Tidung Island Pulau Tidung, pulau yang letaknya jauh digugusan Kepulauan Seribu. Terdiri dari dua pulau, pulau Tidung Besar dan pulau Tidung Kecil. Berangkat dari Muara Angke menggunakan kapal motor selama 2,5 jam melewati pulau-pulau kecil lainnya seperti pulau Onrust, pulau Rambut, pulau Bidadari, dan pulau lainnya yang masih masuk wilayah Kepulauan Seribu. Pada suatu akhir pekan gue, Kamandaka dan teman gue orang Makassar bernama Leo memutuskan untuk mengikuti tour dari travel Adventure milik Mas Ray yang gue kenal dari Kaskus FJB, dan perjalanan ini menjadi perjalanan pertama kalinya gue berpetualang bersama Kamandaka, dengan tujuan refreshing sekalian hunting fotofoto ghaib. Bersama rombongan lainnya yang nggak gue kenal, kami menuju pulau tersebut. Sebelum berangkat Kamandaka bilang kalau kita bisa main detektif-detektifan di sana, kali aja ada yang bisa kita
selidiki. Gue semangat 45 mengiyakan, layaknya anak bocah gue langsung menghayal macam-macam. Siapa tahu di sana gue bisa ketemu suku pedalaman atau mungkin aja menemukan harta karun bajak laut yang belum ditemukan siapa pun. Pulau Tidung asyik banget dipakai untuk snorkeling. Sayangnya gue, Kamandaka dan Leo nggak bisa berenang, jadi cuma naik sepeda keliling pulau menyeberangi jembatan lalu berjalan kaki menyusuri padang rumput ilalang karena sepeda nggak bisa dipakai untuk menyeberangi jembatan, gara-gara jembatan tersebut belum selesai dibuat. Jadinya terpaksa deh berjalan kaki menyusuri pulau Tidung Kecil. Di pulau Tidung Kecil, gue dan Kamandaka serta Leo berjalan menuju makam Panglima Hitam. Gue yang punya jiwa detektif langsung menginvestigasi sang kuncen, sibuk nanya-nanya sembari nulis di memo pad Blackberry. Panglima Hitam adalah pendekar sakti yang telah berhasil melawan Belanda. Panglima Hitam itu dikejar oleh Belanda, dan dia berhasil meloloskan diri dengan kabur ke Pulau Tidung. Dan akhirnya beliau meninggal di situ. Begitu kata kuncennya yang rumahnya nggak jauh dari makam Panglima Hitam. Gue juga nggak tahu deh bener apa nggak tuh sejarahnya. Tanpa terasa hari sudah malam, dengan menggunakan kapal nelayan, kami kembali menuju tempat penginapan yang sebelumnya adalah rumah penduduk namun disewa oleh Mas Ray selaku pimpinan tour. Suasana semakin asyik, walau hujan rintik-rintik nggak membuat kami mengurungkan niat untuk berjalan-jalan saat malam. Setelah
menikmati ikan bakar yang dibakar sendiri, gue, Kamandaka dan Leo berkeliling pulau Tidung Besar dengan menggunakan sepeda. Dengan diboncengi Kamandaka gue bersenandung kecil, menikmati malam indah di pulau terpencil. Rasanya menyenangkan sekali liburan kali ini. Kamandaka juga merasa senang, begitu pun Leo. Tiba-tiba Kamandaka menghentikan kayuh sepedanya. Leo yang ada di belakang sepeda kami juga ikut berhenti. Ada apaan, Kang? tanya gue heran. Om Kamandaka, kok berhenti? tanya Leo ikutan heran. Ssttt.. Pada dengar nggak? tanya Kamandaka nggak jelas. Gue dan Leo diam berkonsentrasi mendengarkan apa yang dimaksud Kamandaka. Tapi gue nggak dengar apa-apa tuh, atau emang guenya aja kali yang budeg. Denger apaan, Kang? Aku nggak denger apa-apa.. tanya gue. Sssstt... Kamandaka menaruh telunjuknya di bibir, pertanda gue disuruh diam. Kami bertiga mendadak diam, bahkan untuk menggerakan jemari aja gue nggak berani. Gusrak.. Gusraak... Tiba-tiba ada suara gemerisik daun. Kamandaka memarkir sepedanya di tengah jalan kecil. Lalu melangkah menuju pantai. Langit hitam tak memunculkan sinar bulan, sementara lampu-lampu hanya temaram, suasana menjadi gelap. Angin semakin berhembus kencang, udara malam di pantai begitu menggigit tulang. Kang, pulang yuk.. kata gue udah mulai paranoid.
Leo yang sedari tadi diam, akhirnya mengikuti Kamandaka memarkir sepedanya. Dia ikut berjalan di belakang Kamandaka dan gue menuju pantai. Deburan ombak menghantam perahu nelayan yang terdampar di bibir pantai. Suara uhuk burung hantu tiba-tiba terdengar. Uhuk.. Uhuk.. Itu mah burung hantu, Kang.. kata gue senang, seenggaknya bukan yang ada di pikiran gue, tapi gue juga heran kok ada burung hantu di pulau terpencil ini. GUSRAAAAK!! Suara gemerisik daun semakin kencang, Kamandaka mengendapngendap membuka semak belukar. Om, ada apaan sih? Leo mulai nggak tenang. Leo, coba fotoin nih.. Kamandaka memberi camera pada Leo. Dan Leo pun menjepret sana sini. Sementara gue mematung kaku. Leo nggak menyadari di depannya ada apa. GLEKZ. Gue menelan ludah, sembari berjalan mundur perlahan. Gue menatap langit ada awan berbentuk segitiga besar. Kamandaka juga berjalan mundur lalu langsung menaiki sepeda, gue juga udah siap duduk di bangku belakang. LEO.. Ayok pulang! perintah gue kayak komandan perang. Tapi Leo masih penasaran dan sibuk foto.
Kik.. Kik Kik.. Suara cekikikan mulai terdengar jelas, yang tadinya sayup-sayup kini menjadi nyata. Leo yang panik mulai mengantongi camera dan menaiki sepeda, sementara gue dan Kamandaka sudah kabur di depan duluan. Leo tergopoh menggenjot kayuh sepeda. Gue menengok ke belakang untuk memastikan apa Leo sudah ada di belakang, ternyata gue melihat Leo nggak sendiri. Di bangku belakangnya tampak duduk perempuan berambut panjang sampai rambutnya itu terseret-seret di jalan.