BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif. yang normalnya hidup sebagai flora normal di sistem

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

ABSTRAK PREVALENSI GEN OXA-24 PADA BAKTERI ACINETOBACTER BAUMANII RESISTEN ANTIBIOTIK GOLONGAN CARBAPENEM DI RSUP SANGLAH DENPASAR

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Penelitian. Enterobacteriaceae merupakan patogen yang dapat menyebabkan infeksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Antibiotik merupakan substansi yang sangat. bermanfaat dalam kesehatan. Substansi ini banyak

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Antibiotik merupakan pengobatan utama dalam. manajemen penyakit infeksi. Namun, akibat penggunaan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL)

Beberapa Faktor Resiko pada Pasien dengan Infeksi oleh E. coli dan K. pneumoniae Penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DISTRIBUSI DAN POLA KEPEKAANENTEROBACTERIACEAE DARI SPESIMEN URIN DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA PERIODE JANUARI JUNI 2015

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

DAFTAR ISI. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klebsiella pneumoniae... 9 B. 10 C.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Faradila Keiko Yulia Rosa. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, Indonesia. Abstrak

Maya Savira* Keywords: Extended spectrum beta lactamases, MacConkey, cefpodoxim, Mueller-Hinton, ChromID TM ESBL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs

Bab I Pendahuluan. Penyakit infeksi merupakan masalah di Indonesia. Salah satu penanganannya adalah dengan antibiotik.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. melioidosis (Udayan et al., 2014). Adanya infeksi B. pseudomallei paling sering

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

: NATALIA RASTA MALEM

BAB I PENDAHULUAN. baik di Indonesia maupun di dunia, hal ini terjadi karena penggunaan antibiotik

4. HASIL. Tabel 4.1. Jumlah isolat dari Bangsal Bedah RSUPNCM tahun No Kode Organisme Jumlah Isolat eco Escherichia coli

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Enterobacter sp. merupakan bakteri gram negatif. berbentuk batang. Enterobacter sp.

BAB 1 PENDAHULUAN. Kateter uretra merupakan alat yang digunakan untuk. keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

II. TINJAUAN PUSTAKA. Escherichia Coli pertama kali diidentifikasi oleh dokter hewan Jerman,

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

Identification of SHV Gene among Enterobacteriaceae Produce Extended- Spectrum Beta-Lactamases (ESBLs) Yuwono

BAB I PENDAHULUAN UKDW. jika menembus permukaan kulit ke aliran darah (Otto, 2009). S. epidermidis

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MEDIA MEDIKA INDONESIANA

Identifikasi Gen SHV pada Enterobacteriaceae Produsen Extended-Spectrum Beta-Lactamases (ESBLs)

BAB I PENDAHULUAN. satunya bakteri. Untuk menanggulangi penyakit infeksi ini maka digunakan

ABSTRAK ANTIBIOGRAM INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT DI LABORATORIUM MIKROBIOLOGI KLINIK RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI -DESEMBER 2008

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. juga dikenal sebagai Hospital-acquired infection atau sekarang lebih dikenal

METODELOGI PENELITIAN. Umum DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dan Laboratorium. Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dalam waktu 4

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

Pola resistensi antimikroba pada infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL dan non-esbl

POLA KEPEKAAN KUMAN TERHADAP ANTIBIOTIKA DI RUANG RAWAT INAP ANAK RUMAH SAKIT KANKER DHARMAIS JAKARTA TAHUN 2014

I. PENDAHULUAN. penyakit menemui kesulitan akibat terjadinya resistensi mikrobia terhadap antibiotik

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

PREVALENSI DAN POLA RESITENSI BAKTERI BATANG GRAM NEGATIF PENGHASIL EXTENDED SPECTRUM BETALACTAMASE

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Salah satu kuman penyebab infeksi saluran cerna adalah Shigella, yang

Pola Mikroba Pasien yang Dirawat di Intensive Care Unit RSUP Sanglah Denpasar serta Kepekaannya Terhadap Antibiotik pada Agustus Oktober 2013 ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POLA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA INFEKSI SALURAN NAFAS BAWAH DI RSUD DR. MOEWARDI TAHUN 2014 SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

POLA KUMAN PASIEN YANG DIRAWAT DI RUANG RAWAT INTENSIF. RSUP Dr. KARIADI SEMARANG ARTIKEL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

The Determining type of Extended-Spectrum Β-Lactamase Enzyme (ESBL) from Escherichia coli

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

Uropathogen and Antibiotics Resistant Pattern of Bacteria Isolated from Urine of Uranary Tract Infection Patients in RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

INFEKSI OLEH BAKTERI PENGHASIL EXTENDED-SPECTRUM BETA-LACTAMASE (ESBL) DI RSUP Dr. KARIADI SEMARANG:

Ave Olivia Rahman 1. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama. morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. kematian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai akibatnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kata kunci : ICU, pola kepekaan, pola mikroba, pola kuman, antibiotik

BAB 1 PENDAHULUAN. dari saluran napas bagian atas manusia sekitar 5-40% (Abdat,2010).

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

BAB I PENDAHULUAN. melalui program proyek desa tertinggal maupun proyek lainnya, namun sampai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dan merupakan suatu uji diagnostik.

