BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN SIKAP SISWA TERHADAP KONSELOR DAN TINGKAT KETERBUKAAN DIRI DENGAN MINAT MEMANFAATKAN LAYANAN KONSELING NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI SISWA TERHADAP PERAN GURU BIMBINGAN KONSELING DENGAN KEDISIPLINAN SISWA DALAM MENAATI TATA TERTIB SEKOLAH.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia.

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual. tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar

BAB I PENDAHULUAN. yang matang akan menciptakan generasi-generasi yang cerdas baik cerdas

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup bangsa dan negara, karena pendidikan merupakan wahana

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang memiliki peran penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu wadah yang didalamnya terdapat suatu

BAB I PENDAHULUAN. perilaku seseorang, sehingga setiap siswa memerlukan orang lain untuk berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai upaya peningkatan sumber daya manusia {human resources), pada

I. PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi hak dasar warga negara. Pendidikan merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. yang sedang terjadi dengan apa yang diharapkan terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan diperlukan sebagai salah satu upaya untuk mencapai. keseimbangan jasmaniah dan rohani menuju kedewasaan, disinilah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. potensi kreatif dan tanggung jawab kehidupan, termasuk tujuan pribadinya. 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gina Aprilian Pratamadewi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan kunci utama dalam terlaksananya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk memajukan kesejahteraan bangsa. Pendidikan adalah proses pembinaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pengertian pendidikan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Long life education adalah motto yang digunakan oleh orang yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Orang tua yang penuh perhatian tidak akan membiarkan anak untuk

BAB I PENDAHULUAN. sebelumnya. Pengetahuan ini dapat juga disebut sebagai pendidikan.

, 2014 Program Bimbingan Belajar Untuk Meningkatkan Kebiasaan Belajar Siswa Underachiever Kelas Iv Sekolah Dasar Negeri Cidadap I Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada saat ini memiliki peran yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari kehidupan suatu bangsa. Pendidikan menjadi sarana dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap negara di dunia telah memasuki awal era globalisasi, dimana

2016 HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PRESTASI BELAJAR

BAB I PENDAHULUAN. terpelajar dengan sendirinya berbudaya atau beradab. Namun kenyataan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB I PENDAHULUAN. tingkah laku yang baik. Pada dasarnya pendidikan merupakan proses untuk

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk yang paling tinggi derajatnya, makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan matematika dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi harus didukung oleh

2014 PEMBELAJARAN TARI YUYU KANGKANG DALAM PROGRAM LIFE SKILL DI SMK KESENIAN PUTERA NUSANTARA MAJALENGKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Posisi Bimbingan dan Konseling dalam Kerangka Ilmu Pendidikan. Siti Fatimah, S.Psi., M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah merupakan kewajiban bagi seluruh. pendidikan Nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Disadari atau tidak, setiap orang mempunyai dua sifat yang saling

Tujuan pendidikan nasional seperti disebutkan dalam Undang-Undang. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal (3)

BAB I PENDAHULUAN. adanya perhatian pemerintah terhadap pendidikan, antara lain : disahkannya UU

BAB I PENDAHULUAN. belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses esensial untuk mencapai tujuan dan cita-cita pribadi

I. PENDAHULUAN. lembaga pendidikan di negara kita. Tujuan pendidikan nasional sebagaimana. mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kurang memperhatikan sektor pendidikannya. Pendidikan memiliki peran dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar sangat dibutuhkan perhatian

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

UPAYA GURU BK DALAM MEMPERBAIKI CARA BELAJAR PESERTA DIDIK MELALUI LAYANAN PENGUASAAN KONTEN DI SMP NEGERI 18 PADANG ARTIKEL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan suatu negara, pendidikan memiliki peran strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sesuai dengan Fungsi Pendidikan Nasional yang tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pendidikan merupakan usaha sadar agar manusia dapat mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. sifat konstruktif dalam hidup manusia. Karena itulah kita dituntut untuk mampu

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat keberhasilan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. tidaknya peradaban manusia, tidak terlepas dari eksistensi pendidikan. Untuk itu

