HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Bagan Kerangka Pemikiran "##

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Prestasi olahraga yang menurun bahkan di tingkat ASEAN menjadi suatu

BAB I PENDAHULUAN. Permainan sepak bola merupakan salah satu olahraga endurance beregu

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN GIZI, POLA KONSUMSI DAN TINGKAT KECUKUPAN GIZI PENDAKI GUNUNG DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JESA NUHGROHO

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan sebelum mengisi aktivitas yang lain setiap hari. Sarapan dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. melekat kecintaanya terhadap cabang olahraga ini. Sepuluh tahun terakhir ini

METODOLOGI Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. penambahan bahan-bahan lain. Bahkan fast food (makanan cepat saji) semakin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB V PEMBAHASAN. jam yang dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada hari latihan dan hari tidak

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah

BAB I PENDAHULUAN. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi

HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI KARBOHIDRAT, PROTEIN DAN LEMAK DENGAN KESEGARAN JASMANI ANAK SEKOLAH DASAR DI SD N KARTASURA I SKRIPSI

Penting Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui

Pola Makan Sehat. Oleh: Rika Hardani, S.P.

TINJAUAN PUSTAKA Beastudi Etos Karakteristik Individu Umur dan Jenis Kelamin

HUBUNGAN PERSEPSI BODY IMAGE DAN KEBIASAAN MAKAN DENGAN STATUS GIZI ATLET SENAM DAN ATLET RENANG DI SEKOLAH ATLET RAGUNAN JAKARTA

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

Nutrisi untuk Mendukung Tenaga Kerja yang Sehat dan Produktif. dr. Yulia Megawati

Tabel 1 Pengelompokan olahraga berdasarkan intensitas. Golf Bowling Panahan. Bola basket Hockey Soft ball. Olahraga berat sekali

PENGETAHUAN, SIKAP, PRAKTEK KONSUMSI SUSU DAN STATUS GIZI IBU HAMIL

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, masalah gizi perlu mendapatkan perhatian dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tergantung orang tua. Pengalaman-pengalaman baru di sekolah. dimasa yang akan datang (Budianto, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dilihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara yang terletak pada

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sehingga setiap orang harus mempersiapkan diri untuk menghadapi segala aktivitas dengan

KUESIONER PENELITIAN PENGETAHUAN REMAJA PUTRI TENTANG NUTRISI BAGI KESEHATAN DI SMA KEMALA BHAYANGKARI 1 MEDAN TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah kekurangan gizi muncul karena tidak seimbangnya asupan

PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

GIZI IBU HAMIL TRIMESTER 1

PENGARUH SUPLEMEN TERHADAP KADAR ASAM LAKTAT DARAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

METODE PENELITIAN. n1 = = 35. n2 = = 32. n3 =

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Eko Winarti, SST.,M.Kes

NARASI KEGIATAN PENGABDIAN MASYARAKAT PENYULUHAN PENENTUAN STATUS GIZI DAN PERENCANAAN DIET. Oleh : dr. Novita Intan Arovah, MPH

KUESIONER PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. gizi olahraga yang benar dan professional (Depkes RI, 2002).

TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Kerja

Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya

BAB I PENDAHULUAN. vitamin dan mineral, sayuran juga menambah ragam, rasa, warna dan tekstur

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan

HUBUNGAN ASUPAN GIZI MAKAN PAGI DAN MAKAN SIANG DENGAN STATUS GIZI DAN KESEGARAN JASMANI PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI TEMBALANG SEMARANG TAHUN 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman langsung maupun dari pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2005, hal. 3

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang Masalah. Lari jarak pendek (sprint) adalah lari yang menempuh jarak antara 100

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Perhatian utama adalah untuk mempersiapkan dan

METODE PENELITIAN. n = n/n(d) 2 + 1

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

FORMAT PERSETUJUAN RESPONDEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lanjut usia adalah tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN GIZI, POLA KONSUMSI DAN TINGKAT KECUKUPAN GIZI PENDAKI GUNUNG DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JESA NUHGROHO

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Sekitar anak-anak di negara berkembang menjadi buta setiap

GIZI KESEHATAN MASYARAKAT. Dr. TRI NISWATI UTAMI, M.Kes

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kekurangan protein merupakan salah satu masalah gizi utama di

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sarapan Pagi

Kesinambungan Energi dan Aktifitas Olahraga. (Nurkadri)

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupannya, karena di dalam makanan terdapat zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh

DIIT GARAM RENDAH TUJUAN DIIT

PERBEDAAN KANDUNGAN PROTEIN, ZAT BESI DAN DAYA TERIMA PADA. PEMBUATAN BAKSO DENGAN PERBANDINGAN JAMUR TIRAM (Pleurotus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

I. PENDAHULUAN. kesehatan, bahkan pada bungkus rokok-pun sudah diberikan peringatan mengenai

GIZI SEIMBANG BAGI ANAK REMAJA. CICA YULIA, S.Pd, M.Si

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

Lampiran 1. Peta lokasi penelitian Puskesmas Putri Ayu Kecamatan Telanaipura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Terciptanya SDM yang berkualitas ditentukan oleh

GIZI SEIMBANG PADA USIA DEWASA

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Mendaki gunung merupakan salah satu jenis mountaineering yang banyak dilakukan di Indonesia. Kegiatan ini berupa pendakian gunung dengan cara berjalan atau Hill Walking menuju puncak dan kemudian turun kembali. Olahraga mendaki gunung termasuk dalam kategori aktivitas yang sangat berat. Untuk itu diperlukan kesegaran jasmani, daya tahan tubuh yang prima, serta keseimbangan asupan zat gizi serta elektrolit yang cukup (Soerjodibroto 1984). Keadaan Umum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terletak di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Taman nasional ini terletak pada lintang 106 51' - 107 02' BT dan 64 1' - 65 1 LS dengan ketinggian antara 1.000 sampai 3.019 mdpl. Suhu rata-rata di puncak gunung Gede 18 C serta pada malam hari suhu puncak berkisar 5 C. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah salah satu tempat di Pulau Jawa yang terbanyak curah hujannya, rata-rata mencapai 3.000 hingga 4.200 mm pertahun. Musim hujan dimulai pada bulan Oktober hingga bulan Mei dengan curah hujan lebih dari 200 mm setiap bulannya, dan lebih dari 400 mm perbulannya diantara bulan Desember hingga Maret. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ini berperan penting untuk menyerap air hujan. Gunung Gede Pangrango berada di dalam Taman Nasional Gede Pangarango (TNGP), yang merupakan salah satu dari lima Taman Nasional yang pertama kali diumumkan di Indonesia pada tahun 1980. Pemerintah RI kemudian mengubah status wilayah Gede Pangrango menjadi Taman Nasional pada tahun 1980. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfir pada tahun 1977 dan sebagai Sister Park dengan Taman Negara di Malaysia pada tahun 1995. Gunung Gede juga memiliki keanekaragaman ekosistem yang terdiri dari ekosistem sub-montana, montana, sub-alpine, danau, rawa, dan savana. Junghuhn merupakan pendaki pertama yang berasal dari Eropa, mendaki Gunung Pangrango pada tahun 1839, menemukan dua badak jawa di dekat puncak Gunung Gede Pangrango. Pada tahun 1929 masih ada Macan tutul Panthera pardus di Taman Nasional ini, dan tahun 1986 masih tersisa 10, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Gunung Gede Pangrango terkenal kaya akan berbagai jenis burung yaitu sebanyak 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di

