Bab II Tinjauan Pustaka

dokumen-dokumen yang mirip
Bab VI Model Makroskopis Bonding Antar Lapis Perkerasan Beraspal Hasil Percobaan Direct Shear

I.1 Latar Belakang Permasalahan

Bab VII Kesimpulan, Kontribusi Penelitian dan Rekomendasi

ANALISIS KONDISI BONDING ANTAR LAPISAN BERASPAL SECARA TEORITIS DAN PENGUJIAN DI LABORATORIUM

Bab III Pendekatan Simulasi Terhadap Kondisi Bonding Antar Lapis Perkerasan Beraspal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab V Hasil dan Analisis Pengujian Direct Shear Test

Rentang Modulus dari Thin Layer yang Menunjukkan Kondisi Bonding Antar Lapisan Beraspal. Eri Susanto Hariyadi 1)

Tugas Akhir. untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S - 1 Teknik Sipil. diajukan oleh :

Naskah Publikasi Ilmiah. untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-1 Teknik Sipil. diajukan oleh :

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PERENCANAAN MEKANISTIK EMPIRIS OVERLAY PERKERASAN LENTUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hobbs (1995), ukuran dasar yang sering digunakan untuk

ANALISIS PENGARUH SUHU PERKERASAN TERHADAP UMUR PELAYANAN JALAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALITIS (STUDI KASUS JALAN TOL SEMARANG)

Bab II STUDI PUSTAKA

BAB IV HASIL EKSPERIMEN DAN ANALISIS

Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: Jurnal Rekayasa Sipil ASTONJADRO 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut :

PENGEMBANGAN MODEL STRUKTUR PERKERASAN LENTUR PADA KONDISI CROSS ANISOTROPIC DAN INTERFACE TIDAK KASAR DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM SAP2000

ANALISIS KEKUATAN TARIK MATERIAL CAMPURAN SMA (SPLIT MASTIC ASPHALT) GRADING 0/11 MENGGUNAKAN SISTEM PENGUJIAN INDIRECT TENSILE STRENGTH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab IV Persiapan Pengujian Laboratorium Untuk Mengukur Kondisi Bonding Antar Lapis Perkerasan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi pada zaman sekarang,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HHT 232 SIFAT KEKUATAN KAYU. MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL

Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil 2016 ISSN: Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta

PENGGUNAAN ALAT MARSHALL UNTUK MENGUJI MODULUS ELASTISITAS BETON ASPAL

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

ANALISIS BEBAN BERLEBIH (OVERLOAD) TERHADAP UMUR PELAYANAN JALAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALITIS (STUDI KASUS RUAS JALAN TOL SEMARANG)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI DAKTILITAS DAN KUAT LENTUR BALOK BETON RINGAN DAN BETON MUTU TINGGI BERTULANG

PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP MODULUS ELASTISITAS DAN ANGKA POISSON BETON ASPAL LAPIS AUS DENGAN BAHAN PENGISI KAPUR

ASPEK GEOTEKNIK PADA PEMBANGUNAN PERKERASAN JALAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Agustus 2005 oleh Washington State Departement of Transportation (WSDOT).

III. METODE PENELITIAN

LAMPIRAN A. Tabel A-1 Angka Praktis Plat Datar

RINGKASAN. Kata Kunci : Tanah Ekspansif, Pengaruh Kadar Air Subgrade, Rutting Aspal, Deformasi arah Vertikal Aspal, Regangan Aspal, Model Perkerasan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembahasan hasil penelitian ini secara umum dibagi menjadi lima bagian yaitu

BAB III LANDASAN TEORI. Dimensi, berat kendaraan, dan beban yang dimuat akan menimbulkan. dalam konfigurasi beban sumbu seperti gambar 3.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI ANALISIS PEMODELAN BENDA UJI BALOK BETON UNTUK MENENTUKAN KUAT LENTUR DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE KOMPUTER

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA TEGANGAN DAN REGANGAN PADA PERKERASAN PORUS DENGAN SKALA SEMI LAPANGAN DAN SOFTWARE ANSYS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Model tabung gas LPG dibuat berdasarkan tabung gas LPG yang digunakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan tanah pada umumnya tidak mampu menahan beban kendaraan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR

METODOLOGI PENELITIAN

LAPIS PONDASI AGREGAT SEMEN (CEMENT TREATED BASE / CTB)

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMODELAN NUMERIK METODE ELEMEN HINGGA NONLINIER STRUKTUR BALOK TINGGI BETON BERTULANG ABSTRAK

BAB III PEMODELAN RESPONS BENTURAN

III. METODE PENELITIAN. Tanah yang akan di gunakan untuk penguujian adalah jenis tanah lempung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. yang berasal dari daerah Karang Anyar, Lampung Selatan yang berada pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN...1

Jurnal Flywheel, Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN :

Analisis Kekuatan dan Deformasi Piston Mesin Bensin-Bio Etanol dan Gas dengan Injeksi Langsung untuk Kendaraan Nasional dengan Simulasi Numerik

PERILAKU KERUNTUHAN BALOK BETON BERTULANG TULANGAN GANDA ABSTRAK

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. agregat, dan agregat berperan sebagai tulangan. Sifat-sifat mekanis aspal dalam

ANALISIS PENGARUH KONDISI PONDASI MATERIAL BERBUTIR TERHADAP UMUR PELAYANAN JALAN DENGAN METODE ANALITIS

MODULUS RESILIENT TANAH DASAR DALAM DESAIN STRUKTUR PERKERASAN LENTUR SECARA ANALITIS

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

PERHITUNGAN KERUSAKAN STRUKTUR PERKERASAN LENTUR AKIBAT PENGARUH TEMPERATUR (STUDY LITERATUR) TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang terletak pada lapis paling atas dari bahan jalan dan terbuat dari bahan khusus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

sampai ke tanah dasar, sehingga beban pada tanah dasar tidak melebihi daya

BAB I PENDAHULUAN. alas pada kapal, body pada mobil, atau kendaraan semacamnya, merupakan contoh dari beberapa struktur pelat. Pelat-pelat tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal Teknika Atw 1

Gambar III.1 Diagram Alir Program Penelitian

Bab V : Analisis 32 BAB V ANALISIS

OPTIMALISASI DESAIN JEMBATAN LENGKUNG (ARCH BRIDGE) TERHADAP BERAT DAN LENDUTAN

ANALISIS CELLULAR BEAM DENGAN METODE PENDEKATAN DIBANDINGKAN DENGAN PROGRAM ANSYS TUGAS AKHIR. Anton Wijaya

PERBANDINGAN KUAT LENTUR DUA ARAH PLAT BETON BERTULANGAN BAMBU RANGKAP LAPIS STYROFOAM

FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melebihi daya dukung tanah yang diijinkan (Sukirman, 1992).

