48 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketiga, Nomor 1, Juni 2010 PEMIKIRAN TAMANSISWA TENTANG PENDIDIKAN BUDI PEKERTI PADA MASA PRA KEMERDEKAAN Yuliati Jurusan Sejarah FIS Universitas Negeri Malang Abstract: Tamansiswa is a cultural institution in the field of education. Founded by Suwardi Suryaningrat on 3 July 1922 and later known as Ki Hajar Dewantara, a multi talent person. In its curriculum, Tamansiswa gave balance between intelectual education, character and physical education. Character education was given to students of Tamansiswa because it has great benefits, especially for girls as their behavior guidance. Key Words: Tamansiswa, Suwardi Suryaningrat, cultural institution education. Pelajaran budi pekerti dalam sejarah pendidikan di Indonesia pasca kemerdekaan pernah diberikan sebagai suatu mata pelajaran yang harus ada, bersanding dengan pelajaran lain. Akan tetapi sajian mata pelajaran ini kemudian menghilang atau digabung dengan pelajaran lain yang memiliki kemiripan. Setelah melihat dampak pada pada siswa, para ahli pendidikan merasa perlu kembali memikirkan pemberian kembali mata pelajaran budi pekerti yang kini lebih dikenal sebagai pendidikan karakter. Pendidikan budi pekerti jauh sebelum negara ini merdeka telah diajarkan oleh Perguruan Tamansiswa. Pemberian pelajaran budi pekerti diberikan karena kegunaannya yang besar untuk membentuk pribadi seorang siswa. Para pamong di Tamansiswa telah berfikir jauh ke depan, bahwa seorang siswa tidak saja harus dididik sebagai seorang yang mempunyai tingkat intelek tertentu dan beraga sehat, akan tetapi juga harus dibekali budi pekerti positif yang digali dari adat istiadat bangsa Indonesia. Tulisan ini mengkaji pengalaman Tamansiswa yang memikirkan pentingnya pendidikan budi pekerti untuk siswa, yang disesuaikan dengan jiwa jamannya. Profil Pendiri Tamansiswa Di Yogyakarta pada awal abad ke-20 telah berdiri bermacam organisasi yang bergerak di berbagai bidang, misal di bidang sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, dan organisasi lain yang bergerak di bidang budaya dan pendidikan seperti Tamansiswa. Tamansiswa yang nama lengkapnya ialah Perguruan Nasional Tamansiswa didirikan pada 3 Juli 1922. Istilah perguruan dipakai untuk memberi ciri lain dari perkataan sekolah yang kala itu dianggap sebagai pabrik yang menghasilkan siswa yang tidak berjiwa (Pranata, 1959: 57). Digunakan pula istilah Nasional dimaksudkan oleh para pendiri perguruan ini sebagai lawan dari sekolah - sekolah yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda yang bercorak kolonial (Soerjomihardjo, 1990: 21). Tamansiswa didirikan oleh seorang nasionalis, jurnalis, pendidik, budayawan keturunan bangsawan Pakualaman, yakni Suwardi Suryaningrat yang pada usia genap usia lima windu mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara. Lahir pada 2 Mei 1889, yang hingga kini hari kelahirannya diperingati sebagai hari pendidikan Nasional Indonesia, tidak lain adalah sebagai cara menghormati bangsa ini kepada jasa beliau
Yuliati, Pemikiran Tamansiswa Tentang Pendidikan Budi Pekerti. 