BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini jenis akasia (Acacia mangium Willd) yang sebagian besar berasal dari areal Hutan Tanaman Indusrti (HTI) telah banyak digunakan sebagai bahan baku kayu gergajian selain untuk pulp dan kertas. Pada tahun 2012, di Kapubaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan sebanyak 12.500 m 3 kayu akasia dari HTI PT. Inhutani III Tanah Laut telah dimanfaatkan sebagai kayu gergajian oleh beberapa industri kayu gergajian di wilayah tersebut (BPPHP, 2012). Rendemen rata-rata kayu gergajian dengan bahan baku kayu bulat dari hutan tanaman berkisar antara 40-50% (Kemenhut, 2013) dan sisanya adalah limbah. Tiga puluh persen dari limbah tersebut atau 15% dari total bahan baku adalah berupa serbuk gergaji (Sudrajat dan Pari, 2011), sehingga dari 12.500 m 3 kayu akasia diperkirakan akan diperoleh 5.000-6.250 m 3 kayu gergajian dengan limbah serbuk gergaji akasia (SGA) sebesar 1.500-1.875 m 3. Limbah yang berbentuk serbuk gergajian tersebut belum dimanfaatkan secara optimal hanya untuk bahan bakar boiler, bahan bakar industri batu bata atau hanya dibakar sehingga menimbulkan masalah terhadap lingkungan. Melihat dari kondisi tersebut dan sejalan dengan kebijakan yang diterapkan kementerian kehutanan, penanganan limbah SGA yang jumlahnya cukup besar sangat penting yaitu dengan mengolahnya menjadi suatu produk yang memiliki nilai dan bermanfaat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pembuatan arang aktif. Limbah SGA sangat potensial sebagai bahan baku arang aktif karena mudah didapat, 1
2 jumlahnya melimpah, dan biayanya murah baik dari segi bahan baku maupun ongkos angkut. Pemanfaatan serbuk gergaji kayu sebagai bahan baku pada pembuatan arang aktif merupakan salah satu alternatif yang dapat ditawarkan untuk mengurangi volume limbah (Hendra, 2008). Selain itu menurut Sudrajat dan Pari (2011) keuntungan dari penggunaan serbuk gergajian kayu sebagai bahan baku arang aktif adalah tidak memerlukan proses penghancuran pada saat proses aktivasi arang aktif, sehingga memperkecil biaya produksi. Bansal dkk. (1988) menyatakan bahwa semua bahan yang mengandung karbon cukup tinggi dapat diubah menjadi arang aktif, tetapi hasil akhirnya akan bervariasi tergantung pada bahan baku, zat pengaktif, dan kondisi proses aktivasi. Kondisi proses aktivasi yang menentukan kualitas akhir arang aktif adalah suhu dan lama waktu. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pemanfaatan SGA sebagai bahan baku arang aktif yang diaktivasi dengan cara kombinasi oksidasi gas dan kimia mampu memenuhi persyaratan SNI 06-3370-1995 dengan kadar air 4,33%, kadar abu 8,17%, kadar volatil 5,88%, kadar karbon terikat 83,77%, daya serap iodium 960,2 mg/g, daya serap benzena 14,59%, dan daya serap metilen biru 135,00 mg/g (Pari dkk., 2006). Suhu dan lama waktu karbonisasi yang dilakukan pada penelitian tersebut adalah 500 C selama 5 jam. Bansal dkk. (1988) menyatakan bahwa proses karbonisasi hampir sempurna pada suhu sekitar 400-600 C dengan kandungan karbon mencapai 80%. Tang dan Bacon 1964 menyebutkan bahwa karbonisasi pada suhu 280-400 C mengakibatkan terjadinya proses dehidrasi, dekarbonilasi dan
