Upaya Memahami Sejarah Perkembangan Kota dalam Peradaban Masa Lampau untuk Penerapan Masa Kini di Kota Pusaka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

dokumen-dokumen yang mirip
AGENDA AKSI DEKADE KETIGA GERAKAN PUSAKA INDONESIA DASA WARSA Tema "Pusaka untuk Kesejahteraan Rakyat"

PERANSERTA STAKEHOLDER DALAM REVITALISASI KAWASAN KERATON KASUNANAN SURAKARTA TUGAS AKHIR. Oleh: YANTHI LYDIA INDRAWATI L2D

KONFERENSI PERPUSTAKAAN DIGITAL INDONESIA 2008 BERBAGI PENGALAMAN DALAM PEMBANGUNAN MUATAN LOKAL TENTANG PUSAKA BALI

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang

PROGRAM JANGKA PENDEK: - Peningkatan kapasitas P3KP - Pengelolaan secara internal

Permasalahan dan prinsip-prinsip konservasi kawasan pusaka 1. Permasalahan konservasi/pelestarian

PRESERVASI DAN KONSERVASI (Pelestarian Bangunan dan Lingkungan) Oleh: Jonny Wongso, ST, MT

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

PERUBAHAN FASADE DAN FUNGSI BANGUNAN BERSEJARAH (DI RUAS JALAN UTAMA KAWASAN MALIOBORO) TUGAS AKHIR. Oleh: NDARU RISDANTI L2D

BAB 7. PENCAPAIAN PELAKSANAAN AKSI HINGGA TAHUN

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah remaja di Indonesia memiliki potensi yang besar dalam. usia produktif sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan daerah,

PENGELOLAAN KOTA PUSAKA INDONESIA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR

Visi Misi Gubernur DIY: Rancangan Cascade RPJMD DIY

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

Abito Bamban Yuuwono. Abstrak

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

Gambar 1 Kerangka pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA. Lanskap Sejarah

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG CAGAR BUDAYA KOTA KENDARI

BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG PERATURAN BUPATI KARAWANG

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi salah satu daftar warisan budaya dunia (world heritage list) dibawah

1.1.2 Perpustakaan dan Museum Budaya Sebagai Fasilitas Belajar Budaya

KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

BAB 2 PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN YANG BERLANDASKAN NILAI-NILAI LUHUR

BAB 2 PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN YANG BERLANDASKAN NILAI-NILAI LUHUR

BAB I PENDAHULUAN. Artinya, bagaimana partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 5539) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan ata

Uraian Tugas dan Fungsi Dinas Kebudayaan, Pariwisata Kepemudaan dan Olah Raga Kota Madiun

2.1. TUJUAN PENATAAN RUANG WILAYAH KOTA BANDA ACEH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ashriany Widhiastuty, 2013

Pusaka Kota dan Kota Pusaka

BAB III DESKRIPSI MENGENAI DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN KOTA YOGYAKARTA. 1. Sejarah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mendapatkan gambaran tentang pengertian DESAIN KAWASAN. WISATA PUSAT KERAJINAN PERAK, KAB. BANTUL, perlu diketahui

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGEMBANGAN MASJID AGUNG DEMAK DAN SEKITARNYA SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA

PENGEMBANGAN TAMAN JURUG SEBAGAI KAWASAN WISATA DI SURAKARTA

WORLD HERITAGE DAY A Tribute to Borobudur Community in Conserving a World Heritage. Borobudur Magelang, Jawa Tengah, April 2012

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Daya tarik kepariwisataan di kota Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kementerian Kelautan dan Perikanan

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini diarahkan untuk mengetahui efektivitas dampak kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Karawang Tahun merupakan tahap ketiga dari

BAB I PENDAHULUAN. Setiap daerah di Indonesia memperoleh hak untuk melakukan otonomi daerah

MEMUTUSKAN: : PERATURAN BUPATI TENTANG PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN. Pemerintah akan dibawa dan berkarya agar tetap konsisten dan dapat eksis,

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI, DAN TATA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN.