BAB I PENDAHULUAN. demokratis senantiasa memberi perhatian terhadap pendidikan melalui regulasi yang mengatur

I. PENDAHULUAN. menghadapi kehidupan nyata sehari-hari di lingkungan keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini, maka dari itu tidaklah heran jika pendidikan saat ini adalah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. ini sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan yang tertuang dalam Undangundang. Sisdiknas No 20 tahun 2003 pasal 3:

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara yang berkembang dengan jumlah penduduk besar, wilayah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan sangat penting dalam meningkatkan potensi diri setiap orang.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan merupakan dasar bagi kemajuan dan kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan sumber daya manusia yang dapat diandalkan. Pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. bagaimana karakteristik dari negara tersebut. Pendidikan merupakan kunci untuk

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang sangat penting

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu topik yang menarik untuk dibahas, karena

BAB IV ANALISIS. 2002), hlm.22

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan kemampuan peserta didik untuk menolong diri sendiri dalam

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BAHASA INGGRIS MELALUI PENERAPAN PENGAJARAN REMEDIAL. Rahmatiah SMP Negeri 33 Makassar Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika. Oleh:

BAB I PENDAHULUAN. Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab. I, pasal 1:

BAB 1 PENDAHULUAN. jawab. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 3 Undang-Undang No. 20. tahun 2003 tentang SISDIKNAS yang berbunyi :

BAB 1 PENDAHULUAN. muncul persaingan dalam berbagai bidang kehidupan, diantaranya bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan di Indonesia juga sudah tercantum dalam pembukaan. kehidupan berbangsa dan bernegara adalah dengan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. diri sendiri dan tanpa tanggung jawab untuk keselamatan atau kebahagiaan dirinya

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan dapat melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas yaitu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Melalui pendidikan, setiap siswa difasilitasi, dibimbing dan dibina untuk

BAB I PENDAHULUAN. orang bisa menjadi apa yang dia inginkan serta dengan pendidikan pula

2013 PROGRAM BIMBINGAN KARIR BERDASARKAN PROFIL PEMBUATAN KEPUTUSAN KARIR SISWA

I. PENDAHULUAN. cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. terhadap perubahan sikap dan perilaku. Perubahan sikap dan perilaku itulah yang

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan dan dialami serta disadari oleh manusia dan masyarakat Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah satu-satunya cara untuk menciptakan sumber daya manusia

2015 PENGUASAAN KOMPETENSI DASAR MENGHIAS KAIN PADA PESERTA DIDIK PROGRAM KERUMAHTANGGAAN KELAS VII DI SMP NEGERI 3 LEMBANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Lebih lanjut, mengenai fungsi pendidikan dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan batasan di atas, maka pendidikan di Indonesia tidak hanya memprioritaskan perkembangan aspek kognitif atau pengetahuan peserta didik, namun juga tetapi perkembangan individu sebagai pribadi yang unik secara utuh. Oleh karena setiap satuan pendidikan harus memberikan layanan yang dapat memfasilitasi perkembangan pribadi siswa secara optimal, diantaraya berupa bimbingan dan konseling. 1

2 Bimbingan konseling sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan dan mempunyai tanggung jawab yang amat besar dalam mewujudkan manusia Pancasila yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan Nasional. Menurut Winkel (1997) layanan bimbingan dan konseling memberi jaminan bahwa para siswa mendapat perhatian sebagai pribadi-pribadi yang sedang berkembang, serta diharapkan dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam rangka mensukseskan kehidupan siswa, membantu dalam mengambil keputusan yang bermakna tentang penentuan pilihan jurusan, perencanaan karir, perencanaan masa depan, dan lain-lain. Layanan bimbingan konseling di sekolah yang umumnya terdiri layanan orientasi, layanan informasi, layanan penempatan dan penyaluran, layanan pembelajaran, layanan konseling perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok diharapkan dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh para siswa. Maka dari itu, diharapkan timbul minat positif atau respon positif siswa terhadap layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Kenyataan dalam aplikasi di sekolah menunjukkan bahwa layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan selama ini kurang diminati siswa untuk berkonsultasi kepada konselor sekolah. Banyak siswa masih menggangap bimbingan konseling sebagai polisi sekolah yang akan memberikan mereka sanksi bila melanggar tata tertib atau peraturan sekolah bahkan yang lebih buruk siswa mengganggap bimbingan dan konseling seolah-olah seperti penagih bayaran SPP siswa yang menunggak membayar. Tidak jarang pula konselor sekolah diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian. Konselor ditugaskan

