan dan kemarau)? 3. Bagaimana model pengelolaan WGM berdasarkan tingkat kesuburan dan pencemaran air waduk agar dapat dipergunakan sesuai peruntukannya? 6
1.3 Keaslian Penelitian Penelitian yang berhubungan dengan kualitas air, baik yang mengenai kesuburan dan pencemaran air serta pengendaliannya sudah pernah dilakukan pada beberapa tempat. Pada umumnya, penelitian terdahulu dititikberatkan pada pengelolaan di daerah tangkapan air, tetapi tidak berdasarkan pada keadaan nyata dari kualitas air tersebut. Dalam penelitian Wiryanto 2012, didalam melakukan upaya pengelolaan terpadu berdasarkan tingkat kesuburan dan pencemaran air waduk dengan sistem dinamik, berdasarkan pada parameter yang melebihi Baku Mutu Air (BMA) sesuai dengan peruntukannya. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.1. 7
Tabel 1.1. Beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan No Judul Penelitian dan Peneliti 1. Deskripsi Kualitas Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy sebagai Dasar Pengelolaan Sumberdaya Air. Siti Aisyah, Apip, dan Dini Daruati, (2005). 2. Pencemaran di Sebagian Sungai Bengawan Solo. Krismono, Susilo Adjie dan Lismining P. A. (2006). Tujuan Penelitian Metode Penelitian Data Hasil Persamaan dan Perbedaan 1. Mengetahui distribusi 1. Penelitian survei di 1. Kualitas air: 1. Secara temporal, Persamaan: spasial-temporal 6 stasiun penga- suhu, ph, konduk- kandungan N Indeks Pence- parameter fisikakimia air di sepan- sungai Citanduy. COD, TDS, N- nyata. Perbedaan: matan sepanjang tivitas, DO, BOD 5, dan P berbeda maran air. jang DAS Citanduy. 2. Sampling di bulan; NO 2, N-NO 3, P- Secara spasial, Parameter, tk. 2. Mengetahui kualitas Mei, Agustus dan perbedaan nyata; pencemaran, PO dan klasifikasi lokasi Nopember 2005. 4, logam Cu, kandungan COD, kesuburan air Pb, Zn, dan Mn. pengamatan 3. Analisis sampel di Pb, Zn dan Mn. dan kerentanan waduk,, 2. Mutu air: Indeks Lab. Hidrodinamika Pusat Peneliti- Citanduy model penge- 2. Status perairan Pencemaran (IP) (KepMNLH No.115 an Limnologi LIPI th 2003) tercemar ringan lolaan Mengetahui wilayahwilayah 1. Penelitian survei di 1. Kualitas air: 1. Belum tercemar; S Persamaan: sungai Benga- 8 stasiun (S. Kedu- Suhu, kecerahan, Keduang, WGM, Kualitas air wan Solo yang mengalami pencemaran. dung Colo, Kam- NO 2, NO 3, Cr, Cu tercemar; Kam- Tingkat ang, WGM, Ben- O 2, CO 2, NH 3, Bendung Colo; Perbedaan: pung Sewu, Tundungan, Kebakkra- 2. Kandungan Cr, Cu, Butuh; kesuburuan dan Zn pung Sewu s/d pencemaran, mat, Butuh, dan dan Zn daging peralihan & perbaikan; Jatimulyo kerentanan air dan Jatimulyo. ikan. 2. Sampling tahun 2. Zona tercemar: waduk, serta 2005 (hujan, peralihan, DO & kecerahan model kemarau). rendah; CO 2, N pengelolaan tinggi; Cr, Zn, Cu 8
3. Status Trofik Danau Sentani, Papua. Chairulwan Umar dan Lismining P. A. (2005). 4. Tingkat Kesuburan Perairan Danau Singkarak, Padang Sumatera Barat. Tri Suryono, Sulung Nomosatryo dan Endang Mulyana. (2004). 5. Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat. Marganof, (2007). Bogor: IPB. Mengetahui status trofik danau Sentani berdasarkan konsentrasi nutrien (nitrat, fosfat), klorofil-α dan kecerahan. Mengetahui tingkat kesuburuan perairan danau Singkarak sebagai akibat penurunan kualitas perairan. Menganalisis kualitas air dan tingkat pencemaran, membangun model pengendalian pencemaran dan Merumuskan alternatif/rancangan kebijakan pengendalian pencemaran perairan Danau Maninjau. Danau Sentani, status mesotrofikeutrofik, ditandai: kandung an N-NO3 dan P-PO4 tinggi, klorofil-α rendahsedang, dan kecerahan sedang. 1. Penelitian survei di N-NO2, N-NO3, P- 7 stasiun di danau PO4, klorofil- α dan Sentani (Puay, kecerahan Ayapo, Yaboso, Simporo, Doyolama I, Doyolama II, dan Baroway). 