BAB III LANDASAN TEORI

I. Permasalahan yang Dihadapi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kepada pengembangan sektor jasa dan industri, termasuk di dalamnya

HASIL SIDANG KOMISI 8 REMBUK NASIONAL PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2012

PENDAHULUAN. yang sangat besar, terlebih lagi untuk memulihkan keadaan seperti semula. Sesuai

Forum Keistimewaan DIY

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH

BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 65 TAHUN 2014 TENTANG

2017, No Pemajuan Kebudayaan Nasional Indonesia secara menyeluruh dan terpadu; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hur

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN KHUSUS TERHADAP KOMUNITAS ADAT TERPENCIL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 16 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI DINAS PEKERJAAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG,

biasa dari khalayak eropa. Sukses ini mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk menggiatkan lagi komisi yang dulu. J.L.A. Brandes ditunjuk untuk

2017, No di bidang arsitektur, dan peningkatan mutu karya arsitektur untuk menghadapi tantangan global; d. bahwa saat ini belum ada pengaturan

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. 1 Peta Wisata Kabupaten Sleman Sumber : diakses Maret Diakses tanggal 7 Maret 2013, 15.

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BUDAYA

KEGIATAN TAHUN 2015 & RENCANA KEGIATAN TAHUN 2016

8.12.(2) Proyek Percontohan Kawasan Budaya Kotagede: Konservasi Seni pertunjukan Kampung dan Lingkungannya di Yogyakarta.

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 43 TAHUN 2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. suku, agama, dan adat istiadat yang tak pernah luput dari Anugerah sang

2015 PENGARUH PENYAMPAIAN PEOPLE,PHYSICAL EVID ENCE D AN PROCESS TERHAD AP KEPUTUSAN BERKUNJUNG

BAB II DESKRIPSI LOKASI OBJEK PENELITIAN. Batang Hari. Candi ini merupakan peninggalan abad ke-11, di mana Kerajaan

PELESTARIAN BANGUNAN DAN LINGKUNGAN

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pariwisata merupakan salah satu langkah strategis dalam menunjang

BAB I PENDAHULUAN. penghargaan atas kebhinekaan dan sejarah nusantara. Daerah Istimewa

WALIKOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN DIY TAHUN ANGGARAN Oleh Dinas Kebudayaan DIY 2017

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG

STUDI PARTISIPASI PEDAGANG DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PARTISIPASI DALAM REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN SURAKARTA TUGAS AKHIR

KEBIJAKAN DAN RENCANA PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERKOTAAN TAHUN Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya

BAB I LATAR BELAKANG

PASAR FESTIVAL INDUSTRI KERAJINAN DAN KULINER JAWA TENGAH

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN

Transkripsi:

Upaya Memahami Sejarah Perkembangan Kota dalam Peradaban Masa Lampau untuk Penerapan Masa Kini di Kota Pusaka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Oleh: Catrini Pratihari Kubontubuh Direktur Eksekutif BPPI dan Executive Committee for International of National Trusts Organisation Asian Region serta bekerja di Bank Dunia - Jakarta sebagai tim Social Safeguard Ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang telah berkembang menuntut adanya penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan (Undang Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang) I. Pendahuluan Tantangan dalam melakukan penataan ruang sebuah Kota Pusaka saat ini adalah bagaimana merumuskan langkah strategi penataan ruang kota dalam sinergi kegiatan pelestarian yang tepat. Tidak hanya melibatkan kebijakan/keputusan dan berbagai bentuk advokasi maupun mitigasi terkini, namun penting mempertimbangkan kota dalam peradabannya di masa lampau. Salah satunya adalah dengan mempelajari tipologi perkembangan sebuah kota, yang tentunya akan memberikan gambaran tentang pengaruh-pengaruh bentuk tata ruang kota, perbedaan-perbedaannya serta menemukenali kearifan lokal yang bisa diterapkan di masa kini. Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang besar yang terwujud dan berisikan keragaman pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak ragawi, serta saujana (Adishakti, 2008). Walau kota-kota di Indonesia banyak yang memiliki kelimpahan keragaman pusaka, tetapi klasifikasi sebagai kota pusaka (atau sebutan lain kota bersejarah, kota warisan, ataupun kota cagar budaya) baru mulai dipakai setelah Konferensi Organisasi Kota-kota Pusaka Dunia di Surakarta bulan Oktober 2008 yang berhasil membentuk Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI/Indonesian Heritage Cities Network). Terminologi Kota Pusaka dipakai untuk mendefinisikan sebuah bentuk kota yang menempatkan penerapan kegiatan pelestarian pusaka (heritage) sebagai strategi utama