3 mencari siswa yang bermasalah dan diberi wewenang untuk mengambil tindakan bagi siswa-siswa yang bermasalah itu. Konselor didorong untuk mencari buktibukti atau berusaha agar siswa mengakui tindakan yang telah ia perbuat adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya atau kurang wajar dan merugikan dalam hubungan ini pengertian konselor sebagai mata-mata yang mengintip segenap gerak-gerik siswa dapat berkembang dengan pesat. Dapat dibayangkan bagaimana tanggapan siswa terhadap konselor yang mempunyai wajah seperti tersebut. Adalah wajar siswa menjadi takut dan tidak mau dekat kepada konselor. Menurut Juhana (1994) konselor di satu pihak dianggap sebagai keranjang sampah, yaitu tempat ditampungnya siswa-siswa yang rusak atau tidak beres, di lain pihak dianggap sebagai manusia super, yang harus dapat mengetahui dan dapat mengungkapkan hal-hal yang melatarbelakangi suatu kejadian atau masalah. Pendeknya apapun segenap permasalahan yang timbul pada siswa, sebenarnya bisa diselesaikan dalam lembaga bimbingan konseling. Hanya saat ini, fungsi layanan bimbingan konseling belum diterapkan secara menyeluruh dan utuh. Berdasarkan Daftar Check Masalah dari siswa kelas VIII, SMP Negeri 6 Sukoharjo menunjukkan dari 228 siswa, dari 20% yang bermasalah, hanya sekitar 5 % yang berkonsultasi atas inisiatif sendiri.

4 Tabel 1 Hasil Penyelenggaraan Problem Check List Juli - Desember 2010 No. Klasifikasi Masalah Jumlah Siswa yang berkonsultasi Insiatif sendiri Pemanggilan oleh guru BK Frekuensi Persen Frekuensi Persen (%) (%) 1 Kesehatan & 2 0,87 4 1,75 Perkembangan fisik 2 Kondisi belajar 2 0,87 6 2,63 3 Aktivitas sosial 2 0,87 3 1,31 4 Hubungan pribadi 1 0,43 2 0,87 5 Penyesuaian diri 2 0,87 3 1,31 6 Rekreasi dan hobi - 2 0,87 7 Kondisi rumah dan 1 0,43 3 1,31 keluarga 8 Agama dan moral 1 0,43 4 1,75 9 Penyesuaian di 2 0,87 3 1,31 sekolah 10 Cita-cita masa depan 1 0,43 2 0,87 Jumlah 14 5,64 32 14,42 Hasil tabel tersebut diketahui dari 20% siswa yang bermasalah, terdapat 32 siswa (14,42%) yang mendapatkan panggilan dari guru BK untuk diberikan konseling, dan hanya ada 14 siswa (5,65%) yang berkonsultasi atas inisiatif sendiri. Kondisi tersebut menunjukkan masih banyak siswa yang kurang memanfaatkan layanan bimbingan konseling. Hal yang mendukung hasil DCM tersebut dikemukakan oleh salah satu Guru Bimbingan konseling dalam wawancara yang dilakukan pada Oktober 2010 menyatakan bahwa bimbingan konseling belum dimanfaatkan secara optimal oleh para siswa, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sikap yang negatif terhadap BK, malu atau khawatir dicap sebagai siswa bermasalah, dan faktor-faktor lain seperti kepribadian siswa

