Telah terbit Buku: G30S dan Kejahatan Negara Catatan Penyunting Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekitar pukul 7 pagi, saya bermain catur dengan ayah saya, Siauw Giok Tjhan di beranda depan rumah. Sebuah kebiasaan di pagi hari kalau ayah memiliki waktu luang. Pada hari yang sangat khusus dan penting itu, ia terlihat tenang seperti biasa. Ini menandakan bahwa ia tidak tahu menahu tentang akan adanya rencana Gerakan 30 September (G30S) menculik para jendral Angkatan Darat dan tidak tahu menahu tentang rencana G30S mengambil alih pemerintahan dari tangan kabinet Dwikora dan menyerahkannya ke Dewan Revolusi. Tidak terbayang olehnya bahwa mala petaka hebat sebagai akibat kejahatan negara berada di ambang pintu. Ia tidak 1
menyadari bahwa mala petaka tersebut akan menghancurkan semua perjuangan dan harapan politiknya. Ia tetap tenang bermain catur dengan saya yang pada waktu itu berumur 9 tahun. Tidak lama kemudian, ada mobil masuk ke pekarangan rumah. Keluarlah Sunito, salah seorang tokoh Partindo. Sunito yang memang kerap datang ke rumah adalah sekretaris Universitas Respublica, universitas yang dikelola dan diasuh oleh Baperki Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Siauw Giok Tjhan adalah ketua umum Baperki. Ia anggota DPRGR, MPRS, DPA, Dewan Harian Angkatan 45 dan beberapa lembaga resmi lainnya Sunito dengan suara lantang berseru sambil menjabat tangan ayah: Selamat. Ayah jelas tidak tahu mengapa ia diselamati dan apa yang membuat Sunito gembira. Pembicaraan antara ke dua orang tua ini berlangsung sebentar. Sunito kemudian pergi meninggalkan rumah. Ayah menyatakan bahwa permainan catur harus dihentikan dan ia segera menyalakan radio mencari berita. Tidak lama kemudian ia bergegas meninggalkan rumah. Dan baru kembali ke rumah pada malam hari. Ia tampak muram dan ketika berbicara dengan ibu, saya dengar ia menyatakan: Keadaan gawat. G30S sudah ditumpas oleh Angkatan Darat. Pasti akan ada perubahan politik yang merugikan kita semua. Tentunya sekarang mudah untuk disimak bahwa yang dihadapi oleh Siauw Giok Tjhan pada hari itu adalah peristiwa G30S, yang oleh pemerintah Suharto ditambahi predikat PKI menjadi G30S/PKI. Sebagai manifestasi tuduhan pemerintah Suharto bahwa PKI terlibat bahkan mendalangi G30S. Siauw Giok Tjhan ternyata masuk dalam Dewan Revolusi yang dibentuk oleh G30S. Sebuah Dewan yang tidak sempat bersidang, karena G30S keburu ditumpas oleh Jendral Suharto. Sejak tanggal 2 Oktober 1965, Jendral Suharto, dengan dalih menumpas G30S, melaksanakan Kejahatan Negara yang mungkin terburuk setelah Perang Dunia ke II. Penghancuran PKI, organisasi yang resmi dan 2
merupakan salah satu pilar kebijakan politik negara sebelum 30 September 1965, Nasakom, dilaksanakan oleh penguasa militer secara sistimatik. Penghancuran ini melibatkan pengejaran, penangkapan dan pembunuhan massal. Lebih dari sejuta orang yang dianggap menganut paham komunisme dibunuh secara kejam. Sekitar 500 ribu orang ditahan. Puluhan ribu di antaranya ditahan berbelas tahun tanpa proses hukum. Sebelas ribu di antaranya dibuang ke Pulau Buru. Disamping itu, jutaan orang yang dianggap berhaluan politik kiri mengalami persekusi yang resmi dilaksanakan oleh Negara berbelas tahun. Dipecat dari pekerjaannya, tidak bisa memperoleh pekerjaan lain, diusir dari tempat kediamannya, anak-anaknya tidak bisa memperoleh pendidikan yang baik. Mereka didiskriminasi dan diasingkan dari masyarakat dan hidup sebagai elemen yang membahayakan masyarakat. Siauw Giok Tjhan memimpin Baperki melawan rasisme dan mencanangkan konsep integrasi wajar. Ia mengajak komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya dan menjadi patriot Indonesia tanpa menanggalkan latar belakang etnisitasnya. Harapannya adalah komunitas Tionghoa diterima sebagai salah satu suku Indonesia. Menjelang akhir zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965), polarisasi politik di Indonesia kian meruncing. Kelompok berhaluan kiri dipimpin oleh PKI. Kelompok berhaluan kanan dipimpin oleh Angkatan Darat. Presiden Sukarno cenderung mendukung kelompok kiri. Siauw dan Baperki bersikap mendukung Sukarno. Karena Sukarno cenderung berhaluan kiri, dengan sendirinya Siauw membawa Baperki ke perahu Sukarno yang bertentangan dengan partai-partai politik berhaluan kanan dan Angkatan Darat. Pengejaran, penangkapan dan pembunuhan yang dilaksanakan oleh Suharto turut menghancurkan Baperki dan banyak anggotanya di berbagai daerah menjadi korban. Siauw Giok Tjhan mendorong 3
