RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 59/PUU-XIV/2016 Pajak yang Bersifat Memaksa Menjadi Lentur atau Negotiable I. PEMOHON 1. Leni Indrawati (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Hariyanto (selanjutnya disebut sebagai Pemohon II); 3. Wahyu Mulyana Putra (selanjutnya sebagai Pemohon III). Kuasa Hukum M. Philipus Tarigan, SH., MH., M. Nuzul Wibawa, S.Ag, MH, dkk, para advokat dan konsultan hukum dari Kantor Hukum Pilipus Tarigan, SH., MH, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 9 Juli 2016. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7; Pasal 3 ayat (1); Pasal 4, Pasal 5; Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), dan Pasal 11 ayat (5) Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU 11/2016). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945): Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945; 3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: 1
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 4. Pasal 1 ayat (3) huruf a UU MK menyatakan bahwa: Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Bahwa Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur secara hierarki kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) lebih tinggi dari undang-undang, oleh karenanya setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, dan jika terdapat ketentuan dalam undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan undangundang tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi; 6. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7; Pasal 3 ayat (1); Pasal 4, Pasal 5; Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), dan Pasal 11 ayat (5) UU 11/2016, oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara. 2. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dan merasa telah dirugikan akibat berlakunya norma yang diuji dan telah memenuhi Pasal 51 ayat (1) UU MK. 2
V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN 1. Pengujian Materiil UU 11/2016: 1) Pasal 1 angka 1: Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 2) Pasal 1 angka 7: Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Pengampunan Pajak. 3) Pasal 3 ayat (1): Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak. 4) Pasal 4: (1) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar: a. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku; b. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak UndangUndang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan c. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. (2) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebesar: a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku; b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak 3
UndangUndang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. (3) Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar: a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan; atau b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan. untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. 5) Pasal 5: (1) Besarnya Uang Tebusan dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan dasarpengenaan Uang Tebusan. (2) Dasar pengenaan Uang Tebusan sebagaimana dimaksud padaayat (1) dihitung berdasarkan nilai Harta bersih yang belumatau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir. (3) Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan selisih antara nilai Harta dikurangi nilai Utang. 6) Pasal 6: (1) Nilai Harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan meliputi: a. nilai Harta yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir; dan b. nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir. (2) Nilai Harta yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir. (3) Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada tanggal akhir tahun buku sesuai dengan SPT PPh Terakhir. 4
(4) Nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai nominal untuk Harta berupa kas atau nilai wajar untuk Harta selain kas pada akhir Tahun Pajak Terakhir. (5) Dalam hal nilai Harta tambahan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta tambahan ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan: a. nilai nominal untuk Harta berupa kas; atau b. nilai wajar pada akhir Tahun Pajak Terakhir untuk Harta selain kas, dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir. 7) Pasal 11 ayat (2): Wajib Pajak yang telah memperoleh tanda terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan: a. pemeriksaan; b. pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau c. penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir. 8) Pasal 11 ayat (3): Dalam hal Wajib Pajak yang telah memperoleh tanda terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedang dilakukan: a. pemeriksaan; b. pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau c. penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, terhadap pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dimaksud ditangguhkan sampai dengan diterbitkannya Surat Keterangan. 9) Pasal 11 ayat (5): Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan, memperoleh fasilitas Pengampunan Pajak berupa: a. penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana di bidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; b. penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau denda, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; 5
c. tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan buktipermulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di BidangPerpajakan, atas kewajiban perpajakan dalam masapajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampaidengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan d. penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan atas kewajiban perpajakan, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang sebelumnya telah ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5). B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 1. Pasal 23A: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang. 2. Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 3. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa klausul-klausul konsideran UU 11/2016 tidak sesuai dengan semangat Pembukaan UUD 1945; 2. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak yang terus meningkat, diperlukan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dengan mengoptimalkan semua potensi dan sumber daya yang ada dan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya masih perlu ditingkatkan karena terdapat banyak harta, baik di dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahunan Tahunan Pajak Penghasilan, sehingga untuk meningkatkan penerimaan Negara dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan harus 6
berujung dengan menerbitkan kebijakan Pengampunan Pajak in casu dalam bentuk undang-undang adalah alasan atau pertimbangan yang inkonstitusional; 3. Bahwa pengampunan untuk konteks perpajakan tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi di mana lembaga pajak adalah bersifat memaksa sebagaimana ketentuan Pasal 23A UUD 1945; 4. Bahwa terjadi ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif yang sangat nyata apabila terhadap kalangan tertentu in casu orang-orang yang memiliki banyak harta yang sejak awal dengan sengaja merugikan negara, mengelabui negara, menghindar dari kewajibannya membayar pajak dengan menyembunyikan hartanya sedemikian rupa sehingga tidak dapat dijangkau fiskus sehingga menghilangkan apa yang semestinya menjadi hak negara untuk kepentingan bangsa, kemudian dengan alasan program optimalisasi penerimaan negara para kaum curang tersebut justru diampuni kesalahannya begitu saja dengan cukup membayar denda yang jumlahnya pun diberlakuan secara berbeda dengan warga lain pada umumnya dan selanjutnya tidak dapat dikenakan sanksi-sanksi lagi, baik administrasi maupun pidana; 5. Bahwa diberlakukannya hukum pengampunan pajak bagi orang-orang yang selama ini telah menyembunyikan kekayaannya agar tidak kena pajak justru akan memprovokasi orang-orang yang semula atau selama ini taat pajak menjadi tidak taat pajak; 6. Bahwa UU 11/2016 membuat pajak yang semula merupakan kewajiban yang memaksa berubah menjadi sesuatu yang lentur bahkan menjadi negotiable karena warga negara yang nyata-nyata penghindar pajak dengan membayar uang tebusan tertentu secara hukum telah terbebas dari segala tuntutan hukum. 7
VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini; 2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, dan telah dicatatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 No. 131 dan Tambahan Lembaran Negara No. 5899 inkonstitusional; 3. Membatalakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, dan telah dicatatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 No. 131 dan Tambahan Lembaran Negara No. 5899 inkonstitusional; ATAU 4. Menyatakan Frase Penghapusan Pajak dalam Pasal 1 Angka (1) serta Pasal 3 Ayat (1), 1 Angka (7), Pasal 6, Pasal 4 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Penghapusan Pajak bertentangan dengan Pasal 23 Huruf (A) Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang dimaknai pengahapusan pajak ialah Penghapusan Pajak yang seharunya terutang tidak dikenai Sanksi Administrasi perpajakan dan sanksi pidana perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar Uang Tebusan; 5. Menyatakan Frase Uang tebusan dalam Pasal 1 Angka (7), Pasal 5, dan Pasal 4 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang penghapusan Pajak bertentangan dengan Pasal 28 Huruf (D) Angka (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sepanjang dimaknai Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak; 6. Menyatakan Frase Pengampunan Pajak dalam Pasal 1 Angka (1) serta Pasal 3 Ayat (1), 1 Angka (7), Pasal 6, Pasal 4 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Penghapusan Pajak bertentangan dengan Pasal 23 Huruf (A) Undang-Undang Dasar 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai pengahapusan pajak ialah Penghapusan Pajak yang seharunya terutang tidak dikenai Sanksi Administrasi perpajakan 8
dan sanksi pidana perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar Uang Tebusan; 7. Menyatakan Pasal 11 Ayat (2), 11 Ayat (3), 11 Ayat (5) Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang penghapusan Pajak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. VIII. CATATAN 1. Pada awal mengajukan permohonan, terdapat 4 (empat) Pemohon, namun kemudian Pemohon bernama Kusnadi Hutahaean, SH mengundurkan diri sebagai Pemohon, sehingga Pemohon menjadi 3 (tiga) orang Pemohon; 2. Pada bagian Kewenangan Mahkamah halaman 5 paragraf 2, Pemohon menyebutkan dasar hukum kewenangan Mahkamah menguji UU adalah Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, namun bunyi pasal yang Pemohon tulis adalah Pasal 24 ayat (2) UUD 1945; 3. Pada petitum nomor 4 dan 6 Pemohon menuliskan Pasal 6 UU 11/2016 bertentangan dengan UUD 1945, namun pada posita Pemohon tidak menguraikan sama sekali mengenai Pasal 6 UU 11/2016. 9