5 itu sendiri misalnya kurang memiliki keterbukaan diri. (Wawancara Guru BK, 2010) Ketakutan terhadap guru bimbingan konseling serta citra negatif yang melekat pada bimbingan konseling mempengaruhi lembaga bimbingan konseling kurang dapat menerapkan fungsinya secara total. Menurut Sukardi (2002) siswa tidak mau datang kepada konselor karena menggangap bahwa dengan datang kepada konselor berarti menunjukan aib, ia mengalami ketidakberesan tertentu, ia tidak dapat berdiri sendiri, ia telah berbuat salah atau predikat-predikat negatif lainnya. Padahal di samping anggapan yang merugikan tersebut konselor sebenarnya dapat menjadi teman dan kepercayaan siswa. Konselor hendaknya menjadi tempat pencurahan kepentingan siswa, pencurahan apa yang terasa di hati dan terpikirkan oleh siswa. Layanan bimbingan dan konseling di sekolah tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, melainkan oleh tenaga terlatih, utamanya dalam konseling. Kehadiran konselor profesional sangat dibutuhkan dalam layanan konseling di sekolah. Menurut Surya (2003) konselor yang baik tentunya dapat melaksanakan konseling dengan efektif. Oleh karena itu kriteria seorang konselor yang baik harus mencakup empat aspek, yakni sikap atau pandangan konselor tentang siswa (klien), pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan, tuntutan etika, dan tuntutan praktis. Konselor di sekolah dipilih atas dasar kualifikasi kepribadian, pendidikan, pengalaman, dan kemampuannya, karena kualifikasi tersebut dapat mendukung keberhasilan konselor dalam melaksanakan tugasnya. Banyak masalah-masalah siswa yang dalam pemecahannya memerlukan dukungan

6 pengalaman, keluasan wawasan, kemampuan dan kepribadian dari seorang konselor sekolah. Syarat kepribadian konselor merupakan salah satu faktor penting untuk menopang keberhasilannya dalam menjalankan hubungan konseling. Karakteristik kebribadian konselor sangat berpengaruh terhadap jalannya proses konseling, di samping pengetahuan dan keterampilan profesional. Yusuf dan Nurihsan (2005) mengemukakan karakteristik konselor yang baik akan mempunyai arti dapat menyirami klien, sehingga menyebabkan klien dapat berkembang. Menurut Marsudi (2002) ciri-ciri kepribadian yang harus dimiliki oleh konselor yang efektif antara lain memiliki sifatsifat sabar, luwes, hangat, dapat menerima orang lain, terbuka, dapat merasakan penderitaan orang lain, tidak berpura-pura, menghargai orang lain, dan objektif. Apabila karakteristik seperti ini telah dimiliki konselor sekolah, diharapkan siswa memiliki minat untuk mengkonsultasikan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya kepada konselor, karena biasanya siswa (klien) akan mengungkapkan masalahnya hanya kepada orang yang disenanginya dan dipercayainya. Upaya meningkatkan profesionalitas konselor sebagai pelaksana Bimbingan Konseling telah dilakukan, namun belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga muncul kritik-kritik akibat ketidakpuasan terhadap unjuk kerja konselor. Kendala ini memerlukan penataan dan peningkatan kembali unjuk kerja konselor terutama dalam konseling. Melihat besarnya peran bidang bimbingan dan konseling yang diharapkan, maka sebagai seorang pembimbing yang merupakan salah satu komponen utama dalam proses bimbingan dan konseling mempunyai tanggung jawab yang besar

7 serta pekerjaan yang tidak mudah. Seorang pembimbing harus mampu menangani permasalahan siswa di sekolah yang antara individu satu dengan individu lain memiliki permasalahan yang berbeda-beda serta mempunyai keunikan baik dalam tingkah laku, sikap maupun kepribadiannya. Konselor juga harus mampu berperan sebagai seorang teman bagi siswa pada satu situasi, serta mampu berperan sebagai pendegar atau motivator pada situasi lain disamping peran-peran lain yang harus dilakukan. Pelanggaran tata tertib yang kerap dilakukan oleh para siswa tidak sematamata karena peran dan tanggung jawab guru BK yang belum optimal namun juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan dan kepribadian siswa itu sendiri. Salah satu determinan atau variabel yang diasumsikan berpengaruh terhadap minat memanfaatkan layanan konseling yaitu sikap terhadap konselor dan keterbukaan diri. Hasil penelitian Asuti (2009) menyatakan bahwa konselor berperan penting dalam mengatasi berbagai persoalan siswa, misalnya mengurangi perilaku membolos. Penelitian tersebut juga merekomendasikan bahwa konselor sekolah atau guru pembimbing dapat menggunakan konseling secara individual agar siswa lebih terbuka untuk menyampaikan berbagai permasalahannya, sehingga masalah yang terjadi seperti perilaku membolos atau gangguan penyesuaian diri dapat teratasi.ulasan ini dapat dimaknai bahwa keterbukaan diri dapat menjadi salah satu sarana untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami siswa. Sugiyarti (2009) hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara layanan bimbingan konseling kelompok dengan

