BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai orang tua yang memiliki anak, tugas utamanya adalah

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Self-efficacy mengarah pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno,

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. pasangan (suami) dan menjalankan tanggungjawabnya seperti untuk melindungi,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal (Harian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena orangtua tunggal beberapa dekade terakhir ini marak terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk mampu melakukan tugas rumah tangga. Kepala keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. Zaman semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB V PENUTUP. perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. barang ataupun jasa, diperlukan adanya kegiatan yang memerlukan sumber daya,

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Di tahun 2009 angka pengangguran terdidik telah mencapai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi atau Universitas merupakan lembaga pendidikan tinggi di

BAB I PENDAHULUAN. menjadi orang tua dari anak-anak mereka. Orang tua merupakan individu yang

BAB VIII KELUARGA 8.1 Pengantar 8.2 Pengertian Keluarga

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB 3 METODE PENELITIAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip

BAB I PENDAHULUAN. merupakan perjanjian yang sakral (mitsaqan ghalidha) antara suami dan istri.

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial kemasyarakatan (Fatimah, 2006, h. 188). Menurut Soebekti (dalam Sulastri, 2015, h. 132) perkawinan adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam perkawinan yang memiliki makna

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya ( Oleh

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. proses kultural budaya di masa lalu, kini telah berganti sebab. Di masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Hidup. individu mengenai posisi individu dalam hidup, konteks budaya dan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap

B. Tahap dan Tugas Perkembangan Keluarga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kaum perempuan di sektor publik. Tampak tidak ada sektor publik yang belum

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain,

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi, tampaknya persaingan bisnis di antara

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keluarga juga tempat dimana anak diajarkan paling awal untuk bergaul dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

Transkripsi:

7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Self-Efficacy 2. 1. 1 Definisi Self-Efficacy Menurut Bandura (dalam Baron dan Byrne, 2004), self-efficacy mengarah pada keyakinan individu pada kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan serangkaian tindakan dalam mencapai hasil yang harus digapai. Dengan kata lain self-efficacy adalah berisikan evaluasi seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan atau mengatasi hambatan. 2. 1. 2 Sumber Self-Efficacy Keyakinan individu tentang self-efficacy yang dimilikinya menurut Bandura (1997), dipengaruhi oleh melalui empat sumber utama dari pengaruh : 1. Enactive Mastery Experience: Enactive Mastery Experience merupakan cara yang paling efektif dan menimbulkan keyakinan yang kuat akan efficacy. Kesuksesan membangun keyakinan yang kuat akan self-efficacy, sedangkan kegagalan-kegagalan yang dialami dapat menjatuhkannya, terutama jika kegagalan tersebut terjadi sebelum self-efficacy terbentuk dengan kuat. Kesulitan atau kegagalan merupakan kesempatan belajar untuk menjadi sukses dengan berdasar pada satu kemampuan untuk melatih dalam hal mengontrol setiap keadaan menjadi lebih baik. Besarnya keinginan seseorang untuk mengubah persepsi terhadap self-efficacy-nya berdasar