49 yang telah memikirkan, memajukan pendidikan di Indonesia. Ayah Suwardi, yakni Pangeran Suryaningrat adalah putera sulung dari Paku Alam III dengan permaisuri, sehingga pangeran ini memiliki hak untuk menggantikan ayahnya sebagai penguasa Kadipaten Pakualaman. Pangeran Suryaningrat adalah sosok yang gemar terhadap hasil seni budaya Jawa misalnya karawitan dan sastra Jawa di samping pertunjukkan wayang kulit. Kecintaan Pangeran Suryaningrat terhadap seni tradisional Jawa diwarisi oleh Suwardi, yang juga mencintai pertunjukan wayang kulit, selain tembang dan tarian Jawa. Kecintaannya kepada wayang kulit, membuat Suwardi kecil telah mempunyai karakter pujaan, seorang satria Pandawa yang memiliki sifat jujur, adil, pecinta kedamaian, tidak suka berkelahi dan tokoh yang menghargai janji, yaitu Yudistira. Walaupun karakter Yudistira adalah karaktr wayang yang penuh kelembutan, namun jika menghadapi lawan sanggup untuk berperang dan dapat menjelma menjadi tokoh raksasa yang mempunyai kesaktian dan disegani Kurawa. Tokoh Yudistira sangat menginspirasi Suwadi, sehingga pada usia 12 tahun telah diciptakan sebiah tembang yang menyanjung tokoh ini (Pranata, 1959: 35). Karakter wayang idola lain adalah titisan dewa Wisnu, yang merupakan politikus cerdas, bijaksana dan luas pengetahuannya, yaitu Kresna. Kedua sifat yang dimiliki oleh tokoh wayang idolanya ini, Suwardi menemukan kecocokan pada sifat, watak dan kekayaan rohani yang perlu diteladani olehnya. Bekal pendidikan yang diperoleh di lingkungan keluarga kemudian dilanjutkan di sekolah formal. Pendidikan dasar ditempuh di ELS (Europeesche Lagere School) yakni sekolah Dasar Belanda yang menerima murid anak kelas atas, yakni bangsawan dan priyayi. Pendidikan dasar dituntaskan tahun 1904 dilanjutkan kesekolah guru (Kweekschool) selama setahun.akan tetapi diploma gurunya tidak digunakan untuk menjadiseorang pendidik, namun Suwardi meneruskan pendidikannya justru ke jalur yang berbeda dengan masuk STOVIA di Batavia tahun 1905 (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen), sekolah dokter Jawa dengan beasiswa karena kecerdasannya. Sekolahnya di STOVIA tidak ditamatkan oleh Suwardi, karena beasiswanya dicabut pada tahun 1909 dengan alasan sering sakit yang mengganggu kelancaran belajarnya. Meskipun kberasal dari keluarga bangsawan, keluarga Pangeran Suryaningrat tidak dapat membantu banyak untuk kelancaran studi Suwardi di Batavia, karena bangdawan Pakualaman ini hanya berhaji f. 250,-, setara dengan gaji seorang pensiunan saat itu (Hadi Soewito, 1985: 14). Keluar dari STOVIA Suwardi Suryaningrat bekerja di pabrik gula Bojong di Purbalingga, yang hanya dijalani selama setahun kemudian kembali ke Yogyakarta pada tahun 1911 bekerja di bidang kesehatan sebagai pembantu apoteker di Apotek Rathkamp. Selain bekerja di kantor, Suwardi Suryaningrat mulai tertarik di bidang jurnalistik dan bekerja di dua koran yang berbeda, yang pertama koran berbahasa Jawa Sedyatama, dan Midden Java yang berbahasa Belanda, dari tahun 1909-1911. Karir di dunia jurnalistik semakin berkembang ketika tahun 1912 bertemu Douwes Dekker yang memintanya mengelola surat kabar De Expres di Bandung, selain menjadi anggota redaksi harian Kaum Muda, pembantu umum Utusan Hindia, pembantu harian Cahaya Timur dan pengasuh Het Tijdschrif di Bandung pimpinan Douwes Dekker. Kerjasama di bidang jurnalistik disertai
50 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketiga, Nomor 1, Juni 2010 kecocokan pemikiran politik antara Suwardi dan Dauwes Dekker membuahkan Indische Party setelah bertemu dengan Cipto Mangunkusumo. Dunia jurnalistik bagi Suwardi Suryaningrat merupakan media untuk menyalurkan bakat menulisnya dan mengenalkan kepada publik pemikiran- pemikirannya, dan tulisan pertama yang dimuat di koran De Express berjudul Kemerdekaan Indonesia merupakan curahan hatinya yang mencitacitakan kemerdekaan tanah airnya ( Tauhid, 1963: 19). Karir di bidang politiknya diawali dengan bergabung di Budi Utomo, setelah tahun 1912 diteruskan di Sarekat Islam dan pernah menjadi pimpinan