BAB II URAIAN TEORITIS. materil maupun spiritual (GBHN), pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang ini

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

Prinsip keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan. perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang mereformasi

BAB I PENDAHULUAN. di berbagai bidang memerlukan tenaga yang berkualitas, yaitu manusia yang dapat. kualitas sumber daya manusia yang tinggi pula..

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 5 TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

5.1 ARAH PENGELOLAAN APBD

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diharapkan

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Good governance sering diartikan sebagai tata kelola yang baik. World

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB V PENDANAAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian yang serius. Orientasi pembangunan lebih banyak diarahkan

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan desentralisasi yang ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG KEUANGAN DAN ASET DESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pada potensi daerah dengan sumber daya yang berbeda-beda. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemerintahan Kota Surakarta) dalam penelitiannya menyimpulkan sebagai berikut

Transkripsi:

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1. Good Governance Dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencapai masyarakat yang adil dan makmur baik materil maupun spiritual (GBHN), pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang ini mempunyai arti tersendiri karena memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas. Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih menyiapkan diri sehingga mampu mengantisipasi sedini mungkin segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam persaingan, baik persaingan yang datang dari luar negeri maupun persaingan yang datang dari dalam negeri sendiri. Pengertian governance dapat diartikan sebagai cara mengelola urusan publik. Menurut World Bank, defenisi governance sebagai the way state power is used in managing economic and social resources for development of society. Sedangkan United Nation Development Program(UNDP) mendefenisikan governance sebagai the exercise of political, economic, dan administrative authority to manage a nation s affair at all levels. Dalam hal ini, World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan administratif dalam pengelolaan negara. Political governance mengacu pada proses pembuatan

kebijakan. Economic governance mengacu pada proses pembuatan keputusan di bidang ekonomi yang berimplikasi pada masalah pemerataan, penurunan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup. Administrative governance mengacu pada sistem implikasi kebijakan. Jika mengacu pada World Bank dan UNDP, orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance. Pengertian good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. Sementara World Bank mendefenisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran, serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Suatu negara dengan wilayah yang luas membutuhkan suatu sistem pemerintahan (governance) yang baik. Sistem ini sangat diperlukan setidaknya oleh dua hal : pertama sebagai alat untuk melaksanakan berbagai pelayanan publik di berbagai daerah. Kedua sebagai alat bagi masyarakat setempat untuk dapat berperan aktif dalam menentukan arah dan cara mengembangkan taraf hidupnya sendiri selaras dengan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam koridor kepentingan-kepentingan nasional. Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu:

1. meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat 2. menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah 3. memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dalam rangka pertanggungjawaban publik, Pemerintah Daerah harus melakukan optimalisasi anggaran yang dilakukan secara ekonomi, efisiensi, dan efektivitas (value for money) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengalaman yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa manajemen keuangan daerah masih memprihatinkan. Anggaran daerah khususnya pengeluaran daerah belum mampu berperan sebagai insentif dalam mendorong laju pembangunan di daerah. Di sisi lain banyak ditemukan pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas dan kurang mencerminkan aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, karena kualitas perencanaan anggaran daerah relatif lemah. Lemahnya perencanaan anggaran juga diikuti dengan ketidakmampuan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan. Sementara pengeluaran daerah terus meningkat sehingga hal tersebut meningkatkan fiscal gap. Keadaan ini pada akhirnya akan menimbulkan underfinancing atau overfinancing yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat ekonomi, efisiensi dan efektivitas unit kerja Pemerintah Daerah. Pembahasan yang sehubungan dengan efisien dan efektivitas ditinjau dari aspek sistem pengelolaan keuangan daerah memang telah banyak dilakukan diantaranya adalah Insukindro dkk. (1994) membahas mengenai pajak dan retribusi sebagai sumber utama