8 pada pengalaman sangat bergantung pada beberapa faktor, antara lain pemahaman awal akan kemampuannya, persepsi terhadap tingkat kesulitan tugas, seberapa banyak usaha yang dikeluarkannya, banyaknya bantuan yang diterima, pola sementara dari kegagalan dan kesuksesan. Individu akan lebih kuat saat mengalami masa-masa sulit. Jika individu hanya mengalami kesuksesan yang mudah didapat, individu tersebut biasanya mengharapkan hasil yang cepat dan dengan sangat mudah kecewa karena kegagalan. Tumbuhnya keyakinan yang kuat akan self-effcacy membutuhkan adanya pengalaman dalam mengatasi berbagai hambatan atau kesulitan yang ditemui melalui usaha-usaha yang keras. Setelah individu merasa yakin bahwa telah memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan untuk memperoleh kesuksesan, individu akan berusaha menghadapi keadaan yang kurang baik sekalipun dan cepat bangkit dari kegagalan. Dengan pengalaman yang telah terjadi membuat individu pada saat mengalami masa-masa sulit menjadi lebih kuat, dalam menghadapi kondisi yang kurang baik. Jika individu pernah berhasil melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang merupakan sesuatu yang sulit, maka di masa mendatang dihadapkan pada kondisi yang kurang lebih sama seperti yang dialami sebelumnya, seseorang cenderung akan merasa lebih optimis menyelesaikan tugas barunya tersebut. 2. Vicarious Experience: Self-efficacy juga mendapat pengaruh dari pengalaman orang lain. Dampak modelling terhadap perceived self-efficacy memiliki pengaruh yang kuat, dengan mempesepsikan kesamaan dengan model atau orang yang menjadi contoh. Sebagai contoh, individu mengamati orang lain yang memiliki kompetensi yang sama dengannya berhasil

9 melakukan suatu tugas atau pekerjaan, maka hal tersebut dapat meningkatkan self-efficacy individu. Dengan demikian informasi dari orang lain dapat digunakan sebagai pembanding untuk mengetahui self-efficacy yang dimiliki individu. Jika seorang ayah yang berperan sebagai orangtua tunggal, melihat ayah yang berperan sebagai orangtua tunggal lainnya mampu menjalankan suatu pekerjaan. Maka individu tersebut mempersepsikan ayah yang berperan sebagai orangtua tunggal lainnya memiliki kemampuan yang kurang lebih sama dengannya, dalam keadaan tersebut self-efficacy-nya meningkat. Demikian individu merasa mampu untuk menyelesaikannya. 3. Social Persuassion: Social Persuassion merupakan salah satu cara untuk memperkuat keyakinan bahwa indvidu memiliki sesuatu untuk meraih kesuksesan atau yang individu ingin dapatkan. Individu yang diyakinkan secara verbal bahwa ia memiliki kemampuan untuk dapat menguasai suatu tugas, akan mengeluarkan usaha yang lebih besar daripada ketika ia merasa tidak yakin dan memikirkan kekurangannya ketika muncul kesulitankesulitan. Lebih mudah untuk memelihara dan memerkuat sense of efficacy, terutama saat sedang mengahadapi berbagai kesulitan, pihak-pihak lain menekankan keyakinannya atas berbagai kemampuan yang dimilikinya daripada, jika pihaknya menyampaikan keraguan atas kemampuan individu tersebut. Indvidu yang diberi penyesuaian secara verbal memiliki kemampuan untuk menguasai tugas-tugas yang diberikan kepada intividu tersebut seperti mengerahkan. Penyesuaian menggandakan kekuatan dalam percecived efficacy memimpin individu untuk mencoba lebih keras untuk meraih keberhasilan.

10 Persuasive efficacy memiliki pengaruh besar pada individu yang memiliki beberapa alasan untuk percaya bahwa individu tersebut dapat menghasilkan akibat dari aktivitas aktivitas yang di jalankan (Chambliss & Murray, 1979a, 1979b dalam Bandura, 1997). Tindakan-tindakan yang sifatnya persuasi dalam mempersepsikan self efficacy yang dimiliki, membuat individu berusaha dengan cukup keras untuk memperoleh kesuksesan mereka serta mengembangkan keahliannya. Peningkatan self efficacy yang tidak realistis terhadap kompetansi pribadi dengan cepat dapat terlihat dengan adanya hasil yang mengecewakan dari usaha seseorang akan tetapi orang-orang yang telah dipersuasi bahwa ia tidak memiliki kemampuan cenderung untuk menghindari aktivitas yang sifatnya menantang yang akan menggali potensi yang dimiliki dan dengan cepat menyerah pada saat menemui kesulitan, yang pada akhirnya hanya akan mengurangi self-efficacy orang tersebut. 4. Phyisiological and Affective State: Untuk menilai kemampuan individu, digunakan informasi-informasi yang diterima oleh tubuh, dalam informasi tersebut dapat diketahui proses hidup serta keadaan emosianal individu. Kondisi mood juga memberikan efek pada penilaian individu pada selfefficacy. Fisiologis sebagai indikator dari efficacy memiliki peranan terutama dalam fungsi kesehatan dan aktivitas yang membutuhkan stamina dan kekuatan. Individu menilai aktivitas-aktivitas fisik dalam tekanan penuh atau dalam situasi terpaksa menjadikan pertanda ketidakberdayaan individu tersebut. Reaksi-reaksi tekanan (stres) membuat kontrol atau penguasaan tidak efektif. Individu mengartikan kelelahan, kemelut yang dirasakan, kesakitan dan rasa nyeri, sebagai indikasi-indikasi dari ketidakmampuan meningkatkan daya fisik. Individu umumnya menunjukkan tanda-tanda