cabang Sarekat Islam Bandung, namun tidak lama kemudian pada tanggal 6 September 1912, Suwardi Suryaningrat bersama-sama dengan Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo mendirikan Indische Party, suatu organisasi politik yang sifatnya terbuka untuk umum yang tujuannya untuk mencapai Indonesia merdeka. Pada tahun 1913 terjadi sebuah peristiwa penting yang mengubah cara perjuangan Suwardi Suryaningrat untuk mencapai kemerdekaan bagi negaranya. Pada tahun itu pemerintah kolonial Belanda akan merayakan kemerdekaan Belanda lepas dari jajahan Perancis yang ke-100 di Hindia Belanda dan biaya perayaan dibebankan kepada rakyat jajahan. Rencana ini mendapat protes dari Suwardi Suryaningrat yang menulis sebuah brosur Als ik eens Nederlands was (Andaikan aku seorang Belanda). Isi brosur ini menunjukkan keberanian yang luar biasa bagi pemuda usia 24 tahun yang mengkritik dengan sindiran halus kepada pemerintah kolonial Belanda. Brosur yang berisi tuntutan kemerdekaan bagi Hindia Belanda dan ketidak layakan Belanda memperingati kemedekaannya di tanah jajahan. Kritik dari Suwardi Suryaningrat ini disusul oleh Cipto Mangunkusumo yang menulis di harian De Expres pada 26 Juli 1913 dengan judul Kracht of Vrees (Kekuatan atau Ketakutan), dua hari kemudian tanggal 28 Juli 1913 Suwardi Suryaningrat menulis di harian yang sama bertajuk Een voor Allen, maar ook allen voor Een ( Satu untuk semua, tetapi juga semua untuk satu). Douwes Dekker yang baru datang dari Belanda memberi apresiasi kepada kedua temannya dalam sebuah tulisan di De Expres pada 5 Agustus 1913 berjudul Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en R.M. Soewardi Suryaningrat (Dua Pahlawan kita: Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat). Dampak dari tulisan itu ketiganya ditangkap dan diputuskan untuk diasingkan di dalam negeri, Cipto diasingkan ke Banda, Suwardi Suryaningrat ke Bangka dan Douwes Dekker di Kupang. Atas permintaan sendiri ketiganya memilih diasingkan ke negeri Belanda. Selama masa pembuangan di negeri Belanda, bidang pendidikan didalami hingga memperolah akta mengajar tahun 1915. Tokoh- tokoh pendidikan dikenal Suwardi seperti Frobel, Maria Montessori, Rabindranath Tagore, John Dewey dan Kerschensteiner. Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 18 agustus 1917 mengakhiri masa pengasingan Suwardi Suryaningrat, namun tidak dapat segera kembali karena Perang Dunia I masih berlangsung, baru pada 6 September 1919 Suwardi Suryaningrat sekeluarga tiba di tanah air. Sebelum pulang Suwardi Suryaningrat menulis sebuah artikel Terug naar het front, kembali ke medan perjuangan artinya ia kembali ke tanah air
Yuliati, Pemikiran Tamansiswa Tentang Pendidikan Budi Pekerti. 51 melanjutkan perjuangan untuk bangsa dan negaranya. Artikelnya dimuat di harian Het Volk dan De groene Amsterdammer pada 15 September 1917 keduanya terbit di Belanda Langkah pertama adalah bergabung dengan National Indische Party sebagai sekretaris partai kemudian menjadi ketua pengurus besar partai berkedudukan di Semarang di samping sebagai redaktur majalah De Beweging, Persatuan Hindia, pemimpin harian De Expres yang terbit kembali kemudian memimpin surat kabar berbahasa Jawa Penggugah yang diserahkan kepadanya dari Cipto Mangukusumo yang dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda berdiam disurakarta karena dapat membahayakan kepentingan umum. Selama berkegiatan di Semarang, Suwardi Suryaningrat masuk penjara dua kali. Pertama ditahan selama 6 bulan di penjara Mlaten Semarang kemudian dipindah ke Pekalongan karena pidatonya yang