BAB I PENDAHULUAN. golongan, yaitu : struktur perkerasan lentur (Flexible Pavement) dan struktur

DR. EVA RITA UNIVERSITAS BUNG HATTA

BAB IV EVALUASI KINERJA DINDING GESER

BAB I PENDAHULUAN. pozolanik) sebetulnya telah dimulai sejak zaman Yunani, Romawi dan mungkin juga

4 PERHITUNGAN DAN ANALISIS

Gambar 2.1 Rangka dengan Dinding Pengisi

PERENCANAAN JEMBATAN KALI TUNTANG DESA PILANGWETAN KABUPATEN GROBOGAN

Laporan Tugas Akhir Analisis Pondasi Jembatan dengan Permodelan Metoda Elemen Hingga dan Beda Hingga BAB III METODOLOGI

l l Bab 2 Sifat Bahan, Batang yang Menerima Beban Axial

Gambar 2.1 Bagian-bagian mesin press BTPTP [9]

BAB III METODE KAJIAN

BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya (Laboratorium Transportasi FT-UNG, 2013)

Transkripsi:

Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Kondisi Bonding Antar Lapis Perkerasan Sebuah struktur perkerasan jalan terdiri dari beberapa lapis material yang berbeda yang menghasilkan suatu tingkat daya lekat (adhesion) tertentu antar lapis perkerasannya. Kerusakan jalan akibat penggeseran (slippage failure) telah secara luas dilaporkan oleh para peneliti (Tschegg et al., 1995; Lepert et al., 1992; TRRL, 1979). Penggeseran (slippage) dan pengelupasan lapis perkerasan adalah salah satu fenomena akibat lemahnya tingkat daya lekat antar lapis perkerasan (West et al., 2005). Kondisi kerusakan ini adalah lokal dan tidak merupakan kerusakan struktur jalan keseluruhan, walaupun begitu hal tersebut menyebabkan jalan tidak dapat melayani lalu lintas (Brown dan Brunton, 1984). Kerusakan jalan tipikal yang disebabkan oleh lemahnya daya lekat antar lapis permukaan jalan adalah retak slippage (Romanoschi dan Metcalf, 2001). Hal ini sering terjadi pada daerah pengereman dan membeloknya kendaraan. Kondisi daya lekat antar lapis perkerasan sangat penting dalam perencanaan, analisis dan evaluasi struktur perkerasan jalan. Daya lekat yang kuat akan menyebabkan setiap lapis perkerasan akan bekerja bersama-sama dalam menerima beban lalu lintas. Sebaliknya tidak adanya daya lekat (debonding) antar lapis perkerasan akan menyebabkan masing-masing lapis perkerasan bekerja sendiri-sendiri akibat tidak adanya geser yang kontinyu pada interface (Hakim, 2002). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan daya lekat antar lapis perkerasan (Hachiya dan Sato, 1998). Pertama, interval waktu konstruksi antar lapis perkerasan. Kekuatan daya lekat akan menaik apabila interval waktunya makin pendek. Sebaliknya, kekuatan daya lekat akan menurun apabila interval waktunya makin panjang. Kedua, diaplikasikannya tack coat antara lapis perkerasan. Terkait dengan tack coat ini, curing time dari tack coat sangat berpengaruh terhadap kekuatan daya 9

lekat. Kekuatan daya lekat sesudah curing 24 jam lebih besar dibandingkan sesudah curing 1 jam. Selain itu diaplikasikannya material tack coat jenis baru, seperti Rubberized Emulsified Asphalt, akan mendapatkan kekuatan daya lekat yang diharapkan. Ketiga, faktor adanya kotoran seperti karet atau tanah pada lapis perkerasan yang akan di overlay. Adanya kotoran ini akan menurunkan kekuatan daya lekat antar lapis perkerasan Pemberian tack coat sebelum lapisan perkerasan jalan baru digelar di atas lapisan jalan yang lama adalah teknik yang biasa digunakan untuk menghasilkan daya lekat yang kuat. Saat ini aplikasi pemberian tack coat untuk beberapa negara berbeda-beda karena perbedaan spesikasi tack coat dan metoda pelaksanaan pekerjaannya. Kondisi daya lekat (adhesion) antar lapis perkerasan berpengaruh terhadap kinerja perkerasan jalan melalui pengaruh tingkat tegangan tertentu yang dialami oleh bahan dan material jalan (Uzan et al., 1978). Studi yang dilakukan oleh Van Cauwelaert et al. (1989) menyebutkan bahwa gesekan sebagian (partial friction) adalah representasi terbaik dari kondisi interface insitu antar lapis perkerasan tetapi tidak ada data percobaan untuk mengkuantifikasi parameter ini yang telah dilaporkan. Irwin (1992) melaporkan berbagai macam metodologi untuk mengevaluasi struktur perkerasan masih belum sensitif terhadap derajat daya lekat (degree of bonding) antara lapis perkerasan jalan. Brown dan Brunton (1984) menyatakan bahwa relatif masih sedikit yang diketahui mengenai tegangan geser aktual pada interface lapis perkerasan, sehingga diperlukan banyak penelitian untuk mempelajari masalah tersebut. Saat ini, sebagian besar desain perkerasan lentur jalan raya mengasumsikan bahwa daya lekat yang sangat kuat (full bond) terjadi antar lapis perkerasan (Brown dan Brunton, 1985). Pada kondisi yang sebenarnya, kondisi daya lekat ini tidak diketahui dan berada pada rentang mulai daya lekat yang sangat kuat (full adhesion) sampai 10