11 tertekan, sakit dan nyeri, kelelahan, ketakutan, mual, dan lain-lain merupakan persepsi seseorang, tanggapan ini nyata dapat mengubah self-efficacy seseorang. Jika individu kejatuhan cicak di kepala sebelum memulai aktifitas, individu yang self-efficacy-nya rendah dapat mempresepsikan sebagai tanda ketidakmampuan individu dalam menjalankan aktivitasnya sehingga menurunkan efektifitas diri. Sementara individu yang memiliki selfefficacy tinggi cenderung untuk menafsirkan seperti tanda-tanda fisiologis seperti biasa dan tidak berhubungan dengan kemampuan aktualnya. Jadi, itu adalah keyakinan individu dalam implikasi dari respon fisiologis yang mengubah self-efficacy individu. Kenyataan-kenyataan afektif, sudah dapat digeneralisasi secara luas berdampak kepada kepercayaan terhadap personal efficacy dalam membedakan lingkup pengetahuan functioning. Empat cara utama diantaranya meningkatkan status daya fisik; mengurangi tingkat stres; menghapus emosi-emosi negatif dan membenarkan intepretasi-intepretasi yang keliru dari sinyal-sinyal tubuh (Bandura 1991a, Cioffi 1991a; dalam Bandura, 1997). 2. 2 Orangtua tunggal 2. 2. 1 Definisi Orangtua Tunggal Orangtua tunggal adalah seseorang yang memiliki anak, yang pasangannya meninggal atau bercerai (Collins English Dictionary, 2003). Menurut Hamner dan Turner (dalam Duval, dkk, 1985), bahwa suatu keluarga dianggap sebagai keluarga orangtua tunggal bila hanya ada satu orang tua yang tinggal bersama anak-anaknya dalam satu rumah. Menurut Sager, dkk (dalam Perlmutter & Hall,1985), menyatakan bahwa yang

12 dimaksud dengan orangtua tunggal adalah orang tua yang secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan atau tanggung jawab pasangannya. 2. 2. 2 Faktor-Faktor Penyebab Orangtua Tunggal Ada beberapa faktor yang menyebabkan individu menjadi orang tua tunggal, yaitu karena kematian suami atau istri, perceraian atau perpisahan, mempunyai anak tanpa menikah, pengangkatan atau adopsi anak oleh wanita atau pria lajang (Perlmutter & Hall, 1985). Lebih lanjut Goode (2007), menjelaskan faktor-faktor penyebab orangtua tunggal sebagai berikut: a. Ketidaksahan merupakan unit keluarga tidak lengkap, hal ini diakibatkan karena ayah atau ibu tidak ada, seperti terjadinya kehamilan diluar nikah atau fenomena bagi seorang wanita atau laki-laki yang tidak mau menikah kemudian mengadopsi anak. Oleh karena itu tidak menjalankan kewajiban sesuai dengan peranannya. b. Pembatalan, perpisahan, perceraian dan meninggalkan. Terputusnya keluarga akibat salah satu atau pasangan baik dari ayah atau ibu memutuskan untuk berpisah atau bercerai dengan alasan tidak ada lagi kecocokan, kekerasan dalam rumah tangga, adanya konfik, pertengkaran yang berkepanjangan dan lain-lain. Perceraian atau perpisahan bisa disebut juga dengan divorce, divorce menurut Eshleman, dkk (1993),

