BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat

PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI. Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya

OTC (OVER THE COUNTER DRUGS)

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

Perpustakaan Unika LAMPIRAN- LAMPIRAN

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT SOSIALISASI MENGENAL OBAT AGAR TAK SALAH OBAT PADA IBU-IBU PENGAJIAN AISYIYAH PATUKAN AMBARKETAWANG GAMPING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kefarmasian oleh apoteker (Menkes RI, 2016). Apotek merupakan salah satu. mencegah dan menyembuhkan penyakit pada masyarakat.

LEBIH DEKAT DENGAN OBAT

BAB I PENDAHULUAN. suksesnya sistem kesehatan adalah pelaksanaan pelayanan kefarmasian (Hermawati, kepada pasien yang membutuhkan (Menkes RI, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diserahkan oleh apoteker di apotek (Asti dan Indah, 2004). The International

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Resep. Penggunaan obat berlabel dan tidak berlabel Aspek legal. Pengertian Unsur resep Macam-macam resep obat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang bertujuan untuk melihat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

INTISARI. Yopi Yanur 1 ; Yugo Susanto 2 ; Riza Alfian 3

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pada Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SPKA), pelayanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek merupakan suatu jenis bisnis retail (eceran) yang komoditasnya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan kegiatan pemilihan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah pengobatan sendiri, meskipun belum terlalu populer, namun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN OBAT DI APOTEK KELURAHAN WONOKARTO KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan tempat pelayanan kesehatan (DepKes RI, 2002). paling tepat dan murah (Triyanto & Sanusi, 2003).

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMILIHAN OBAT SECARA AMAN PADA KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN KESEHATAN MASYARAKAT Oleh : Astri Widiarti

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

ANALISIS IKLAN OBAT BEBAS DAN OBAT BEBAS TERBATAS PADA ENAM MEDIA CETAK YANG BEREDAR DI KOTA SURAKARTA PERIODE BULAN FEBRUARI-APRIL 2009

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

Kebijakan Obat Nasional, Daftar Obat Esensial Nasional, Perundangan Obat. Tri Widyawati_Wakidi

BAB II A. TINJAUAN PUSTAKA. obat atau farmakoterapi. Tidak kalah penting, obat harus selalu digunakan secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

MAKALAH FARMASI SOSIAL

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PERUNDANGAN PRAKTEK APOTEKER

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Faridlatul Hasanahdkk (2013), tentang profil penggalian informasi dan rekomendasi pelayanan swamedikasi oleh staf apotek terhadap kasus diare anak di apotek wilayah surabaya yang bertujuan mengetahui informasi apa saja yang digali serta rekomendasi yang diberikan oleh staf apotek pada klien yang melakukan swamedikasi dengan keluhan diare. Sesuai dengan skenario peneliti menyebutkan akan membeli obat diare. Informasi yang digali dan direkomendasikan yang diberikan oleh staf apotek dicatat dalam lembar ceklist dengan metode ASMETHOD dalam kegiatan patient assessment agar dapat ditetapkan rekomendasi obat yang rasional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 38,9% staf apotek (n=35) menggali informasi tentang untuk siapa obat diminta, 10,0% (n=9) menanyakan tentang spesifikasi diare dan 3,3% (n=3) bertanya gejala yang menyertai diare. Seluruh apotek (90) menyediakan obat untuk diare, 43 apotek (47,8%) merekomendasikan obat golongan adsorben, 27,8% (n=25) merekomendasikan obat golongan antimotilitas dan 3 apotek (3,3%) merekomendasian antibiotik. Data penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Felicia pada tahun 2014, bahwa tidakadastaffarmasi yang memintainformasilengkapdaripelanggan apotek. Terdapat 30 (100%) orang yang bertanya tentang umur pasien; 5 (16,67%) orang yang bertanya tentang siapakah pasiennya; 6 (20%) orang bertanya tentang obat apa yang telah diberikan untuk menanggapi gejala tersebut; tidak ada (0%) orang yang bertanya tentang obat lain yang sedang dikonsumsi oleh pasien; 10 (33%) orang bertanya tentang durasi gejala; tidak ada (0%) yang bertanya tentang gejala lain yang menyertai; 11 (36,67%) orang yang bertanya tetang gejala yang berbahaya. Penelitian Johnson (2013) Apoteker di masyarakattampaknya lebih mengandalkan umpan balik konsumen danpengalaman pribadi dibanding bukti percobaan klinissaat membuat rekomendasi over-thecounter,sebuah praktik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip EBM.faktor pembatas untuk pengambilan EBM meliputikurangnya sumber daya dan waktu, serta kurangnya keterampilandalam menilai karya ilmiah. Solusi bisatermasuk meningkatkan kesadaran apoteker dengan memanfaatkan sumber informasi EBM yang ada, meningkatkan kritis,