pimpinan Baperki untuk tidak melarikan diri dan melindungi para anggotanya. Mereka berupaya sekuat tenaga membersihkan nama Baperki dari semua tuduhan penguasa militer. Pada tanggal 15 Oktober 1965 kampus Universitas Respublica di Jakarta diserbu dan dibakar oleh massa yang didukung oleh militer. Pada tanggal 4 Nopember, Siauw Giok Tjhan ditahan, dengan dalih di amankan dari masyarakat. Pada bulan Maret 1966, ia dipecat dengan hormat dari DPR, MPRS dan DPA. Sejak Nopember 1965 hingga Agustus 1978, Siauw Giok Tjhan tercatat sebagai seorang tahanan politik (tapol). Ia resmi di bebaskan dengan predikat ET Eks Tapol pada tahun 1978. Ia ditahan di berbagai penjara di Jakarta. Dimulai dengan penahanan sementara di Lapangan Banteng dan kompleks Unra (Universitas Rakyat) dari Nopember 1965 hingga Juli 1966. Di penjara Salemba dari Juli 1966 hingga Nopember 1969. Di tahanan Satgas, Nopember 1969 hingga Pebruari 1970. Di penjara RTM (Rumah Tahanan Militer), Pebruari 1970 hingga Desember 1972. Di penjara Nirbaya, Desember 1972 hingga Nopember 1973. Di Penjara Salemba, Nopember 1973 hingga Oktober 1975. Tahanan rumah, Oktober 1975 hingga Agustus 1978. Di berbagai tahanan inilah ia bertemu dan berdiskusi dengan banyak tokoh politik dan militer yang langsung dan tidak langsung terlibat dalam peristiwa G30S. Ia berdiskusi dengan banyak orang dari berbagai lapisan, sipil maupun militer. Dari tokoh-tokoh utama seperti KSAU Omar Dhani, KSAD Pranoto, Menteri Setiadi, Menteri Sumarno dan Menteri Oei Tjoe Tat, Kolonel Latief hingga para tentara yang ikut dalam operasi penculikan para jendral pada tanggal 1 Oktober 1965. Ia juga berkesempatan berdiskusi dengan para tokoh yang memimpin operasi Blitar Selatan, di antaranya Munir dan Ruslan. Diskusi-diskusi dengan para pelaku sejarah dari berbagai tingkat dan aliran ini mendorongnya menulis beberapa catatan berbentuk analisa tentang G30S, kesalahan dan kecerobohan yang dilakukan oleh pimpinan PKI, setelah ia keluar dari penjara. 4
Ketika ia diizinkan oleh Adam Malik, pada waktu itu Wakil Presiden, untuk berobat di negeri Belanda pada tahun 1978, ia-pun sering berbicara dengan para teman dan mahasiswa di Eropa. Sebagian dari pembicaraan-pembicaraan ini direkam. Catatan-catatan Siauw sebenarnya disebar secara terbatas di antara para temannya pada tahun 1978. Jadi sebelum banyak tulisan tentang G30S terbit. Siauw Giok Tjhan menyimpulkan bahwa PKI secara organisasi tidak terlibat dalam G30S. Dan dari berbagai kenyataan yang ia amati, Suharto memainkan peranan penting dalam peristiwa yang kemudian menjadi dasar dari Kejahatan Negara yang dilaksanakan secara sistimatik berbelas tahun. Buku ini merupakan gabungan semua catatan, tulisan dan rekaman Siauw Giok Tjhan tentang peristiwa G30S, peristiwa yang terjadi 50 tahun yang lalu, yang secara drastis mengubah struktur politik Indonesia dan membuahkan penderitaan jutaan orang yang tidak bersalah di Indonesia. Dan kesemuanya ini dilakukan oleh Negara yang dipimpin oleh Jendral Suharto. Diharap buku ini, bersama banyaknya publikasi lain tentang G30S, memperkuat kemampuan para sejarawan dan generasi muda untuk secara objektif mempelajari dan menganalisa G30S. Dan yang lebih penting lagi, diharap buku ini mendorong generasi di kemudian hari untuk berjuang menjamin tidak terulangnya Kejahatan Negara yang dilakukan oleh Suharto. Semua kelemahan dan kesalahan penyuntingan dari berbagai dokumen dan rekaman ini adalah tanggung jawab saya sebagai penyunting. Siauw Tiong Djin 1 Oktober 2015. 5
<< UNDANGAN >> Herb Feith Foundation mengundang Anda untuk menghadiri acara peluncuran buku: G30S dan Kejahatan Negara, oleh Siauw Giok Tjhan Waktu: 28 Oktober 2015 13:00 s/d 15:00 Rabu Lokasi: Cening Coffee House, Jalan Raya Celuk 6X, Sukawati Gianyar (Dekat Ubud). Nara Sumber: Siauw Tiong Djin (penyunting), Romo Baskara and Putu Oka Sukanta 6