Pulau Jawa. Beberapa jenis di antaranya burung langka yaitu Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan Burung Hantu (Otus angelinae). Saat terbaik untuk mengunjungi taman maupun pendakian adalah diantara musim kemarau sekitar Juni hingga September, dimana pada saat itu curah hujan turun dibawah 100 mm. Suhu rata-rata bervariasi dari 18ºC di Cibodas hingga kurang dari 10ºC di puncak Gunung Gede dan Pangrango, dengan kelembaban diantara 80% dan 90%. Pada malam hari suhu di puncak gunung bisa mencapai dibawah 5ºC. Kelembaban udara di daerah ini sangat tinggi terutama pada malam hari, namun pada musim kemarau di puncak gunung berubah turun pada malam hari sekitar 30% hingga siang hari naik mencapai 90%. Kondisi gunung ini sangat cocok untuk didaki baik untuk pendaki pemula maupun pendaki profesional. Hal ini dikarenakan Gunung Gede memiliki tiga buah jalur pendakian yang dapat dipilih sesuai tingkat kemampuan pendaki. Gunung Gede Pangrango merupakan salah satu gunung yang paling sering didaki di Indonesia. Meskipun peraturan telah dibuat seketat mungkin, seperti pembatasan waktu pendakian sampai larangan membawa barang-barang tertentu, seperti sabun, alat musik, dan barang-barang elektronik, tetap tidak menurunkan niat para pendaki untuk mendaki gunung ini. Hal ini dikarenakan lokasi Gunung Gede Pangrango yang berdekatan dengan beberapa kota besar, seperti Jakarta dan Bandung serta pemandangan kawah yang bagus di puncak Gunung Gede. Karakteristik Pendaki Gunung Karakteristik sampel terdiri umur, berat badan, tinggi badan, pekerjaan, jumlah pendakian yang pernah dilakukan, tingkat pendidikan, frekuensi makan sehari-hari, serta makanan pokok yang dikonsumsi sehari-hari. Karakteristik tersebut menggambarkan keadaan umum sampel dalam penelitian ini. Usia Usia sampel berkisar antara 16 sampai 33 tahun, dengan usia paling banyak berkisar antara 18 sampai 30 tahun (86%) seperti yang terlihat pada Tabel 1. Rentang usia ini termasuk usia remaja dan dewasa, dengan masa pertumbuhan yang mulai menurun serta aktivitas fisik mulai meningkat. Pada usia ini, orang telah berkarier atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pada usia ini pula, kesegaran jasmani seseorang masih prima sehingga masih memungkinkan untuk melakukan olahraga berat yang membutuhkan

ketahanan tubuh yang baik. Ketahanan tubuh seseorang sangat ditentukan oleh kesegaran jasmaninya. Kesegaran jasmani adalah syarat utama dalam pendakian. Kesegaran jasmani seseoang berkaitan dengan sistem kardiovaskular dan neuromuskular. Kedua hal tersebut sangat berperan dalam kegiatan olahraga ini. Berubahnya ketinggian tempat, maka kondisi lingkungan akan berubah. Kondisi lingkungan yang perubahannya tampak jelas bila dikaitkan dengan ketinggian adalah suhu dan kandungan oksigen udara. Semakin bertambah ketinggian maka suhu akan semakin turun dan kandungan oksigen udara juga semakin berkurang. Oksigen bagi tubuh organisme aerob adalah konsumsi vital untuk menjamin kelangsungan proses-proses biokimia dalam tubuh. Tabel 6 Pengelompokan usia sampel Kelompok Usia Usia 10-17 Tahun 5 10 Usia 18-30 Tahun 44 86 Usia 31-60 Tahun 2 4,0 Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2003). Menurut Riyadi (1995), status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi. Ukuran fisik seseorang sangat berhubungan dengan status gizi. Oleh karena itu, antropometri digunakan sebagai indeks yang baik dan dapat digunakan sebagai penentuan status gizi untuk negara berkembang. Penelitian ini menggunakan cut-off point WHO (2000) untuk mengukur status gizi sampel yang diklasifikasikan menjadi kurus (IMT <18,5), normal (18,5-22,9), At Risk (IMT >23,0-24,9), Obes I (IMT 25,0-29,9), dan Obes II (IMT >30,0). Menurut Damayanti (2000), Indeks Massa Tubuh (IMT) yang dibuat untuk populasi umum tidak cocok digunakan pada atlet. Atlet dengan lean body mass yang meningkat mungkin mempunyai kadar lemak yang rendah, namun IMT-nya melebihi batas yang dianjurkan. Sampel dalam penelitian ini bukan merupakan kalangan atlet profesional, maka tetap digunakan IMT untuk populasi umum. Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa sebanyak 59% sampel memiliki IMT normal. Namun, ada 8% sampel yang termasuk kategori obes I. Selain itu, ada 17%

sampel yang termasuk dalam kategori kurus. Terdapat pula sebanyak 16% sampel yang termasuk kategori At Risk. Tabel 7 Klasifikasi IMT sampel Penggolongan IMT Kurus 9 17 Normal 30 59 At Risk 8 16 Obes I 4 8,0 Status gizi sangat mempengaruhi prestasi olahraga. Menurut Moeloek (1995) untuk mencapai prestasi olahraga yang baik, banyak faktor yang berperan, antara lain ukuran dan tipe tubuh, kapasitas fungsional, status gizi, psikologi, latihan, taktik, serta strategi. Status gizi yang baik sangat diperlukan untuk memperoleh kondisi fisik yang prima. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang mencerminkan sikap dan prilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan merupakan indikator untuk mengukur kualitas sumberdaya manusia dan faktor dalam diri seseorang yang mempengaruhi prilaku (Hardinsyah & Suhardjo 1987 diacu dalam Rahardjo 2007). Berdasarkan Tabel 5, terlihat sebanyak 52% sampel memiliki pendidikan SMA dan 18% sampel memiliki pendidikan SMK. Selain itu, terdapat pula sebanyak 2% sampel yang berpendidikan D3 serta 12% sampel yang berpendidikan S1. Hanya terdapat 16% sampel yang berpendidikan SMP. Tabel 8 Tingkat pendidikan sampel Pendidikan D3 1 2 S1 6 12 SMA 27 52 SMK 9 18 SMP 8 16 Tempat Tinggal Gunung Gede Pangrango merupakan salah satu gunung yang paling sering didaki di Indonesia. Hal ini dikarenakan lokasi Gunung Gede Pangrango