pengembangan kotanya. JKPI hingga kini telah beranggotakan 33 kota pusaka, termasuk DI Yogyakarta. Inisiatif pembentukan jaringan ini merupakan sebuah upaya strategis untuk membantu penataan ruang kota berbasis pelestarian dalam berbagai kota yang sarat dengan kekentalan tradisi dan keragaman pusaka yang dimilikinya. II. Pemahaman Sejarah Perkembangan Kota Pemahaman sejarah memiliki kandungan akan sesuatu yang tetap yang perlu dipertahankan, bukan berarti tidak bisa menerima perubahan, walau memang ada yang tidak boleh diubah sama sekali. Pembangunan masa depan secara berkelanjutan hendaknya mampu menyinambungkan berbagai peninggalan yang bernilai dengan dinamika zaman secara terseleksi. Termasuk menjadi alat dan modal untuk pengembangan budaya dan ekonomi. Apresiasi dan rasa yang dimiliki insan di bumi terhadap pusaka yang ada menjadi kekuatan utama mencapai tujuan tersebut. Sehingga perkembangan kota merupakan manifestasi dari upaya manusia mengembangkan peradaban yang dimilikinya di masa lalu. Studi sejarah kota di Indonesia meliputi pengenalan konsepsi, struktur dan bentuk kota sebelum zaman kolonial yang didominasi oleh sistem kerajaan. Kota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan kota yang berperan penting dalam menentukan perkembangan sejarah Jawa. Pusat kerajaan di masa lampau merupakan tempat pemusatan hampir seluruh aspek kehidupan kota baik tata ruang, arsitektur dan aktivitas masyarakatnya. Dalam hal ini pusat kerajaan berarti sebuah wilayah kota yang melingkupi keraton serta kompleksnya yang berada di dalam tembok benteng yang mengelilinginya (Santoso, 2008). Dimensi ruang kota sudah terbentuk di masa tersebut dengan pola catur pathus yaitu pusat kota berupa alun-alun dengan bagian sebelah utara adalah lapangan bubat, sebelah timur adalah tempat persembahyangan, sebelah selatan adalah keraton, dan sebelah barat adalah kompleks pemukiman. Salah satu instrumen yang kuat dalam sejarah perkotaaan adalah pengaturan teritorial, ruang dan bangunan berdasarkan konsepsi kosmografis serta kaidah penataannya.

