3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan penuaan atau umur. Faktor yang mengatur hal tersebut di atas adalah lingkungan, genetik, fisiologi, hormonal, tingkah laku dan faktor-faktor psikososial. Fertilitas akan meningkat setelah tercapainya pubertas untuk kemudian menurun seiring dengan penuaan. Ketika tercapai pubertas, sekresi gonadotropin juga akan mengalami peningkatan (Hafez 2000). Sementara itu, Johnson dan Everitt (1995) menyatakan bahwa lamanya siklus ovarium yang di dalamnya terdapat fase folikuler dan luteal akan berbeda pada masing-masing spesies. Berdasarkan pengamatan tingkah laku estrus, panjang siklus estrus pada kuda betina adalah 20-24 hari (Hafez 2000). Pengamatan dengan menggunakan ultrasonografi menunjukkan bahwa siklus estrus kuda berlangsung 20-22 hari dengan panjang fase folikuler 5-6 hari, dan fase luteal 15-16 hari (Johnson & Everitt 1995). Shirazi et al. (2004) melaporkan bahwa kuda bangsa Caspian memiliki interval interovulatory 22.1 ± 0.40 hari, lama estrus 8.3 ± 0.86 hari, dan diestrus sepanjang 13.8 ± 0.59 hari. Lama estrus bervariasi dan terkait dengan waktu berlangsungnya ovulasi. Kisaran terjadinya ovulasi adalah 4-6 hari setelah mulainya estrus atau 1-2 hari sebelum akhir estrus. Panjang siklus estrus dan waktu ovulasi bervariasi dalam hubungannya dengan faktor-faktor eksternal maupun internal. Pada tingkat ovarium, periode estrus ditandai dengan sekresi estrogen yang tinggi dari folikel preovulatorik. Estrogen merangsang pertumbuhan uterus melalui mekanisme yang meyebabkan interaksi antara hormon dengan reseptornya dan meningkatnya berbagai proses sintesis yang terjadi di dalam sel. Estrogen juga merangsang produksi prostaglandin oleh uterus. Pada akhir estrus, terjadi ovulasi yang diikuti dengan pembentukan korpus luteum (CL) yang akan menghasilkan hormon progesteron (Hafez 2000).
4 Sinkronisasi Estrus dan Induksi Ovulasi Prostaglandin termasuk dalam hormon reproduksi primer yaitu hormon reproduksi yang secara langsung terlibat di dalam berbagai aspek reproduksi (Toelihere 1981). Prostaglandin F 2α dihasilkan oleh endometrium uterus dan kelenjar vesikular (Senger 2003). Pemberian prostaglandin menyebabkan regresi CL dan pengurangan konsentrasi progesteron plasma (Turner dan Bagnara 1971; Hafez 2000). Pada kuda yang bersiklus normal, estrus dapat diinduksi dengan menghentikan fase luteal dengan injeksi prostaglandin. Estrada et al. (2003) melaporkan bahwa dengan penggunaan 7.5 mg PGF 2α yang dilakukan paling awal pada hari ke-5 setelah ovulasi akan menyebabkan onset estrus dalam jangka waktu 3-4 hari dan ovulasi dalam jangka waktu 8-10 hari. Menurut Samper (2008) kisaran antara pemberian PGF 2α sampai dengan onset estrus dan tercapainya ovulasi dapat berkisar berturut-turut pada 48 jam dan 12 hari, tergantung dari diameter folikel yang akan mengalami ovulasi. Jika pada ovarium terdapat folikel besar pada saat penyuntikan, ovulasi akan terjadi dalam kurun waktu 72 jam tanpa menunjukkan gejala estrus yang jelas. Namun demikian menurut Samper et al. (1993) jika folikel telah mencapai diameter maksimal selama fase luteal yang didominasi oleh progesteron, maka folikel ini akan mengalami regresi, dan akan terjadi perekrutan folikel-folikel baru, sehingga estrus dan ovulasi akan mengalami penundaan. hcg merupkan hormon peptide yang dihasilkan pada plasenta, yang merangsang fungsi luteal (Mc.Donald 1988 dalam Davies-Morel & Newcombe 2008. hcg telah digunakan secara luas untuk menginduksi ovulasi pada kuda dengan tujuan untuk mengoptimalkan waktu perkawinan (Harrison et al. 1991). Penelitian tentang penggunaan hcg terus dilakukan untuk mengetahui efektivitas penggunan hcg dari tingkat dosis yang berbeda maupun kontraindikasinya pada praktek komersial di peternakan kuda. Kontraindikasi tersebut meliputi kejadian ovulasi ganda dan kebuntingan kembar (Davies-Morel & Newcombe 2008). Gastal et al. (2006) melaporkan bahwa dosis 1500 IU hcg yang disuntikkan pada saat diameter folikel terbesar mencapai 35 mm akan menyebabkan ovulasi pada 44.0 ± 1.0 jam setelah penyuntikan.