yang berdekatan dengan beberapa kota besar, seperti Jakarta dan Bandung. Berdasarkan Tabel 9, terlihat bahwa sebagian besar sampel bertempat tinggal di wilayah Jabodetabek. Hanya 2% sampel yang tinggal di wilayah Rangkasbitung dan Serang. Tabel 9. Tempat tinggal sampel Tempat Tinggal Bogor 9 18 Depok 1 2 Jakarta Barat 9 18 Jakarta Selatan 4 8 Jakarta Timur 14 27 Rangkasbitung 1 2 Serang 1 2 Tangerang 12 23 Pekerjaan Berdasarkan Tabel 10, terlihat bahwa sebanyak 35% sampel memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta. Selain itu, sebagian sampel juga masih berstatus pelajar, yakni 16% sebagai pelajar dan 23 % sebagai mahasiswa. Sebanyak 10% sampel berprofesi sebagai wirausaha, serta 2% yang berprofesi sebagai PNS dan guru. Terdapat pula 12% sampel yang masih berstatus pengangguran. Hasil uji Spearman memperlihatkan hubungan yang positif antara pekerjaan dengan tingkat pendidikan (r=0,441, p<0,01). Hal ini sesuai dengan Engel et al. (1994) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Tabel 10. Pekerjaan sampel Jenis Pekerjaan Guru 1 2 Mahasiswa 12 23 Pegawai Swasta 18 35 Pelajar 8 16 Pengangguran 6 12 PNS 1 2 Wirausaha 5 10 Pendakian

pendakian mencerminkan tingkat pengalaman yang dimiliki oleh sampel dalam hal pendakian gunung. Berdasarkan Tabel 11, terlihat bahwa sebagian besar sampel merupakan pemula dalam kegiatan ini. Hal ini dikarenakan sebanyak 33% sampel baru pertama kali mendaki gunung. Namun, terdapat pula sebanyak 8% sampel yang telah mendaki gunung lebih dari 10 kali. Tabel 11 pendakian Pendakian 1 17 33 2 8 16 3 9 18 4 7 14 5 2 4 6 2 4 7 1 2 8 1 2 10 3 6 15 1 2 Pelatihan Mengikuti pelatihan mountaineering dapat meningkatkan skill seseorang dibidang ini. Pelatihan dapat berupa diklat maupun mengikuti organisasi pecinta alam yang ada disetiap sekolah, baik itu sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas serta perguruan tinggi. Tabel 12 memperlihatkan sebanyak 94% sampel tidak pernah mengikuti pelatihan dibidang mountaineering. Hanya terdapat 6% sampel yang pernah mengikuti pelatihan mountaineering, yakni organisasi pecinta alam ketika menempuh pendidikan di SMA. Tabel 12 Pelatihan mountaineering Waktu Pelatihan (bulan) Tidak pernah mengikuti 48 94 1 bulan 2 4 36 bulan 1 2 Pola Konsumsi Selama Pendakian Gunung Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah pangan yang

dimakan seseorang serta frekuensi makan. Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tingkat ekonomi, kebiasaan, budaya, serta ketersediaan pangan. Pola konsumsi selama pendakian biasanya berbeda dengan pola konsumsi sehari-hari. Hal ini dikarenakan perbedaan kondisi lingkungan, tingkat aktivitas, serta kebutuhan energi. Pola konsumsi yang dikaji dalam penelitian kali ini antara lain frekuensi makan, makanan pokok, jenis makanan selingan, dan konsumsi suplemen selama pendakian serta harapan mengonsumsi suplemen tersebut. Frekuensi Makan Kebiasaan makan adalah suatu gejala budaya dan sosial yang dapat memberi gambaran perilaku dengan nilai-nilai yang dianut seseorang atau suatu kelompok dalam masyarakat (Suharjo 1989). Menurut Corputty (1983) dalam Helinda (2000) ada beberapa kebiasaan yang kurang baik, antara lain tidak sarapan pagi, jajan, serta diet yang berlebihan untuk mendapatkan tubuh yang langsing. Frekuensi makan merupakan salah satu bentuk kebiasaan makan seseorang. Frekuensi makan diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu maupun kali per bulan. Penggunaan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode ini umunya tidak digunakan untuk memperoleh data kuantitatif pangan ataupun intake konsumsi zat gizi. Ada beberapa hal yang mempengaruhi frekuensi makan, seperti faktor ekonomi, kebiasaan, dan pola sosial budaya. Frekuensi makan pada orang dengan kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang kondisi ekonominya lemah. Hal ini disebabkan orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi memiliki daya beli yang tinggi sehingga dapat mengonsumsi makanan dengan frekuensi yang lebih tinggi (Khomsan dkk. 1998). Tabel 13 Frekuensi makan sehari-hari Frekuensi Makan 1 kali 2 4 2 kali 8 16 3 kali 32 62 4 kali 7 14 > 4 kali 2 4

Tabel 13 memperlihatkan frekuensi makan sampel sehari-hari. Sebanyak 62 % sampel makan 3 kali sehari. Hal ini sesuai dengan budaya makan yang ada di Indonesia, yaitu 3 kali sehari yang terdiri dari makan pagi, makan siang, dan makan malam. Selain itu, terdapat pula 4% sampel yang masing-masing memiliki frekuensi makan hanya 1 kali dan lebih dari 4 kali sehari. Terdapat pula 16% sampel yang memiliki frekuensi makan sebanyak 2 kali sehari serta 14% sampel yang memiliki frekuensi makan sebanyak 4 kali sehari. Kriteria khusus agar kegiatan makan sampel termasuk dalam perhitungan frekuensi makan antara lain makanan yang dimakan menyediakan sebagian besar kebutuhan energi sampel. Frekuensi makan selama masa pendakian berbeda dengan frekuensi makan sehari-hari. Hal ini dikarenakan frekuensi makan selama masa pendakian lebih cenderung dipengaruhi oleh faktor kebiasaan serta kondisi lingkungan. Tabel 14 memperlihatkan sebanyak 43% sampel memiliki frekuensi makan sebanyak 3 kali dalam sehari selama masa pendakian. Selain itu, terdapat pula 33% sampel yang memiliki frekuensi makan sebanyak 2 kali sehari. Namun, ada 4% sampel yang hanya makan 1 kali per harinya selama masa pendakian. Tabel 14 Frekuensi makan per hari selama masa pendakian di TNGP Frekuensi Makan 1 kali 2 4 2 kali 17 33 3 kali 22 43 4 kali 4 8 > 4 kali 6 12 Makanan Pokok Selama Masa Pendakian Pola kebudayaan mempengaruhi orang dalam memilih pangan. Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi, bagaimana cara pengolahannya, penyalurannya, penyiapannya dan penyajiannya. Pilihan pangan biasanya ditentukan oleh adanya faktor-faktor penerimaan atau penolakan terhadap pangan oleh seseorang atau sekelompok orang (Riyadi 1996). Pangan pokok yang digunakan dalam suatu negara biasanya menempati kedudukan tinggi. Penggunaan pangan tersebut lebih luas daripada jenis pangan lainnya, besar kemungkinannya berkembang karena dihasilkan dari tanaman asal setempat (Suhardjo 2003). Tabel 15 Makanan pokok sampel sehari-hari Jenis Bahan Makanan