Transkripsi:

10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi 2.1.1. β- Lactamase β-lactamase adalah enzim yang memiliki kemampuan menghidrolisis ikatan 4-cincin betalaktam dari antibiotik beta-laktam (penisilin, cephalosporins, monobactams dan carbapenems). 27,28 Enzim ini memiliki mekanisme yang penting atas terjadinya resistensi antibiotik β-laktam. Sampai tahun 2001, sudah ada 340 varian β-lactamase yang berhasil diidentifikasi. Sangat penting untuk mengetahui tipe dari β-lactamase ini karena berdampak terhadap pemilihan agen antimikroba dalam penanganannya. Cincin ß-lactam : target dari ß-lactamase ß-lactam ring terbuka oleh ß- lactamase : menghasilkan kelemahan dalam mengeliminasi bakteri Gambar 1. Reaksi hidrolitik oleh β-laktamase pada ikatan amida dari cincin β- laktam 28

11 β-lactamase dikelompokkan atas 4 kelas (Ambler,1980) yaitu kelas A, B, C dan D yang berasal dari dua kelompok utama serine dan metallo-blactamases. Ada beberapa pembagian untuk klasifikasi betalaktamase. 3,19,29 ESBL umumnya diturunkan dari enzim TEM atau SHV dan keduanya termasuk kelas molekuler kelas A dan menjadi grup fungsional 2be. 28 Tahun 1968, beberapa metode klasifikasi diajukan. Namun klasifikasi menurut Bush, Jacoby dan Medeiros lebih lengkap dengan mengkombinasikan elemen-elemen dari pembagian sebelumnya dan mengkorelasikannya dengan struktur molekuler 19. Tabel 1. Klasifikasi β- lactamase berdasarkan kelas molekuler dan fungsional 28 Kelas Kelas Karakteristik Fungsional Molekuler Grup 2a A 25-32 Penicillinase spektrum sempit, dibawa oleh bakteri Gram-negatif dan diinhibisi oleh asam klavulanat Contoh: Klebsiella pneumoniae chromosomal β-lactamase, LEN-1. Grup 2b A 22-36 kda penicillinase spektrum luas, diinhibisi oleh asam klavulanat Contoh: Enterobacter cloacae plasmid pdso76 β-lactamase, OHIO-1. Grup 1 C 40 kda Cephalosporinase tidak diinhibisi oleh inaktivator. Contoh : Pseudomonas aeruginosa strain PA01 chromosomal AmpC β-lactamase Grup 2be A 28-29 kda, extended spectrum β- lactamases (ESBL) tipe TEM dan SHV, diinhibisi oleh inaktivator. Contoh : Pseudomonas aeruginosa, PER- 1.

12 Grup 2b5 A 24 kda β-lactamases spektrum luas, tidak diinhibisi dengan baik oleh inaktivator Contoh:Escherichia coli strain GUER plasmid β-lactamase,tem-30. Grup 2c A 22-34 kda Carbenicillinase tipe PSE diinhibisi oleh inaktivator. Contoh : Acinetobacter calcoaceticus strain A85-145 β-lactamase, CARB-5. Grup 2d D 29-53 kda Oxacillinases, tidak diinhibisi dengan baik oleh inaktivator Contoh:Salmonella typhimurium strain type 1a β-lactamase, OXA-2. Grup 2e A 27-48 kda Cephalosporinases diinhibisi oleh inaktivator. Contoh: Yersinia enterocolitica strain y56 chromosomal β-lactamase Grup 2f A 29-30 kda Serine Carbapenemases Contoh: Serratia marcescensstrain S6 chromosomal β-lactamase, Sme-1. Grup 3 B 25-120 kda, Metallo-carbapenemases) métallo-β-lactamases. Contoh:Chryseopbacterium (Flavobacterium) indologenes chromosomal β-lactamase ditemukan di Burkina Faso (Africa) dinamakan IND-B. 2.1.2 ESBL ESBL termasuk subgroup 2be (Ambler s class A ) dan subgrup 2d (Ambler s class D) berdasarkan kriteria β-lactamase Bush Jacoby Medieros. ESBL dikenal berspektrum luas karena memiliki menghidrolisis antibiotik golongan penicillin, cephalosporin generasi I, II, III serta golongan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem). 5,7,13,16,19,22,28-30

13 Enzim ini muncul segera setelah pengenalan spektrum luas sefalosporin dan pertama kali dilaporkan di Eropa pada awal tahun 80-an, namun saat ini telah ditemukan di seluruh dunia. ESBL, seperti disebutkan sebelumnya, adalah bentuk mutan enzim TEM-1, TEM-2 dan SHV-1. ESBL sering berbeda dari enzim aslinya dengan hanya satu sampai beberapa perubahan dalam urutan asam aminonya. 27,29 Faktor genetik memegang peranan penting dalam terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik. 29 Gen penyebab resistensi terletak pada elemen genetik yaitu kromosom, plasmid, transposon dan integron. Elemen genetik khususnya transposon, plasmid dan integron dapat bertukar bebas antar bakteri secara horizontal melalui proses konjugasi, transduksi dan transformasi. Proses tersebut menyebabkan terjadinya MDR pada beberapa antibiotik. ESBL termasuk plasmid-mediated β lactamase yang dapat menyebar secara horizontal melalui konjugatif plasmid dan integron. 27,29 2.2 Klasifikasi ESBL Banyak variasi genotip ESBL. Genotip yang paling banyak adalah tipe SHV, TEM, dan CTX-M. Tipe lain yang penting adalah VEB dan PER, 7,27,30 2. 2.1. TEM (Temniore) 29,30 Klasifikasi TEM berdasarkan perbedaan perubahan kombinasi asam amino. TEM-1 pertama kali dilaporkan pada tahun 1965, dimana TEM-1 ini berasal dari isolat E.coli di Athena, Yunani dan disebut Temoneira sehingga sejak itu digunakan istilah TEM. TEM-1 β-lactamase menimbulkan resisten

