PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU KALANG DALAM MENUNJANG AGROBISNIS DAN AGROWISATA DI KALIMANTAN TIMUR LUDY K. KRISTIANTO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur Jl. P. M. Noor, Sempaja, Samarinda ABSTRAK Kalimantan Timur memiliki potensi untuk pengembangan perbibitan ternak Kerbau Kalang, mengingat daerah ini memiliki sumberdaya alam dan manusia yang mendukung serta didukung kawasan pengembangan ternak menjadi agrowisata, khususnya di Kabupaten Kutai Kartanegara. Usaha ternak Kerbau Kalang sudah cukup lama dilakukan oleh masyarakat dan secara nyata dapat membantu ekonomi keluarga, karena dapat dijadikan sumber tabungan yang sewaktu-waktu dapat dijadikan uang. Beberapa hambatan untuk menjadikan kerbau sebagai usahaternak yang menguntungkan, antara lain: (1) panjangnya interval kelahiran, (2) siklus estrus yang tidak tampak dan (3) angka kebuntingan yang rendah. Rendahnya angka kebuntingan/konsepsi bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) tatalaksana pemeliharaan anak kerbau yang buruk termasuk pemberian pakannya, (2) kegagalan teknik perkawinan, (3) faktor internal hewan, dan (4) faktor kecelakaan. Semua ini adalah tantangan yang harus dihadapi semua pihak, bahwa ternak Kerbau Kalang masih memerlukan perhatian yang lebih besar dan perhatiannya perlu disejajarkan dengan ternak ruminansia besar lainnya. Kata kunci: Kerbau, perbibitan, agrobisnis, Kalimantan Timur PENDAHULUAN Kemajuan teknologi peternakan khususnya ternak ruminansia besar seperti ternak sapi potong saat ini sangat pesat, bila dibandingkan dengan kerbau sangatlah jauh berbeda. Tingkat konsumsi dan permintaan daging sapi lebih tinggi dibandingkan dengan daging kerbau, sehingga memacu pemerintah untuk lebih berkonsentrasi mengembangkan ternak sapi, bahkan penelitian-penelitian mengenai ternak sapi mendapatkan prioritas pertama dibandingkan ternak ruminansia lainnya. Banyak usaha-usaha penggemukan sapi yang mengimpor sapi bakalan dari luar negeri sehingga banyak devisa yang dikeluarkan untuk mencukupi kebutuhan daging sapi di Indonesia. Bila ditinjau dari kualitas, daging sapi dan kerbau sebenarnya sama baik kualitasnya. Jika kualitas daging sapi lebih baik dibandingkan dengan daging kerbau, kemungkinan disebabkan sistem pemeliharaan ternak yang diterapkan pada sapi lebih baik. Pada umumnya sapi dipelihara dengan manajemen pemeliharaan yang sangat baik/intensif, seperti pemberian pakan seimbang (kualitas dan kuantitas), dipelihara secara terus menerus di dalam kandang/intensif/ kereman, penanganan penyakit lebih terjamin, dan mutu genetiknya selalu ditingkatkan. Bahkan sebelum ternak dipotong di rumah potong hewan (RPH) terlebih dahulu ternak di istirahatkan, sehingga apabila dipotong akan menghasilkan kualitas karkas/daging yang prima. Manajemen pemeliharaan kerbau di Indonesia pada umumnya masih seadanya, hanya mengandalkan kondisi alam setempat, tetapi salah satu keunggulan ternak kerbau bila dibandingkan dengan ternak sapi adalah kemampuan mikroba yang ada di dalam rumen kerbau mencerna serat kasar atau pakan berkualitas rendah lebih baik dari ternak sapi. Oleh karena itu ternak kerbau relatif tidak memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi, sehingga sangat cocok bila dikembangkan di kawasan yang memiliki lahan marginal. Pengembangan ternak kerbau di Propinsi Kalimantan Timur saat ini banyak terkonsentrasi di Kabupaten Nunukan dengan jumlah populasi lebih kurang 6.000 ekor dan urutan kedua adalah Kabupaten Kutai Kartanegara dengan populasi sebesar 5.000 ekor. Ternak kerbau di dua daerah tersebut pada umumnya hidup di daerah rawa-rawa atau lahan dataran