dianggap menghina pemerintah kolonial Belanda, kedua selama 3 bulan karena pelanggaran pers. Baginya ancaman pembuangan, masuk penjara bukan membuatnya jera, namun membuatnya sadar untuk memikirkan cara dan jalan lain selain cara politis untuk menyebarkan benih jiwa merdeka. Mendirikan Perguruan Tamansiswa Pada tahun 1921, Suwardi Suryaningrat menetap kembali ke Yogyakarta, setelah tinggal selama delapan belas bulan di Semarang. Di Yogyakarta bergabung dalam Paguyuban Selasa Kliwon yang terdiri dari Sutatmo Suryokusumo, tokoh Budi Utomo, Ageng Suryomentaram, Suryoputro, Pronowidigdo, Cokrodirjo, Sutopo Wonoboyo, Prawirowiworo, Subono dan Suwardi Suryaningrat. Akhirnya diputuskan untuk menebarkan benih jiwa merdeka di masyarakat dilaksanakan dengan cara pendidikan bangsa Indonesia akan terlepas dari penjajahan. Untuk mewujudkan gagasan ini, Paguyuban Selasa Kliwon mengadakan pembagian tugas Ageng Suryomataram diberi tugas melaksanakan pendidikan untuk orang dewasa, Suwardi Suryaningrat diberi tugas melaksanakan pendidikan anak-anak. Suwardi Suryaningrat mewujudkan tugasnya dengan mendirikan perguruan diberi nama National Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Tamansiswa pada 3 Juli 1922 dengan candra sengkala Lawan Sastra Ngesti Mulya artinya dengan ilmu pengetahuan mencapai kemuliaan yang bertepatan dengan tahun Caka 1852. Dengan berdirinya sekolah Tamansiswa Paguyuban Selasa Kliwon dibubarkan dan Suwardi Suryaningrat telah mengesampingkan pendekatan politik beralih ke bidang pendidikan dalam perjuangannya. Di bidang pendidikan karir Suwardi Suryaningrat dimulai sebagai guru di sekolah Adidharma milik kakaknya, Suryopranoto. Sekolah ini adalah bagian usaha perkumpulan Adidharma yang bergerak di bidang sosial dan merupakan sekolah swasta pertama yang berbentuk HIS (Hollandsch Inlandsche School) (Surjomihardjo, 1990: 97). Dengan modal sebuah kelas milik kakaknya, Suwardi Suryaningrat mendirikan sekolah yang sesuai cita-citanya yaitu sekolah yang memberikan pendidikan jiwa merdeka pada muridnya. Untuk mencapai programnya Suwardi Suryaningrat mencanangkan suatu semboyan terug naar het nationale atau kembali ke nasional, artinya Tamansiswa dalam menghadapi ilmu pengetahuan Barat bertindak selektif dan adaptif, artinya diseleksi dan disesuaikan dengan situasi kondisi masyarakat Indonesia.
52 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketiga, Nomor 1, Juni 2010 Pendidikan Budi Pekerti Pendidikan yang dirancang oleh Ki Hajar Dewantara berdaya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anakanak secara terpadu agar memperoleh kesempurnaan hidup ( Dewantara, 2004: 14). Ketiga komponen ini harus ada dalam setiap aspek pendidikan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai pendidikan budi perkerti, kedua pendidikan intelektuil, dan ketiga pendidikan jasmani. Pemikiran Suwardi Suryaningrat mengenai tiga komponen pendidikan, maka budi pekerti merupakan pendidikan yang paling diperhatikan. Pendidikan budi pekerti harus diutamakan untuk membentuk tabiat anak, dan dimulai ketika masih dalam kandungan. Oleh sebab itu pendidikan waktu dalam kandungan juga perlu diperhatikan karena jiwa, fikiran dan perbuatan orang tuanya mempunyai pengaruh kepada tabiat anak. Petuah orang tua kepada anaknya terutama anak perempuan agar senantiasa berfikir sebelum bertindak, berkata benar, menjaga kesucian lahir dan batin, sabar dan tawakal, serta sopan santun, sebab hal ini menjadi pokok pendidikan anak ( Soerip, 1935: 130). Budi pekerti atau watak dalam bahasa asingnya disebut karakter. Budi pekerti itu sendiri