14 terhadap ampicillin, penicillin dan generasi pertama cephalosporin seperti cephalothin dan cephaloridine. Enzim ini berperan 90% dalam resistensi ampicillin pada E. coli, juga berperan pada resistensi penicillin pada H. influenza dan Neisseria gonorrhea. Walaupun tipe TEM lactamase kebanyakan ditemukan pada E. coli dan K. pneumonia, tapi ditemukan juga pada bakteri gram negatif lainnya. Tipe TEM ESBL dilaporkan pada Enterobacteriaceae seperti Enterobacter aerogenes, Morganella morganii, Proteus mirabilis, Proteus rettgeri, dan Salmonella spp. Tipe TEM ini juga ditemukan pada bakteri gram negatif non- Enterobacteriaceae. TEM-42 lactamase ditemukan pada P. aeruginosa. TEM 17-lactamse didapatkan dari kultur darah dari Capnocytophaga ochracea 2.2.2. SHV (Sulfhydryl Variable) 27,29,30 SHV-1 dan TEM-1 memiliki struktur yang mirip, 68% asam amino yang ada di SHV-1 juga terdapat di TEM-1. Tipe SHV-1 lactamase, awalnya ditemukan pada K. pneumonia, yang mana merupakan chromosomally encoded-enzyme yang menimbulkan resistensi pada penicillin dan generasi pertama cephalosporin. SHV mengacu pada variabel sulfhydril dan termasuk dalam grup 2be. Kebanyakan varian SHV yang memiliki fenotip ESBL memiliki karakter khusus pada pertukaran asam amino dari serin ke glisin pada posisi 238. Variasi atau turunan dari SHV lebih sedikit dari TEM. Saat ini, telah ditemukan 36 turunan SHV. Tipe SHV kebanyakan ditemukan pada K. pneumonia, namun dapat ditemukan pula pada Citrobacter diversus, E. coli, and P. aeruginosa

15 2.2.3. CTX-M (Cefotaxime Munich) 5,26,28,29 Beberapa tahun belakangan ini, sudah ditemukan sebuah famili plasmid-mediated ESBL yang memiliki tingkat hidrolisis yang kuat terhadap cefotaxime, dinamakan CTX-M. Tipe ini banyak ditemukan pada Salmonella enterica serovar Typhimurium dan E. coli, namun ditemukan juga pada beberapa spesies Enterobacteriaceae lain. Enzim ini terdiri dari CTX-M-1, CTX-M-2 sampai CTX-M-10. 2.2.4. ESBL tipe lain 5 Variasi ß-lactamase lainnya telah berhasil ditemukan yaitu plasmidmediated atau integron-associated class A enzyme. Tipe ini memiliki titik mutasi yang tidak sederhana dari ß-lactamase. Mereka dikarakteristikkan berdasarkan perbedaan geografisnya. 2.2.4.1. PER ( Pseudomonas aeruginosa) Bagian dari ESBL tipe PER hanya 25-27% yang homologi dengan tipe TEM dan SHV. PER-1 memiliki kemampuan untuk menghidrolisis penisilin dan cephalosporin, namun sensitif terhadap inhibisi dari asam klavulanat. PER-1 pertama ditemukan pada strain Pseudomonas aeruginosa di Turki. Pada perkembangannya ditemukan pula pada Salmonella entericaserovar typhimurium, Acitenobacter baumanii, Proteus mirabilis dan Alcaligenes fecali. Walaupun PER-1 kebanyakan ditemukan di Turki, namun belakangan dideteksi juga di Prancis, Italia, Belgia dan Korea. PER-2 yang 85 % -nya homology dengan PER-1, telah didapatkan pada Salmonella entericaserovar

16 typhimurium, E. coli, K. pneumonia, dan Vibrio cholera O1. PER-2 kebanyakan terdapat di Amerika Selatan 2.2.4.2. VEB (Vietnam Extended Spectrum β-lactamase) VEB-1 memiliki homologi yang paling besar dengan PER-1 dan PER-2 (38%). Mereka memiliki kemampuan resistensi tingkat tinggi terhadap ceftazidime, cefotaxime and aztreonam. VEB-1 pertama kali ditemukan pada isolat E. coli di Vietnam. Sebuah ß-lactamase lain yang memiliki struktur yang identik dengan VEB-1 telah ditemukan juga pada K.pneumonia, Enterobacter cloaca and Pseudomonas aeruginosa di Thailand. Enzim VEB lainnya ditemukan juga di Kuwait dan China. Masih ada juga beberapa tipe ESBL lainnya yang telah ditemukan namun jarang dilaporkan karena masih dalam jumlah yang sedikit pada daerah geografis yang terbatas. GES dan IBC ß-lactamase ditemukan di P. aeruginosa. Tipe yang jarang lainnya : BES, SFO, dan TLA yang ditemukan pada Enterobacteriaceae. 2.3. Epidemiologi Saat ini ESBL telah menjadi masalah yang serius di beberapa rumah sakit di berbagai negara dan di berbagai institusi. Sejak ditemukannya pertama kali, yaitu pada pertengahan tahun 1980-an, ESBL telah semakin cepat menyebar dan bermutasi menjadi beberapa tipe. Saat ini, organisme penghasil ESBL memang telah menyebar secara luas di seluruh dunia dan prevalensinya semakin meningkat. 5