PAD, menemukan bahwa pada umumnya peran retribusi daerah lebih dominan dalam menentukan besaran PAD. Sumbangan PAD terhadap total penerimaan APBD rendah, karena upaya merealisasikan peningkatan PAD tidak didasarkan pada potensi PAD, tetapi ditargetkan berdasarkan realisasi tahun sebelumnya. Medi (1996) meneliti kinerja pengelolaan keuangan daerah, bahwa untuk mencapai efisiensi pengelolaan keuangan daerah maka pengeluaran-pengeluaran yang tidak bermanfaat sedapat mungkin dapat dikurangi untuk mencapai efektivitas perlu menggali sumber-sumber pendapatan baru. 2.2. Keuangan Daerah 2.2.1. Pengertian Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah Menurut Jaya (1999:11), keuangan daerah adalah seluruh tatanan, perangkat kelembagaan dan kebijaksanaan anggaran daerah yang meliputi pendapatan dan belanja daerah. Menurut Mamesah (1995:16) keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/ dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi, serta pihak lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mardiasmo (2000:3) mengatakan dalam pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah : 1. pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu kepada kepentingan publik (public oriented);

2. kejelasan tentang misi pengelolaan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya; 3. desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan perangkat daerah lainnya; 4. kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas; 5. kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH, dan PNS Daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya; 6. ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan anggaran multi tahunan; 7. prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional; 8. prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik; 9. aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan; 10. pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi.

Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah itu sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas,dkk. (1989:279-280) adalah sebagai berikut : 1. Tanggung jawab (accountability) Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan sah, lembaga atau orang yang sah itu adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah, dan masyarakat umum. 2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan (HO) Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang, maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan. 3. Kejujuran Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai-pegawai yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya. 4. Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency) Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dengan waktu yang secepat-sepatnya. 5. Pengendalian Aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus dapat melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai.

Dasar hukum yang digunakan dalam pengelolaan keuangan daerah di mana merupakan perwujudan dari rencana kerja keuangan tahunan pemerintah daerah, selain berdasarkan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku juga berdasarkan pada: 1. UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; 2. UU RI Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom; 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah; 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan; 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2000 tentang Informasi Keuangan Daerah. 2.2.2. Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah Indikasi keberhasilan otonomi daerah adalah adanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Kehidupan hanya akan tercapai apabila lembaga sektor publik dikelola dengan memperhatikan Value for money (VFM). Konsep VFM tersebut penting bagi

pemerintah sebagai pelayan masyarakat, karena implementasi konsep tersebut memberikan manfaat: 1. Efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan tepat sasaran; 2. Meningkatkan mutu pelayanan publik; 3. Biaya pelayanan yang murah karena hilangnya inefisiensi dan penghematan dalam penggunaan resources; 4. Alokasi belanja yang berorientasi pada kepentingan publik; dan 5. Meningkatkan public cost awarness sebagai pelaksanaan pertanggungjawaban publik. Dalam konteks otonomi daerah, VFM merupakan jembatan untuk menghantarkan Pemerintah Daerah mencapai Good Governance, yaitu Pemerintah Daerah yang transparan, ekonomis, efisien, efektif, responsif, dan akuntabel. VFM tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Akuntabilitas publik merupakan kata kunci, karena pemerintah sebagai pengemban amanat masyarakat bertanggung jawab atas kinerja yang telah dilakukannya, hal tersebut karena pemerintah berkewajiban untuk mengelola dana masyarakat dalam rangka menjalankan pemerintahannya. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana mayarakat yang mendasarkan konsep VFM, maka diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja (performance budget). Anggaran kinerja tersebut adalah untuk mendukung terciptanya akuntabilitas publik Pemerintah Daerah dalam rangka otonomi daerah dan desentralisasi.