8 keterbukaan diri siswa. Merujuk pada hasil tersebut sebaiknya siswa memelihara sikap keterbukaan yang tinggi begitu pula pada guru bimbingan konseling diharapkan mengoptimalkan peran dan fungsi layanannya, sehingga diharapkan dengan keterbukaan yang tinggi dan guru bimbingan yang dapat berperan optimal permasalahan yang dialami oleh para siswa dapat diatasi dengan tuntas. Kaitannya dengan hal tersebut Sear (1992) mengatakan keterbukaan adalah membagi perasaan dan informasi yang bersifat intim dengan orang lain, misalnya orang tua, sahabat dan guru merupakan salah satu bagian penting dalam proses menumbuhkan adanya keterbukaan diri pada remaja sebagai siswa. Keterbukaan yang dilakukan secara timbal balik akan memberikan kemungkinan kepada siswa untuk bertindak secara dewasa walaupun peran pihak lain masih sangat dibutuhkan. Melalui keterbukaan diri, seseorang bersikap terbuka untuk mendengarkan, mencerna masukan pihak lain, merenungkan dengan mengubah diri bila perubahan dianggap sebagai pertumbuhan ke arah kemajuan. Seseorang yang bersikap terbuka diharapkan terbantu dalam mengatasi permasalahannya dan akan tercipta dengan lebih baik lagi manakala siswa sekolah memiliki sikap yang baik atau positif terhadap guru bimbingan konseling di sekolah. Ikhsan (2011) pada penelitian yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa Bimbingan Konseling berperan penting hampir dalam semua bidang mulai dari pencegahan, pemecahan masalah kenakalan siswa sampai dengan memberikan berbagai solusi yang lebih baik untuk kedepannya terutama untuk siswa. Aktivitas bimbingan konseling tidak hanya menangani permasalahan pelanggaran tata tertib namun pelayanan bimbingan konseling dapat berperan secara maksimal dalam

9 memfasilitasi siswa-siswa yang membutuhkan bimbingan serta mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya secara optimal. Kenyataan yang ada di lapangan berdasarkan Daftar Chek Masalah (DCM) serta pengalaman penulis selama menjadi menjadi guru bimbingan konseling menunjukkan siswa belum optimal memanfaatkan layanan bimbingan konseling, padahal banyak pemasalahan yang siswa berpengaruh terhadap pengembangan potensi, seperti pengenalan terhadap diri sendiri untuk penyaluran bakat, penyesuaian diri dan penerimaan diri, pengenalan siswa terhadap lingkungan rumah, masyarakat, dan lingkungan sekolah, peningkatkan motivasi belajar dan lain sebagainya. Kondisi ini menimbulkan berbagai pertanyaan sejauhmana faktor kepribadian dan sikap terhadap guru bimbingan konseling berperan terhadap minat memanfaatkan layanan bimbingan konseling pada siswa? Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian ini yaitu Apakah ada hubungan sikap siswa terhadap konselor dan keterbukaan diri dengan minat memanfaatkan layanan konseling? Rumusan masalah tersebut ini mendorong penulis untuk mengkaji secara lebih mendalam dan melakukan penelitian dengan judul Hubungan sikap siswa terhadap konselor dan tingkat keterbukaan diri dengan minat memanfaatkan layanan konseling. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui hubungan sikap siswa terhadap konselor dan keterbukaan diri dengan minat memanfaatkan layanan konseling.