17 Fenomena ESBL dimulai di Eropa Barat, kemungkinan karena disanalah pertama β-laktam kali antibiotik β-laktam digunakan secara klinis. Namun tidak membutuhkan waktu yang lama sampai akhirnya ESBL ditemukan di Amerika Serikat dan Asia. ESBL pertama kali ditemukan di Jerman pada tahun 1983, sedangkan di Prancis tahun 1985. Tak lama setelah itu,terjadi wabah infeksi nosokomial di Prancis yang disebabkan oleh strain K. pneumonia. Sedangkan di Amerika Serikat ESBL ditemukan pada akhir 1980-an. 16 Dari sebuah survei oleh SENTRY Antimicrobial pada darah selama tahun 1997-2002 menunjukkan bahwa isolat 81,213 kultur Klebsiella spp. yang memiliki fenotip sebagai penghasil ESBL adalah sebanyak 42.7% di Latin America, 21.7% di Eropa dan 5.8% di Amerika Selatan. 14 Menurut studi yang dilakukan The Pan European Antimicrobial Resistance using Local Surveillance (PEARLS) selama 2001-2002 menunjukkan persentase ESBL diantara E. coli, K. pneumonia dan Enterobacter spp adalah 5,4 %, 18,2%, dan 8,8% secara respektif. 15 Sangat mengejutkan bahwa ternyata menurut data dari EARSS tahun 2010, resistensi terhadap generasi ketiga cephalosporin pada E.coli meningkat 2,6% di Sweden hingga 25% di Bulgaria; sedangkan pada K. pneumonia berada pada angka 1,7% di Sweden dan meningkat ke level yang sangat tinggi yaitu 75,6% dan 74,6% di Bulgaria dan Yunani. 16 Secara keseluruhan tingkat produksi ESBL pada kombinasi Enterobacteriaceae adalah 10,5%. Angka kejadian tertinggi adalah di Mesir (38,5%) dan Yunani (27,4%) sedangkan yang terendah adalah di Belanda (2%) dan Jerman (2,6%). 15

18 Di Afrika, studi pertama dilakukan di Tanzania pada tahun 2001-2002 dengan mengambil sampel darah dari neonatus. Hasilnya ditemukan 25% E. coli dan 17% K.pneumonia penghasil ESBL, kebanyakan merupakan jenis CTX-M-15 dan TEM-63. 31 Pada penelitian lebih lanjut yang dilakukan di sebuah rumah sakit tersier di Mwanza, Tanzania, didapati prevalensi ESBL pada bakteri Gram Negatif sebanyak 29%, yang kebanyakan 64% K. pneumonia dan 24% E. coli. 32 Di Saudi Arabia prevalensi yang tepat untuk kejadian ESBL belum diketahui, namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PEARLS (2001-2002) menunjukkan bahwa keseluruhan tingkat produksi ESBL dari Enterobacteriaceae adalah 18,6 % dan laporan lainnya menunjukkan bahwa ESBL telah menjadi umum dan semakin menyebar diantara Rumah Sakit. 14,33 Dalam sebuah Rumah Sakit perawatan tersier di Riyadh, 48 % K. pneumonia dan 15,8% E.coli dari kultur darah yang dikumpulkan dari Januari 2003 sampai Desember 2004 adalah merupakan produsen ESBL. 34 Di Asia, diterbitkan beberapa artikel pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an melaporkan adanya muncul infeksi ESBL jenis enzim SHV-2 dan Toho-1 (CTX-M-44) di China dan Jepang. 35 Berdasarkan survei yang dilakukan SENTRY telah terjadi peningkatan prevalensi K. pneumonia penghasil ESBL (sampai 60%) dan E. coli (13-35%) di beberapa bagian China dengan predominan jenis enzim CTX-M-14 dan CTX-M-3. 36 Sedangkan di New Delhi, laporan pertama infeksi Enterobacteriaceae diterbitkan pada tahun 2001. 37 Kemudian, Ensor dkk menemukan telah terjadi

19 resistensi dari cephalosporin generasi ketiga pada E.coli dan K. pneumonia dari tiga pusat kesehatan di India sedangkan di Mathai menemukan bahwa tingkat infeksi dari Enterobaacteriaceae penghasil ESBL telah mencapai 70%. 38,39 Sementara di daerah lain di Asia, prevalensi ESBL cukup bervariasi, yaitu 4,8% di Korea sampai 12% di Hongkong. 15,17 Di Indonesia, masih sedikit sekali data mengenai ESBL. Menurut penelitian yang dilakukan oleh The Indonesia Antimicrobial Resistance tahun 1999, didapati bahwa terdapat 33.3% K. pneumonia penghasil ESBL dan 23.0% E. coli penghasil ESBL. 19 Sebuah studi lain yang dilakukan pada tahun 2005 di RS. Dr. Soetomo di Surabaya, melaporkan bahwa terdapat 86% K.pneumonia penghasil ESBL yang didapat dari isolat urin dan darah. 20 Sebelumnya, tahun 2004 prevalensi E.coli ESBL di Surabaya sebesar 10,8%. 21

20 Gambar 2. Prevalensi ESBL pada E. coli dan K. pneumonia dari berbagai studi dan EARRS 16 2.4. Organisme penghasil ESBL Meskipun ESBL telah banyak ditemukan pada berbagai Enterobacteriaceae dan Pseudomonadaceae di berbagai belahan dunia, namun mereka paling sering teridentifikasi dalam Klebsiella pneumonia dan Escherechia coli. 5,7-9 Pada berbagai belahan dunia 10-40% strain Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae mengekspresikan ESBL. 5,6 Bakteri lain yang pernah dilaporkan sebagai penghasil ESBL adalah Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter spp., Salmonella spp., Morganella morganii, Proteus mirabilis dan Serratia marcescens. 9-13 2.4.1. Klebsiella pneumonia Anggota genus Klebsiella tersebar luas di lingkungan (air, tanah, dan tanaman). Mereka dapat hidup dalam keadaan bebas di lingkungan untuk periode waktu yang panjang. Klebsiella juga ditemukan sebagai bakteri komensal yang normal dalam saluran pencernaan vertebrata dan mamalia, termasuk burung, reptil dan bahkan serangga. Pada manusia, K. pneumonia merupakan kuman saprofit yang terdapat di nasofaring dan saluran cerna. 13 Klebsiella, biasanya K. pneumonia dan K. oxytoca, merupakan kuman patogen yang penting dalam pelayanan kesehatan. Spesies ini sering menyebabkan infeksi nosokomial, seperti septikemia, endokarditis, pneumonia, osteomielitis dan infeksi saluran kemih. Klebsiella sebagai penyebab infeksi nosokomial terkait dengan pemakaian antibiotik yang luas.