dengan tidak adanya daya lekat sama sekali (zero adhesion), tergantung pada material properties dan kualitas konstruksinya (Kruntcheva et al., 2005). Terkait dengan kondisi bonding antar lapis perkerasan beraspal, analisis numerik telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Uzan et al.(1978) dengan menggunakan program BISAR menjelaskan bahwa perubahan paling besar dalam tegangan atau regangan tarik radial terjadi ketika shear reactian modulus (Ks) bervariasi antara 100 dan 10.000 MN/m 3. Sehingga untuk kasus interface yang bervariasi dari sangat licin (full slip) sampai dengan sangat kasar (full bond), regangan tarik radial pada bagian bawah lapis permukaan terjadi paling tinggi dan regangan tarik radial pada bagian atas lapis bawahnya berbalik menjadi compressive. Kesimpulannya adalah distribusi tegangan atau regangan secara signifikan dipengaruhi oleh besaran dari interface. Brown dan Brunton (1984) meneliti pengaruh daya lekat yang lemah antara lapis perkerasan. Program komputer BISAR telah digunakan untuk menganalisis suatu struktur perkerasan. Sebagai kasus referensi, suatu struktur perkerasan dianalisis dengan interface sangat kasar. Kemudian struktur dianalisis kembali dengan interface sangat licin dan akhirnya dianalisis dengan interface kasar sebagian. Brown dan Brunton (1984) menyimpulkan bahwa daya lekat sebagian pada interface akan mengurangi usia perkerasan (pavement life) secara signifikan. Hakim, et al. (2000) meneliti pengaruh daya lekat antara lapis permukaan (surface coarse) dan binder coarse terhadap usia perkerasan untuk empat jenis struktur perkerasan teoritis yang disebut perkerasan lemah, sedang, kuat dan sangat kuat. Lendutan permukaan didaerah pembebanan dimonitor dengan besarnya dua regangan kritis. Rata-rata terjadi penurunan usia perkerasan sebesar 20% pada nilai shear reaction modulus mendekati nilai 10.000 MN/m 3. Penurunan lebih jauh lagi sampai dengan 50% terjadi ketika daya lekat tidak ada sama sekali (Kruntcheva et al., 2005). 11

Penelitian yang cukup signifikan yang menggambarkan interaksi antar lapis perkerasan, adalah diperkenalkannya Interlayer Reaction Complex Modulus (Crispino et al, 1998). Untuk meneliti fenomena interaksi antar lapis perkerasan, suatu percobaan didesain dan dilakukan menggunakan peralatan yang dirancang khusus dan dapat menghasilkan beban dinamik sinusoidal. Untuk merepresentasikan interaksi antara lapis perkerasan digunakan horizontal restraint yang berupa model Kelvin yang bersifat viscoelastic. Beban sinusoidal diekspresikan dengan persamaan : τ iωt ( t) = τ maxe ; sedangkan perpindahan antar lapis perkerasan s(t) diekspresikan dengan persamaan : i( ωt ϕ ) s ( t) = smaxe. Dengan mengambil definisi modulus sebagai perbandingan antara tegangan (beban) dengan regangan (perpindahan), maka dapat dinyatakan suatu Interlayer Reaction Compleks Modulus (KI*) dengan suatu persamaan : KI * τ ( t) s( t) τ e iωt max = = iωt ϕ s max e τ = s max max τ cos ϕ + i s dimana : τ max adalah amplitudo tegangan geser sinusoidal s max adalah nilai maksimum pergeseran antar lapis specimen perkerasan ϕ adalah sudut fase antara tegangan geser dan perpindahan max max sin ϕ (II.1) Hakim et al (2000) dengan menggunakan analisis numerik mengidentifikasi rentang bonding teoritis dengan bantuan software BISAR yang menghasilkan kondisi bonding dalam parameter Bond Stiffnes (Ks) yang dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : de-bonding Ks 100 MN/m 3 ; intermediate case 100 Ks < 10.000 MN/m 3 dan full bonding Ks 10.000 MN/m 3. II.2 Model Matematis Bonding Solusi numerik dari sistem perkerasan multilayer memerlukan informasi dari kondisi batas antar lapis perkerasan untuk memperkirakan respons struktur akibat beban. Kondisi batas dari interface antar lapis perkerasan ini dapat berupa full bond, artinya 12

mempunyai daya lekat yang kuat sehingga terjadi tegangan geser yang sama antara dua sisi interface, atau sebaliknya kondisi tidak ada daya lekat sama sekali sehingga tidak ada tegangan geser yang akan ditransfer antar lapis perkerasan. Oleh karena itu diperlukan model fundamental untuk menggambarkan kondisi interface ini. Pertimbangkan interface sebagai lapis tipis (thin layer) dengan ketebalan t, tegangan geser τ, terjadi pada interface menghasilkan regangan geser γ, berdasarkan dari persamaan berikut ini : τ = G. γ (II.2) G adalah modulus geser dari material interface. Untuk pergerakan horizontal yang kecil dari lapis interface, regangan geser dapat didefinisikan sebagai : γ = Δu t (II.3) Dimana Δu adalah pergeseran horizontal relatif pada dua sisi dari interface, sehingga persamaan (II.2) menjadi : τ = G Δu t τ = G Δ u t τ = Ks. Δu (II.4) dimana Ks = t G adalah modulus geser reaksi horizontal pada interface. Persamaan ini merupakan persamaan konstitutif dari Goodman yang menggambarkan prilaku dari interface (Goodman et al., 1968). 13