berasal dari dua kata. Budi yang berarti fikiran, kemauan, dan pekerti itu artinya tenaga. Jadi budi pekerti itu sifatnya jiwa manusia mulai angan-angan hingga terjelama sebagai tenaga. Dapat pula berarti bersatu gerak, fikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang menimbulkan tenaga. Pendidikan budi pekerti diutamakan Tamansiswa dengan tujuan agar anak/siswa berbudi luhur, berkepribadian, luwes dalam bermasyarakat, memiliki jiwa humanis, bermoral, beragama dan memiliki jiwa toleransi terhadap agama, selain cinta tanah air, bertata tertib dan cinta damai, di samping berbudaya. Pengaruh budi pekerti bagi perempuan, adalah agar perempuan sebagai pribadi memiliki keluhuran budi dalam cipta, rasa dan karsa, dan kehalusan budi dalam seni, dan kesucian budi dalam kehidupan batin. Juga mengingat kewajiban perempuan di lingkungan Tamansiswa untuk menjaga dan memelihara kesucian keluarga Taman siswa. Untuk kewajiban yang berat itu hidup rohani perempuan harus diperbaiki, bukan hanya hati saja yang suci, tetapi suci dalam segala perbuatannya (Tamansiswa 30 Tahun, 1952: 98). Oleh karena pertimbangan budi pekerti pula, maka Tamansiswa pernah melarang gadis remaja menjadi panitia amal a la Eropa karena gadis-gadis tersebut dijadikan pajangan sebagai penarik para donatur. Panitia menggunakan para gadis hanya sebagai penerima tamu bukan karena potensi yang dimiliki, namun lebih kearah menjual kecantikan lahiriah untuk menarik minat para donatur memberi sumbangan derma. Ketua Tamansiswa pertama, yakni Ki Sutatmo Suryokusumo mengajukan usul bahwa acara amal boleh diadakan jika sesuai dengan tata cara ketimuran dan tidak meninggalkan adat ketimuran, yaitu hanya anak-anak maksimum berusia 12 tahun dan perempuan yang sudah matang usianya yang diijinkan melayani para donatur, sedang para gadis hanya diijinkan melayani tamu undangan spesial, yaitu para tamu yang sudah dikenal kepribadiannya (Poesara, 1931: 46). Para gadis Indonesia yang bertindak dan berfikir seperti masyarakat Barat seperti yang mereka lihat, karena mereka tidak pernah melihat dan merasakan seperti apa dan bagaimana perempuan kelas atas Eropa
Yuliati, Pemikiran Tamansiswa Tentang Pendidikan Budi Pekerti. 53 bergaul, hanyalah cara pergaulan perempuan Eropa biasa yang diketahui (Wasita, 1935: 127). Di lingkungan bangsa Eropa yang memperhatikan sopan santun, orang tidak boleh berdansa, bercakap dengan keras, mandi (berenang) bersama orang laki-laki, dan pergi pada waktu malam. Di kalangan ini diajarkan musik, berbicara dan menggerakkan badan dengan lemah gemulai dan kesantunan bahasa amat diperhatikan. Jika tentang hal ini dibandingkan dengan keadaban kita, nyata bahwa kerugian di fihak kita. Orang tua, pendidik dan masyarakat memiliki kewajiban untuk mengenyahkan segala bahaya yang akan dapat merendahkan derajad para perempuan Indonesia, terutama para gadisnya, disamping memajukan pendidikannya, pemberian pendidikan budi pekerti dan menjaga jangan sampai mengkuti arus kyang dianggap mereka modern tanpa batas (Tjokrodirdjo, 1935 : 127). Jika seorang perempuan mempunyai keluhuran, kehalusan dan kesucian budi, mereka telah memiliki bekal untuk menentukan pilihan hidup. Kejadian lomba busana lurik di pasar malam Semarang tahun 1935 dapat dijadikan contoh bagaimana perempuan yang tidak memiliki keluhuran budi dengan mudah dimanfaatkan pemodal untuk mencari uang ( Dewantara, 1935; 167-168). Para peserta yang ikut harus mempertunjukkan kebolehannya di depan publik pasar malam, sedang penilaian juri diberikan tidak hanya mengenai rupa pakaian lurik, namun soal