menilai pelatihan, dan memberikan informasi yang disesuaikanke lingkungan apotek masyarakat. Penelitian yang dilakukan Muslicnah, dkk (2010), faktor lingkungan (penampilan apotek), 76,86% masyarakat menginginkan penampilan apotek yang baik. Penelitian yang dilakukan oleh Mote (2009), pasien mengharapkan petugas yang ramah dalam melayani adalah sebesar 80,6%. Penelitian yang dilakukan oleh Abdullah, dkk (2010), 93,4% masyarakat membutuhkan pelayananinformasi obat di apotek. Penelitian yang dilakukan oleh Firdaus dan Muliksin (2010), 70% masyarakat menyatakan ketersediaan obat yang lengkap merupakan hal yang penting. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2012), 86.7% pasien puas bila mendapat pelayanan yang cepat, tetapi layanan kefarmasian di apotek saat ini masih belum banyak dipraktekkan, jika ada beberapa yang telah melakukannya kemungkinan masih belum optimal dan menjadikan faktor pertimbangan dalam pemilihan sebuah apotek. Penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2009), apotek yang melaksanakan standar pelayanan kefarmasian hanya 47,63%, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rachmandani dkk (2011), tentang pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek baru dilakukan sebesar 56,16%. Peningkatan perekonomian masyarakat, kemudahan komunikasi serta peningkatan pengetahuan sebagai hasil pembangunan nasional di segala bidang telah menyebabkan masyarakat menuntut pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, ramah serta sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat. B. Landasan Teori 1. Pelayanan Swamedikasi Pelayanan swamedikasi merupakan pelayanan terhadap pasien atau klien yang datang dengan keluhan gejala yang timbul atau dengan meminta suatu produk obat tertentu tanpa resep dari dokter.swamedikasi berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter (Indriyanti, 2009). Pelayanan swamedikasi memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan pelayanan resep, yaitu antara 20 70%. Sekarang ini, masyarakat akan berusaha mengatasi sendiri masalah kesehatannya yang sifatnya sederhana dan umum diderita. Hal itu dilakukan karena pengobatan sendiri (swamedikasi) dianggap lebih murah dan praktis.kondisi seperti ini merupakan tantangan dan kesempatan bagi pemerintah, para tenaga kesehatan dan institusi yang menyediakan produk-produk untuk