Romanoschi dan Metcalf (2001) mendefinisikan model interface dengan Model Mekanis. Model mekanis dari interface adalah menyatakan hubungan antara pergerakan geser sepanjang bidang interface dengan tegangan geser dan normalnya. Beberapa model mekanis telah dikembangkan untuk menggambarkan prilaku mekanik dua massa batuan yang berbeda. Selama pergeseran, interface mengalami 2 macam pergeseran relatif, yaitu pertama pergeseran normal yang membuat pergerakan antar dua lapis makin berjauhan dan kedua pergeseran tangensial terhadap bidang interface. Dari model mekanis ini kemudian dapat dikembangkan model konstitutifnya. Model konstitutif dari interface dapat diturunkan dengan baik dari data yang dihasilkan oleh Direct Shear Test pada beban normal yang konstan. Karena beban normal yang konstan maka coupling antar tegangan dapat diabaikan dan permasalahan dapat lebih mudah diformulasikan dan dianalisis (Romanoschi dan Metcalf, 2001). Gambar II.1 Model Makroskopis dari Interface Antar Lapis Perkerasan Beraspal (Romanoschi dan Metcalf, 2001) Model makroskopis yang diusulkan disebut dengan Model Dua Tahap, yaitu tahap pertama adalah tahap dimana shear displacement proporsional dengan shear stress sesuai dengan kaidah Goodman, derajat kemiringannya disebut Interface Reaction Modulus (K). Pada tahap pertama ini, shear stress akan terus meningkat sampai interface mengalami keruntuhan, shear stress maksimum pada saat runtuh disebut Shear Strength (S max ). Tahap yang kedua adalah tahap setelah interface runtuh, 14

interaksi antar lapis perkerasannya digambarkan sebagai Simple Friction yang diparameterkan dengan koefisien gesekan, mu. Oleh karena itu Model Dua Tahap ini mempunyai tiga paramater, yaitu : K, S max dan mu, seperti diilustrasikan pada Gambar II.1 II.3 Bond Strength dan Bond Stiffness Bond Strength dan Bond Stiffness adalah dua parameter yang berbeda yang menunjukkan kondisi daya lekat pada interface antar lapis perkerasan. Istilah bond strength terkait dengan tegangan geser (shear stress) maksimum yang dapat dipikul oleh interface antar lapis perkerasan beraspal tepat pada saat runtuh (West et al., 2005), sedangkan istilah bond stiffness terkait dengan nilai rasio tegangan geser dan besar pergerakan gesernya yang terjadi pada interface antar lapis perkerasan beraspal. Istilah ini dipakai oleh Hakim et al. (2002) untuk menggambarkan modulus geser reaksi horizontal pada interface seperti yang terlihat pada persamaan II.4. Pengertian Bond Strength erat kaitannya dengan konsep shear stress yang menunjukkan prilaku kekuatan geser dari suatu bahan. Istilah Shear Stress (τ) adalah menunjukkan besarnya respons dari interlayer lapis perkerasaan akibat gaya horizontal (F) yang diterapkan pada lapisan perkerasan tersebut, seperti terlihat pada Gambar II.2 berikut : τ F Gambar II.2 Kasus Shear Stress 15

Yang dimaksud dengan Bond Strength (B s ) adalah shear stress maksimum yang menyebabkan keruntuhan daya lekat antar lapis perkerasan beraspal tersebut. Persamaan Shear Stress dan Bond Strength adalah sebagai berikut.(west et al., 2005) τ = Bs = F A F max A (II.5) (II.6) τ = Shear Stress (kg/cm 2 ) Bs = Bond Strength (kg/cm 2 ) F max = Beban maksimum yang diterima sampel (kg) A = luas penampang melintang sampel (cm 2 ) Tinjau elemen interface pada Gambar II.3, untuk Bond Stiffness dapat diturunkan dari persamaan konstitutif dari Goodman et al. (1968) seperti yang dinyatakan pada persamaan II.7 sebagai berikut : τ = G. γ τ = G ( Δu / t ) Gambar II.3 Elemen Interface τ = ( G / t ). Δ u ; jika Ks = (G / t ) τ = Ks. Δu. K s = τ Δu (II.7) dimana Ks adalah Bond Stiffness (MN/m 3 atau MPa/m ) 16

Persamaan II.7 merupakan definisi dari Bond Stiffness sekaligus menunjukkan hubungannya dengan Shear Stress. Kemiringan dari kurva Shear Stress-Displacement pada Gambar II.4 adalah merupakan nilai bonding stiffness pada interface antar lapisan beraspal (Hakim et al., 2000). K s = τ Δu Gambar II.4 Kurva Hubungan Shear Stress dengan Bonding Stiffness (Hakim et al., 2000) II.4 Modulus Tangen dan Modulus Sekan Salah satu dari beberapa parameter elastis yang dipergunakan untuk analisis deformasi dari benda padat diberikan oleh kemiringan dari bagian lurus kurva tegangan regangan (Bowles, 1984). Parameter ini yaitu modulus elastisitas, E, adalah: Δσ E = Δε (II.8) Modulus elastisitas merupakan ukuran dari deformasi dan kekakuan material. Apabila penggambaran tegangan regangan berupa lengkungan, suatu interpretasi akan 17

dibutuhkan dalam memperoleh modulus tangen ataupun modulus sekan seperti terlihat pada Gambar II.5 berikut : Gambar II.5 Modulus Tangen dan Modulus Sekan (Bowles, 1984) Kurva-kurva tegangan regangan untuk material beraspal, merupakan kurva yang tidak linier atau melengkung sepanjang batas-batas yang harus ditinjau. Walaupun lebih biasa menyebut modulus tegangan-regangan dari pada modulus elastisitas. Biasanya Modulus Tegangan-Regangan diberi subskrip untuk membedakan dengan modulus elastisitas seperti rumus berikut : E s = Δσ Δε (II.7) Pada umumnya modulus tangen awal dipakai untuk menghitung E s yang secara tidak langsung memungkinkan pemakaian batas-batas linier. Terdapat dua metode yang biasa dipakai untuk menghitung modulus tegangan-regangan dari kurva-kurva tegangan regangan yang tidak linier : 1. Modulus Tangen, modulus yang berdasarkan kemiringan garis yang menyinggung kurva tegangan regangan pada satu titik. Modulus tangen awal merupakan modulus yang paling biasa dipakai (garis singgung terhadap titik asal), oleh karena kemiringan pada titik tidak sangat berpengaruh oleh faktor lingkungan. 18

2. Modulus Sekan, modulus yang berdasarkan pada kemiringan garis sekan. Garis Sekan memotong kurva tegangan-regangan pada dua titik. Apabila dipakai, kedua titik ini biasanya berjarak sama dari tegangan yang bekerja. Gambar II.6 Contoh Perhitungan Modulus Tangen dan Modulus Sekan (Bowles, 1984) Collop et al (2003) menggunakan modulus tangen untuk menghitung shear reaction modulus atau Bond Stiffness pada serangkaian percobaan dengan menggunakan Leutner Test, seperti yang diilustrasikan pada Gambar II.7 Gambar II.7 Grafik tipikal Shear Stress-Displacement menggunakan Leutner Test (Collop et al., 2003) 19