Beras 42 82 Roti 3 6 Mie 5 10 Lainnya 1 2 Berdasarkan Tabel 15, terlihat bahwa 82% sampel mengonsumsi beras sebagai makanan pokok. Hal ini terkait dengan kebudayaan masyarakat di pulau Jawa yang cenderung mengonsumsi beras sebagai makanan pokok. Hal ini sesuai dengan Sanjur (1982) yang menyatakan bahwa jumlah pangan yang tersedia di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Selain beras, terdapat 6% sampel yang mengonsumsi roti sebagai makanan pokoknya serta 10 % yang mengonsumsi mie sebagai makanan pokoknya. Terdapat pula 2% sampel yang hanya mengonsumsi lauk pauk saja, tidak suka dengan nasi ataupun roti dan mie. Hal ini dikarenakan sampel tidak terbiasa mengonsumsi makanan pokok yang umumnya dikonsumsi disuatu wilayah sejak kecil sehingga kebiasaan tersebut terbawa hingga sekarang. Hal ini sesuai dengan pendapat Suharjo (1985) yang menyatakan bahwa kebiasaan makan adalah suatu gejala budaya dan sosial yang dapat memberi gambaran perilaku dengan nilai-nilai yang dianut seseorang atau suatu kelompok dalam masyarakat. Secara umum, penggunaan karbohidrat meningkat dengan meningkatnya intensitas fisik. Sebaliknya, penggunaan karbohidrat menurun dengan makin lamanya aktivitas fisik berlangsung. Meskipun tubuh dapat menggunakan lemak pada intensitas kegiatan yang lebih rendah, lemak tidak dapat menyediakan energi secepat karbohidrat pada kegiatan fisik yang berat (Rimbawan 2004). Tabel 16 memperlihatkan bahwa sebanyak 65 % sampel memilih mie instan sebagai makanan pokok mereka selama kegiatan pendakian gunung. Kecenderungan mengonsumsi mie instan sebagai sumber energi untuk melakukan aktivitas telah menggeser fungsi nasi yang umumnya dikonsumsi masyarakat Indonesia. Faktor kepraktisan merupakan alasan utama sehingga mie instan banyak dikonsumsi selama masa pendakian. Mie instan merupakan bahan makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan, dikeringkan, berbentuk khas mie, dan dimasak dengan cara direbus atau direndam dalam air mendidih. Apabila dilihat dari komposisi zat gizi yang dikandungnya, mie instan memiliki kandungan energi hampir 3 kali lipat

kandungan energi nasi. Setiap 100 gram mie instan, mengandung 471,1 kkal sedangkan nasi hanya mengandung 178 kkal saja. Selain itu kandungan protein mie instan 5 kali dibandingkan nasi (DKBM 2004). Selain mie instan, terdapat pula sebanyak 27% sampel yang mengonsumsi beras atau nasi sebagai makanan pokok. Hal ini dikarenakan kebiasaan sampel yang sering mengonsumsi nasi. Hal ini sesuai dengan Suhardjo (1989) yang menyatakan bahwa kebiasaan makan adalah suatu gejala budaya dan sosial yang dapat memberikan gambaran perilaku dengan nilai-nilai yang dianut seseorang atau suatu kelompok dalam masyarakat. Sedangkan bagi mereka yang mengonsumsi roti sebagai makanan pokok beralasan mengejar kepraktisan karena tidak perlu membawa alat masak. Namun ada pula 2% sampel yang hanya memakan lauk pauk saja, sama dengan kebiasaan sehariharinya. Tabel 16 Makanan pokok sampel selama masa pendakian di TNGP Jenis Bahan Makanan Beras 14 27 Roti 3 6 Mie 33 65 Lainnya 1 2 Kegiatan alam bebas seperti mendaki gunung merupakan kegiatan yang bersifat endurance atau memerlukan energi yang dapat dipergunakan dalam waktu yang lama. Hal ini dikarenakan intesitas kegiatan ini berlangsung cukup lama. Dengan demikian, energi yang diperoleh dominan berasal dari komposisi karbohidrat dan lemak. Oleh karena itu diperlukan pemilihan jenis makanan yang tepat agar kebutuhan gizi dapat terpenuhi, terutama zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Makanan Selingan Selama Masa Pendakian Kegiatan mendaki gunung membutuhkan energi yang besar, terutama ketika perjalanan mendaki. Untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut, selain diperoleh dari makanan pokok, dapat pula diperoleh dari makanan selingan. Makanan ini biasanya dikonsumsi diwaktu beristirahat selama perjalanan. Makanan yang dikonsumsi umumnya merupakan makanan yang langsung dimakan, seperti biskuit, coklat, maupun permen. Biskuit merupakan produk kering yang daya awet relatif tinggi, sehingga dapat disimpan dalam waktu lama

dan dibawa dalam perjalanan karena volume dan beratnya cukup ringan akibat adanya proses pengeringan. Berdasarkan Tabel 17 terlihat sebanyak 55% sampel yang mengonsumsi biskuit atau creckers sebagai makanan selingan selama masa pendakian. Hal ini dikarenakan biskuit atau crackers mudah dibawa dan mengenyangkan serta mengandung energi yang cukup tinggi, berkisar antara 250 kkal sampai 538 kkal tiap 100 gramnya (DKBM 2004). Selain biskuit, coklat juga banyak dikonsumsi sebagai makanan selingan selama perjalanan pendakian. Coklat diperoleh dari tanaman coklat yang kemudian diolah menjadi makanan maupun minuman. Coklat mengandung lemak, karbohidrat, protein, dan tanin disamping zat-zat lain seperti mineral, pigmen, asam, dan air. Minuman yang terbuat dari coklat termasuk beverage non-alkohol. Minuman ini mengandung alkanoid yaitu theobromine yang dapat merangsang pemakainya. Selain minuman, coklat juga digunakan untuk bahan makanan seperti manisan coklat dan gula-gula coklat. Coklat batangan yang biasa dikonsumsi mengandung gula, susu bubuk, lemak coklat, coklat bubuk, lesitin, dan vanili. Tabel 17 memperlihatkan sebanyak 30% sampel mengonsumsi coklat sebagai makanan selingan selama perjalanan pendakian. Sisanya, sebanyak 8% sampel lebih suka mengonsumsi permen serta 8% sampel lainnya mengonsumsi gula merah sebagai makanan selingan. Tabel 17 Makanan selingan sampel selama masa pendakian di TNGP Jenis makanan Biskuit/Crackers 28 55 Coklat 15 29 Permen 4 8 Lainnya 4 8 Konsumsi Suplemen Salah satu cara untuk meningkatkan kondisi tubuh adalah dengan mengonsumsi suplemen. Suplemen biasanya terdiri dari vitamin dan mineral, serta berfungsi sebagai zat tambahan untuk memperbaiki dan meningkatkan daya tahan tubuh. Tabel 18 memperlihatkan bahwa sebagian besar sampel tidak mengonsumsi suplemen selama masa pendakian. Hanya terdapat 25% sampel yang mengonsumsi suplemen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moeloek (1995) menyatakan bahwa olahraga tidak meningkatkan kebutuhan vitamin karena olahraga tidak membakar vitamin. Apabila menu yang dikonsumsi seimbang, maka tidak diperlukan suplementasi.