5 Dinamika Ovarium Diameter folikel dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk memperkirakan waktu ovulasi pada kuda. Walaupun demikian, variasi diameter folikel preovulatorik pada 24 jam sebelum ovulasi, dapat berkisar 34-70 mm (Ginther 1995), 22-65 mm (Cuervo-Arango 2008). Selanjutnya menurut Cuervo- Arango (2008) diameter folikel preovulatorik pada 1 ekor induk akan relatif sama. Selain itu, pola oedema uterus juga dapat digunakan sebagai parameter untuk memperkirakan waktu optimal perkawinan. Ovarium mempunyai fungsi pada siklus produksi ovum yang dapat dibuahi, sedangkan folikel adalah kompartemen dari ovarium yang memungkinkan ovarium untuk memenuhi fungsi gandanya dalam gametogenesis dan steroidogenesis (Hafez 2000). Pada kuda, gelombang pertumbuhan folikel yang menghasilkan ovulasi berkembang pada pertengahan kedua siklus estrus. Pada umumnya hanya 1 folikel yang akan mengalami ovulasi. Ketika folikel yang paling besar mencapai diameter 21-23 mm, 2 folikel terbesar akan bertindak sebagi folikel dominan dan subordinat, proses ini dinamakan deviasi folikel. Folikel dominan akan terus berkembang, sedangkan folikel subordinat akan berkembang lebih lambat hingga akhirnya akan mengalami regresi (Donadeu & Ginther 2002). Tingkah Laku Estrus Estrus pertama pada kuda ditandai dengan permintaan dan penerimaan terhadap pejantan yang terjadi kisaran umur 8-24 bulan sebagai pertanda bahwa pubertas telah tercapai (Waring 2003). Ginther (1979) melaporkan bahwa pada umumnya kuda mencapai pubertas pada umur 12 bulan. Kuda yang diberi makan lebih baik akan dapat lebih cepat dikawinkan. Tingkah laku selama estrus bervariasi di antara individu kuda, tetapi cenderung tetap pada individu yang sama. Tanda-tanda estrus yang dapat diamati diantaranya penerimaan terhadap pejantan, ekor terangkat, sering urinasi, vulva mengalami kontraksi ritmik (winking) dan cara berdiri semi jongkok (squatting) (Coleman & Powell 2004). Menurut Waring (2003) pada saat estrus, kuda akan menjadi relatif lebih jinak dengan kehadiran pejantan dan akan membiarkan pejantan untuk mengendus, menyundul dan menggigit, serta kadang-kadang
6 meringkik. Hafez (2000) menambahkan bahwa selama periode estrus, vulva akan sedikit membengkak, bagian bibirnya akan mengendur dan akan mudah dibuka ketika diperiksa. Vulva berwarna kemerah-merahan, basah, mengkilap dan kadang-kadang diselapisi lendir yang bening. Tingkah laku kuda betina pada kondisi diestrus dicirikan dengan penolakan terhadap pejantan. Ketika pejantan mendekat, telinga akan diarahkan ke belakang sebagai tanda marah, menunjukkan sikap gelisah. Kuda betina kadang-kadang menunjukkan respons dengan mengibaskan ekor. Kuda betina akan menghindari pejantan dengan bergerak menjauh, meringkik, menggigit, bahkan menendang pejantan (Waring 2003). Kontrol Endokrin Meskipun pada kuda