III. Pengembangan Kota di Masa Lampau dan Masa Kini Salah satu bentuk penanganan pengelolaan Kota Pusaka adalah dengan pelaksanaan revitalisasi kawasan-kawasan pusaka yang berada di kota-kota tersebut. Revitalisasi kawasan pusaka adalah upaya mengembalikan dan meningkatan vitalitas kawasan yang memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Walau seringkali revitalisasi masih diartikan dengan tidak tepat sebagai memperindah fisik kawasan semata, tanpa memikirkan pemanfaatan baik dari segi sosial, budaya dan ekonomi. Langkah awal untuk menunjang upaya revitalisasi adalah registrasi dan dokumentasi semua pusaka yang dimiliki sebuah kota baik alam, budaya maupun saujana, adi pusaka maupun pusaka rakyat. Berbagai sektor perlu diajak bersama-sama memahami, mengamati, mengkaji berbagai aset pusaka di daerahnya, serta mendalami potensi dan hambatan yang dihadapinya. Selain itu, berbagai sektor dalam pemerintah kota perlu diajak menggarap kawasan pusaka di daerahnya, meninjaunya dari berbagai aspek, dan mencoba menyepakati kebijakan dan program yang optimal serta langkah apa yang perlu diambil. Dalam hal ini dibutuhkan kreativitas dan pemahaman realistik dalam mengembangkan program dan pencapaiannya. Termasuk perencanaan mengenai peraturan/panduan serta sarana yang diperlukan misalnya, pengembangan organisasi, penyediaan SDM, perlengkapan operasional, anggaran, promosi dan sebagainya. Pemerintah kota juga perlu mengembangkan kerjasama antar kota/kabupaten, dalam sinkronisasi kebijakan dan pengembangan program bersama terutama diantara para anggota JKPI. Dalam kenyataan, mengelola suatu lingkungan pusaka, apapun bentuknya saujana, kota, desa, kawasan, area akan menyangkut persoalan kepekaan, selera dan kreasi pengelolanya terhadap pusaka-pusaka yang dimiliki wilayahnya (Adishakti, 2008). Bila ditelaah, persoalan kepekaan menjadi dasar penting dalam prinsip tersebut. Ketika melakukan inventarisasi berbagai pusaka yang ada diperlukan kepekaan dalam menelaah dan menetapkan apa saja yang masuk dalam klasifikasi pusaka. Demikian pula dalam proses yang sistematik untuk inventarisasi, penelitian, dan penilaian suatu aset pelestarian, termasuk dalam mengelola keterlibatan masyarakat. Kemudian juga dengan prinsip bahwa pelestarian pusaka itu unik. Untuk dapat memahami keunikan ini kepekaan adalah kuncinya. Selera dan kreasi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkah ketika menindak lanjuti hasil identifikasi dan melaksanakan proses sistimatik pelestarian beserta perencanaan selanjutnya. Memadukan antara pelestarian pusaka dan pembangunan ekonomi sebenarnya adalah pilihan dari pengelola kota dan daerah. Bila memiliki selera memadukannya dan mampu berkreasi, prinsip universal tujuan pelestarian terpadu dapat diikuti. Demikian pula dalam kewenangan penentu kebijakan dalam menata keuangan dan peraturan yang menunjukkan keberpihakan pada pelestarian pusaka yang komprehensif. Arsitektur pusaka memang sangat dominan dalam menentukan eksistensi kawasan pusaka. Dalam hal ini aspek legal yaitu UU No. 5 tahun 1992 dan revisinya belum secara optimal dapat mengakomodasi pemanfaatan kembali dan olah disain arsitektur pusaka. Demikian pula

undang-undang yang lain yaitu UU no.28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Di dalamnya berisikan pula peraturan untuk pelestarian bangunan gedung, namun pedoman teknis pelaksanaan untuk pelestarian bangunan gedung itu sendiri hingga kini belum diterbitkan. Undang Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang telah menyertakan Perencanaan Persiapan Resiko Bencana untuk Pusaka. DI Yogyakarta sangat rentan terhadap bencana alam. Sudah saatnya perencanaan tata ruang dan bangunan kota pusaka mengantisipasi pula persoalan resiko bencana untuk pusaka.. IV. Pengembangan Yogyakarta sebagai Kota Pusaka Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan lingkungan pusaka masih merupakan hal yang relatif baru. Konsentrasi yang sudah dijalankan lebih pada persoalan pusaka tunggal atau beberapa pusaka dengan perwujudan yang sama. Di Indonesia, indikator kota pusaka apakah dikelola dengan benar, dapat dicermati dari sistem pengelolaan dan aspek legal yang melindunginya. Sistem pengelolaan ini dapat ditunjukkan dengan: - Apakah daftar pusaka kota yang telah ditetapkan oleh kota itu sendiri telah dimiliki? - Adakah dinas khusus pemerintah kota yang menangani pusaka kota baik fisik maupun non fisik? - Adakah kebijakan untuk investasi pusaka, karena pada dasarnya banyak komponen kota pusaka yang membutuhkan investasi bagi pengembangannya yang tepat? Dengan adanya undang-undang otonomi daerah, sebenarnya pengelola kota memiliki kewenangan untuk mengembangkan aset pusakanya secara mandiri. Hal ini juga menjadi indikator yang kuat akan ada dan tidaknya kepedulian kota terhadap pusakanya. Termasuk selera dan tingkat kreasi pengelola kota tercermin dengan langkah-langkah pengelolaannya. Beberapa penanganan pelestarian kawasan menunjukkan bahwa kepekaan dan kreativitas terhadap pusaka tunggal tidaklah cukup. Perlu dikembangkan kerjasama dalam menangani keragaman pusaka dalam kawasan secara komprehensif. Pendekatan holistik dalam pelestarian kawasan ini sangat diperlukan, bahkan di dalam menghadapi kegiatan pemulihan kawasan akibat bencana sekalipun. Bencana yang merupakan ancaman dapat menjadi sebuah peluang. Namun peluang tersebut memerlukan kreativitas. Dan, kreasi ini perlu kolaborasi. Contoh pemulihan Kawasan Pusaka Kotagede pasca gempa 2006 yang sedang dilakukan dan hasilnya masih belum dapat dilihat. Menangani bangunan tradisional saja di kawasan yang memiliki keragaman pusaka tidak akan memberikan dampak yang berarti. Ekonomi lokal yang tergantung pada pengembangan pusaka budaya non-tangible seperti makanan, kerajinan perlu dihidupkan bersamaan dengan wadah fisiknya. Kenyataan menunjukkan kawasan pusaka di Daerah Istimewa Yogyakarta dan umumnya di Indonesia masih belum menjadi bagian dari pembangunan daerah.

