BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Sifat Penelitian Penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah penelitian yang bersifat intepretatif. Metode semiotika kualitatif interpretatif (interpretation), yaitu sebuah metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan logo sebagai objek kajiannya, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) di balik tanda dan logo tersebut. 47 Berdasarkan dari pengertian penelitian secara deskriptif tersebut, maka akan diadakan penelitian tentang iklan Tempo Media versi Badai dengan meneliti iklan tersebut dan menemukan makna dibalik tanda-tanda yang terdapat dalam iklan Tempo Media versi Badai kemudian setelah menemukan makna dari tanda-tanda dalam iklan tersebut maka diteliti makna dari tanda-tanda tersebut dan menemukan nilai-nilai ketangguhan yang coba dipaparkan dalam iklan Tempo Media versi Badai tersebut. Pengkategorian pertama dilakukan dengan memilih tema versi badai, kedua memahami isi dan visualisasi pesan yang lebih berfokus pada kandungan nilai-nilai ketangguhan dengan fokus kepada tantangan yang ditampilkan dalam iklan tersebut. Melalui hasil pengkategorian diatas, maka diperolehlah tandatanda yang berhubungan dengan ketangguhan yang dimunculkan dalam iklan 47 Yasraf Amir Piliang,. Hipersemiotika. Yogyakarta : Jalasutra. 2003 hal 270 58
59 Tempo Media versi Badai tersebut, dan tanda-tanda tersebut yang akan menjadi objek penelitian, dan untuk selanjutnya menemukan ideologi apa yang terdapat didalamnya serta melihat kandungan ketangguhan yang dibawanya. 3.2. Metode Penelitian Penulis menggunakan metode penelitian secara kualitatif, dengan fokus penelitian pada bidang studi semiotika dengan menggunakan teori Roland Barthes. Penelitian yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif, kegiatan penelitian kualitatif banyak mencandra dan mendeskripsikan bagaimana subjek dalam berinteraksi dengan sekelilingnya terkait dengan tema penelitian. Dengan begitu, segala aktivitas gerak, perilaku, sikap, ungkapan verbal dan non verbal menjadi fokus peneliti. Pada sisi ini pendekatan kesejarahan tidak dapat dipisahkan dari penelitian kualitatif. 48 Data penelitian kualitatif diperoleh dari apa yang diamati, didengar, dirasa, dan dipikirkan oleh peneliti. Informasi-informasi itu terkait dengan fokus penelitiannya. 49 Sifat penelitian adalah interpretatif, yaitu penggambaran secara mendalam tentang situasi, atau proses yang diteliti dan memfokuskan dirinya pada tanda dan logo sebagai objek kajiannya. Mengingat sifatnya ini, maka penelitian kualitatif tidak berusaha untuk menguji hipotesis. Meski demikian, 48 49 Ibid. 36 Ibid. 84
60 bukan berarti penelitian ini tidak memiliki asumsi awal yang menjadi permasalahan penelitian. 50 Metode yang digunakan dalam analisis semiotika ini adalah kualitatif interpretatif. Metode semiotika kualitatif interpretatif (interpretation), yaitu sebuah metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan logo sebagai objek kajiannya, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) di balik tanda dan logo tersebut. 51 Penelitian dilakukan dengan menggunakan paradigma kritis. Gagasan utama teori kritis adalah bahwa tidak ada sebuah kebetulan dalam sebuah logo dalam pengertian logo sebagai produksi. Setiap indikasi atas apa yang tersembunyi, direpresi atau diganti dalam strukturnya dapat dilacak kembali pada ketidaksadaran logotual. 52 Teori kritis menyajikan pada kita serangkaian metode dan perspektif yang memungkinkan untuk menganalisa bukan hanya artefak kebudayaan, tetapi juga konlogo-konlogonya sosial, politik, historis, gender, etnik. 53 Apakah yang disebut teori kritis?apa sebenarnya makna Kritis? Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Mazhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt 50 51 52 53 Ibid. 35 Yasraf Amir Piliang,. Hipersemiotika. Yogyakarta : Jalasutra. 2003 hal 270 Stuarrt Sim & Borin Van Loon,. Mengenal Teori Kritis. Yogyakarta : Resist Book. 2008 hal 62 Ibid. 165
61 Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif. Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus
62 sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi nabi gerakan New Left di Amerika). Pada intinya mazhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society). Seluruh program teori kritis Mazhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang Teori Tradisional dan teori Kritik (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep Teori kritis pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya. Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi: Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi; Positivisme dalam
63 Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosialhumaniora katakanlah kritik epistimologi; Teori-teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo; Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi. Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan. 54 Peneliti melakukan penelitian secara kualitatif dan dilakukan dengan fokus penelitian kepada bidang studi semiotika, studi tentang tandatanda itu bekerja dinamakan semiotika atau semiologi, semiotika mempunyai tiga bidang studi utama 55 : 1. Tanda itu sendiri, hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa difahami dalam artian manusia yang menggunakannya. 2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda, studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengekplotasi saluran komunikasi yang tersedia untuk menstansmisikannya. 54 55 http://daiwanalbantani.wordpress.com/2013/02/12/paradigma-kritis-transformatif/ John Fiske,. Cultural and Communication Studies : Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra. 2007 hal 60
