1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah sebagai pelaksana roda pemerintahan dalam suatu Negara wajib menjamin kesejahteraan dan keberlangsungan hidup warga negaranya. Peran aktif pemerintah diperlukan untuk mewujudkan tipe negara kesejahteraan (welfare state) seperti tercantum di dalam tujuan negara Indonesia yaitu dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia IV yang menyatakan, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. 1 Sehingga peranan pemerintah sangat penting dan sebagai penanggung jawab yang pertama dan utama seperti hal nya pada saat terjadi bencana. Menurut Pasal 1 Nomor 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pengertian bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Setiap bencana merupakan kerugian bagi penduduk maupun pemerintah daerah setempat. Penduduk kehilangan 1 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, Pembukaan
2 harta benda, surat-surat berharga, dan tentunya dampak psikologis yang berbahaya bagi kelanjutan kehidupan mereka. Pemerintah membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), sebagai sebuah lembaga khusus dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menangani penanggulangan bencana di daerah, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Dengan dibentuknya BPBD tersebut diharapkan penanganan bencana dapat dilakukan dengan cepat, tepat, efektif dan efisien. 2 Bencana erupsi Gunung Merapi pada bulan Oktober 2010 telah menelan korban manusia dan harta benda bagi penduduk yang tinggal di lereng Gunung Merapi. Kabupaten Magelang adalah salah satu daerah terdampak paling berat akibat erupsi gunung api Merapi karena secara geografis sebagian wilayah Kabupaten Magelang merupakan lereng gunung Merapi yang merupakan salah satu gunung api teraktif di dunia, dan membuat wilayah ini ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Rawan Bencana (KRB). Bencana letusan Gunung Merapi tidak hanya menimbulkan bahaya primer berupa letusan besar yang menyemburkan material vulkanik disertai awan panas, akan tetapi terdapat bahaya sekunder yang mengancam yaitu banjir lahar hujan yang membawa material letusan. Menurut BPBD, banjir lahar hujan dapat diartikan sebagai banjir yang diakibatkan oleh gugurnya atau hanyutnnya lahar hujan yang mengendap 2 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
3 di kubah gunung, sebagai akibat dari hujan yang terjadi di wilayah gunung tersebut. Endapan yang masih ada di sekitar gunung akan hanyut dan mengalir melalui sungai dan berdampak pada lingkungan yang berada di sepanjang bantaran sungai, yang meliputi areal pertanian, infrastruktur berupa DAM, saluran irigasi, jembatan, jalan, dan perumahan. Lahar hujan yang dikeluarkan mengakibatkan aliran sungai yang berhulu di gunung Merapi terkena dampak yang luar biasa kerusakannya, salah satunya adalah aliran Sungai Putih yang mengalir, membelah wilayah Kabupaten Magelang. Sektor pemukiman warga merupakan salah satu sektor yang mengalami kerusakan terberat akibat lahar hujan tersebut. Di Kabupaten Magelang, khususnya di Desa Sirahan, Kecamatan Salam sebanyak 389 rumah rusak berat dan diantaranya hanyut akibat terjangan banjir Lahar Hujan tersebut. 3 Untuk mengatasi situasi darurat dalam masa bencana, Pemerintah mencarikan jalan keluar bagi masyarakat untuk tetap melangsungkan kehidupannya secara manusiawi. Penduduk yang rumahnya rusak berat dan hanyut, maka untuk sementara waktu ditempatkan di Hunian Sementara (Huntara) yang dibangun di beberapa desa di Kabupaten Magelang yaitu di Huntara Mancasan, Huntara Sirahan, Huntara Krapyak. Pada masa pasca bencana, merupakan momentum untuk mengembalikan kehidupan korban bencana seperti semula. Kebutuhan akan rumah tinggal dan rekonstruksi serta rehabilitasi menjadi suatu hal 3 Data Rekapitulasi Kerusakan oleh Pemerintah Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang
4 yang sangat penting untuk mengembalikan perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat, membangun kembali masyarakat dan modal sosial yang ada serta menyediakan kehidupan yang bersih dan sehat agar proses kehidupan dapat berjalan normal kembali. Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan, setiap orang yang terkena bencana berhak mendapat bantuan kebutuhan dasar, selanjutnya Pasal 52 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan, pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d meliputi bantuan penyediaan : a) Kebutuhan air bersih dan sanitasi; b) pangan; c) sandang; d) pelayanan kesehatan; e) pelayanan psikososial; f) penampungan serta tempat hunian. Pemerintah dengan melakukan uji publik, menyatakan bahwa seluruh wilayah di bantaran Sungai Putih adalah Kawasan Rawan Bencana I yang tidak layak untuk dihuni karena rawan apabila terjadi Lahar Hujan dalam kurun waktu yang akan datang. Oleh karena itu, Pemerintah menetapkan radius 300 meter di bantaran sungai harus steril dan bersih dari pemukiman penduduk. Upaya lanjutan yang dilakukan adalah relokasi bagi para korban bencana dari pemukiman asal mereka ke Hunian Tetap
5 (Huntap) di daerah yang lebih aman, karena amat sangat beresiko apabila korban bencana kembali tinggal ke asal mereka. Atas pertimbangan tersebut, Pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) memberikan hibah dana bantuan kepada tiap korban bencana Lahar Hujan Gunung Api Merapi di Kabupaten Magelang untuk merekonstruksi dan merehabilitasi tempat hunian yang rusak dan hancur. Bantuan berupa dana tersebut diperuntukkan untuk pembangunan Hunian Tetap bagi para korban, dengan ketentuan sebagai berikut : a. Dana sebesar Rp. 7.000.000,00 (tujuh juta rupiah) yang diperuntukkan untuk membeli tanah. b. Dana sebesar Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) yang diperuntukkan untuk biaya pembangunan Hunian Tetap. c. Dana tersebut diserahkan melalui rekening Bank kepada Kelompok Pemukim (KP). Tiap KP terdiri dari 10-15 Kepala keluarga (KK) d. Korban bencana diberikan keleluasaan mempergunakan dana tersebut untuk membangun Hunian Tetap dimanapun letaknya, dengan syarat dibangun di wilayah yang aman dari ancaman bencana dan telah disetujui dan dijui oleh BPBD dan Tim Rekompak. e. Luas tanah yang ditetapkan adalah 100 m2 dan luas bangunan 36 m2, dengan konstruksi bangunan tetap harus memenuhi kriteria struktur tahan gempa yang telah ditetapkan, dan dalam pelaksanaannya dilakukan pendampingan oleh REKOMPAK.
6 Di dalam perjalanannya, tidak semua korban mampu membeli tanah dengan modal yang diberikan pemerintah, dan korban tidak memiliki daya untuk menambah kekurangan dana karena keterbatasan ekonomi, mengingat 80 % penduduk desa Sirahan bermata pencaharian hanya sebagai Petani dan Buruh Tani. Alasan tersebut yang kemudian membuat BPBD berinisiatif untuk mengambil alih pengadaan tanah, dengan mempergunakan dana hibah bantuan milik korban bencana, oleh karena kebutuhan akan hunian yang sangat mendesak. Tindakan pengambil alihan pengadaan tanah oleh BPBD tersebut dilakukan dengan kuasa lisan dengan korban bencana atau Kelompok Pemukim (KP). Kuasa lisan tersebut berisi kesepakatan antara KP dengan BPBD bahwa BPBD bersedia mencarikan tanah untuk kemudian dimusyawarahkan kembali dengan KP tentang tanah yang telah diperoleh. Di dalam pelaksanaannya, terdapat perantara atau makelar tanah yang berkesanggupan dan menawarkan secara lisan untuk menyediakan tanah, yang pada akhirnya BPBD menerima dan menyetujui penawaran dari pihak makelar tanah tersebut. Penyerahan tugas pengadaan tanah tersebut juga dilakukan dengan kuasa lisan, yang mana BPBD menyerahkan kepada makelar tanah untuk mencarikan tanah dengan dana yang ada serta luas yang ditetapkan, disertai imbalan yang didalamnya termasuk juga biaya terkait dengan pengurusan pengalihan Hak Kepemilikan atas tanah.