II.5 Pengaruh Kondisi Bonding Antar Lapis Perkerasan Terhadap Kinerja Perkerasan. Pengaruh kondisi interface terhadap kinerja perkerasan terlihat dari percobaan yang dilakukan terhadap beberapa perkerasan empat lapis. Terdapat beberapa variasi tegangan, regangan dan lendutan akibat kondisi bonding, seperti terlihat pada Tabel II.1 (Uzan et al., 1968). Tabel II.1.Hasil analisis struktur pada Perkerasan 4-Lapis dengan berbeda kondisi interface (Uzan et al., 1967) Terlihat pada Tabel II.1, besarnya tegangan, regangan dan lendutan aktual untuk tiga kasus kondisi interface yang berbeda dibandingkan dengan tegangan, regangan dan lendutan untuk kasus daya lekat yang kuat. Terlihat bahwa dalam banyak kasus tegangan, regangan dan lendutan meningkat jika salah satu kondisi interface berubah dari rough (daya lekat kuat) menjadi smooth (tidak ada daya lekat sama sekali). Tabel II.1 tersebut juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan regangan tarik pada bagian bawah lapis perkerasan yang terletak dekat interface yang mempunyai kondisi bonding yang telah berubah. 20

Uzan et al. (1967) menunjukkan distribusi regangan radial pada lapis perkerasan dengan merubah kondisi interface antar dua lapis pertama dengan bantuan program BISAR. Dinyatakan bahwa perubahan kondisi interface dari daya lekat yang kuat sampai dengan tidak ada daya lekat sama sekali, regangan tarik radial pada bagian bawah lapis pertama menjadi tertinggi dan regangan tarik radial pada bagian atas lapis kedua sebaliknya berubah menjadi tekan. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Shahin et al (1986) seperti terlihat pada Gambar II.8. Gambar II.8 Regangan horizontal pada sumbu roda tunggal DC-9 (Shahin et al., 1986) Brown dan Brunton (1984) meneliti pengaruh dari kurangnya daya lekat antar lapis perkerasan, lihat Tabel II.2. Sebagai referensi kasus, struktur pertama-tama dianalisis dengan interface sangat kasar yang berarti daya lekat yang kuat. Selanjutnya struktur di analisis kembali dengan kondisi interface yang kasar sebagian atau licin pada masing-masing interface yang pertama (bagian atas) dan interface yang kedua (bagian bawah) secara bergantian. Tabel II.2 menunjukkan persentase usia perkerasan dengan daya lekat yang lemah terhadap perkerasan dengan daya lekat yang kuat, sehingga untuk perkerasan dengan daya lekat yang kuat pada kedua interface menghasilkan nilai 100%. Brown dan Brunton (1984) menyimpulkan bahwa perkerasan dengan daya lekat yang lemah akan menyebabkan kerusakan lokal yang 21

prematur dan perkerasan dengan daya lekat yang sedang pada kedua interface dapat mengurangi usia perkerasan sampai menjadi 30% nya. Tabel II.2 Usia perkerasan dengan daya lekat yang lemah yang dinyatakan dengan persentase terhadap perkerasan dengan daya lekat yang kuat (Brown dan Brunton, 1984). Note : HRA, Hot Rolled Asphalt DBM, Dense Bitumen Macadam S-base, Subbase W-mix,, Wet mix. Hakim (2002) menunjukkan dengan baik pengaruh daya lekat antar lapis perkerasan terhadap mekanisme keruntuhan perkerasan jalan. Terdapat dua macam mekanisme keruntuhan pada perkerasan lentur, yaitu rutting dan fatigue cracking. Rutting timbul dari akumulasi regangan permanen struktur perkerasan. Jika regangan vertikal pada bagian atas lapis subgrade masih dibawah nilai tertentu, kerusakan rutting tidak akan terjadi kecuali desain campuran beraspalnya tidak baik serta pemadatan yang kurang pada saat pelaksanaan. Retak pada campuran beraspal akan timbul dari perulangan 22

regangan tarik maksimum yang terjadi pada bagian bawah lapis campuran beraspal. Jika retak mulai terjadi, hal ini kemudian akan menyebar keatas dan perlahan-lahan menyebabkan keruntuhan perkerasan. (O flaherty, 1985). Hakim (2002) menjelaskan bahwa jika diasumsikan daya lekat nya tetap tidak berubah selama usia perkerasan dan tidak sensitif terhadap temperatur, maka perkerasan dengan daya lekat yang lemah akan menyebabkan kerusakan perkerasan jalan lebih cepat, seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.9 dan Gambar II.10. Gambar II.9 Pola Permulaan Retak dan Penyebarannya yang dimulai dari bagian bawah perkerasan (Hakim, 2002) Gambar II.10 Pola permulaan retak dan penyebarannya yang dimulai dari permukaan perkerasan (Hakim, 2002) Gambar II.9 menunjukkan bahwa pada perkerasan dengan daya lekat yang lemah masing-masing lapis perkerasan bekerja sendiri-sendiri sehingga jika terjadi retak akibat lemahnya subgrade akan menyebabkan keretakan pada dua lapis yang bersamaan sehingga kerusakan jalan akan lebih cepat terjadi. Sebaliknya Gambar 23