3 dekarboksilasi yang menghasilkan terbentuknya struktur aromatik yang dominan dengan sejumlah tar dan H2O. Penggunaan suhu karbonisasi yang lebih rendah dan waktu karbonisasi yang lebih singkat akan menurunkan konsumsi energi yang digunakan sehingga menjadi lebih ekonomis, namun perlu juga dipertimbangkan pengaruhnya terhadap kualitas arang aktif yang dihasilkan. Untuk mengetahui hal tersebut, dilakukan penelitian pembuatan arang aktif SGA menggunakan suhu karbonisasi 400 C dengan variasi waktu 3, 4, dan 5 jam. Penggunaan oksidasi gas dan bahan kimia H 3 PO 4 pada proses aktivasi dalam penelitian Pari dkk. (2006) mampu menghasilkan arang aktif SGA dengan kualitas terbaik. Namun disisi lain terdapat beberapa kelemahan dari proses tersebut yaitu, teknologi atau peralatan yang digunakan cukup rumit dan dampak dari penggunaan bahan kimia dimungkinkan dapat menimbulkan masalah terhadap pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan. Untuk menghindari dan mengurangi dampak tersebut, perlakuan aktivasi dalam penelitian ini dilakukan dengan aktivasi fisik saja menggunakan panas (thermal), hal ini dilakukan karena selain lebih ramah lingkungan juga diharapkan arang aktif yang nantinya akan dicoba digunakan sebagai peningkatan kualitas air bersih tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Menurut Irawati dan Sutapa (2004) proses aktivasi fisik dipilih untuk memperkecil prosentase tercampurnya bahan kimia lain pada larutan uji. Beberapa penelitian yang menggunakan panas saja pada proses aktivasi antara lain menunjukkan bahwa perlakuan suhu aktivasi 900 C dengan waktu aktivasi 90 menit merupakan kondisi optimal untuk menghasilkan arang aktif ampas tebu (Sujarwo, 2007) sedangkan penelitian Irawan (2013) menunjukkan bahwa
4 kondisi optimal untuk menghasilkan arang aktif campuran serbuk gergaji sengon dan limbah tongkol jagung adalah pada suhu aktivasi 800 C selama 90 menit. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, proses aktivasi arang aktif SGA yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan aktivasi panas dengan variasi suhu 700, 800, dan 900 C dengan variasi lama waktu aktivasi 30, 60, dan 90 menit. Dari hasil penelitian diharapkan diketahui pengaruh variasi suhu dan waktu aktivasi terhadap kualitas dan struktur kimia arang aktif SGA serta kondisi yang optimal untuk menghasilkan arang aktif SGA yang berkualitas. Arang aktif yang dihasilkan dengan kualitas terbaik dalam penelitian ini selanjutnya akan diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas air yang berasal dari air sungai yang keruh, berwarna, dan memiliki kandungan logam yang cukup tinggi. Kondisi air sungai yang demikian ditemui pada sungai yang melewati Kecamatan Gambut dan Aluh Aluh, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Sungai ini memiliki arti sangat penting bagi masyarakat disana, baik sebagai sarana transportasi, juga untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi, mencuci, buang air, dan sebagai sumber air minum. Hasil penelitian Susanto dkk. (2009), menunjukkan bahwa pengukuran beberapa parameter kimia pada sungai yang melewati Kecamatan Gambut dan Aluh Aluh menunjukkan nilai yang melebihi batas mutu air bersih yaitu nilai ph berkisar antara 3,09 6,45, kadar besi (Fe) berkisar antara 0,45 8,11 mg/l dan kadar mangan (Mn) rata-rata 10,3 mg/l.
5 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengoptimalkan pemanfaatan limbah serbuk gergajian kayu akasia sebagai bahan baku arang aktif yang berkualitas 2. Mengetahui pengaruh interaksi antara waktu karbonisasi, suhu dan waktu aktivasi terhadap kualitas dan struktur kimia arang aktif serbuk gergaji akasia 3. Mengetahui efektiftas arang aktif akasia dalam meningkatkan kualitas air agar memenuhi standar baku mutu air bersih. 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Memberikan informasi mengenai pemanfaatan limbah serbuk gergaji kayu akasia sebagai bahan baku pembuatan arang aktif 2. Memberikan informasi mengenai teknologi pembuatan arang aktif yang efektif dan efisien 3. Memberikan informasi tentang kemungkinan peningkatan kualitas air bersih dengan menggunakan arang aktif kualitas tertinggi yang dihasilkan dari penelitian ini 4. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan pengetahuan dan teknologi mengenai arang aktif.