Anggaran daerah merupakan desain teknis untuk pelaksanaan strategi, sehingga apabila pengeluaran pemerintah mempunyai kualitas yang rendah, maka kualitas pelaksanaan fungsi-fungsi Pemerintah Daerah juga cenderung melemah yang berakibat kepada wujud daerah dan Pemerintah Daerah di masa yang akan datang akan sulit untuk dicapai. 2.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Seperti yang diketahui, anggaran daerah adalan rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). APBD pada hakekatnya merupakan instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu DPRD dan Pemerintah Daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi daerah masing-masing serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Sebagai instrumen kebijakan, Anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran

standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi prioritas dan prefensi daerah yang bersangkutan. Peran anggaran dalam penentuan arah dan kebijakan Pemerintah Daerah, tidak terlepas dari kemampuan anggaran tersebut dalam mencapai tujuan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah perlu memperhatikan bahwa pada hakekatnya anggaran daerah merupakan perwujudan amanat rakyat pada pihak eksekutif dan legislatif untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarakat dalam batas otonomi daerah yang dimiliknya. Dalam upaya pemerintah daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut: 1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu kepada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah. 2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya. 3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda, dan perangkat daerah lainnya.

4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan pengelolaan uang daerah yang berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas. 5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH, dan PNS Daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya. 6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan anggaran multi tahunan. 7. Prinsip penggunaan dan pengelolaaan barang daerah yang lebih profesional. 8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, dan akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik. 9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peranan asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudahkan mendapatkan informasi. 2.3.1. Prinsip Penyusunan APBD berikut: Penyusunan APBD harus memperhatikan prinsip penyusunan APBD sebagai

a. Partisipasi masyarakat Hal ini mengandung makna bahwa pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan penetapan APBD sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan hak dan kewajibannya dalam pelaksanaan APBD. b. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran APBD yang disusun harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada setiap jenis belanja dan korelasi antara besar anggaran dan manfaat serta hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu, setiap penggunaan anggaran harus bertanggung jawab terhadap penggunaan sumber daya yang dikelola untuk mencapai hasil yang ditetapkan. c. Disiplin anggaran Beberapa prinsip dalam disiplin anggaran yang perlu diperhatikan antara lain: 1.) Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja; 2.) Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit anggarannya dalam APBD/ perubahan APBD;

3.) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas umum daerah. d. Keadilan Daerah Pajak daerah, retribusi daerah, dan pungutan daerah lainnya yang dibebankan kepada masyarakat harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar. Masyarakat yang memiliki kemampuan pendapatan rendah secara proporsional diberi beban yang sama, sedangkan masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk membayar tinggi diberikan beban yang tinggi pula. Untuk menyeimbangkan kedua kebijakan tersebut pemerintah dapat melakukan perbedaan tarif secara rasional guna menghilangkan rasa ketidakadilan. Selain daripada itu dalam mengalokasikan belanja daerah harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi pemberian pelayanan. e. Efisien dan Efektivitas Anggaran Dana yang tersedia harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran dalam perencanaan anggaran perlu memperhatikan: 1.) Tujuan, sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai;

2.) Penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional. f. Taat Azas APBD sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah, memperhatikan: 1.) APBD tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, mengandung arti apabila pendapatan, belanja dan pembiayaan dicantumkan dalam rancangan peraturan daerah tersebut telah sesuai dengan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, atau peraturan/ keputusan/ surat edaran menteri yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dimaksud mencakup kebijaksanaan yang berkaitan dengan keuangan daerah. 2.) APBD tidak bertentangan dengan kepentingan umum, mengandung arti bahwa rancangan peraturan daerah tentang APBD lebih diarahkan agar mencerminkan keberpihakan dan kepentingan masyarakat dan bukan untuk membebani masyarakat. Peraturan daerah tidak boleh menimbulkan diskriminasi yang dapat mengakibatkan ketidakadilan, menghambat kelancaran arus barang dan pertumbuhan ekonomi masyarakat, pemborosan keuangan negara/daerah, memicu

ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah, dan mengganggu stabilitas keamanan serta ketertiban masyarakat yang secara keseluruhan mengganggu jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. 3.) APBD tidak bertentangan dengan peraturan daerah lainnya, mengandung arti bahwa apabila kebijakan dituangkan dalam peraturan daerah tentang APBD tersebut telah sesuai dengan ketentuan peraturan daerah sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Sebagai konsekuensinya bahwa rancangan peraturan daerah tersebut harus sejalan dengan pengaturannya tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah dan menghindari adanya tumpang tindih dengan peraturan lainnya, seperti Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan sebagainya. 2.3.2. Azas Desentralisasi dan Sumber-sumber Penerimaan Pemerintahan Daerah UU No. 32 tahun 2004 yang mengarah kepada pembiayaan penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi, adalah dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) sebagaimana tercantum dalam pasal 155 ayat (1) dan (2). Sedangkan sumber pendapatan daerah tercantum dalam pasal 157 sebagai berikut : 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu: (a) Hasil pajak daerah,