Tabel 18 Konsumsi suplemen sampel selama masa pendakian di TNGP Konsumsi Suplemen Ya 13 25 Tidak 38 75 Dengan diet yang sesuai akan didapatkan asupan vitamin yang memadai. Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa olahraga meningkatkan kebutuhan vitamin dan mineral. Kegiatan olahraga membutuhkan energi yang lebih banyak dibandingkan kegiatan lainnya. Oleh karena itu, metabolisme juga meningkat. Vitamin berfunsi sebagai koenzim yang memiliki peran dalam metabolisme, yaitu sebagai katalisator. Oleh karena itu, secara tidak langsung, olahraga meningkatkan kebutuhan vitamin. Sampel yang mengonsumsi suplemen memiliki persepsi yang berbeda dalam mengonsumsi suplemen. Persepsi adalah tanggapan, pendapat, yang didalamnya terkandung unsur penilaian seseorang terhadap objek dan gejala berdasarkan pengalaman dan wawasan yang dimilikinya (Sujana 1995 diacu dalam Martias 1997). Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda dalam menghadapi situasi yang sama, karena info yang diterimanya melalui indra diterjemahkan secara beda-beda. Persepsi merupakan salah satu aspek psikososial yang dirasakan konsumen dari suatu produk yang dikonsumsinya. Sebanyak 25% sampel yang mengonsumsi suplemen, 13% diantaranya memiliki persepsi bahwa dengan mengonsumsi suplemen dapat menambah energi. Selain itu, terdapat 6% sampel yang memiliki persepsi bahwa dengan mengonsumsi suplemen dapat menggantikan zat gizi yang tidak didapatkan dari makanan. Hal ini sesuai dengan fungsi dari suplemen. Sedangankan sisanya sebanyak 6% sampel lainnya mengonsumsi suplemen karena faktor kebiasaan saja, tidak ada persepsi khusus. Tabel 19. Alasan konsumsi suplemen Alasan Menggantikan zat gizi yang tidak didapatkan dari makanan 3 6 Menambah energi 7 13 Lainnya 3 6 Total 13 25 Pengetahuan Gizi

Pengetahuan adalah informasi yang disimpan dalam ingatan yang menjadi penentu utama perilaku seseorang (Engel, Blackwell & Miniard 1994). Riyadi (1996) menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi adalah banyaknya informasi yang dimiliki oleh seseorang mengenai kebutuhan tubuh akan zat gizi, kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi ke dalam pemilihan bahan pangan, dan cara pemanfaatan pangan yang sesuai dengan keadaanya. Oleh karena itu, pengetahuan gizi sangat erat hubungannya dengan baik buruknya kualitas gizi dari makanan yang dikonsumsi. Penentuan tingkat pengetahuan gizi sampel berdasarkan hasil perhitungan nilai jawaban yang benar dari setiap pertanyaan yang diberikan. Sampel dikatakan memiliki tingkat pengetahuan gizi yang baik apabila memiliki nilai 80, cukup apabila memiliki nilai 60-80, serta kurang apabila 60. Tabel 20 memperlihatkan tingkat pengetahuan gizi sampel. Sebanyak 53% sampel memiliki pengetahuan gizi yang kurang serta 43% sampel memiliki pengetahuan gizi cukup. Hanya 4% sampel yang memiliki pengetahaun gizi yang baik. Hasil uji Spearman menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dengan tingkat pendidikan sampel. Hal ini dikarenakan pertanyaan yang tercantum pada lembar kuesioner lebih banyak berisi seputar gizi olahraga yang kurikulumnya hanya terdapat pada tingkat pendidikan tertentu, seperti perguruan tinggi serta pelatihan pecinta alam. Hasil uji Spearman menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dengan pelatihan mountaineering yang diikuti. Seharusnya ada hubungan antara pelatihan mountaineering yang diikuti dengan pengetahuan gizi. Ganez (2006) menyatakan bahwa kegiatan alam bebas haruslah dilakukan dengan penuh perhitungan, dengan pembinaan, dan diarahkan secara positif, mengingat resikonya yang tinggi. Tabel 20 Tingkat pengetahuan gizi sampel Tingkat pengetahuan gizi Kurang 27 53 Cukup 22 43 Baik 2 4 Pertanyaan yang tercantum dalam lembar kuesioner pengetahuan gizi ada sebanyak 15 buah pertanyaan. Pertanyaan pengetahuan gizi tersebut berisi

mulai dari pertanyaan umum seputar gizi sampai pertanyaan spesifik terkait gizi olahraga. Dari hasil koreksi yang dilakukan, pertanyaan zat gizi yang menghasilkan energi terbesar tiap gramnya dan pertanyaan Sumber energi utama ketika melakukan olahraga yang bersifat endurance. Hal ini bisa dikatakan bahwa sampel masih belum mengetahui sumber energi yang tepat untuk olahraga ini. Untuk itu, diperlukan adanya penyuluhan mengenai gizi yang tepat bagi olahraga ini..(&( $%&' $(&% $(&( -$&% -%&+,,&-,$&, -(&( +,&. +,&.,(&( +*&. %.&( +(&( +,&. %)&* %(&( ''&' '(&( *(&(.&$ +&. )(&( (&( ) * ' % +, - $. )( )) )* )' )% )+ Gambar 2. jawaban benar dari setiap soal Keterangan : 1. Definisi makanan bergizi 2. Makanan utama penghasil energi 3. Zat gizi yang menghasilkan energi tertinggi tiap gramnya 4. kebutuhan energi tiap orang adalah 5. Bahan makanan yang mengandung lemak paling tinggi per 100 gramnya 6. Kebutuhan air per hari rata-rata orang dewasa 7. Zat gizi yang berperan penting dalam pertumbuhan 8. Golongan bahan makanan yang sumber energi 9. Vitamin larut air 10. Aktivitas yang memerlukan energi dalam jumlah yang banyak 11. Bahan makanan yang sebaiknya dipilih ketika hendak melakukan aktivitas pendakian gunung 12. Makanan ringan yang sebaiknya dikonsumsi ketika istirahat dalam perjalanan pendakian 13. Makanan yang sebaiknya dikonsumsi ketika hendak melakukan summit attack 14. Sumber energi utama ketika melakukan olahraga yang bersifat endurance 15. Tujuan pengaturan diet pada atlet