II.10 menunjukkan bahwa jika retak dimulai dari permukaan perkerasan dan menyebar terus ke lapis interface yang daya lekatnya lemah, hal ini mungkin akan berlanjut menyebar ke arah horizontal yang menyebabkan penggeseran (slippage) lapis perkerasan dan retak tidak akan berlanjut ke lapis dibawahnya. Kruntcheva et al.(2005) melakukan studi teoritis untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang konsekuensi dari daya lekat yang lemah terhadap kinerja perkerasan lentur. Dua pendekatan pemodelan yang berbeda telah dilakukan. Yang pertama adalah struktur perkerasan dianalisis dengan program BISAR yang melibatkan kondisi interface dengan tingkat daya lekat yang berbeda-beda serta beban statis standar horizontal dan vertikal ganda. Hasilnya menunjukkan bahwa kondisi daya lekat antar lapis binder coarse dengan base dapat mengurangi usia perkerasan menjadi sampai dengan 80% nya. Untuk kondisi daya lekat yang lemah antara surface coarse dan binder coarse, usia perkerasan sangat sensitif terhadap beban horizontal yang diakibatkan oleh lalu lintas. Yang kedua adalah dengan menggunakan pemodelan linear dan non linear elemen hingga dua dimensi untuk mengevaluasi kinerja struktur perkerasan yang mempunyai derajat daya lekat yang bervariasi dengan pembebanan vertikal dan horizontal. Romanoschi dan Metcalf (2001) menunjukkan dengan suatu pendekatan analitis tentang pengaruh beban horizontal dan kondisi interface terhadap usia perkerasan menggunakan metoda elemen hingga dengan bantuan progam ABAQUS. Struktur perkerasan yang ditinjau adalah struktur perkerasan empat lapis, yang tersusun dari lapis atas ke bawah terdiri dari lapis wearing, binder, granular base dan subgrade, lapisan wearing dan binder berupa campuran beraspal. Sejumlah empat belas kasus terkait kombinasi beban horizontal dan kondisi interface yang dianalisis dengan mengevaluasi stress dan strain nya. Dari nilai strain yang didapat untuk setiap kasus dihitung usia perkerasannnya dengan model fatigue cracking yang merupakan nilai maksimum dari regangan tekan vertikal pada bagian atas lapis subgrade yang kemudian digunakan untuk menghitung jumlah perulangan beban sampai terjadi 24

keruntuhan. Analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa beban horizontal secara signifikan berpengaruh pada nilai regangan horizontal pada lapis permukaan beraspal dan sedikit berpengaruh pada regangan vertikal pada bagian atas subgrade. Akhirnya kombinasi beban horizontal dan kondisi interface yang kasar sebagian berpengaruh terhadap terjadinya pengurangan usia perkerasan sebesar 15 kali dibandingkan dengan struktur perkerasan standar yang hanya dibebani beban vertikal dan kondisi interface yang daya lekatnya sangat kuat. Ziari dan Khabiri (2007) melakukan studi pengaruh kondisi interface terhadap usia perkerasan lentur. Model persamaan dari SHELL terkait dengan regangan tekan vertikal pada bagian atas subgrade digunakan untuk menghitung usia perkerasan dari sisi serviceability life. Selain itu model fatigue yang diturunkan dari percobaan laboratorium juga digunakan dalam evaluasi usia perkerasan ini dari sudut fatigue life. Program komputer Kenlayer digunakan untuk memodelkan interface kasar dan licin dan akhirnya pendekatan elemen hingga digunakan untuk mengevaluasi struktur perkerasannya untuk menghitung tegangan dan regangan yang terjadi. Terdapat empat kasus yang ditinjau dari struktur perkerasan empat lapis dengan dua kondisi interface yang masing-masing dikombinasikan, seperti terlihat pada Tabel II.3. Tabel II.3 Empat kasus kondisi interface (Ziari dan Khabiri, 2007) Dari empat kasus yang dikembangkan tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa dengan mengasumsikan kondisi interface yang tidak kasar akan mengurangi usia perkerasan sampai dengan 25% nya, apabila dibandingkan dengan perkerasan yang diasumsikan kondisi interfacenya sangat kasar, seperti terlihat pada Gambar II.11 25

Gambar II.11 Fatigue dan Serviceability Life untuk kondisi interface yang berbeda (Ziari dan Khabiri, 2007) II.6 Pengujian Laboratorium Kondisi Bonding Pengujian laboratorium untuk mengetahui kondisi bonding antar lapis perkerasan beraspal biasanya dilakukan dengan menggunakan Direct Shear Test. (Uzan et al., 1978; Kruntcheva et al., 2006; Mohammad et al., 2005). Pengujian ini biasanya melibatkan pemberian beban normal disamping pemberian beban geser sampai keruntuhan daya lekat terjadi. Uzan et al. (1978) melakukan pengujian yang sama menggunakan kotak geser pada sample persegi dan menemukan bahwa tahanan geser dari interface menurun secara signifikan dengan meningkatnya temperatur dan menurunnya tegangan normal. Hasil pengujian lainnya yang didapat dari beberapa kombinasi material yang diuji mendapatkan kadar optimum dari aplikasi pemberian tack coat pada kondisi tegangan geser yang maksimum pada interface. Mohammad et al. (2005) menggunakan shear box yang dikombinasikan dengan Superpave Shear Tester (SST). Walaupun bentuk luar cetakannya adalah persegi, specimen yang digunakan pada saat pengujian adalah berbentuk silinder diameter 150mm. Cetakan terdiri dari dua bagian dengan kedalaman 50,8 mm yang sudah 26

dipersiapkan untuk dipasangkan dengan sebuah LVDT (Linear Variable Differential Transducer) aksial dan geser, seperti terlihat pada Gambar II.12. Gambar II.12 Cetakan Direct Shear Test yang dimasukkan ke SST (Mohammad et al.,2005) Pada pengujian dengan SST ini diberikan beban geser dengan tingkat pembebanan 222,5 N/min pada specimen sampai akhirnya runtuh. Dengan SST ini diukur displacement dari specimen interface menggunakan LVDT, kemudian hasilnya diplot ke grafik seperti pada Gambar II.13 Gambar 11.13 Hasil pengujian SST tipikal (Mohammad et al., 2005) Romanoschi dan Metcalf (2001) menggunakan Direct Shear Test dengan beban normal untuk menguji sampel coring diameter 95 mm untuk memperkirakan besaran interface dari material perkerasan yang didapat dari full scale test di USA, seperti 27