10 2. Mengetahui hubungan sikap siswa terhadap konselor dengan minat memanfaatkan layanan konseling. 3. Mengetahui hubungan keterbukaan diri dengan minat memanfaatkan layanan konseling. 4. Mengetahui tingkat sikap siswa terhadap konselor, keterbukaan diri dan minat memanfaatkan layanan konseling C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut: 1. Bagi siswa, yaitu hasil penelitian ini dapat memberikan informasi, khususnya yang berkaitan dengan sikap siswa terhadap konselor dan keterbukaan diri dengan minat memanfaatkan layanan konseling, dan memberi pemahaman baru bahwa keberadaan guru bimbingan dan konseling sangat penting dan bermanfaat untuk memberikan layanan kepada siswa, yang nantinya siswa dapat memanfaatkan fungsi layanan bimbingan dan konseling. 2. Bagi guru bimbingan dan konseling, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan mendorong guru bimbingan untuk menciptakan layanan bimbingan dan konseling yang efektif serta lebih memfungsikan layanan bimbingan dan konseling secara maksimal untuk mengatasi permasalahan siswa. 3. Bagi peneliti selanjutnya, menambah pengetahuan dan wawasan tentang ilmu psikologi, khususnya psikologi pendidikan tentang hubungan sikap siswa terhadap konselor dan keterbukaan diri dengan minat memanfaatkan layanan

11 konseling sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan penelitian selanjutnya. D. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya berkaitan dengan bimbingan konseling, antara lain dilakukan oleh: Astuti (2005) pada penelitian yang berjudul: Hubungan Sikap Siswa terhadap Konselor dan Tingkat Ekstroversi dengan Minat Memanfaatkan Layanan Konseling di SMA N I Bobotsari. Hasil penelitian tersebut menyatakan ada hubungan yang signifikan antara sikap siswa terhadap konselor dan tingkat ekstroversi dengan minat memanfaatkan layanan konseling, hasil penelitian juga menyatakan bahwa minat siswa untuk memanfaatkan layanan konseling di SMAN I Bobotsari masih rendah. Persamaan dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu kesamaan pada pada variabel tergantung, dan perbedaannya antara lain yaitu pada salah satu variabel bebasnya serta tempat dan karakteristik dari subjek penelitian. Penelitian sebelumnya, Egbochuku dan Akpan (2008) mengenai kebutuhan konseling siswa sekolah pemerintah dan non pemerintah di Negeria menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pemenuhan kebutuhan konseling, pendidikan, vokasional dan penyesuaian sosial antara siswa dari sekolah pemerintah dan non pemerintah. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa bimbingan konseling dibutuhkan oleh semua siswa dengan tidak memandang status sekolah. Wiriana (2007) pada penelitiannya yang berjudul Teacher Role Guidance and Counseling (BK) for Planning Passion Students, menyatakan

12 bahwa Guru bimbingan dan konseling dapat membantu siswa memberikan informasi tentang berbagai karir dan aktivitas serta konsultasi mengenai potensipotensi yang dimiliki siswa. Untuk mengetahui potensi siswa maka diperlukan data-data yang akurat yang diperoleh melalui instrumen yang dirancang khusus untuk mengungkap kondisi siswa baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotor. Selanjutnya penelitian Freidman dkk (2002) menyatakan bahwa konseling dapat merubah siswa yang semula tertutup menjadi lebih terbuka dalam hubungan sosial. Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu khususnya berkaitan dengan sikap siswa terhadap konselor dan keterbukaan diri dengan minat memanfaatkan layanan konseling memberikan hasil yang berbeda-beda.antara lain menyatakan minat siswa memanfaatkan layanan konseling masih rendah, Penelitian lain menyinggung bahwa kebutuhan konseling dibutuhkan oleh semua siswa sekolah baik negeri maupun swasta, serta hasil penelitian yang menyatakan bahwa konseling dapat merubah siswa yang semula tertutup menjadi lebih terbuka dalam hubungan sosial. Menyimak hasil penelitian-penelitian terdahulu tersebut, dan sepanjang pengetahuan peneliti belum ada judul penelitian yang memasukkan sikap terhadap konselor dan keterbukaan diri secara bersama-sama dijadikan sebagai variabel prediktor (variabel bebas) untuk mengukur minat memanfaatkan layanan konseling.