13 whenever two people interact, conflicts may arise, and one person or both may want to end the relationship, Jadi perceraian atau perpisahan adalah ketika pasangan suami-istri yang memiliki interaksi yang tidak baik dimana sering timbul permasalahan-permasalahan sehingga salah satu atau pasangan tersebut memutuskan untuk mengakhiri hubungan perkawinan. Sehingga untuk selanjutnya salah satu pasangan tidak melaksanakan kewajiban perannya lagi. c. Keluarga selaput kosong dalam hal ini keluarga tetap tinggal bersama tetapi tidak saling menyapa, tidak rukun, dan tidak saling bekerjasama, serta tidak ada rasa kasih sayang, sehingga keluarga dianggap gagal dalam memberikan dukungan emosional antar anggota keluarga. d. Ketiadaan seorang dari pasangan karena hal yang tidak diinginkan. Keadaan keluarga yang terpecah atau tidak utuh disebabkan karena ayah atau ibu meninggal, dipenjara, dalam peperangan, dalam bencana, hal ini akan menimbulkan kehilangan dan kesedihan yang mendalam bagi anggota keluarga. e. Kegagalan peran penting yang tidak diinginkan Keadaan keluarga dimana salah satu anggotanya dalam keadaan sakit baik mental, emosional atau badaniah yang parah, sehingga walau secara fisik orang itu ada namun mengakibatkan salah

14 satu anggota keluarga tersebut tidak dapat menjalankan peran utamanya. 2. 2. 3 Data Orangtua Tunggal Data perceraian yang tertera di bawah ini mencantumkan jumlah ayah yang menjadi orangtua tunggal pada tahun 2007 sampai 2010 data terkini yang di peroleh. 300000 250000 221,520 258,069 284,379 200000 150000 100000 175,088 Series1 Series2 50000 0 2007 2008 2009 2010 1 2 3 4 Sumber : Badan Peradilan Agama 1. Data menunjukan tren perceraian di Indonesia pada tahun 2007 sampai 2010. 2. Kendati tidak tersedia secara definitif, namun dapat ditafsirkan bahwa meningginya angka perceraian tersebut juga berimplikasi meningginya jumlah anak yang diasuh orangtua tunggal. 3. Dengan asumsi bahwa sistem peradilan atas kasus perceraian Di Indonesia bersifat maternal preferance, maka ada alasan kuat untuk membangun dugaan bahwa orangtua tunggal yang dimaksud point dua

15 kebanyakan adalah ibu. Dengan kata lain hanya sebagian kecil saja anak-anak yang dibesarkan oleh ayah selaku orangtua tunggal (Amriel, 2011) 2. 3 Ayah 2. 3. 1 Pengertian Ayah Seorang ayah memiliki arti yang berbeda-beda seperti yang disampaikan oleh para ahli Knibiehler (dalam Lamb, 2010), menyatakan ayah adalah tokoh yang berkuasa dan memegang kekuasaan yang luar biasa dalam keluarga. Lain dengan Pleck dan Pleck (dalam Lamb, 2010), ayah di Eropa dan Amerika dipandang pada umumnya sebagai guru yang bermoral saat masa penjajahan Amerika Serikat. Dengan kesepakatan yang terkenal, yaitu ayah terutama bertanggung jawab untuk memastikan anak-anaknya tumbuh dengan perasaan yang sesuai dengan nilai, yang di dapat dari alkitab dan dari buku atau pelajaran lainnya. Ayah ditinjau dari pandangan biologis adalah pria yang menyumbang setengah dari materi genetik anak. Anak terbentuk dari gen wanita dan pria. Pria yang gennya membentuk seorang anak, itulah yang dimaksudkan sebagai ayah bagi anak tersebut (dalam Eagle & Leonard, 1995). Peneliti menyimpulkan berdasarkan definisi yang diungkapkan oleh para ahli bahwa ayah adalah seorang pria yang menyumbang setengah materi genetik anak, yang menjadi kepala dalam rumah tangga, panutan bagi anak-anaknya serta bertanggung jawab dalam keluarga. Ayah berdasarkan definisi diatas eksis pada komunitas yang patrilineal Jawa. Sedangkan pada masyarakat matrilineal peran ayah dapat dilihat pada masyarakat Minangkabau (Witrianto, 2005), perubahan dalam