keserasian pakaian dan pemakai juga dinilai. Hal ini terbukti juga, karena diantara peserta terdapat juga para ronggeng dan perempuan yang kurang memiliki reputasi baik ikut bertanding diantara para perempuan terhormat, dan salah satunya menjadi pemenang (Dewantara, 1935 : 147). Protes yang timbul di Semarang menjadi bukti bahwa kaum perempuan dengan dukungan dan persetujuan dari kaum kebangsaan, mampu melakukan pembelaan diri ketika para pemodal akan mempermainkan mereka sebagai sarana kesenangan, dan alat pencari uang yang berkedok meningkatkan perekonomian atau industri lurik nasional. Prinsip kaum perempuan yang protes tersebut karena mereka menganggap antara lomba-lomba perempuan itu dengan prostitusi hanya sedikit bedanya, yang keduanya dapat hidup karena dapat perlindungan pemodal. Dari peristiwa protes lomba lurik di Semarang itu menjadi bukti bahwa derajad perempuan adalah suatu faktor yang terpenting untuk kemajuan bangsa, karena kesadaran dan kegiatan kaum perempuan adalah salah satu komponen tanda kemajuan dari bangsa Indonesia. Kesimpulan Perguruan Tamansiswa adalah sebuah institusi di bidang pendidikan. didirikan oleh seorang tokoh yang multi talenta, yaitu Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Setelah berbagai peristiwa politik yang dihadapinya, muncul kesadaran bahwa untuk mencapai sebuah kemerdekaan bagi Indonesia tidak harus selalu dengan jalan politik, namun masih terbuka jalan lain, misalnya melalui bidang pendidikan. Pembuangan di negeri Belanda yang harus dipikulnya sebagai dampak aktivitas politiknya di dalam negeri, digunakan oleh Suwardi Suryaningrat untuk menimba ilmu pendidikan sampai mendapat ijasah. Di dalam benaknya, melalui pendidikan para siswa akan ditanamkan jiwa merdeka yang menjadi modal penting untuk membentuk negara merdeka. Idenya ini direalisasikan oleh Suwardi Suryaningrat setelah kembali ke
54 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketiga, Nomor 1, Juni 2010 Indonesia. Langkah awalnya adalah dengan mendirikan sekolah yang diberi nama Perguruan Tamansiswa tahun 1922. Kurikulum sekolah digali dari kekayaan budaya Indonesia yang meliputi bidang intelektual, budi pekerti dan jasmani. Daftar Rujukan Dewantara, Ki Hadjar.2004. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I. Pendidikan. Cet. kedua. Yogyakarta: Majelis Luhur Perguruan Taman Siswa.. Agoestoes 1935. Berkobarnya Rasa Kehormatan dan Rasa Kebangsaan dalam Wasita, Tahoen ke-i, No. 7. Hadi Soewito, Irna H.N.1985. Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan. Jakarta: Balai Pustaka. Poesara. Oktober 1931. Jilid I. No. 1-2. SSP, Pranata.1959. Ki Hadjar Dewantara Perintis Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Notosusanto, Nugroho (eds. Pemutakhiran). 2009. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka. Soerip, Juli 1935 Perempuan sebagai Pendidik. Wasita. Tahoen Ke I. No. 6. Surjomihardjo, Abdurrahman (peny.). 1990. Tamansiswa dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan (Kumpulan Tulisan Terpilih). Jakarta: Pengurus Besar Majelis Taman Siswa. Tauhid, Mochammad.1963. Perjuangan dan Adjaran Hidup Ki Hadjar Dewantara. Jogjakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Tigapuluh Tahun Tamansiswa. 1922-1952.1952 Djogjakarta: Majelis Luhur Taman Siswa. Tjokrodirdjo, Ki. 1935. Pendidikan Oentoek Gadis-Gadis Kita. Wasita. Tahun ke I. No.6. Wirjosentono, Moesman dan Harijadi (peny.).1998. Buku Ketamansiswaan untuk Taman Madya, Taman Karya, Taman Guru Muda Tamansiswa. Cet. kedua. Yogyakarta : Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.