64 3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja, ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. 4. Bagi semiotika, pada sisi yang lain, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. 56 Penelitian ini menggunakan metode semiotika dari Roland Barthes, dengan teori sistem pertandaan bertingkat yang disebut sistem denotasi dan konotasi. Roland Barthes dengan teori sistem pertandaan bertingkat yang disebut sistem denotasi dan konotasi, menyatakan bahwa apapun bentuk pertandaan denotatif, ia pada akhirnya harus mengandung di dalam dirinya rantai pertandaan dan makna-makna ideologi. 3.3. Fokus Penelitian Disini penulis ingin memfokuskan penelitian semiotika pada tandatanda yang ditampilkan dari iklan Tempo Media versi Badai ini. Karena iklan ini hanya menggambarkan simbol-simbol dan tanda-tanda yang secara umum sulit dimengerti. Dari penggambaran tanda dan simbol tersebut termasuk didalamnya ideologi dan nilai ketangguhan dari brand yang akan dibawanya. 56 Ibid. 10
65 Fokus penelitian ini adalah meneliti pada tanda-tanda yang terdapat dalam iklan Tempo Media versi Badai, dengan melihat unsur-unsur non verbal dalam iklan tersebut seperti gambar, jingle, lagu dan lain-lain. Penelitian yang memfokuskan pada ketangguhan ini memiliki fokus penelitian kepada logo, gambar teknik pengambilan gambar. Ideologi dan ketangguhan ini yang nantinya akan dideskripsikan oleh penulis sehingga menggambarkan karakter Tempo Media itu sendiri dan juga nilai-nilai yang dikandungnya tadi. 3.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah : 3.4.1. Data Primer Penelitian ini dilakukan berdasarkan teori analisa yang dipakai oleh Roland Barthes, yaitu dua sistem pemaknaan bertingkat, yang disebut sistem denotasi dan konotasi. Yang selanjutnya oleh peneliti akan dikaji lebih dalam untuk menemukan makna dan ketangguhan dalam iklan Tempo Media versi Badai. Pemanfaatan data yang dipakai oleh peneliti adalah melalui rekaman iklan Tempo Media versi Badai yang berdurasi 30 detik. 3.4.2. Data Sekunder Pengolahan data sekunder ini peneliti peroleh lewat literaturliteratur yang telah ada atau melalui studi kepustakaan. Yaitu dengan
66 mengumpulkan bahan-bahan bacaan seperti buku, dan internet yang berkaitan dengan fokus penelitian yang dilakukan, dan untuk menemukan ketepatan dalam menganalisa iklan ini. 3.5. Teknik Analisis Data Teknik analisa yang dipakai oleh peneliti adalah kualitatif, dengan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti kemudian menggunakan metode analisis yang dipakai oleh Roland Barthes yaitu sistem denotasi dan konotasi. Untuk menganalisisnya, penulis menggunakan : Pesan ikonik yang terkodekan yaitu konotasi yang muncul dalam foto iklan, yang hanya berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat. Pesan ikonik yang tidak terkodekan yaitu denotasi dalam foto iklan. Pesan linguistik yaitu semua kata dan kalimat dalam iklan beserta unsur typografi untuk logo Tempo. Lewat metode analisis yang dipakai oleh Roland Barthes berusaha menunjukkan ketangguhan dibalik iklan Tempo Media versi Badai, dengan memfokuskan pada analisis isi dan tanda-tanda yang diberikan. Barthes memilih menganalisis sebuah iklan karena sifat kesengajaan, atau persuasi yang dikandung oleh pesan-pesan iklan. Barthes meneliti hubungan antara kode linguistik kata-kata yang ditulis dalam iklan itu dan produknya dengan citra atau gambarnya. Bagi Barthes, citra bersifat polisemik mereka memiliki beragam makna dan terbuka bagi beragam
67 penafsiran. Namun, Barthes juga menyatakan bahwa citra jarang disajikan kepada kita tanpa sejenis kata-kata yang mendampingi mereka, dan bahwa kode linguistik yang menyertai ini berfungsi untuk membatasi makna-makna potensial logo tersebut. Barthes memperlihatkan bawa bahasa yang digunakan, kata-kata, mempersempit makna-makna potensial dari citra tersebut. Dalam teorinya Roland Barthes menganggap bahwa iklan apapun bentuk penandaan denotatifnya, ia pada akhirnya harus mengandung di dalam dirinya rantai pertandaan dan makna-makna ideologi. Roland Barthes menempatkan dua tingkat sistem pertandaannya dalam posisi terbalik. Konotasi dan pandangannya, bukan lagi tingkat kedua rantai pertandaan, atau tingkat ideologis, melainkan...titik berangkat dari satu kode. Artinya sebuah penanda pada tingkat denotasi, sebetulnya sudah langsung mengandung makna konotasi atau ideologi. Makna ideologis ini, dengan demikian, menggantungkan dirinya pada penanda, yang cenderung berubah-ubah. 57 Yang dimaksudkan dengan ideologi sebagai tingkat kedua pertandaan adalah sistem gagasan, ide, atau kepercayaan yang menjadi konvensi dan mapan dalam satu masyarakat, yang mengartikulasikan dirinya pada sistem representasi atau sistem pertandaan. Ideologi merupakan pondasi dari rantai pertandaan. Akan tetapi ketika ideologi itu sendiri sudah melekat pada penanda di tingkat denotasi, maka ideologi tidak lagi menjadi pondasi yang mapan tempat bersandarnya ungkapan tanda. Pada tingkat penanda ideologi berubah bersama berubahnya penanda. 57 Jane Stokes, Santi Indra Astuti. Panduan Untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Jogjakarta: Bentang. 2006 hal 77