16 kekerabatan Minangkabau, hubungan antara mamak (saudara laki-laki ibu) dan kemenakan (anak dari saudara perempuan) adalah hubungan yang saling mengikat. Mamak berkewajiban untuk mendidik kemenakannya sampai menjadi orang, dan untuk itu kemenakan dikehendaki untuk mematuhi segala nasihat dan arahan yang dilakukan oleh mamaknya. Dalam sebuah rumah gadang, mamak mempunyai tanggung jawab sebagai pemelihara dan pemberi kesejahteraan kepada warga rumah gadang itu. Segala yang berhubungan dengan kehidupan rumah gadang umumnya berada di bawah pengawasan mamak. Kedudukan suami dalam adat Minangkabau hanya sebagai sumando. Dalam keluarga istrinya, ia laksana pendatang dan tidak memiliki hak dalam arti luas untuk menentukan corak kehidupan rumah keluarga istrinya. Tempatnya yang sah adalah dalam garis keturunan ibunya, tempat dia berfungsi sebagai anggota laki-laki dalam garis keturunan ibunya. Secara tradisi, setidak-tidaknya tanggungjawab berada dalam garis keturunan ibunya. Perkawinan yang terjadi, pada masyarakat Minangkabau tidaklah menciptakan keluarga inti (nuclear family) yang baru, sebab suami atau istri tetap menjadi anggota dari garis keturunan mereka masing-masing. Oleh karena itu, pengertian tentang keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak sebagai suatu unit tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau secara tradisional, karena ayah selalu teriakat oleh garis-keturunan ibu yang lebih kuat. Sebagai akibatnya, anak-anak dihitung sebagai anggota garis-keturunan ibu dan selalu lebih banyak melekatkan diri kepada sang ibu serta anggota-anggota lainnya dalam garis keturunan itu.

17 Peran ayah tidak sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, anak dan istri tidak terlalu tergantung dan berharap lebih padanya. Untuk biaya hidup sehari-hari, termasuk biaya sekolah dan biaya seperti perkawinan, kematian, dan hari-hari besar keagamaan, ditanggung oleh keluarga besar istrinya. Peran mamak dalam keluarga besar secara umum sangat besar, dalam kehidupan sehari-hari anak lebih dekat dengan mamak daripada ayahnya. Proses globalisasi yang berbentuk multi dimensional telah mulai mengalir deras dalam darah kehidupan dunia. Proses itu tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, teknologi, dan politik, tetapi juga dimensi kebudayaan. Globalisasi telah membawa implikasi dalam kehidupan masyarakat. Sairin (2002), menyatakan bahwa perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat masyarakat dipicu oleh perbedaan yang tumbuh akibat dorongan dan dinamika kehidupan internal dan eksternal masyarakat. Dinamika suatu masyarakat dapat dipicu karena adanya pengakuan akan perbedaan. Konflik yang muncul dari suatu perbedaan akan menumbuhkan dan mendorong dinamika kehidupan masyarakat untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Masyarakat Minangkabau yang menganut pola kekerabatan matrilineal pun, tidak luput dari perubahan ini. Globalisasi yang melanda pedesaaan termasuk di Minangkabau menyebabkan meningkatnya kebutuhan hidup, seperti biaya pendidikan, rekening listrik, air, telepon, dan berbagai biaya lainnya. Dengan adanya kebutuhan-kebutuhan yang memerlukan upaya ekstra, menyebabkan seorang ayah di Minangkabau tidak sempat untuk mengawasi kemenakan-kemenakannya. Karena ayah sendiri memiliki banyak kegiatan yang cukup menyita waktunya seperti