Asupan Zat Gizi Pengaturan makanan yang tepat bagi seorang olahragawan sesuai dengan cabang olahraganya akan dapat menunjang performa. Makanan yang baik harus seimbang dan sesuai, yaitu tidak hanya disesuaikan dengan kebutuhan energi dalam bentuk kalori saja, tetapi juga harus diperhatikan komposisi makanannya. Komposisi makanan yang baik bagi seorang olahragawan terdiri dari 50-55% karbohidrat, 10-20% protein, serta 30-35% lemak (Sumosardjuno 1990 diacu dalam Helinda 2000). Pengetahuan tentang pemilihan makanan yang tepat dan adekuat sangat menunjang kenaikan prestasi olahraga. Zat-zat gizi di dalam makanan dapat dikelompokan menjadi zat gizi sumber energi (karbohidrat dan lemak), zat gizi pembangun tubuh (protein), dan zat gizi pengatur tubuh (vitamin dan mineral). Ketiga zat gizi tadi diutilisasi di dalam tubuh guna menghasilkan energi dalam proses-proses aerob dan anaerob (Soerjodibroto 1984). Menurut Karyadi dan Muhillal (1990), kecukupan gizi yang dianjurkan adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan untuk mencakup semua orang sehat. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat dan tinggi badan, genetika serta keadaan hamil dan menyusui. Lie (1969) mengungkapkan pada dasarnya prinsip yang menentukan keperluan gizi para olahragawan dalam latihan sama dengan kebutuhan orang non-atlet. Kebutuhan gizi olahragawan harus sesuai dengan prinsip Gizi Seimbang yang mengandung cukup karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, air, dan serat. Namun, kebutuhan zat gizi untuk olahragawan berbeda dengan rata-rata kecukupan masyarakat pada umumnya. Hal ini dikarenakan aktivitas olahragawan tidak sama dengan aktivitas masyarakat pada umumnya serta kondisi-kondisi tertentu pada olahragawan harus ditunjang asupan gizi yang tepat. Miharjda (2000) mengatakan, kebutuhan gizi harian olahragawan berubah-ubah, tergantung pada intensitas latihannya. Angka kecukupan energi individu dapat ditentukan dengan cara menghitung pengeluaran energi. Pengeluaran energi dihitung berdasarkan jenis kegiatan dan alokasi waktu untuk tiap kegiatan, lalu dikalikan dengan faktor konversi berupa jumlah energi yang diperlukan untuk berbagai tingkat aktivitas perkilogram berat badan (Bogobert 1964 diacu dalam Helinda 2000) Energi

Kegiatan fisik termasuk olahraga lebih mempengaruhi pengeluaran energi daripada ukuran tubuh (Harper 1985) diacu dalam Helinda (2000). Akan tetapi dalam melakukan aktivitas fisik yang sama, orang yang memiliki ukuran postur tubuh yang lebih besar akan mengeluarkan energi yang lebih banyak daripada orang yang bertubuh kecil. Hal ini dikarenakan untuk menggerakan tubuh yang besar dibutuhkan energi yang lebih banyak. Rogozkin (1978) diacu dalam Helinda (2000) menyatakan bahwa akan sulit mempertahankan efektifitas zat gizi dan program diet untuk seorang atlet apabila tidak mengetahui nilai dari jumlah energi yang dikeluarkan pada suatu latihan olahraga. Tingkat kecukupan gizi, yaitu energi dan protein selama masa pendakian didapatkan dengan membandingkan asupan energi dan protein dengan kebutuhan selama pendakian. Metode perhitungan kebutuhan energi dengan menggunakan AMB dikalikan dengan faktor aktivitas. Faktor aktifitas hari pertama pendakian berbeda dengan hari kedua. Hal ini dikarenakan pada hari pertama kegiatan diisi dengan perjalanan mendaki gunung sehingga membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan kegiatan hari kedua yang diisi dengan kegiatan menuruni gunung. Perhitungan AMB menggunakan rumus Schofield (1985), yaitu untuk kelompok umur 10-17 tahun menggunakan rumus 17,686kg+658,2 kkal, kelompok umur 18-30 tahun menggunakan rumus 15,057kg+692,2 kkal, dan kelompok umur 31-60 tahun menggunakan rumus 11,472kg+873,1 kkal serta berat badan menggunakan rata-rata sesuai golongan kelompok umur. Sedangkan untuk faktor aktivitas, dihitung dengan metode Physical Activity Level, yang dibagi menjadi 3 kategori sesuai jalur pendakian yang dilalui, yaitu pendakian melalui jalur Cibodas (FA = 2,35), pendakian melalui jalur Gunung Putri (FA = 2,25), serta perjalanan turun melalui jalur Cibodas (FA = 1,8). Perbedaan Physical Activity Level antara jalur pendakian naik yang melalui jalur Gunung Puteri dengan jalur Cibodas karena perbedaan medan yang dilalui. Jalur Gunung Puteri relatif lebih pendek, namun memiliki medan yang lebih terjal. Sedangkan jalur Cibodas memiliki medan yang lebih mudah, namun lebih panjang. Tabel 21 Tingkat kecukupan energi hari 1 Tingkat kecukupan energi Defisit tingkat berat 31 61 Defisit tingkat sedang 11 21

Defisit tingkat ringan 3 6 Normal 5 10 Kelebihan 1 2 Tingkat kecukupan energi hari pertama dapat dilihat pada Tabel 21 yang memperlihatkan sebanyak 61% sampel termasuk dalam kategori defisit tingkat berat. Sedangkan sebanyak 21% sampel termasuk kategori defisit tingkat sedang dan 6% sampel termasuk dalam kategori defisit tingkat ringan. Hanya terdapat sebanyak 10% sampel yang tingkat kecukupan energinya termasuk dalam kategori normal. Selain itu, terdapat pula sebanyak 2% sampel yang memiliki tingkat kecukupan energi lebih dari normal. Tingkat kecukupan energi hari kedua dapat dilihat pada Tabel 22 yang memperlihatkan sebanyak 16% sampel termasuk dalam kategori defisit tingkat berat. Sedangkan sebanyak 31% sampel termasuk kategori defisit tingkat sedang dan 14% sampel termasuk dalam kategori defisit tingkat ringan. Sampel yang termasuk dalam tingkat kecukupan energi kategori normal ada 35%. Selain itu, terdapat pula sebanyak 4% sampel yang memiliki tingkat kecukupan energi lebih dari normal. Hasil uji Wilcoxon menunjukan bahwa tingkat kecukupan energi hari kedua lebih baik daripada tingkat kecukupan energi hari pertama karena pada hari kedua, kebutuhan energi lebih sedikit (hasil perhitungan terlampir). Hal ini dikarenakan pada hari kedua kegiatan diisi dengan kegiatan turun gunung yang membutuhkan energi lebih sedikit dibandingkan hari pertama. Tabel 22 Tingkat kecukupan energi hari 2 Tingkat kecukupan energi Defisit tingkat berat 8 16 Defisit tingkat sedang 16 31 Defisit tingkat ringan 7 14 Normal 18 35 Kelebihan 2 4 Terkait dengan kesehatan dan performa secara umum diketahui bahwa prioritas utama dalam pemantauan status gizi pada olahragawan adalah menjaga keseimbangan energi (Moffat 2002). Hal ini dikarenakan energi berperan dalam hal penyediaan ATP untuk kontraksi otot. Pada atlet, jika melihat dampak dari latihan yang dilakukannya berupa pengeluaran energi, maka terlihat jelas behwa keadaan ini bervariasi tergantung tingkat kesulitannya (Paish 1991 diacu dalam