rendah yang merupakan lahan resapan air hujan, sehingga sistem pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak setempat sangat tergantung pada perubahan curah hujan. Rata-rata tingkat kepemilikan kerbau sebesar 5 ekor per peternak dengan tingkat kelahiran mencapai 80% per 2 tahun. Harga per ekor kerbau dewasa mencapai Rp. 5,5 juta, sehingga dalam waktu dua tahun peternak dapat memperoleh tambahan penghasilan sebesar Rp. 22 juta. Dari hasil tersebut banyak anggota kelompok tani ternak kerbau yang dapat menunaikan ibadah haji, meskipun usainya masih muda. Pengembangan usahaternak kerbau sebaiknya dikaitkan dengan usaha yang berorientasi agrobisnis, karena konsep tersebut mengindikasikan bahwa setiap upaya peningkatan produktivitas usaha ternak harus memperhitungkan segi-segi efisiensi, ketersediaan sumberdaya, dan peluang pasar. Berdasarkan hasil laporan-laporan penelitian ternak kerbau di Indonesia, terutama kerbau rawa, ada beberapa hambatan untuk menjadikan kerbau sebagai usaha ternak yang menguntungkan, yaitu: (1) panjangnya interval kelahiran, (2) siklus estrus yang tidak tampak dan (3) angka kebuntingan yang rendah. Rendahnya angka kebuntingan/konsepsi bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) tatalaksana pemeliharaan anak kerbau yang buruk termasuk pemberian pakannya, (2) kegagalan teknik perkawinan, (3) faktor internal hewan, dan (4) faktor kecelakaan (MURTI, 2002). Produktivitas yang ditampilkan oleh individu ternak sebenarnya merupakan representatif dari resultante respon terhadap pengaruh lingkungan, potensi genetik dan interaksi genotipelingkungan. Perbaikan lingkungan untuk peningkatan produktivitas umumnya relatif cepat, namun apabila terdapat keterbatasan kapasitas potensi genetiknya, respon yang diharapkan tidak sebanding dengan input yang diberikan, sehingga diperlukan upaya tambahan perbaikan kapasitas potensi genetik agar respon produktivitas yang diharapkan dapat terwujud. POTENSI KERBAU KALANG Perkembangan populasi dan produksi daging Populasi ternak kerbau di Kalimantan Timur sekitar 14.500 ekor, yang tersebar di 13 kabupaten/kota. Jumlah populasi ternak kerbau yang tertinggi berturut-turut adalah Kabupaten Nunukan (± 6.000 ekor), Kutai Kartanegara (± 5.000 ekor), dan Kutai Timur (± 2.000 ekor), sedangkan kabupaten/kota lainnya populasinya dibawah 1.000 ekor (DINAS PETERNAKAN KALTIM, 2005). Bangsa kerbau yang ada di Kalimantan Timur didominasi kerbau kalang. Disebut kalang karena sistem pemeliharaannya di kalang pada saat lingkungannya banjir, rumput dibawakan ke kalang dengan menggunakan perahu-perahu kecil. Populasi kerbau selama lima tahun terakhir (tahun 2000 s/d 2005) meningkat sebesar 15% (dari 13.600 menjadi 15.900 ekor) atau sebesar 3% per tahun. Peningkatan populasi kerbau ini disebabkan: (1) ketersediaan hijauan pakan yang masih melimpah (rumput kumpai); (2) peternak jarang menjual kerbaunya, kecuali untuk alasanalasan tertentu yang dianggap penting dan mendesak seperti untuk membangun rumah atau naik haji. Ternak kerbau dianggap peternak sebagai tabungan dan status sosial (peternak kerbau kalang pada umumnya didominasi oleh suku Banjar). Alasan lain kerbau dijual adalah kerbau betina yang pernah melahirkan tetapi tidak bisa memelihara anaknya dan kerbau jantan yang dijual setelah umurnya mencapai 3 tahun. Dalam satu kalang jumlah pejantan harus dibatasi karena sering terjadi perkelahian serta (3) Ternak kerbau dimanfaatkan