swamedikasi sehingga dapat mendukung tindakan swamedikasi secara tepat, aman dan rasional (BPOM, 2004; Depkes RI, 2006; Rinukti, 2005). Pada pelayanan swamedikasi terdapat beberapa profil pelayanan yang diberikan oleh petugas apotek kepada pasien swamedikasi yang terdiri dari patientassessment, rekomendasi, informasi obat dan informasi non farmakologi. a. Patient Assessment Patient assessment merupakan suatu penilaian terhadap keadaan pasienyang penting dilakukan untuk pertimbangan apoteker dalam penentuan identifikasi pasien sebelum membuat sebuah rekomendasi. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan tindakan oleh apoteker sebelum konseling yang dijadikan referensi untuk rekomendasi adalah sejarah pengobatan, obat untuk siapa, umur pasien, penyebab sakit, durasi sakit, lokasi sakit, gejala sakit,pengobatan lain yang sedang digunakan, obat sejenis lainnya yang digunakan, alergi obat, apakah pernah terjadi sakit seperti sebelumnya, gejala lain, dan apakah sudah ke dokter (Chua, dkk., 2006). Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menggali informasi dari klien yang bisa ditanyakan oleh apoteker diidentifikasi berdasarkan pada WWHAM (Who the patient?, What are thesymptoms?, How long have the symptoms been presents?, Action taken?, Medication being taken?), ASMETHOD (Age/appearance, Self/someone else, Medication, Extra medication, Time symptoms, History, Other accompanying symptoms, Danger symptoms), SITDOWNSIR (Site/location, Intensity/severity, Tipe/nature, Duration, Onset, With other symptoms, Annoyed by, Spread/radiation, Incidence, Relieved by), ENCORE (Explore, No medication option, Care, Observe, Refer, Explain) (Blenkinsopp dan Paxton, 2002). b. Rekomendasi Rekomendasi merupakan saran menganjurkan yang diberikan oleh petugas apotek kepada pasien swamedikasi yaitu dapat berupa rujukan ke dokter ataupun rekomendasi obat.petugas apotek harus dapat membedakan tingkat keseriusan gejala penyakit yang timbul dan tindakan yang harus diambil sehingga dapat memberikan saran berupa pemberian obat atau rujukan ke dokter.rekomendasi yang tepat dapat diberikan sesuai dengan patient assessment yang telah ditanyakan oleh petugas apotek. Apoteker dapat memberi rekomendasi rujukan ke

dokter jika gejala penyakitnya berat atau parah (Blenkinsopp dan Paxton, 2002; Chua, dkk., 2006). c. Informasi Obat Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi secara kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat (Depkes RI, 2014). Informasi obat yang diberikan pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Adapun informasi yang perlu disampaikan terkait penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas antara lain (Menkes RI, 2004; Depkes RI, 2006): 1) Khasiat obat: Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obatyang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan kesehatan yang dialami pasien. 2) Kontraidikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontraindikasi dari obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra indikasi dimaksud. 3) Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya. Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada pasien untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain. 4) Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. 5) Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur. 6) Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena penyakitnya belum hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan dokter.

7) Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu bersamaan. a) Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat. b) Cara penyimpanan obat yang baik. c) Cara memperlakukan obat yang masih tersisa. d) Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak. 2. Obat Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Depkes RI, 2014). a. Penggolongan Obat Obat dapat dibagi menjadi 6 golongan yaitu (Menkes RI, 1990; MenkesRI, 1993; Menkes RI, 1999; Depkes RI, 2006) : 1) Obat Bebas Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.contoh: parasetamol, vitamin. 2) Obat Bebas Terbatas Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan.tanda khusus pada kemasan dan etiket. Obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.selain tanda khusus obat bebas terbatas, terdapat pula tanda

peringatan.tanda peringatan ini diberikan karena hanya dengan takaran dan kemasan tertentu obat ini aman dipakai untuk pengobatan sendiri. Tanda peringatan berupa empat persegi panjang dengan huruf putih pada dasar hitam yang terdiri dari enam macam, yaitu : 3) Obat Keras Contoh: CTM, antimo Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam.contoh: asam mefenamat, tetrasiklin, sefalosporin, dsb. 4) Obat Wajib Apotek (OWA) Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh Apotekerkepada pasien di apotek tanpa resep dokter.sampai saat ini terdapat tiga daftar obat yang diperbolehkan diserahkan tanpa resep dokter. Peraturan mengenai Daftar Obat Wajib Apotek tercantum dalam : a) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek, berisi Daftar Obat Wajib Apotek No.1