18 pekerjaannya dalam mencari nafkah, serta mengawasi dan mendidik anakanaknya serta istrinya. Keinginan seorang ayah untuk menjadikan anaknya sebagai orang yang berpendidikan dan meraih sukses dalam kehidupan selanjutnya akan menyebabkan sebagian besar penghasilannya akan dicurahkan untuk kepentingan anak-anak dan istrinya. Faktor tersebut juga disebabkan karena anak-anaknya juga sudah jarang dibantu secara materi oleh mamak mereka yang pada umumnya pada saat ini juga lebih mementingkan biaya untuk anak dan istrinya terlebih dahulu daripada biaya untuk saudara dan kemenakannya. Faktor lainnya yang menyebabkan semakin menguatnya peran ayah di Minangkabau adalah kecenderungan pasangan-pasangan yang baru menikah untuk memilih pola menetap neolokal (menempati kediaman yang baru) dengan membentuk keluarga inti yang terpisah dari keluarga luas. Konsekuensi dari sistem ini adalah seorang ayah akan lebih sering berada di rumah anak-anak dan istrinya, apalagi jika rumah tersebut, ayah sendiri yang membangunnya. Akibatnya akan semakin jarang berkunjung ke rumah saudara-saudara dan kemenakankemenakannya, hubungannya menjadi tidak begitu dekat, sehingga tidak jarang dia akan bersikap seperti seorang tamu ketika mengunjungi kemenakan-kemenakannya. Namun terjadinya perubahan sosial atau globalisasi yang terjadi pada masyarakat Minangkabau tidak merubah sistem kekerabatan yang sudah sejak lama dianut oleh suku Minangkabau. Sampai sekarang masyarakat Minangkabau masih tetap memakai sistem kekerabatan matrilineal. Mereka tetap menarik garis keturunan berdasarkan garis ibu, sehingga seorang anak tetap memiliki suku yang sama dengan suku ibunya. Peran mamak dalam

19 suatu keluarga saat ini biasanya baru nampak pada saat-saat upacara adat, seperti acara perkawinan, kematian, aqiqah, khatam al-qur an, dan lain-lain. 2. 3. 2 Peran Ayah dalam Pengasuhan Peran ayah dalam keluarga menurut Benson (dalam Lamb, 2010), digambarkan lebih sebagai pencari nafkah, pengambil keputusan, penanaman disiplin, dan mengontrol perilaku anak. Peran sedemikian rupa mengakibatkan ayah, kurang memperhatikan perihal pengasuhan anak lazimnya pengasuhan anak lebih dominan pada ibu. Karena bagi ayah tugasnya hanya menyediakan kebutuhan ekonomi bagi keluarga dan tidak berperan langsung dalam pengasuhan anak. Menurut Saraff & Srivastava (dalam Sriram, 2011), kebanyakan ayah dalam konteks di perkotaan India Barat (Mumbai, baroda, dan Jaipur) menggambarkan seorang ayah ideal yang menyadari, memenuhi kebutuhan anak, menjadi teman, guru serta panutan bagi anak-anak. Selain itu peran ayah adalah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan, menjaga kesehatan, memberikan dukungan. Studi penelitian ayah di India melaporkan sejumlah ayah memiliki cita-cita yang positif (Mathur & Mathur, 2006; Sandhu, 2008; dalam Sriram, 2011), membimbing pendidikan anak, menjadi lebih terbuka dan ekspresif, memprioritaskan komunikasi, anak-anak terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler menetapkan lebih penting anak-anak serta peran ayah. Menurut Eagle & Leonard (1995), peranan seorang ayah dalam sebuah keluarga bermacam-macam, salah satunya yakni pengasuhan anak. Mendidik dan membesarkan seorang anak menjadi salah satu tanggung jawab seorang ayah sebagai kepala rumah tangga. Macam-macam faktor