7 Dalam hal tersebut dapat diketahui bahwa pihak perantara wajib menyediakan tanah sesuai peruntukannya serta pengurusan pengalihan Hak kepemilikan atas tanah serta menjamin bahwa tanah yang dibeli bebas sengketa atau dapat dikatakan bebas dari permasalahan. Kemudian BPBD sebagai pihak yang diberikan kuasa oleh Kelompok Pemukim untuk mencarikan tanah, wajib untuk melaporkan dan memusyawarahkan kepada Kelompok Pemukim tentang tanah yang diperoleh. Akan tetapi yang terjadi, BPBD sebagai pihak yang diberikan kuasa hanya sebatas untuk mencarikan tanah, malah bertindak sebagai pihak yang melaksanakan jual beli dengan pihak penjual tanah diluar sepengetahuan Kelompok Pemukim yang berkedudukan sebagai pemilik dana. Tanah yang telah dibeli, oleh BPBD dan makelar tanah dibongkar dan diratakan dari bangunan maupun tumbuhan yang melekat diatasnya untuk kemudian dilakukan pemetakan dan dibagi-bagi setelah diukur sesuai luas yang ditetapkan yaitu 100 m2 untuk bagian setiap Kepala Keluarga. Tanah tersebut selanjutnya diserahkan kepada Kelompok Pemukim untuk dilakukan pembangunan hunian tetap. Tindakan pengukuran dan pemetakan tanah yang tidak dilakukan dengan hati-hati dan cermat serta ketidakjelasan status kepemilikan tanah menyebabkan tindakan pemecahan tanah untuk selanjutnya dilakukan penerbitan Sertipikat Tanah tidak dapat dilakukan. Hal tersebut
8 menyebabkan kedudukan hukum atas tanah yang didirikan bangunan hunian tetap oleh Kelompok Pemukim menjadi tidak jelas. Subekti merumuskan perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 4 Ahli lain yang merumuskan pengertian perjanjian adalah Sudikno Mertokusumo, yang merumuskan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 5 Perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 6 a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Pasal 1457 KUH Perdata, menyatakan bahwa Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Jual beli tanah pada hakikatnya merupakan salah satu pengalihan hak kepada pihak lain atau orang lain yang berupa hak atas tanah dari penjual kepada pembeli tanah. Pembeli atau penjual bisa bertindak sendiri atau melalui kuasanya. Surat Kuasa harus dalam bentuk 4 R. Subekti (a),1990, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, hlm 1 5 Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum (Sebuah Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hlm 118 6 R. Subekti (b), 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, hlm 134
9 tertulis yang dilegalisasi oleh Camat/Notaris/Panitera Pengadilan/ Perwakilan Negara di luar negeri. Surat kuasa yang tidak tertulis atau yang dilakukan dibawah tangan tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk melakukan jual beli tanah. 7 Oleh sebab itu, penting kiranya untuk mengetahui mengenai pelaksanaan perjanjian jual beli tanah yang terjadi, yang nantinya dapat terlihat dan diketahui mengenai keabsahan dari perjanjian jual beli tanah yang dibuat antara para pihak yang ada. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum yang berjudul Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Tanah Untuk Pembangunan Hunian Tetap Bagi Korban Bencana Lahar Hujan Gunung Api Merapi di Kabupaten Magelang 7 Samsun Imaya, 2011, Pengantar Hukum Agraria, Yogyakarta, Jambu Sari, hlm 79
10 B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis ingin mengangkat beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut : 1. Bagaimana kedudukan hukum kepemilikan tanah yang telah dibangun oleh korban bencana lahar hujan? 2. Bagaimana perlindungan hukum bagi Kelompok Pemukim (korban bencana lahar hujan gunung api Merapi) dalam perjanjian jual beli tanah guna pembangunan Hunian Tetap mereka? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan mengkaji perlindungan hukum bagi kelompok pemukim (korban bencana lahar hujan) dalam perjanjian jual beli tanah guna pembangunan hunian tetap 2. Untuk mengetahui kedudukan hukum kepemilikan tanah yang telah dibangun oleh korban bencana lahar hujan D. Keaslian Penelitian Sepanjang penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, sudah terdapat yang menggunakan perjanjian jual beli tanah sebagai obyek penelitian. Penelitian tersebut antara lain oleh Peneliti Pramita Wardhani dari bagian konsentrasi Hukum Perdata, dan oleh Peneliti Rusmiyati dari bagian