2. Sampling; Juli, Sep tember, Oktober & Desember 2005. Penelitian survei di Total P, total N, 8 titik sampling di Klorofil-α, kecerahan, danau Singkarak DO (hipolim- (Sumpur, Malalo, nion), produksi fitoplankton. Intake, Paninggahan, Sumani, Tanjung Muara, Tengah, Ombilin). 1. Penelitian survei di Suhu, TSS, TDS, Kekeruhan, 11 titik sampling Warna, Ke- di danau Maninjau cerahan; ph, CO 2, Sumatera Barat. DO,BOD 5, COD, N- 2. Sampling 7X (Januari-Juli). 3, N-NO 2, NO Ammo-nia, Ortofosfat, Pesti-sida; Fecal coliform & Total coliform. 1. Kualitas Danau Singkarak baik (di bawah baku mutu berdasarkan PP Nomor 82 tahun 2001). 2. Status; mesotrofik-eutrofik 1. Kualitas air; tercemar ringan. 2. Pengendalian pencemaran dalam 5 submodel. 3. Kebijakan pengen dalian pencemaran; peningkatan persepsi & pengetahuan masyarakat, mengurangi laju KJA, & menekan pertumbuh an penduduk. Persamaan: Tingkat kesuburan air. Perbedaan: Parameter, Tk pencemaran air & kerentan an waduk,, pengelolaan Persamaan: Tingkat kesuburuan air. Perbedaan: Parameter, pencemaran, kerentanan & pengelolaan Persamaan: Kualitas air tergenang. Perbedaan: - Waktu, parameter, kesuburan air, keragaman mayarakat DTA, dan tingkat kesuburan air. 9
6. Model Pengendalian Pencemaran Perairan Pantai Kota. Samawi, M.F. 2007. 7. Model Pengelolaan Perairan Waduk Berdasarkan Tingkat Kesuburan dan Pencemaran Air (Kasus di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri, Jawa Tengah) Wiryanto, 2012. Menyusun model pengendalian pencemaran perairan kota. Menganalisis; mutu air waduk, kegiatan yang dominan memberikan sumbangan peningkatan kesuburan & pencemaran, kerentanan waduk, dan pemodelan pengelolaan WGM. 1. Metode pendekatan sistem (analisis kebutuhan, identifikasi sistem, verifikasi, validasi serta implementasi) 2. Analisis data sekunder dan primer. 3. Pantai wilayah Kota Makasar, Prov. Sulawesi Selatan. 1. Penelitian survei di 10 titik sampling di WGM Wonogiri (muara subdas, KJA, Wisata, daeah bebas, outlet). 2. Sampling; 4 kali, musim kemaraupenghujan dan diantaranya. Laju pertumbuhan penduduk, COD. Suhu, TSS, TDS, Kecerahan, klorofilα, ph, DO, BOD 5, COD, PO 4 -P, NO 3 - N, NO 2 -N, NH 3, kandungan logam, total coliform dan E. coli. Penggunaan model dalam pengendalian pencemaran dapat mengurangi biaya dalam mengambil keputusan. 1. Tingkat kesuburan air WGM eutro fik sedang 2. Tingkat pencemaran air WGM cemar sedang 3. Pengelolaan yang dibangun dengan model sistemik, dinamik dan terpa du, menghasilkan skenario optimis tahun ke 10 menghasilkan beban limbah di bawah BML. Persamaan: Penyusunan model. Perbedaan: Parameter, kesuburan, pencemaran, kerentanan. - 10
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengkaji status kesuburan air WGM Wonogiri ditinjau dari pengaruh aspek internal dan ekternal sumber asal kesuburan (muara SubDAS, daerah KJA, daerah wisata, dan daerah tanpa kegiatan manusia) dan musim (penghujan dan kemarau)? 2. Mengkaji status pencemaran air WGM Wonogiri ditinjau dari pengaruh aspek internal dan ekternal sumber asal pencemar (muara SubDAS, daerah KJA, daerah wisata, dan daerah tanpa kegiatan manusia) dan musim (penghujan dan kemarau)? 3. Menyusun model pengelolaan perairan waduk Gajah Mungkur Wonogiri berdasarkan tingkat kesuburan dan pencemaran air. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, adalah: 1. Bagi Pengelola waduk, sebagai acuan dalam menetapkan kebijakan pengelolaan waduk berdasarkan tingkat kesuburan dan pencemaran air. 2. Bagi wisatawan, untuk berperilaku ramah lingkungan dan tidak merusak, sehingga dapat meningkatkan kesuburan dan pencemaran air waduk. 3. Bagi pengusaha karamba, sebagai pedoman sistem pengelolaan budidaya karamba yang ramah lingkungan. 4. Bagi ilmu pengetahuan, menambah pengetahuan tentang kerentanan waduk berdasarkan tingkat kesuburan dan pencemaran air WGM Wonogiri, dan hubungannya antara tingkat kesuburan dengan pencemaran air waduk. 11