20 yang mempengaruhi peran orangtua dalam pengasuhan yang juga dilakukan oleh ayah (Martin & Colbert, 1997) : 1. Faktor Sosial Ekonomi Faktor sosial ekonomi mempengaruhi peran ayah, karena berhubungan dengan sumber keuangan dan sikap pengasuhan yang berbeda. Hasil dari beberapa penelitian menemukan bahwa orangtua yang berasal dari golongan sosial ekonomi menengah lebih bersikap hangat, terbuka pada hal-hal baru, menekankan pada perkembangan kemandirian, keingintahuan dan kompetensi sosial anak daripada orangtua dari golongan sosial ekonomi bawah. Sedangkan orangtua dari kelas sosial ekonomi bawah, jarang sekali memberikan kesempatan pada anak untuk mengekspresikan diri, lebih sering memberikan batasan yang ketat atau terlalu membebaskan anak. Karena tidak peduli urusan anak, penekanan pada rasa hormat dan patuh terhadap otoritas dan cara memenuhi kebutuhan anak secepatnya tanpa ada diskusi. Meskipun para ilmuwan sosial, tidak sepenuhnya setuju pada hasil yang diperoleh tentang status sosial ekonomi, dan mereka telah mengusulkan beberapa mekanisme yang berbeda menghubungkan kesejahteraan status sosial ekonomi anak. Kesepakatan bahwa anakanak dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi memiliki akses lebih dari sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung perkembangan positif mereka daripada anak-anak dengan status sosial ekonomi rendah. Untuk anak muda, diasumsikan bahwa status sosial ekonomi banyak berpengaruh pada pengembangan diantaranya langsung melalui orangtua yang mampu dengan memberikan modal finansial. Sejumlah

21 penelitian telah menunjukkan hubungan status sosial ekonomi untuk kesehatan, psikologis kesejahteraan, dan pencapaian sosial dan budaya. Karya teoritis dan empiris telah menekankan bahwa situasi sosial ekonomi pada keluarga berdampak terhadap cara orangtua membesarkan anak-anak mereka (Bronfenbrenner & Morris, 1997; Elder, 1996; Elder & Conger, 2000; Kohn 1977 dalam Martin & Colbert 1997). Pengembangan individu dibentuk oleh proses-proses yang dipengaruhi oleh status sosial ekonomi dan yang terjadi dalam konteks sosial utama, termasuk keluarga, sekolah, dan lingkungan (Alwin & Thornton, 1984; Bidwell & Friedkin, 1989; Blau & Duncan, 1967; Demo & Acock, 1996; Duncan, Brooks-Gunn, & Klebanov, 1994 dalam Martin & Colbert 1997). Kelas sosial telah menjadi salah satu prediktor yang paling kuat dari status kesehatan baik untuk orang dewasa dan anak-anak (Bunker, Gomby, & Kehrer, 1989; Pappas, Queen, Hadden, & Fisher, 1993; Williams, 1990 dalam Martin & Colbert 1997). 2. Faktor Pendidikan Ayah dengan latar belakang pendidikan tinggi diasumsikan lebih banyak membaca dan mengikuti kemajuan pengetahuan perkembangan anak menurut Martin & Colbert (1997), sehingga ayah lebih siap karena ayah memiliki pengetahuan yang luas. Sedangkan ayah yang berlatar belakang pendidikan terbatas, memiliki pengetahuan dan pengertian yang terbatas tentang kebutuhan dan perkembangan anak. 3. Faktor Sejarah Perkembangan Simons, Beaman, Conger & Chao (dalam Martin & Colbert, 1997) mengemukakan bahwa transmisi pengasuhan antar generasi dapat