21 Pemakaian antibiotik yang luas ini menyebabkan terjadinya resistensi. Pada tahun 1980-an ditemukan Klebsiella yang menghasilkan ESBL. K. pneumonia menghasilkan ESBL tipe enzim SHV-1 diperantarai plasmid ataupun kromosomal. 3 Mekanisme lain yang menyebabkan terjadinya resisten dan multiresisten pada K. pneumonia yaitu melalui permeabilitas membran luar. Permeabilitas membran luar K. pneumonia dipengaruhi oleh adanya porin. Klebsiella mempunyai dua porin, yaitu OmpK35 dan OmpK36. K. pneumonia yang menghasilkan ESBL mengalami mutasi pada gen gyra sehingga hanya mempunyai satu porin saja. Penurunan ekspresi dari membrane luar porin ini sering disertai dengan produksi ESBL yaitu tipe TEM atau SHV yang menyebabkan resisten terhadap cefepime atau tipe AmpC yang resisten terhadap imipenem. 29 2.4.2. Escherichia coli Spesies bakteri dari genus Escherichia yang paling sering diisolasi dari specimen klinik adalah E. coli. Organisme merupakan penghuni utama di usus besar, dan juga merupakan isolate penyebab utama infeksi saluran kemih, pneumonia, meningitis, serta septicemia. 13 Paparan terhadap antibiotika yang tidak tepat akan menyebabkan berkembangnya bakteri E. coli yang resisten, naik melalui plasmid maupun melalui kromosom. Terbentuknya enzim ESBL menyebabkan E. coli resisten terhadap golongan penisilin, cephalosporin dan aztreonam. Resistensi E. coli terhadap golongan quinolon disebabkan karena berkurangnya pembentukan porin, sehingga permeabilitas melalui membrane luar akan berkurang. 29

22 2.5. Faktor Resiko Infeksi oleh Organisme Penghasil ESBL Peningkatan penyebaran infeksi ESBL diduga terkait dengan berbagai faktor resiko. Sangat penting untuk mengidentifikasi faktor risiko untuk infeksi organisme penghasil ESBL secara jelas sehingga strategi yang efektif untuk membatasi wabah infeksi ini dapat dikembangkan. Beberapa studi telah berusaha menjelaskan berbagai faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi oleh organisme penghasil ESBL. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan dalam epidemiologinya, kurangnya konsensus termasuk kegagalan untuk membedakan kolonisasi dari infeksi yang sebenarnya, kurangnya kelompok pembanding, kecilnya jumlah pasien dan terbatasnya pada populasi pasien tertentu serta membatasi penyelidikan hanya untuk pasien-pasien di ruang rawat intensif. 24 Secara umum, pasien yang memiliki resiko tinggi mendapat kolonisasi atau terinfeksi bakteri penghasil ESBL adalah mereka yang memiliki penyakit yang serius dengan durasi rawatan rumah sakit yang lama dan menggunakan peralatan medis invasive (kateter urin, endotracheal tube, central venous lines). 11,16,25 Dari beberapa penelitian, durasi rawatan antara 11 sampai 67 hari merupakan faktor resiko infeksi oleh bakteri penghasil ESBL. 11 Perawatan ICU juga merupakan salah satu resiko, hal ini terkait dengan penggunaan berbagai alat invasive seperti ventilator, nasogastric tube, endotracheal tube, gastrostomy atau jejunostomy tube, central venous line, pemberian nutrisi parenteral, 11,16,40

23 Faktor resiko lain adalah perawatan di rumah atau fasilitas kesehatan lain dalam jangka waktu yang lama, penyakit dasar, pembedahan, tingkat keparahan penyakit, hemodialisa dan nutrisi yang kurang, 16,28 Beberapa penyakit dasar juga dilaporkan memiliki hubungan dengan infeksi oleh organisme penghasil ESBL, yaitu : infeksi saluran kemih berulang, diabetes 2,16, 22, mellitus, keganasan, penyakit paru obstruktif, pembedahan, dan sepsis 41 Pemakaian antibiotik pertama juga turut berperan, biasanya berhubungan dengan kuinolon, cephalosporin generasi III, co-trimoxazole, dan metronidazol. 2,11,16 2.6. Metode Deteksi ESBL Mengidentifikasi organisme yang produsen ESBL adalah tantangan utama untuk laboratorium mikrobiologi klinik. Karena ESBL telah ditemukan di seluruh dunia, berbagai strategi pendeteksiannya telah dikembangkan. 2.6.1. Skrining ESBL Menurut CLSI, metode skrining untuk organisme penghasil ESBL adalah metode cakarm difusi (disk diffusion test) dan dilution antimicrobial susceptibility test. 42 2.6.1.1 Disk Diffusion Test CLSI menyarankan tes ini untuk klebsiella, Escherichia coli, and Proteus mirabilis. Pemeriksaan dengan metode cakram difusi ini dapat menskrining organisme penghasil ESBL dengan mencatat diameter zona