tenaganya sebagai ternak kerja untuk menarik batangbatang kayu dan setelah kerbau tersebut tua baru dijual untuk dipotong. Kualitas daging kerbau tersebut pada umumnya kurang disukai, karena kualitasnya kurang baik dibandingkan daging sapi atau ternak lainnya. Produksi daging kerbau di Kalimantan Timur pada tahun 2005 sekitar 165 ton (DINAS PETERNAKAN KALTIM, 2005). Dari produksi tersebut, tiga kabupaten tertinggi sebagai produsen daging kerbau adalah Kabupaten Nunukan (45 ton), Kutai Kartanegara (44 ton) dan Kota Samarinda (31 ton). Khusus untuk Kota Samarinda ternak kerbau yang dipotong di RPH pada umumnya didatangkan dari Sulawesi Tengah, dimana setiap bulan rata-rata ternak 211
kerbau yang dipotong di RPH sebanyak 10 ekor. Satu ekor kerbau dewasa memiliki rata-rata berat hidup mencapai 500 kg, dimana dressing percentage berkisar 46-55% (3-5% lebih rendah daripada sapi) dan berat kulit sekitar 12,5-14% dari berat hidup. Total daging tanpa lemak yang dapat dipisah sekitar 15% dan tulang-tulangnya 17-18% (MORGAN, 1992 dalam MURTI, 2002). Daging kerbau kurang banyak mengandung lemak intramuskuler daripada daging sapi. Bila berat karkas rata-rata 50% dari berat hidup (berat hidup kerbau dewasa rata-rata 500 kg yang dipotong di RPH), maka dalam satu tahun telah dipotong sebanyak 660 ekor, atau sekitar 4,55% dari populasi ternak kerbau di Kalimantan Timur. Daging kerbau menyumbang 0,55% dari total produksi daging di Kalimantan Timur yang sebesar 30.000 ton (tahun 2005). Performans kerbau kalang Kerbau mempunyai sifat lambat dewasa dan lambat untuk kawin kembali sesudah beranak. Sifat yang kurang baik ini akan bertambah lagi bila disertai dengan pakan yang kurang baik. Masa kebuntingan kerbau lebih lama satu bulan daripada sapi, gejala estrusnya kurang jelas dan perkawinan sering dilakukan pada malam hari sehingga akan menyulitkan pengontrolan pemiliknya, serta angka reproduksinya rendah. Di Indonesia berdasarkan hasil survei, telah diketemukan persentase panen anak kerbau sebesar 54,7%. Hal-hal diatas menyebabkan kerbau sering dianggap kurang produktif. Pada kondisi pakan yang jelek, setidaknya kerbau dapat tumbuh menyamai sapi, tetapi pada kondisi pakan yang sangat baik, misalnya pada penggemukan, kecepatan pertumbuhannya tidak dapat melampaui pertumbuhan sapi. Kerapatan dari kelenjar keringat kerbau hanyalah sepersepuluh dari yang dipunyai sapi. Selain itu, kerbau mempunyai bulu yang sangat jarang, sehingga mengurangi perlindungannya terhadap sinar matahari langsung. Hal-hal inilah yang menyebabkan kerbau kurang tahan terhadap sengatan sinar matahari maupun udara yang dingin. Penurunan temperatur yang tiba-tiba dapat menimbulkan pneumonia dan kematian. Daging kerbau hampir sama dengan daging sapi, tetapi daging kerbau lebih merah karena mempunyai pigmentasi yang lebih banyak dan kurang lemak intramuskulernya. Sejarah terbentuknya kelompok kerbau kalang di Kabupaten Kutai Kartanegara Perkembangan kerbau kalang saat ini bermula dari usaha seorang penduduk Desa Melintang pada tahun 1918 yang membeli kerbau dari kampung Dayak Kelawit Bentian sejumlah 18 ekor yang terdiri dari 6 ekor jantan dan 12 ekor betina. Menurut H. ARMAN mantan ketua kelompok ternak kerbau kalang Lebak Singkil pada jaman dahulu pembelian kerbau dilakukan dengan sistem tukar menukar barang atau barter yaitu dengan melakukan penukaran barang berupa emas, tembakau atau garam. Ternak kerbau tersebut kemudian dibawa ke salah satu tempat di Desa Muara Wis, ternak kerbau tersebut berkembang hingga sekarang dengan anggota