(b) Hasil retribusi daerah, (c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan (d) Lain-lain PAD yang sah. 2. Dana perimbangan terdiri dari : (a) dana perimbangan, (b) DAU, (c) DAK, dengan penjelasan sebagai berikut : - Dana bagi hasil bersumber dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21, pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri, selain dari pajak, dana-dana bagi hasil juga diperoleh dari sumber daya alam yang antara lain berasal dari penerimaan kehutanan, penerimaan pertambangan umum, penerimaan perikanan, peneriman pertambangan minyak, penerimaan pertambangan gas alam dan penerimaan pertambangan gas bumi. - Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Umum diberikan kepada daerah ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90%. - Dana Alokasi Khusus (DAK) DAK dialokasikan untuk membantu pembiayaan kebutuhan tertentu yaitu merupakan program nasional atau program/kegiatan yang tidak terdapat di daerah lain. - Pinjaman Daerah

Berdasarkan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, kepada pemerintah daerah diberikan hak untuk melakukan pinjaman daerah untuk menutupi celah fiskal di APBD. Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan. Pinjaman daerah yang dilakukan pemerintah daerah dapat bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Pinjaman dalam negeri dapat bersumber dari pemerintah pusat dan/atau lembaga komersil atau melalui penerbitan obligasi daerah. Pinjaman dalam negeri (tidak termasuk obligasi daerah) dilakukan melalui dana tersedia dalam Rekening Pembangunan Daerah (RPD) yang dikelola departemen keuangan atau melalui pinjaman komersil dari bank-bank pemerintah maupun swasta. Sedangkan obligasi daerah adalah pinjaman daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Untuk pinjaman luar negeri, menurut UU No. 33 tahun 2004 pasal 55, daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri. Sumber pinjaman dari luar negeri yang dibutuhkan oleh daerah dilakukan oleh pemerintah pusat atau yang lebih dikenal dengan Subsidary Loan Agreement (SLA), kemudian diteruskan kepada pemerintah daerah. - Lain-lain Pendapatan Lain-lain pendapatan terdiri dari pendapatan hibah dan pendapatan Dana Darurat. Pendapatan Hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat, sumbernya

berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Untuk pendapatan hibah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah pusat. Pendapatan dana darurat dari APBN yang digunakan untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan hanya mengandalkan sumber dana APBD. Bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa, ditetapkan oleh Presiden. 2.3.3. Efisiensi APBD Efisiensi meliputi beberapa hal sebagaimana yang dikutip oleh Bana (2001:20) sebagai berikut: a. Efisiensi pada sektor usaha swasta (private sector efficiency). Efisiensi pada sektor usaha swasta dijelaskan dengan konsep input output, yaitu rasio dari output dan input; b. Efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat (pulic sector efficiency). Efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan baik dengan pengorbanan seminimal mungkin. c. Suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai sasaran (output), dengan biaya (input) yang rendah atau dengan biaya (input) minimal diperoleh hasil (output) yang diinginkan. Adapun faktor penentu efektivitas dan efisiensi sebagaimana yang dikutip oleh Bana (2001:21) sebagai berikut:

A. faktor sumber daya, baik sumber daya manusia seperti tenaga kerja, kemampuan kerja, maupun sumber daya fisik seperti peralatan kerja, tempat kerja serta ketersediaan dana; B. faktor struktural organisasi yaitu susunan yang stabil dari jabatan-jabatan, baik yang struktural maupun fungsional; C. faktor teknologi dalam pelaksanaan pekerjaan/tugas; D. faktor dukungan kepada aparatur dan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, baik dari pimpinan maupun dari masyarakat; E. faktor pimpinan dalam arti adanya kemampuan untuk mengkombinasikan keempat faktor di atas ke dalam suatu usaha yang dapat berdaya guna dan berhasil guna untuk percepatan pencapaian sasaran/tujuan. 2.4. Sumber Daya Manusia Dalam konteks pembangunan nasional, pembangunan manusia yang seutuhnya,kemampuan profesional dan kematangan kepribadian saling memperkuat satu sama lain. Profesionalisme dapat turut membentuk sikap dan perilaku serta kepribadian yang tangguh, sementara kepribadian yang tangguh merupakan prasyarat dalam membentuk profesionalisme. Minimal ada empat kebijaksanaan pokok dalam upaya peningkatan sumber daya manusia, yaitu :

a. peningkatan kualitas hidup yang meliputi baik kualitas manusianya seperti jasmani, rohani dan kejuangan, maupun kualitas kehidupannya seperti perumahan dan pemukiman yang sehat; b. peningkatan kualitas SDM yang produktif dalam upaya pemerataan penebarannya; c. peningkatan kualitas SDM yang berkemampuan dalam memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai IPTEK yang berwawasan lingkungan; serta d. pengembangan pranata yang meliputi kelembagaan dan perangkat hukum yang mendukung upaya peningkatan kualitas SDM. Kebijaksanaan ini merupakan kebijaksanaan yang bersifat lintas sektoral dan menjadi dasar keterpaduan kebijaksanaan dan program yang bersifat sektoral. Secara operasional, upaya peningkatan SDM dilakukan melalui berbagai sektor pembangunan antara lain sektor pendidikan; kesehatan; kesejahteraan sosial; kependudukan; tenaga kerja; dan sektor-sektor pembangunan lainnya. Kebijaksanaan dalam peningkatan kualitas hidup, antara lain meliputi : a. pembangunan pendidikan akan memperhatikan arah pembangunan ekonomi di masa mendatang, dalam arti responsif terhadap dinamika pembangunan dan permintaan pasar kerja, sehingga sesuai dengan kebutuhan (demand driven); b. pembangunan kesehatan mendapat perhatian dengan menanamkan budaya hidup sehat, serta memperluas cakupan dan mutu pelayanan kesehatan terutama kepada penduduk miskin dan daerah terpencil;

c. untuk penduduk miskin, peningkatan kualitasnya dilakukan dengan cara memberikan ketrampilan praktis, menumbuhkan sikap produktif, serta mendorong semangat keswadayaan dan kemandirian untuk bersama melepaskan diri dari kemiskinan; d. menekan laju pertumbuhan penduduk dengan meningkatkan pelaksanaan gerakan keluarga berencana, serta meningkatkan keseimbangan kepadatan dan penyebaran penduduk antara lain melalui transmigrasi dan industri di pedesaan. Secara umum, peningkatan produktivitas tenaga kerja dilakukan dengan peningkatan kemampuan/keterampilan disiplin, etos kerja produktif, sikap kreatif dan inovatif, dan membina lingkungan kerja yang sehat untuk memacu prestasi. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas, maka koordinasi antar lembaga pemerintah, maupun antar lembaga-lembaga di masyarakat dalam pengembangan SDM perlu lebih dikembangkan. Masyarakat, termasuk dunia usaha (swasta), koperasi dan organisasi kemasyarakatan lainnya didorong untuk lebih partisipatif dalam berbagai upaya peningkatan kualitas SDM. Aspek sumber daya manusia (SDM), adanya kemampuan aparat pengelola walaupun belum memadai sesuai dengan kebutuhan tiap unit/ satuan kerja daerah, tetapi pengelolaan keuangan daerah dapat memberikan pelayanan yang sebaik mungkin kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi penerimaan daerah sendiri serta tingkat efisiensi dan efektivitas yang semakin meningkat setiap tahun anggaran namun demikian perlu ada pembenahan dalam artian daerah harus memanfaatkan kewenangan yang diatur dalam UU RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pasal 76

yaitu daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji dan tunjangan kesejahteraan pegawai serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.