24 tertentu yang mengindikasikan dengan kuat kecurigaan adanya ESBL. Disk yang sering digunakan adalah Cefpodoxime, Ceftazidime, Cefotaxime, atau Ceftriaxon. Penggunaan disk lebih dari satu agen dapat meningkatkan sensitivitas deteksi ESBL. Jika salah satu diameter zona menunjukkan kecurigaan ESBL (+), maka dilakukan konfirmasi dengan tes fenotipik untuk memastikan diagnosa. Pada 1995, Thomson dan Sanders mendapatkan bahwa metode cakram difusi dengan menggunakan cefpodoxime sangat baik untuk membedakan organisme penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL pada Klebsiella pneumoniae dan E. coli. 43 Awalnya CLSI merekomendasikan zona diameter <22 mm untuk cakram 10 μg cefpodoxim dalam menskrining ESBL. Namun sayangnya, skrining dengan menggunakan cefodoxime pada diameter <22mm kurang sensitif untuk menyaring E. coli penghasil ESBL. Untuk itu, CLSI memberikan rekomendasi baru untuk mengubah batas diameter zona cefodoxime menjadi <17mm untuk menskrining ESBL. Acuan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. 42 2.6.1.2 Dilution antimicrobial susceptibility tests (Metode MIC) CLSI menyarankan metode dilusi untuk menskrining keberadaan ESBL pada Klebsiella dan E. coli. Awalnya tes skrining ESBL menggunakan cefpodoxime dengan MIC > 2 μg/ml. Namun sekarang, tes ini dapat menggunakan ceftazidime, aztreonam, cefotaxime, dan ceftriaxone pada konsentrasi 1 μg/ml. Jika didapati nilai MIC > 2 μg/ml, maka dicurigai sebagai penghasil ESBL yang kemudian dilanjutkan dengan tes konfirmasi fenotipik.

25 Tabel. 2. Kriteria MIC dan Zona Inhibitor untuk mendeteksi ESBL pada K.pneumoniae and E.coli 19 Antibiotik Diameter untuk sensitif strain Zona Diameter untuk kemungkinan strain ESBL MIC strain sensitif MIC untuk kemungkinan strain ESBL Aztreonam 30g 22 mm 27 mm 8 mg/l 2 mg/l Cefotaxime 30g 23 mm 27 mm 8 mg/l 2 mg/l Cefpodoxime 21 mm 22 mm 8 mg/l 2 mg/l 10g Ceftazidime 30g 18 mm 22 mm 8 mg/l 2 mg/l Ceftriaxone 30g 21 mm 25 mm 8 mg/l 2 mg/l 2.6.2 Tes Konfirmasi Fenotipik 41,44 NCCLS merekomendasikan tes konfirmasi fenotipik pada K. pneumoniae, K. oxytoca, or E. coli penghasil ESBL dengan menggunakan cefotaxime - ceftazidim saja dan mengkombinasikannya dengan asam clavulanat. Menurut CLSI, tes konfirmasi fenotipik organisme penghasil ESBL adalah Cephalosporin / Clavulanat Combination Disc ) dan Broth dilution test 2.6.2.1. Cephalosporin / Clavulanat Combination Disc CLSI menggunakan cakram cefotaxime (30 μg) atau ceftazidime (30 μg) tanpa clavulanat untuk konfirmasi fenotipik keberadaan ESBL pada Klebsiellae dan E. coli. Cara membuat disk ini yaitu larutan asam klavulanat ditambahkan pada disk cephalosporin, kemudian di inkubasi selama 1 jam, setelah itu baru dapat digunakan. Tes ini dilakukan pada agar Mueller Hinton. Dikatakan phenotypic conformation ESBL positif jika terjadi perbedaan

26 diameter 5 mm antara disk cephalosporin (tanpa klavulanat) dengan disk cephalosporin / klavulanat. Harus ditekankan bahwa cefotaxime dan ceftazidime dengan atau tanpa clavulanat harus digunakan. Alasannya, penggunaan ceftazime secara tunggal menimbulkan ketidakmampuan untuk mendeteksi organisme yang memproduksi enzim CTX-M. 2.6.2.2. Broth Dilution Tes konfirmasi fenotipik dapat juga dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan broth dilution dengan menggunakan ceftazidime (0.25 s/d 128 μg/ml), ceftazidime ditambah clavulanic acid (0.25/4 s/d 128/4 μg/ml), cefotaxime (0.25 s/d 64 μg/ml), dan cefotaxime ditambah clavulanic acid (0.25/4 to 64/4 μg/ml. Untuk meningkatkan sensitivitas metoda ini, ceftazidime dan cefotaxime harus digunakan. Dikatakan phenotypic conformation ESBL positif jika terdapat penurunan 3 kali lipat serial pada MIC cephalosporin yang mengandung asam klavulanat dibandingkan yang tidak mengandung asam klavulanat. Metoda ini dapat bekerja dengan baik untuk K.pneumoniae dan E.coli yang memproduksi ESBL. 2.6.3 Metode deteksi lain untuk organism penghasil ESBL 2.6.3.1 Double Disk Synergy Test (DDST)