kelompok yang cukup banyak. Populasinya terus bertambah, karena selain beranak juga ada penambahan populasi yang diperoleh dari bantuan pemerintah (BANPRES) pada tahun 1990 sebanyak 10 ekor, karena dianggap berhasil dalam pemeliharaannya pada tahun 1998 diberi lagi bantuan kerbau sebanyak 30 ekor (MAWI, 2006). Permasalahan-permasalahan pemeliharaan kerbau kalang Permasalahan yang dihadapi dalam pemeliharaan kerbau kalang, diantaranya adalah: 1) Pada saat musim penghujan dimana kapasitas air sungai lebih tinggi dari biasanya menyebabkan kerbau-kerbau tersebut tidak bisa dilepas seperti biasanya dan harus dimasukkan ke kalang-kalang sampai air surut. Keadaan seperti ini biasanya terjadi sampai 4 bulan lamanya. Pada saat seperti itu peternak mempunyai kegiatan ekstra yaitu memotong rumput untuk kerbau-kerbau tersebut yang pada bulan kemarau tidak dilakukan karena kerbau tersebut digembalakan.
2) Populasi ternak yang bertambah terus setiap tahun menyebabkan kalang-kalang yang ada tidak mencukupi untuk ternak kerbau dan bahan kandang biasanya menggunakan kayu yang tahan terhadap genangan air, seperti jenis kayu ulin yang saat ini cukup mahal harganya. 3) Pada saat ternak digembalakan di musim kemarau sering terjadi ternak kerbau merusak dan memasuki areal pertanian penduduk sekitar. 4) Perbaikan mutu genetik ternak kerbau yang ada jarang dilakukan, baik melalui program inseminasi buatan (IB) maupun memasukkan ternak kerbau pejantan unggul di kelompok ternak kerbau yang ada, sehingga mutu genetik ternak yang ada mulai menurun. Indikator hal tersebut terlihat saat ini berat badan hidup rata-rata ternak kerbau kalang yang ada di dua Kecamatan Muara Wis dan Muara Muntai sebesar 300-350 kg/ekor. 5) Rasio antara kerbau jantan dan betina tidak seimbang, yaitu 10 pejantan berbanding 170 induk yang dapat mengakibatkan rendahnya angka kebuntingan, terbukti jumlah kelahiran setiap tahun dari jumlah induk 170 ekor hanya mencapai angka kelahiran 35 ekor (20%). 6) Penyakit yang sering dialami oleh ternak kerbau adalah diare/mencret yang sering terjadi pada musim penghujan, dimana ternak kerbau berada di kalang-kalang yang hanya mengandalkan hijauan pakan Kumpai yang memiliki kandungan air cukup tinggi di musim penghujan. Di musim kemarau kualitas rumput lebih baik dengan kandungan air lebih rendah. 7) Kurangnya informasi mengenai harga pasar ternak kerbau, sehingga ternakternak yang dijual kebanyakan dibawah harga standar ternak kerbau. Selain itu, pedagang membeli ternak terkadang dengan cara kredit yang sampai saat ini ada yang belum melunasinya. Alternatif pemecahan masalah 1) Masalah penurunan mutu genetik ternak kerbau yang ada di kelompok ternak, dapat diatasi dengan memasukkan ternak kerbau pejantan unggul dalam kelompok tersebut dan rasio jantan:betina dapat diatur 1:10. Selain itu, teknologi IB dapat digunakan dalam peningkatan mutu genetik ternak, semen beku saat ini sudah tersedia di Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari, Malang. Pemuliabiakan kerbau di Indonesia belum banyak dikerjakan secara sistematis. Seleksi belum dikerjakan dengan baik, pada umumnya peternak lebih condong memilih kerbau yang jinak daripada kerbau yang besar, biasanya digunakan sebagai ternak kerja dan kurang penggunaannya untuk pemuliabiakan, sehingga kerbau-kerbau di peternak menunjukkan kecenderungan mengecil, karena kehilangan sifat genetik dalam kecepatan pertumbuhan dan tubuh yang besar (HARDJOSUBROTO, 1994). 