11 Magister Kenotariatan. Meskipun ruang lingkup penelitian yang dilakukan adalah sama, akan tetapi terdapat perbedaan yaitu dari rumusan masalah, lokasi, subyek dan obyek penelitian serta cara pengumpulan data dan analisis data. 1. Penelitian yang dilakukan oleh Pramita wardhani dalam penulisan hukumnya yang berjudul Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Tanah Kaveling Antara Developer dengan Konsumen di Surabaya. Rumusan Masalah yang ditetapkan adalah Mengapa pelaksanaan perjanjian jual beli tanah kaveling yang dilakukan antara developer dengan konsumen di Surabaya belum sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman? dan Bagaimana kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli tanah kaveling yang dibuat aantara developer dan konsumen di hadapan notaris di Surabaya? 8 2. Penelitian yang dilakukan oleh Rusmiyati dalam penulisan hukumnya yang berjudul Kedudukan Asas Itikad Baik Dalam Pengertian Objektif (Kepatutan) Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Akta Kuasa Menjual Tanah ( Studi kasus pada putusan Pengadilan Negeri Sleman Register Perkara Nomor 01/Pdt.G/PN.Slmn). Rumusan Masalah yang ditetapkan adalah Bagaimana perwujudan dan kedudukan asas kepatutan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Akta Kuasa Menjual Tanah (Studi kasus pada putusan 8 Pramita Wardhani, 2012, Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Tanah Kaveling Antara Developer dengan Konsumen di Surabaya, skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
12 Pengadilan Negeri Sleman Register Perkara Nomor 01/Pdt.G/PN.Slmn)? dan Bagaimana upaya hukum yang dilakukan oleh para pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang melanggar kepatutan? 9 Dari dua penulisan hukum diatas, Pramita Wardhani membahas tentang pelaksanaan jual beli tanah dengan sistem jual beli tanah kemudian dilakukan pembangunan, kedudukan perjanjian berdasarkan, serta kekuatan hukum perjanjiannya. Sementara itu, Rusmiyati membahas tentang kedudukan perjanjian pengikatan jual beli tanah, serta bentuk wanprestasi dan upaya penyelesaiannya. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui dengan jelas perbedaan antara penulisan hukum yang dibuat oleh penulis dengan penulisan hukum yang telah ada sebelumnya. Dalam penulisan hukum yang terdahulu juga mempunyai obyek penelitian yang berbeda dengan penulisan hukum yang akan disusun penulis. Obyek penulisan hukum yang disusun oleh Pramita Wardhani adalah perjanjian jual beli tanah kaveling dengan sistem konsumen membeli tanah kemudian dilakukan pembangunan oleh Developer, dan obyek penulisan hukum yang disusun oleh Rusmiyati adalah perjanjian pengikatan jual beli tanah dengan berdasar Putusan Pengadilan sebagai obyek penelitian, sedangkan penulisan hukum 9 Rusmiyati, 2012, Kedudukan Asas Itikad Baik Dalam Pengertian Objektif (Kepatutan) Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Akta Kuasa Menjual Tanah ( Studi kasus pada putusan Pengadilan Negeri Sleman Register Perkara Nomor 01/Pdt.G/PN.Slmn), Tesis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
13 yang disusun penulis obyek penelitiannya adalah perjanjian jual beli tanah untuk pembangunan Hunian Tetap. Perbedaan yang dapat dilihat antara penelitian yang terdahulu dengan yang sekarang adalah terkait pula lokasi penelitian. Dalam hal ini, penulis memilih Kabupaten Magelang sebagai lokasi penelitian. Oleh karena itu, penulis menyatakan penulisan hukum ini adalah asli dan layak untuk diteliti. E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Akademis Kegunaan akademis (bagi pengembangan hukum) penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusipemikiran yang berarti bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya mengenai pelaksanaan perjanjian jual beli tanah untuk pembangunan Hunian Tetap bagi korban lahar hujan Gunung Api Merapi di Kabupaten Magelang. 2. Kegunaan Praktis a. Memberi gambaran dan pemaparan yang lebih jelas agar masyarakat mengetahui tentang perlindungan hukum bagi korban bencana lahar hujan Gunung Api Merapi dalam pelaksanaan jual beli tanah untuk pembangunan hunian tetap b. Memaparkan mengenai kedudukan hukum tanah didirikan bangunan hunian tetap bagi korban bencana lahar hujan tersebut