konsentrasi progesteron intrafolikular pada folikel dominan akan meningkat 2 hari menjelang ovulasi (Belin et al. 2000 dalam Nagy et al. 2004), namun konsentrasi progesteron plasma mencapai titik rendah selama fase folikuler. Peningkatan konsentrasi progesteron plasma secara signifikan terjadi pada 10-12 jam setelah ovulasi, meskipun variasinya dapat lebih luas yakni dalam kisaran 6-60 jam (Nagy et al. 2004). Dengan pengambilan darah sekali dalam sehari, peningkatan progesteron plasma terdeteksi 24-48 jam setelah ovulasi (Nagy et al. 2004). Dengan adanya variasi individu dalam peningkatan konsentrasi progesteron tersebut, penentuan waktu ovulasi secara akurat menjadi sulit dilakukan. Selama fase luteal, konsentrasi progesteron plasma mencapai maksimal meskipun bervariasi diantara individu kuda (Nagy et al. 2004). Pada kuda yang tidak bunting, PGF 2α disekresikan oleh endometrium antara hari ke-13 dan 16 setelah ovulasi untuk menginduksi regresi CL (Cuervo-Arango & Newcombe 2008). Pelepasan PGF 2α akan mengawali terjadinya penurunan konsentrasi progesteron plasma dalam waktu 3 hingga 4 jam (Stabendfelt et al. 1981). Sharp dan Black (1973) melaporkan bahwa kadar progesteron plasma pada fase folikuler adalah 0.58 ± 0.2 ng/ml, sedangkan pada puncak fase luteal mencapai 10.9±1.4 ng/ml. Perubahan konsentrasi progesteron plasma selama siklus estrus terkait dengan aktivitas estrus. Tingkah laku estrus tidak terlihat
7 hingga kadar progesteron plasma menurun mencapai titik terendah yakni 1 ng/ml. Ultrasonografi Berbagai jenis peralatan ultrasonografi telah tersedia dan memungkinkan untuk dapat dioperasikan dengan mudah. Namun demikian, memerlukan pemahaman yang baik terhadap cara kerja alat dan interaksinya dengan jaringan agar diperoleh citra (gambar) yang optimal. Kualitas gambar yang dihasilkan juga akan sangat dipengaruhi oleh keterampilan operatornya. Medium terbaik untuk penghantaran ultrasound adalah cairan dan dihantarkan melalui kompresi atau penghalusan gelombang-gelombang (Goddard 1995). Beberapa inovasi mutakhir dalam teknik ultrasonografi telah meningkatkan pengetahuan dalam mempelajari dinamika folikuler pada kuda (Ginther 2004). Menurut Barr (1988), terdapat 3 jenis echo yang digunakan sebagai prinsip dasar dalam mendeskripsikan gambar pada sonogram, yaitu; 1. Hyperechoic; echogenic artinya echogenitas terang, menampakkan warna putih pada sonogram atau memperlihatkan echogenitas yang lebih tinggi dibandingkan sekelilingnya, contohnya tulang, udara, kolagen dan lemak. 2. Hypoechoic; echopoor menampilkan warna abu-abu gelap pada sonogram atau memperlihatkan area dengan echogenitas lebih rendah dari pada sekelilingnya, contohnya jaringan lunak. 3. Anechoic yang menunjukkan tidak adanya echo, menampilkan warna hitam pada sonogram dan memperlihatkan transmisi penuh dari gelombang, contohnya cairan.