Helinda 2000). Oleh karena itu, energi memegang peranan yang penting dalam kegiatan olahraga, terutama olahraga yang termasuk dalam kategori olahraga berat. Kegiatan mountaineering merupakan olahraga perpaduan antara olahraga aerob dan anaerob. Satu sampai dua jam pertama pendakian, kegiatan ini lebih cenderung memperoileh energi dari proses anaerob. Selanjutnya, barulah proses aerob memegang peranan dalam proses penyediaan energi bagi tubuh. Oleh karena itu, komposisi karbohidrat, protein, dan lemak cenderung berbeda pada tiap fase. Pada awal pendakian, sebaiknya komposisi karbohidrat lebih banyak, sekitar 60-70% dari total kebutuhan energi (Antonio et al. 2008). Ketika kegiatan mulai berlangsung, komposisi lemak mulai ditingkatkan proporsinya hingga 30% dari total kebutuhan energi (Ranggasudira 1984). Ketika kegiatan mountaineering selesai dilakukan, sebaiknya komposisi karbohidrat mulai ditingkatkan kembali, untuk memulihkan kadar gula darah, mengisi cadangan glikogen di otot dan hati. Makanan yang dikonsumsi sebaiknya makanan yang memiliki indeks glikemik yang tinggi. Protein Protein di dalam tubuh menpunyai fungsi utama yang khas dan tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain yaitu untuk membangun serta menjaga jaringan dan sel-sel tubuh (Almatsier 2003). Dalam kaitannya dengan performa olahraga, konsumsi protein bersama dengan karbohidrat setelah selesainya latihan atau pertandingan juga dapat membantu dalam mempercepat pengembalian energi tubuh (glikogen resintesis) sehingga proses recovery menjadi lebih singkat. Kegiatan olahraga yang teratur dapat meningkatkan kebutuhan protein, berubah sesuai dengan jumlah energi total per hari yang meningkat Tabel 23 Tingkat kecukupan protein hari 1 Tingkat kecukupan protein Defisit tingkat berat 31 60 Defisit tingkat sedang 8 16 Defisit tingkat ringan 5 10 Normal 7 14 Campbell et al. (2007) menyatakan bahwa kebutuhan protein atlet lebih banyak diatas rata-rata orang pada umumnya. Asupan protein sebanyak 1,4-2

g/kg berat badan tidak hanya aman untuk menunjang aktivitas atlet, tetapi juga meningkatkan waktu adaptasi dalam latihan. Tabel 23 memperlihatkan tingkat kecukupan protein sampel pada hari pertama pendakian. Sebanyak 60% sampel termasuk dalam kategori defisit tinggkat berat dan 16% sampel termasuk dalam kategori defisit tingkat sedang. Sampel yang tingkat kecukupan proteinnya termasuk dalam kategori normal hanya sebesar 14%, sedangkan sisanya sebanyak 10% sampel termasuk dalam kategori defisit tingkat ringan. Tingkat kecukupan protein hari kedua lebih baik dibandingkan tingkat kecukupan protein hari pertama. Tabel 24 memperlihatkan sebanyak 37% sampel termasuk dalam kategori defisit tingkat ringan serta 30% sampel termasuk dalam kategori normal. Namun masih terdapat 20% sampel yang termasuk dalam kategori defisit tingkat berat dan 6% sampel yang termasuk dalam kategori defisit tingkat sedang. Terdapat pula sebanyak 8% sampel yang termasuk dalam tingkat kecukupan protein lebih. Tabel 24 Tingkat kecukupan protein hari 2 Tingkat kecukupan protein Defisit tingkat berat 10 20 Defisit tingkat sedang 3 6 Defisit tingkat ringan 19 37 Normal 15 29 Kelebihan 4 8 Hasil uji Wilcoxon menunjukan bahwa tingkat kebutuhan protein hari kedua lebih baik daripada tingkat kebutuhan protein hari pertama karena pada hari kedua (hasil perhitungan terlampir). Hasil uji Spearman menunjukan ada hubungan positif antara tingkat kecukupan energi dengan tingkat kecukupan protein (r=0,607, p<0,01). Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat kecukupan energi seseorang, makan akan semakin tinggi pula tingkat kecukupan proteinnya. Lemak Lemak memiliki fungsi untuk membantu proses transportasi dan absorpsi vitamin A, D, E, dan K. Selain itu, lemak juga berfungsi sebagai penghasil energi. Setiap 1 gram lemak menghasilkan energi sebesar 9 kkal atau dua kali lipat dari energi yang dihasilkan 1 gram karbohidrat maupun protein. Walaupun lemak mampu menghasilkan energi dalam jumlah yang besar, namun pemakaiannya di

dalam tubuh sangat terbatas pada tingkat intensitas olahraga rendah sampai sedang. Olahraga dengan intensitas yang rendah, lemak akan menjadi penyedia energi utama di dalam tubuh. Namun saat intensitas olahraga meningkat, pengunaan lemak sebagai penyedia energi akan semakin berkurang. Hal ini dikarenakan proses pembakaran lemak yang lambat dibandingkan karbohidrat dan protein. Oleh karena itu tubuh akan mengunakan pembakaran karbohidrat untuk mendapatkan energi. Kelebihan lemak bagi atlet sangat dihindari karena lemak yang berlebih akan menyebabkan peningkatan berat tubuh dan juga akan menurunkan kapasitas kecepatan, power, endurance dan performa olahraga secara keseluruhan. Rata-rata asupan lemak sampel pada hari pertama pendakian adalah sebesar 86,9 gram. Rata-rata asupan lemak sampel pada hari kedua pendakian adalah sebesar 85,1 gram. Hasil uji Wilcoxon menunjukan bahwa tidak ada perbedaan antara jumlah rata-rata asupan lemak pada hari pertama pendakian dengan asupan lemak pada hari kedua pendakian (hasil perhitungan terlampir). Hal ini dikarenakan makanan sumber lemak yang dikonsumsi pada hari pertama pendakian sama dengan makanan yang dikonsumsi pada hari kedua pendakian. Sumosardjuno (1990) diacu dalam Helinda (2000) menyatakan bahwa komposisi makanan bagi seorang olahragawan harus diperhatikan, dengan komposisi lemak berkisar antara 30 sampai 35%. Proporsi lemak yang banyak dikarenakan olahraga ini bersifat endurance, sehingga memerlukan zat gizi yang mampu menyediakan energi untuk jangka waktu yang lebih lama. Vitamin dan Mineral Vitamin didefinisikan sebagai bahan-bahan organik, yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah sangat sedikit, yang melakukan paling sedikit satu fungsi metabolik spesifik dan harus diberikan dalam makanan. Terdapat dua golongan vitamin, yaitu vitamin larut lemak dan vitamin larut air. Vitamin yang larut lemak adalah vitamin A, D, E, dan K, sedangkan vitamin yang larut air adalah vitamin B kompleks (tiamin, riboflavin, niasin, asam folat, dan vitamin B12) dan vitamin C (Riyadi 2006). Moeloek (1995) menyatakan bahwa olahraga tidak meningkatkan kebutuhan vitamin karena olahraga tidak membakar vitamin. Apabila menu yang dikonsumsi seimbang, maka tidak diperlukan suplementasi. Dengan diet yang sesuai akan didapatkan asupan vitamin yang memadai. Berikut ini adalah rata-