Menurut Adishakti, ada beberapa indikator yang mendukung kesimpulan ini. Pertama, belum ada aspek legal yang tepat untuk melindunginya. Revisi Undang-undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yaitu UU no. 12 tahun 2010 diharapkan mulai mengakomodasi persoalan kawasan. Di sisi lain pengelolaan pelestarian kawasan pusaka bukanlah bertujuan untuk mengawetkan/preservasi kawasan tersebut. Kawasan pusaka perlu dapat terus tumbuh dan berkembang mengikuti zaman, namun tetap harus memperhatikan proteksi dan kesinambungan pusaka-pusaka di dalam teritori kawasan. Perlu kita cermati. Perda Propinsi DIY No. 11 tahun 2005 tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya. Tepatkah penggunaan terminologi Kawasan Cagar Budaya? Kedua, tentang aspek kelembagaan yang perlu mengakomodasi berbagai persoalan pelestarian pusaka maupun umum secara komprehensif dan sistematik dalam mengelolanya. Suatu kawasan perlu pengelolaan dari banyak sektor. Sementara pusaka di dalam kawasan yang kemudian membentuk kawasan pusaka juga terdiri banyak aset mulai dari pusaka alam, pusaka budaya tangible dan intangible, serta pusaka saujana. Sudahkah kelembagaan di DIY mencerminkan hal tersebut? Ketiga, pengelolaan pelestarian kawasan pusaka mensyaratkan adanya regristasi dan dokumentasi semua pusaka yang dimilikinya baik alam, budaya maupun saujana, adi pusaka maupun pusaka rakyat. Registrasi ini harus terus diperbaharui dan menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan daerah maupun informasi terbuka kepada publik luas dan masyarakat. Sudahkah registriasi yang selalu diperbaharui dilakukan? Dimanakah di DIY lembaga yang secara terpadu melakukan hal ini? Keempat, sudahkah ruang lingkup perencanaan kawasan menyertakan keseluruhan pusaka kawasan yang dimiliki sebagai bagian yang tidak terpisahkan baik dalam penataan ruang maupun bangunan, termasuk Perencanaan Persiapan Resiko Bencana untuk Pusaka.? Kenyataan menunjukkan pula bahwa pelestarian pusaka tidak terakomodasi dalam UU RI No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Gempa Jogja tahun 2006 dan pemulihan Kawasan Pusaka Kotagede justru telah membangunkan banyak pihak akan terpinggirkannya persoalan pusaka dalam pembangunan daerah. Kelima, arsitektur pusaka memang sangat dominan dalam menentukan eksistensi kawasan pusaka. Kembali di sini aspek legal untuk mengakomodasi pemanfaatan kembali dan olah disain arsitektur pusaka dipertanyakan. UU No. 12 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sangat diharapkan dapat digunakan untuk melingkupi bangunan pusaka yang dalam upaya pelestariannya perlu seleksi mana yang harus diawetkan mana yang bisa dibongkar atau ditambah baru. Demikian pula undang-undang yang lain yaitu UU no.28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Di dalamnya berisikan pula peraturan untuk pelestarian bangunan gedung, namun pedoman teknis pelaksanaan untuk pelestarian bangunan gedung itu sendiri hingga kini belum diterbitkan.

Keenam, pelestarian pusaka pada dasarnya adalah pengelolaan perubahan. Kesuksesan pengelolaan perubahan selain didasari peraturan juga ditentukan oleh sumber daya manusia pengelolanya. Seberapa banyak eksekutif dan legislatif memiliki kompetensi di bidang pelestarian pusaka yang holistik dan komprehensif?