22 muncul baik sebagai hasil dari pengalaman belajar langsung atau karena hubungan awal di masa kecil yang berpengaruh pada perkembangan sosial dan emosional orangtua. Barber (1997) mengemukakan bahwa dalam pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua, serta pengasuhan yang dilakukan oleh ayah memiliki tiga dimensi utama dalam penalaran moral remaja. Diantaranya tiga dimensi itu adalah : 1. Kehangatan membentuk suatu hubungan interpersonal Kehangatan membentuk suatu hubungan interpersonal yang digambarkan oleh individu, terasa dekat karena adanya emosional, hubungan tersebut sangat penting bagi seorang anak (Collins & Repinski, dalam Barber, 1997). 2. Peraturan Peraturan dilakukan dengan cara mengukur berbagai aspek seperti mengontrol perilaku anak, melakukan monitor, serta penetapan peraturan. Tidak adanya peraturan yang ditetapkan dalam suatu lingkungan sosial, maka anak tidak akan belajar untuk mengontrol diri. Cenderung bertindak impulsif, mudah dipengaruhi, dan cenderung melakukan tindakan-tindakan anti sosial (Baber & Olsen, 1997). 3. Kemandirian psikologis Menurut Barber, Maccoby dan Martin (dalam Barber & Olsen, 1997) seorang anak diberikan kesempatan untuk merasakan, menghargai serta mengekspresikan pendapat

23 dan emosi yang dirasakan, maka akan membantu dalam terbentuknya percaya diri serta identitas diri yang stabil. Hal tersebut dinamkan kemandirian psikologis. Orangtua tunggal yang menjalakan perannya seorang diri dalam pengasuhan membutuhkan dukungan sosial khususnya dari keluarga. Seperti pernyataan yang disampaikan oleh Seccombe dan Warner (2004), menyatakan bahwa nenek dan kakek memiliki peran penting sebagai anggota keluarga yang memberikan keuntungan bagi anak. Bahkan terdapat beberapa keluarga dengan orang tua tunggal yang tinggal bersama keluarga besar yaitu dengan kakek, nenek maupun saudara lainnya (Pinsof & Lebow, 2005). 2. 3. 3 Pengaruh Self-Efficacy Pada Orangtua Tunggal Pengaruh self-efficacy pada orangtua tunggal dapat dilihat pada kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut dalam melakukan perannya selaku orangtua tunggal. Self-efficacy, yaitu keyakinan individu pada kemampuan yang dimilikinya untuk secara efektif melakukan kontrol terhadap keadaan, kondisi spesifik baik dalam menjalankan atau menyelesaikan tugas ataupun pekerjaan dalam kehidupannya, tanpa memperhatikan hasil yang akan diperolehnya (Bandura, 1997). Self-efficacy memberikan kontribusi terhadap pemilihan tugas tertentu. Individu yang memiliki self-efficacy rendah akan menjauhi tugas-tugas yang membutuhkan upaya ekstra dan cenderung menyerah ketika menghadapi kesulitan. Sebaliknya, individu yang memiliki self-efficacy tinggi tidak akan menghadapi masalah baginya apabila dihadapkan pada tugas yang sulit dan tidak

24 menyenangkan. Dengan kelebihan-kelebihan pemilik self-efficacy tersebut, ia akan berusaha mewujudkan yang dimilikinya secara optimal (Katris, 2004). Dapat disimpulkan bahwa ayah selaku orangtua tunggal apabila memiliki self-efficacy rendah, akan menjauh dari tugas yang terasa sulit dan membutuhkan upaya ekstra. Sedangkan self-efficacy yang tinggi pada ayah sebagai orangtua tunggal, menunjukan sikap sukarela dalam menjalankan tugas baik dalam peran yang sulit dan tidak menyenangkan. Karena dengan self-efficacy yang tinggi, orangtua tunggal akan melakukanya dan berusaha keras mewujudkan harapanya.