2) Penyakit-penyakit yang timbul dapat diatasi dengan bantuan pengobatan dari pihak Dinas Peternakan setempat dan hal ini sudah dilakukan secara berkala, tetapi juga perlu dialokasikan dana yang memadai. 3) Pada musim penghujan perlu ditambahkan hijauan atau jerami hasil pertanian yang memiliki kandungan serat kasar tinggi (jerami padi, jerami jagung dan lain-lain). ALTERNATIF MODEL PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU Perbibitan ternak Kerbau Kalang di Kalimantan Timur sebagai komoditi agrobisnis dan agrowisata dapat dikembangkan dan dilaksanakan dengan beberapa persyaratan, antara lain: 1) Dapat mengubah tujuan sistem produksi yang masih bersifat tradisional sesuai dengan tuntutan perkembangan ekonomi global yang secara tidak langsung akan mempengaruhi struktur agroindustri peternakan, tentunya disesuaikan dengan sumberdaya alam dan kemampuan peternak, sehingga diperoleh optimasi usaha yang menguntungkan. 2) Untuk menerapkan sistem usahaternak kerbau yang berorientasi agrobisnis, maka skala usaha atau tingkat kepemilikan ditingkatkan dari rata-rata 3-5 ekor/ peternak menjadi 10 ekor/peternak. 211
Program ini akan dapat terwujud apabila didukung dengan penerapan inovasi teknologi pembibitan ternak kerbau, seperti penggunaan pejantan unggul dan memperpendek calving interval. Peningkatan jumlah kepemilikan ternak akan meningkatkan pendapatan peternak dan mengubah tipologi usahaternak yang pada awalnya memelihara kerbau sebagai pekerjaan sampingan menjadi pekerjaan utama. 3) Perlu diubah pola pemeliharaan ternak kerbau secara individu menjadi berkelompok, untuk efisiensi sumberdaya manusia, pendanaan dan waktu. 4) Pembinaan model pengembangan perbibitan ternak kerbau yang dilaksanakan oleh peternak kecil, sebaiknya didampingi dengan program penyuluhan yang intensif dengan tujuan untuk membantu peternak merencanakan program perbibitan dan mengatur sistem kelembagaan desa yang mengarah pada skala agrobisnis. Peran Balai-balai Penyuluhan di daerah dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian di tingkat propinsi menjadi sangat penting, seiring dengan program Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. 5) Apabila suatu kawasan akan dijadikan agrowisata ternak kerbau Kalang, maka fasilitas umum di daerah tersebut harus dibangun dan disertai dengan promosi serta koordinasi yang baik antar lembaga dan dinas/instansi. KESIMPULAN Usaha ternak kerbau kalang di Kalimantan Timur masih memerlukan perhatian yang serius dari para peneliti, penyuluh, dan pengambil keputusan dalam hal pengembangannya. Rendahnya kemampuan reproduksi kerbau Kalang, memacu pemerintah propinsi untuk segera memprogramkan suatu model pengembangan perbibitan ternak kerbau kalang berorientasi agrobisnis. Program perbaikan performans ternak seperti program seleksi, pemberian pakan yang baik, pemeliharaan yang baik, dan pencegahan penyakit serta mengatur sistem kelembagaan di pedesaan perlu diwujudkan. DAFTAR PUSTAKA SETIADI, B. 2003. Alternatif Konsep Perbibitan dan Pengembangan Usaha Ternak Kambing. Makalah Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Kaltim di Samarinda, tgl. 23-24 Desember 2003. DINAS PETERNAKAN KALTIM. 2005. Statistik Peternakan. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Timur. Samarinda. HARDJOSUBROTO, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. MAWI, S.H. 2006. Laporan Perkembangan Ternak Kerbau Kalang di Kabupaten Kutai Kartanegara. Dinas Peternakan Kabupaten Kutai Kartanegara. Tenggarong. MURTI, T.W. dan G. CIPTADI. 1988. Kerbau Perah dan Kerbau Kerja. Penerbit PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.