27 Pada tes ini cakram cephalosporin (30 μg/ml) dan asam klavulanat (10 μg/ml) dipisahkan sejauh 30 mm dari tengah ke tengah pada media Muller- Hinton Agar (MHA). Tes ini dikatakan positif jika terdapat zona yang jernih dan memanjang dari zona penghambatan cephalosporin terhadap cakram asam klavulanat, keadaan ini disebut sinergi. 2.6.3.2. Tes Komersil ESBL Metode pendeteksian ESBL yang komersil adalah E test, AB Biodisk (Solna, Sweden), Vitek 2 (biomerieux Vitek, Hazelton, Missouri), MicroScan panels dari Dade Behring MicroScan (Sacramento,California, USA), BD Phoenix Automated Microbiology System dari Becton Dickinson Biosciences (Sparks, MOMaryland,USA). 45 Wiegand dkk melakukan suatu studi perbandingan terhadap tes konfirmasi fenotipik yang konvensional dibandingkan dengan beberapa tes yang telah tersedia secara komersil. Hasilnya : Phoenix memiliki sensitivitas tertinggi (99%) diikuti oleh Vitek 2 (98%) dan Micro Scan (94%); sedangkan spesifisitasnya sangat bervariasi yaitu 52% pada Phoenix dan 78 % pada Vitek 2. Sedangkan pada uji E test strips dengan empat cakram kombinasi (termasuk ceftazidime, cefotaxime, cepodoxime, dan cefpirome) menunjukkan sensitivitas 94% dan 93% dan spesifisitas 85 % dan 81%. 46 2.7. ESBL Kaitannya dengan Tingkat Mortalitas, Lamanya Rawatan, dan Beban Ekonomis Berbagai penelitian telah banyak dilakukan untuk mencari hubungan antara infeksi oleh organisme penghasil ESBL dengan tingkat mortalitas.

28 Beberapa studi tersebut menemukan adanya hubungan antara oleh organisme penghasil ESBL dengan kegagalan terapi yang kemudian mengakibatkan kematian, namun sebaliknya ada juga studi yang tidak menemukan hubungan tersebut. Keberbedaan studi tersebut dirangkumkan pada tabel di bawah ini. Tabel 3. Outcome dari pasien-pasien dengan bakteremia yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL : studi retrospektif 47 Bentuk penelitian, referensi Studi nonkomparatif, Paterson et al Wong-Beringer et al studi Komparatif menemukan tidak ada hubungan antara status ESBL dengan outcome, Du Strain ESBL Spesifik antibiotik yang berhubungan dengan mortalitas K. pneumonia Semua pasien diterapi dengan 3GCs dan 4GCs; CTZ (n = 2), Ceftriaxone (n = 4), E. coli & K. pnemumonia E. coli & K. pnemumonia Schiappa et al E. coli & K. pnemumonia Yoon et al K. pneumonia - dll (n = 4) 2 (28%) dari 7 pasien yg diberikan 3GC : meninggal 12 (36%) dari 33 pasien yg diberikan 3GC : meninggal 19 dari 31 pasien dengan CTZ-R mendapat terapi yang tepat: 1 (5%) meninggal, 12 pasien tidak mendapat terapi yang tepat; 5 (42%) meninggal Outcome (mortality atau gagal) 60% gagal terapi, 40 % meninggal 14% gagal terapi. 19% meninggal 26% gagal terapi, 13% meninggal 27% gagal terapi, 29% meninggal 19% meninggal

29 Chemaly et al K. pneumonia - 29% meninggal 12% meninggal Kim et al K. pneumonia - 23% meninggal Studi komparatif menemukan adanya hubungan penting antara status ESBL dengan outcome, Arrifin et al Kim et al E. coli & K. pnemumonia K. pneumonia 8 (50%) dari 16 pasien strain CTZ-R Meninggal a ; 2(13.3%) dari 15 pasien strain CTZ-S meninggal 4(23%) dari 17 pasien yang diberikan ES Ceph meninggal 1 (2%) dari 50 pasien yang diberikan ES Ceph meninggal Ho et al E. coli 3 (43%) dari 7 pasien diberikan terpi empiric CTZ (MIC < 8 µg/ml) meninggal - 27% meninggal 6% meninggal 18% meninggal 7% meninggal Catatan : 3GC, cephalosporin Generasi 3; 4GC, Cephalosporin Generasi 4; CTZ, ceftazidime; CTZ-R, CTZ-resistant; CTZ-S, CTZ-susceptible; ES Ceph : extended-spectrum cephalosporin; UTI : Urinary Tract Infection. Secara umum, pasien dengan infeksi oleh organisme penghasil ESBL memiliki outcome klinis yang kurang baik karena organisme ini memiliki tingkat resistensi yang tinggi pada berbagai antibiotik. Angka mortalitas terhadap pasien yang diterapi dengan antibiotik yang tidak tepat mencapai 42-100%. 5 Di Inggris, Meltzer dan Jacobsen melakukan suatu studi prosepektif pada pasien dengan bakteremia E. coli dan mereka menemukan secara signifikan bahwa angka kematian pada pasien dengan E. coli penghasil ESBL lebih tinggi 32 persen dibandingkan dengan kelompok E. coli yang tidak menghasilkan ESBL. Keterlambatan pemberian terapi antibiotik