terlihat pada Gambar II.14. Pengujian dilakukan untuk meneliti interface antara lapis permukaan (surface coarse) dan binder coarse dengan dan tanpa ditambahkan tack coat. Terdapat 3 macam suhu dan empat level pembebanan normal yang diterapkan pada sampel pengujian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada bagian awal pengujian tegangan geser meningkat secara linear terhadap pergeserannya. Keruntuhan terjadi ketika tegangan gesernya mencapai maksimum dan setelah runtuh perilaku gesekan (frictional) diamati. Romanoschi dan Metcalf (2001) menemukan bahwa walaupun variabilitas dari hasil pengujian sangat tinggi, nilai shear strength dan shear reaction modulus dari interface yang diuji berturut-turut berada pada rentang 0.5 2.5 MPa dan 200 1200 MPa/m Gambar II.14 Alat Direct Shear Test (Romanoschi dan Metcalf, 2001) Collop et al. (2003) melakukan pengukuran kondisi bonding dengan menggunakan Leutner Shear Test. Alat ini dikembangkan di Jerman pada akhir tahun 1970an untuk secara sederhana melakukan percobaan direct shear pada interface antara dua lapis campuran beraspal. Pengujian ini dilakukan terhadap sampel silinder dengan diameter 150 mm baik yang dibuat di laboratorium maupun langsung diambil dari lapangan. Prinsip pengujian adalah dengan menerapkan tingkat pergeseran yang konstan sepanjang interface dan dihitung gaya gesernya. Beban normal tidak diaplikasikan pada percobaan ini, seperti terlihat pada Gambar II.15. 28

Gambar II.15 Alat Leutner Shear Test (Collop et al.,2003) Tingkat pergeseran yang diterapkan pada pengujian ini adalah sebesar 50mm/min sehingga sistem pembebanan Marshall dan CBR dapat dimanfaatkan. Perlu dicatat bahwa walaupun Leutner Test mempunyai proses pengujian yang mudah dibandingkan jenis shear box test dengan pembebanan normal, pengujian ini tetap rawan terhadap tegangan geser interface yang tidak seragam (Sutanto et al., 2006) Terkait dengan pengujian dengan Leutner Shear Test, Sutanto et al. (2007) melakukan modifikasi terhadap alat ini dengan membuat gap pada shear plane sebesar 5mm untuk memberikan toleransi agar interface dari sample dapat lurus dengan shear plane alat ini, seperti terlihat pada Gambar II.16 29

Gambar II.16 Diagram skematik dari Leutner Shear Test yang dimodifikasi (Sutanto et al., 2007) Sholar et al. (2004) mengembangkan alat direct shear test yang sama untuk pengujian terhadap sample core tanpa beban normal. Tingkat pembebanan yang dilakukan adalah sebesar 50 mm/min pada temperatur 25 o C dan bukaan antar kotak gesernya sebesar 4.8mm. Beberapa variabel lain seperti kadar aplikasi tack coat dan pengaruh air juga diterapkan pada pengujian. Sholar et al. (2004) menemukan bahwa adanya air pada permukaan tack coat mengurangi nilai shear strength. Selain itu untuk beberapa kombinasi material, peningkatan aplikasi kadar tack coat akan meningkatkan shear strength sedangkan kombinasi material lainnya tidak. Hachiya dan Sato (1998) telah melakukan penelitian pengaruh tack coat terhadap daya lekat antar material beraspal. Pengujian di lapangan dilakukan dengan pengambilan core sample dari perkerasan lapangan terbang untuk dilakukan pengujian geser. Pengujian di laboratorium dilakukan untuk memeriksa bagaimana karakteristik daya lekat antar lapis perkerasan beraspal dipengaruhi oleh adanya debu dan kotoran yang melekat di perkerasan lama. Kesimpulan yang didapat antara lain jarak waktu antara pembuatan lapisan penutup dan lapisan dibawahnya berpengaruh terhadap bond strength, tegangan akan berkurang jika interval waktunya meningkat akibat kotoran yang terakumulasi, curing time tack coat berpengaruh terhadap 30

kekuatan geser, kekuatan daya lekat untuk curing time 1 jam kurang dari curing setelah 24 jam. Selain itu penggunaan material tack coat yang baru juga mendukung terhadap kekuatan bond strength nya. Beberapa contoh desain sampel untuk berbagai macam percobaan dapat dilihat pada Gambar II.17 Gambar II.17 Direct Shear Test untuk AC dan Emulsified Asphalt (Hachiya dan Sato, 1998) Soendiarto (2004) melakukan percobaan Direct Shear untuk sampel perkerasan komposit pada variasi kadar tack coat dari 0,2 ltr/m 2 sampai dengan 0,6 ltr/m 2 dan variasi pembebanan normal maksimum sampai dengan 80 kg. Kadar tack coat optimum yang memberikan tegangan geser maksimum adalah sebesar 0,4 ltr/m 2 untuk aspal emulsi, seperti terlihat pada Gambar II.18. Gambar II.18 Kurva Tegangan Geser untuk variasi kadar tack coat Aspal Cair (Soendiarto, 2004) 31

West et al. (2005) telah melakukan penelitian yang disponsori The Alabama Department of Transportation tentang Bond Strength yang meliputi percobaan laboratorium dan hasilnya dilanjutkan dengan penelitian lapangan. Pada percobaan di laboratorium, sampel yang digunakan adalah sampel desain Superpave bentuk silinder dengan diameter 150mm dan tinggi 115mm kemudian di uji dengan alat Direct Shear seperti terlihat pada Gambar II.18. Gambar II.18 Alat Direct Shear Test (West et al., 2005) Variasi percobaan dilakukan terhadap faktor-faktor tipe campuran beraspal, jenis tack coat, kadar tack coat, beban normal dan temperatur, dengan total sampel sebanyak 324 buah. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa semua faktor mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai bond strength dan temperatur pengujian mempunyai pengaruh yang paling signifikan. Beban normal mempengaruhi Bond Strength dan berbeda untuk temperatur tinggi, menengah dan rendah. Pada temperatur yang tinggi ketika beban normal meningkat maka nilai bond strength juga meningkat. Pada temperatur rendah dan menengah, bond strength tidak terlalu sensitif terhadap beban normal yang diberikan. Tahap kedua dari penelitian ini melibatkan pengujian di lapangan dengan menerapkannya ke tujuh macam proyek yang berbeda. Variasi dilakukan terhadap kadar tack coat dan jenis tack coat. 32