rata asupan vitamin dan mineral yang didapatkan dari recall konsumsi selama pendakian. Tabel 25 Rata-rata asupan vitamin Zat gizi Hari I Hari II Vitamin A 721,08 RE 437,54 RE Vitamin C 35,50 mg 33,47 mg Berdasarkan Tabel 25, terlihat asupan vitamin sampel pada hari pertama dan kedua pendakian. Rata-rata konsumsi vitamin A pada hari pertama pendakian adalah sebesar 721,08 RE dan pada hari kedua pendakian adalah sebesar 437,54 RE. Jika dibandingkan dengan angka kecukupan gizi, asupan vitamin A telah mencukupi kebutuhan harian. Vitamin A berfungsi dalam Proses penglihatan, pertumbuhan, perkembangan tulang, jaringan epitel dan kekebalan. Sedangkan rata-rata asupan vitamin C adalah sebesar 35,50 mg dan pada hari kedua pendakian adalah sebesar 33,47 mg. Asupan vitamin C sampel masih kurang apabila dibandingkan dengan angka kebutuhan gizi. Hal ini dikarenakan selama pendakian, sampel kurang mengonsumsi makanan sumber vitamin C, seperti buah-buahan. Dari 51 sampel yang diwawancarai, hanya 1 orang sampel saja yang mengonsumsi buah selama pendakian, yakni jeruk. Vitamin C berfungsi dalam Pembentukan kolagen, pembentukan gigi, metabolisme tiroksin (Riyadi 2006). Hasil uji Wilcoxon menunjukan bahwa tidak ada perbedaan antara jumlah rata-rata asupan vitamin A dan vitamin C pada hari pertama pendakian dengan asupan vitamin A dan vitamin C pada hari kedua pendakian (hasil perhitungan terlampir). Hal ini dikarenakan makanan sumber vitamin A dan vitamin C yang dikonsumsi pada hari pertama pendakian sama dengan makanan yang dikonsumsi pada hari kedua pendakian. Tabel 26 Rata-rata asupan mineral Zat gizi Hari I Hari II Kalsium 758,05 mg 636,42 mg Besi 21,89 mg 21,93 mg Rata-rata asupan kalsium sampel pada hari pertama pendakian adalah sebesar 758,05 mg dan pada hari kedua pendakian adalah sebesar 636,42 mg. jumlah tersebut mendekati angka kecukupan gizi, yaitu sebesar 800 mg per harinya. Kalsium memiliki kaitan yang erat dengan kesehatan tulang. Hal ini dikarenakan kalsium sebagai salah satu mineral utama pembentuk tulang. Sebanyak 90% kalsium tubuh disimpan di dalam tulang dan gigi, sedang sisanya

tersebar dalam jaringan darah dan jaringan lunak lainnya. Asupan kalsium yang cukup ditambah dengan olahraga yang sesuai merupakan salah satu cara pencegahan osteoporosis. Zat besi (Fe) merupakan salah satu jenis mineral mikro esensial yang mempunyai fungsi penting di dalam tubuh. Zat besi mempunyai fungsi penting di dalam tubuh antara lain sebagai media transportasi bagi oksigen dari paru-paru ke berbagai jaringan tubuh serta juga akan berfungsi sebagai katalis dalam proses perpindahan energi di dalam sel. Sebagai jenis mineral mikro esensial, kekurangan zat besi di dalam tubuh dapat mengakibatkan beberapa dampak negatif antara lain berkurangnya kekebalan tubuh, berkurangnya nafsu makan, dan menurunnya kebugaran tubuh. Berdasarkan Tabel 22, terlihat asupan zat besi pada hari pertama pendakian sebesar 21,89 mg dan pada hari kedua pendakian adalah sebesar 21,93 mg. Asupan ini telah melebihi kebutuhan zat besi harian, yaitu sebesar 13 mg per harinya. Namun, pada olahraga lari jarak jauh maupun pendakian gunung, hentakan-hentakan kaki pada saat berlari dan berjalan menuruni gunung pada permukaan yang keras dapat menyebabkan resiko terjadinya footstrike hemolysis, yaitu pecahnya sel darah merah yang disertai dengan pelepasan hemoglobin ke plasma darah akibat adanya hentakan-hentakan kaki pada permukaan yang keras. Oleh karena itu, asupan zat besi harus mencukupi kebutuhan harian, agar mencegah terjadinya anemia serta membantu dalam proses pembentukan sel darah merah. Zat besi banyak terkandung di dalam produk hewani terutama daging merah, telur serta ikan. Selain itu zat besi juga banyak terkandung di dalam berbagai jenis kacang-kacangan seperti kacang kedelai dan kacang hijau, berbagai jenis sayuran dan juga buah-buahan. Secara umum, berdasarkan sumbernya, zat besi mempunyai efesiensi penyerapan yang berbeda di dalam tubuh. Zat besi yang berasal dari produk hewani atau disebut juga sebagai besi-hem akan lebih mudah diserap oleh tubuh, sedangkan zat besi yang bersumber dari sayuransayuran dan buah-buahan atau yang disebut sebagai besi non-hem akan lebih sukar diserap oleh tubuh. Hasil uji Wilcoxon menunjukan bahwa tidak ada perbedaan antara jumlah rata-rata asupan kalsium dan besi pada hari pertama pendakian dengan asupan kalsium dan besi pada hari kedua pendakian (hasil perhitungan terlampir). Hal ini dikarenakan makanan sumber kalsium dan besi

yang dikonsumsi pada hari pertama pendakian sama dengan makanan yang dikonsumsi pada hari kedua pendakian. Vitamin dan mineral didalam tubuh tidak mengandung energi. Namun, vitamin sangat penting terutama untuk mengatur dan membantu reaksi kimia zat gizi penghasil energi dan sebagai koenzim. Mineral dibutuhkan terutama untuk mengatur dan membantu reaksi kimia zat gizi penghasil energi dan sebagai kofaktor (DBGM 1997). Vitamin dan mineral memainkan peranan penting dalam mengatur dan membantu reaksi kimia zat gizi penghasil energi, sebagai koenzim dan kofaktor.