b) Peraturan Menteri Kesehatan nomor 924/Menkes/Per/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 2 c) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3 Contoh: Asam mefenamat, salep hidrokortison, salep kloramfenikol. 5) Obat Psikotropika Obat psikotropika adalah obat keras alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.contoh: diazepam, fenobarbital. 6) Obat Narkotika Obat narkotika adalah obat keras yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Contoh: morfin dan petidin. 3. Penggunaan Obat Swamedikasi Dalam penatalaksanaan swamedikasi, masyarakat memerlukan pedoman yang terpadu agar tidak terjadi kesalahan pengobatan (medication error).apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi.obatobat yang dapat digunakan dalam swamedikasi adalah obat-obat yang termasuk dalam golongan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas dan obat-obat dalam Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) (Depkes RI, 1990; Depkes RI, 2006). Sebelum menggunakan obat, termasuk obat bebas dan bebas terbatas harus diketahui sifat dan cara pemakaiannya agar penggunaannya tepat dan aman. Informasi tersebut dapat diperoleh dari brosur dan etiket yang tertera pada kemasan obat. Dalam menentukan jenis obat yang akan diberikan kepada pasien swamedikasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu (Depkes RI, 2006): a. Gejala atau keluhan penyakit.

b. Kondisi khusus misalnya hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes mellitus, dan lain-lain. c. Riwayat alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu. d. Pilihlah obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada interaksinya dengan obat yang sedang diminum. Pada pasien swamedikasi terdapat cara penggunaan obat yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut (Depkes RI, 2006): a. Penggunaan obat tidak untuk pemakaian secara terus menerus. b. Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur. c. Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, hentikan penggunaan dan tanyakan kepada apoteker dan dokter. d. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama. e. Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap, tanyakan kepada apoteker. 4. ApotekdanApoteker Menurut KepMenKes No.1027/MENKES/SK/IX/2004, apotek adalah tempat tertentu tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan kefarmasian, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.menurut definisi tersebut dapat diketahui bahwa apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, selain itu juga sebagai salah satu tempat pengabdian dan praktek profesi apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian (Depkes RI, 2004). Menurut KepMenKes No.1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkansumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker.menurut definisi tersebut 6 seorang apoteker merupakan lulusan perguruan tinggi farmasi yang memenuhi ciri profesi yaitu memiliki pengetahuan yang berbatas jelas dan pendidikan khusus berbasis keahlian pada jenjang perguruan tinggi (Depkes RI, 2004). Menurut PerMenKes No.922/MENKES/PER/X/1993 apotek dapat diselenggarakan oleh apotekeryang bertindak sebagai Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan sekaligus sebagai Pemilik Sarana Apotek (PSA). Dapat diselenggarakan juga apoteker bekerjasama dengan pemilik sarana, apoteker bertindak sebagai

Apoteker Pengelola Apotek (APA) sedang pihak lain seorang apoteker atau tidak yang bertindak sebagai Pemilik Sarana Apotek (PSA). Dalam hal ini apoteker menggunakan sarana pihak lain sehingga penggunaan sarana didasarkan atas perjanjian kerjasama antara apoteker dan pemilik sarana (Depkes RI, 1993). Peran apoteker adalah melakukan pelayanan kefarmasian (pharmaceuticalcare) yang merupakan bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Depkes RI, 2004). Menurut PP 51 Tahun 2009, pelayanan kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) (Depkes RI, 2009). Pelayanan farmasi yang baik akan mendukung keberhasilan suatu terapi, sehingga berhasilnya suatu terapi tidak hanya ditentukan oleh diagnosis dan pemilihan obat yang tepat, tetapi juga kepatuhan (compliance) pasien untuk mengikuti terapi yang telah ditentukan. Kepatuhan pasien telah ditentukan oleh beberapa hal antara lain persepsi tentang kesehatan, pengalaman mengobati sendiri, pengalaman dari terapi sebelumnya, lingkungan, adanya efek samping obat, keadaan ekonomi, interaksi dengan tenaga kesehatan dan informasi penggunaan obat dari apoteker (Depkes RI, 2006).