Santagata dan Canestari (1994) menggunakan suatu alat Direct Shear Test yang disebut Ancona Shear Testing Research and Analysis (ASTRA) untuk melakukan studi pengaruh temperatur dan permukaan lapisan perkerasan terhadap prilaku geser dari interface lapis perkerasan seperti terlihat pada Gambar II.19 Gambar II.19 Direct Shear Test ASTRA (Santagata dan Canestari, 1994) Beberapa perbaikan telah dilakukan terhadap alat tersebut selama sepuluh tahun terakhir. Di alat yang disebut ASTRA ini sudah terdapat beban normal pada sampel selama pengujian geser dengan tingkat pergeseran 2,5mm/min. Raab dan Partl (2004) menggunakan alat pengujian Layer Parallel Direct Shear (LPDS) untuk melakukan penyelidikan yang ekstensif terhadap interlayer adhesion dari sample yang dibuat di laboratorium dengan kadar tack coat yang bervariasi. Alat LPDS tersebut terlihat pada Gambar II.20. Sampel terpotong material beraspal dilekatkan kembali dengan mesin gyratory dengan kondisi interface yang licin dan dikasarkan dengan sanblast. Hasilnya adalah sampel yang smooth (tanpa sandblast) mempunyai gaya geser yang lebih tinggi dibandingkan sampel yang kasar. 33

Gambar II.20 Alat LPDS (Raab dan Partl, 2004) Review terhadap beberapa pengujian diatas, akan menjadi referensi pada pengembangan alat pengujian Direct Shear pada penelitian ini. II.7 Model Elemen Hingga Struktur Perkerasan Metoda elemen hingga adalah suatu metoda analisis struktur dengan menggantikan suatu continuum dengan sejumlah elemen-elemen diskrit yang terhingga dan terhubungkan satu sama lain dengan titik-titik nodal (Kumar, 1986). Oleh karena itu untuk penyelesaian analisis struktur perkerasan perlu dikembangkan model elemennya terlebih dahulu. Wolff (1982) mengusulkan untuk masalah struktur perkerasan tiga dimensi dapat didekati dengan model axisimetric dua dimensi dengan mengambil elemen hingga pada ukuran 2 x 3 meter, seperti terlihat pada Gambar II.21 34

Gambar II.21 Model Axisimetric Struktur Perkerasan (Wolff, 1982) Kruntcheva et al. (2005) melakukan pemodelan struktur perkerasan lentur lima lapis dan interface nya menggunakan pendekatan elemen hingga dengan bantuan program ANSYS yang melibatkan analisis linier dan non linier serta pembebanan vertikal dan horizontal. Geometri dan besaran perkerasan yang ditinjau dapat dilihat pada Gambar II.22. Gambar II.22 Struktur Perkerasan Lentur dan Propertinya (Kruntcheva et al.,2005) Model perkerasan dibentuk meshing nya menggunakan elemen PLANE82 untuk analisis linier dan PLANE42 untuk analisis non linier. Untuk memodelkan subgrade 35

yang tak hingga digunakan digunakan elemen SURF19 sepanjang batas bawah model dengan modulus sama dengan modulus subgrade, seperti terlihat pada Gambar II.23. Gambar II.23 Meshing Elemen Hingga dari Struktur Perkerasan Yang Ditinjau (Kruntcheva et al., 2005) Model elemen hingga ini mempunyai ukuran 5m horizontal dan 4,5m vertikal. Ukuran elemen paling kecil yang digunakan pada model FE tersebut adalah 20mm dan paling besar 200mm serta formasi elemen sangat halus disekitar area pembebanan. Kondisi batas model elemen hingga ini adalah pada batas kanan derajat kebebasannya terikat penuh sehingga UX=UY=0, pada batas kiri yang merupakan sumbu simetri dari model derajat kebebasannya terikat pada pergerakan horizontal sehingga UX=0 dan batas paling bawah menggunakan elemen permukaan yang menumpu pada subgrade yang tak hingga. Untuk memodelkan interface yang daya lekatnya sebagian, digunakan lapis tipis dengan tebal 5 mm dan melalui serangkaian simulasi didapatkan modulus elastis yang mewakili daya lekat yang sebagian ini adalah kurang dari 100 MPa. Hasil dari analisis metoda elemen hingga ini kemudian divalidasi dengan program BISAR yang menunjukkan kecenderungan yang sama dalam hal kenaikan berbagai macam parameter yang disimulasikan. Namun nilai-nilai respons yang diberikan mempunyai perbedaan persentasi yang lebih kecil dibandingkan hasil program BISAR. 36

Romanoschi dan Metcalf (2001) melakukan analisis struktur perkerasan lentur lima lapis menggunakan pendekatan elemen hingga dengan bantuan program ABAQUS yang melibatkan analisis linier dan pembebanan vertikal dan horizontal. Besaran struktur perkerasan yang ditinjau terlihat pada Tabel II.4. Tabel II.4 Besaran Struktur Perkerasan Karena terdapat dua sistem pembebanan yang dimodelkan, yaitu kombinasi vertikal dan horizontal, dan pembebanan vertikal saja, maka meshing elemen hingga nya ada dua macam, yaitu Mesh I dan Mesh II dengan ukuran 3,42 m panjang, 3,8 m lebar dan kedalaman 7,8 m, seperti terlihat pada Gambar II.24. Gambar II.24 Mesh I (kiri) dan Mesh II (kanan) (Romanoschi dan Metcalf, 2001) 37

Untuk memodelkan kondisi interface, program ABAQUS mempunyai fasilitas untuk hal ini dengan menggunakan fitur contact interaction. Fitur ini biasanya digunakan untuk memodelkan friksi antar dua permukaan kaku atau elastis. Dengan fitur ini kondisi interface yang daya lekatnya parsial dapat dimodelkan. Lebih jauh lagi, Uddin et al. (1998) melakukan studi analisis dinamis dari kerusakan struktur perkerasan lentur dengan menggunakan pendekatan elemen hingga tiga dimensi. Elemen yang digunakan adalah elemen SOLID tiga dimensi dengan bantuan program komputer ABAQUS, seperti terlihat pada Gambar II.25.. Gambar II.25 Model SOLID dari Struktur Perkerasan (Uddin et al., 1998) Untuk pemilihan model elemen hingga, sangat tergantung kepada sampai sejauh mana simplifikasi dari model struktur perkerasan dalam hal faktor pembebanan, kondisi liniearitas, kondisi anisotropis dari material serta berbagai macam faktor lainnya terkait asumsi struktur perkerasan tersebut. 38