30 yang tepat diduga merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada infeksi oleh organisme penghasil ESBL. Hampir dengan hasil yang hampir sama, suatu studi kasus-kontrol oleh Quresi dkk meemukan bahwa pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat berhubungan kuat dengan tingginya angka mortalitas pada pasien-pasien yang terinfeksi oleh baik K. pneumonia dan ESBL penghasil ESBL 16 Pemberian terapi yang tidak tepat pada infeksi ESBL ini juga tentunya berdampak pada lamanya rawatan rumah sakit dan kemudian berdampak besar pada biaya episode bakteremia. Jadi tidaklah mengherankan jika infeksi oleh organisme penghasil ESBL ini mengakibatkan peningkatan beban ekonomis.para klinisi harus menggunakan terapi antibiotik yang lebih mahal karena timbulnya berbagai resistensi, bahkan tak jarang pasien membutuhkan terapi antibiotik secara parenteral. Lautenbach menunjukkan bahwa infeksi oleh karena K. pneumonia dan E. coli penghasil ESBL membutuhkan biaya 2.9 kali lebih tinggi dengan infeksi oleh bakteri non-esbl, pada studi lain juga terjadi peningkatan 1.5-1.7 kali lipat biaya yang diperlukan. 16 2.8. Terapi ESBL Keterbatasan pemilihan antibiotik untuk penanganan infeksi oleh organisme penghasil ESBL menjadi suatu persoalan yang rumit bagi para klinisi. ESBL yang dihasilkan oleh Enterobacteriaceae seringkali menunjukkan resistensi terhadap antibiotik beta-laktam termasuk cephalosporin, aztreonam dan penisilin. Lebih jauh lagi, jenis antibiotik seperti trimethoprim-

31 sulfamethoxazole dan aminoglikosida terutama gentamisin seringkali kotransfer melalui plasmid sehingga menimbulkan MDR. Berikut ini beberapa antibiotik yang telah dilakukan uji in vitro terhadap keefektifannya menghadapi infeksi oleh organisme penghasil ESBL : 1. Carbapenem Secara in vitro, golongan carbapenem (termasuk imipenem, meropenem, doripenem, ertapenem) adalah yang memiliki aktivitas paling tinggi dalam menghadapi aktivitas organisme penghasil ESBL karena kestabilannya dalam menghidrolisis ESBL. Berdasarkan berbagai penelitian-penelitian, Carbapenem merupakan antibiotik pilihan dalam menghadapi berbagai infeksi serius yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL. 11 Penggunaan carbapenem terbukti menurunkan angka mortalitas pada infeksi serius yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL. 47 The Meropenem Yeary Susceptibility Test Information Collection Surveillance Program melaporkan bahwa dari tahun1997 sampai dengan 2000, meropenem dan imipenem memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghadapi aktivitas isolat gram negatif pada ICU-ICU di Negara Eropa, bahkan lebih kuat dari Ceftazidime. Perbedaan tersebut lebih nampak pada strain organisme penghasil ESBL. Carbapenem secara konsisten memiliki aktivitas tinggi dalam menghadapi E. coli dan K. pneumonia penghasil ESBL. 47 2. Piperacilin-tazobactam 11, 47

32 The SENTRY Antimicrobial Surveillance Program memeriksa 2773 organisme dari pasien pneumonia yang dirawat di 30 Rumah Sakit di Amerika Serikat dan Kanada pada tahun 1998. Mereka mendapati bahwa secara tes in vitro, > 90% organisme penghasil ESBL sensitif terhadap piperacilin-tazobactam, hampir sama kemampuannya dengan cefepime, imipenem, meropenem, aminoglikosida, dan fluoroquinolon. Sebagai perbandingan, hanya 77,6% dan 79,6% Klebsiella penghasil ESBL yang sensitif terhadap ceftazidime dan cefotaxime. 3. Aminoglikosida 47,48 Golongan aminoglikosida memberikan berbagai aktivitas yang berbeda. Sebagian besar organisme penghasil ESBL sudah resisten terhadap gentamisin sehubungan dengan co-transfer oleh plasmid. Dari antara semua aminogikosida, amikasin menunjukkan angka sensitivitas yang cukup baik di beberapa Negara bagian Amerika Serikat. Dengan tingkat resistensi sekitar 10% di Amerika Serikat, amikasin merupakan alternatif lain sebagai terapi empirik ketika agen yang lain tidak dapat digunakan. Pemakaian aminoglikosida dalam menghadapi organisme penghasil ESBL sudah dengan baik dibuktikan. 4. Fluoroquinolon 47 Antibiotik quinolon menunjukkan keterbatasan dalam terapi infeksi oleh organisme penghasil ESBL. Ciprofloxacin dilaporkan efektif untuk pasien dengan infeksi oleh K. pneumonia penghasil ESBL yang gagal diterapi dengan cefotaxime dan resisten terhadap ceftazidime.

33 Fluoroquinolones sangat berguna untuk pengobatan infeksi saluran kemih, karena konsentrasinya tinggi dalam urin. Peningkatan co-resisten fluoroquinolon mulai melemahkan efektivitasnya dalam menghadapi organisme penghasil ESBL. Suatu studi prospektif multisenter terhadap infeksi aliran darah oleh K. pneumonia dilakukan pada 7 negara menemukan bahwa 18% isolat penghasil ESBL resisten terhadap ciprofloxacin. Faktor resiko yang menyebabkan resistensi ini adalah pemakaian fluoroquinolon sebagai antibiotik pertama, pemakaian aminoglikosida dan lamanya rawatan. 5. Cephalosporin generasi empat Cefepime adalah salah generasi keempat cephalosporin yang lebih stabil dibandingkan generasi ketiga cephalosporin terhadap beberapa organisme penghasil ESBL dan sangat stabil terhadap tipe AmpC β-laktamase. Penelitian secara in vitro telah mengkonfirmasi bahwa organisme penghasil ESBL sebagian besar sensitif terhadap cefepime. 47

34 2.9. Kerangka Teori Extended Spectrum Beta-Laktamase F a k t o r R e s i k o Penyebaran Sangat Cepat Masalah : Kesulitan pemilihan antibiotik untuk terapi, Lamanya rawatan, Beban Ekonomis,Mortalitas Terapi Antibiotik yang tepat