1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah Indonesia terdiri atas gugusan pulau-pulau besar maupun kecil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Gugusan pulau-pulau yang dimiliki Indonesia terdiri atas 13.487 pulau, banyak di antaranya belum berpenghuni dan belum diberi nama. Meski demikian, Indonesia memiliki lima pulau besar yaitu Pulau Kalimantan, Pulau Papua, Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa yang telah berkembang dan memiliki suku, budaya serta tradisi yang berbeda ditiap-tiap pulaunya. Keragaman suku di Indonesia disertai dengan keragaman budaya, sedangkan keragaman budaya mempengaruhi keragaman hukum adatnya. Hukum adat di Indonesia itu mencerminkan prinsip kekeluargaan, gotong royong dan tenggang rasa. Hal ini tercermin sebagaimana yang diatur dalam hukum adat adalah kehidupan sehari-hari dari masyarakat, maka dikenal dengan istilah bahwa hukum adat merupakan unsur penting dalam pemberian identitas suatu bangsa. Tiap-tiap suku memiliki adatnya sendiri-sendiri, sehingga adat dari satu suku berbeda dengan adat dari suku yang lain. Hukum adat berasal dari dua suku kata, yaitu hukum dan adat. Secara etimologi hukum berasal dari bahasa Arab yaitu huk mun yang artinya menetapkan. Kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi hukum yang berarti peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang
2 dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. 1 Sedangkan menurut Jalaluddin Tunsam (seorang yang berkebangsaan Arab yang tinggal di Aceh dalam tulisannya pada tahun 1660), adat berasal dari bahasa Arab,عادات bentuk jamak dari عاد ة (adah), yang berarti cara atau kebiasaan. 2 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adat itu berarti aturan (perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. 3 Kemudian diperkuat dengan pendapat menurut Otje Salman Soemandiningrat: adat adalah kebiasaan masyarakat dan kelompok masyarakat yang mempunyai kekuatan mengikat, sehingga lama kelamaan menjadikan adat itu sebagaimana yang seharusnya berlaku bagi anggota masyarakat dan akhirnya menjadi hukum adat. Kebiasaan betul-betul mempunyai sifat sebagai hukum apabila kebiasaan tersebut dirasakan sebagai suatu kewajiban yang harus ditaati, karena adanya pengukuhan dari pimpinan masyarakat. 4 Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum adat merupakan suatu adat dari masyarakat yang dipertahankan dan dilakukan terus menerus secara turun temurun hingga mendarah daging, apabila dilanggar akan disertai dengan sanksi adat. Hukum adat itu lazimnya mengatur dan mewarnai tiap aspek kehidupan masyarakat hukum adatnya. Pada kehidupan manusia ada tiga aspek yang sangat penting, yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian. Sejak dilahirkan manusia tidak dapat hidup sendiri karena selain sebagai makhluk individu manusia juga merupakan makhluk sosial. Sudah menjadi kodratnya, manusia akan selalu hidup bersama dengan manusia yang lain. Hidup bersama ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. 1 Anonim, http://kbbi.web.id/, diakses tanggal 3 Juli 2012 2 Jalaluddin Tunsam, http://id.wikipedia.org/wiki/adat, diakses tanggal 5 Juli 2012 3 Anonim, Loc.cit, diakses tanggal 3 Juli 2012 4 Otje Salman Soemandiningrat, 2002, Rekapitulasi Hukum Adat Kontemporer Cetakan Kesatu, Alumni, Bandung, hlm 11
3 Menurut sifatnya, kebutuhan hidup manusia dibagi menjadi dua, yaitu kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Kebutuhan jasmani meliputi kebutuhan akan makanan, minuman, berpakaian, dan tempat tinggal, sedangkan kebutuhan rohani meliputi kebutuhan untuk beribadah, rekreasi, kesenian, hiburan serta kebutuhan akan kasih sayang. Pada sebagian manusia di suatu masa akan timbul kebutuhan rohani untuk hidup bersama dengan manusia yang lain, yang berlainan jenis kelaminnya. Bagi laki-laki dan perempuan yang telah merasa siap secara lahir dan batin, akan segera melangsungkan perkawinan untuk mewujudkan impian tersebut. Perkawinan secara umum merupakan ikatan sosial atau perjanjian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan maksud untuk membentuk suatu keluarga. Perkawinan juga tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat rohaniah saja, tetapi lebih dari itu adanya kemampuan untuk dapat membangun suatu ikatan lahir dan batin diantara dua individu yang mempunyai latar belakang yang berbeda agar keluarga yang terbentuk dapat bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan hal tersebut kedewasaan individu mempunyai peran yang penting dalam membentuk suatu keluarga. Perkawinan yang sukses bagaimanapunjuga tidak dapat diharapkan dari mereka yang kurang dewasa, untuk itu suatu perkawinan haruslah dimasuki dengan suatu persiapan yang matang. 5 Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria 5 Sution Usman Adji, 1974, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Liberty, Yogyakarta, hlm 20
4 dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa arti perkawinan yang dimaksudkan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir batin yang dimaksud adalah dalam perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan batinnya saja, akan tetapi haruslah keduanya sehingga akan muncul pondasi yang kuat dalam membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sedangkan tujuan perkawinan yang dimaksudkan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Tujuan membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal, memiliki anak menjadi dambaan bagi setiap pasangan suami istri. Kehadiran anak memiliki arti yang sangat penting, karena kehadiran anak berfungsi untuk meneruskan garis keturunan, sebagai penerus tradisi keluarga, hiburan dan jaminan dihari tua, serta dapat saling menyalurkan kebutuhan akan kasih sayang dan rasa persaudaraan. Selain itu, kehadiran anak akan bertambah lagi fungsinya, yaitu sebagai penerus harta warisan orang tuanya yang telah meninggal dunia. Pada tahap ini hubungan antara orang tua dan anak menjadi lebih luas, yaitu hubungan antara pewaris dan ahli warisnya. Sistem pewarisan di Indonesia bermacam-macam, tergantung dari sistem kekerabatannya. Di Indonesia dikenal tiga sistem kekerabatan, yaitu sistem kekerabatan patrilineal, matrilineal, dan parental. Sistem kekerabatan ini
5 mempengaruhi bentuk perkawinan. Secara garis besar ada tiga macam bentuk perkawinan di Indonesia, yaitu perkawinan dengan pembayaran jujur, perkawinan semenda, dan perkawinan mentas atau mencar. Sistem dan bentuk perkawinan yang berbeda-beda itu disebabkan oleh kemajemukan suku dan hukum adat. Kemajemukan suku dan hukum adat di Indonesia menjadikan Indonesia bangsa yang unik dan kaya, sehingga selalu menarik untuk diteliti, khususnya kemajemukan suku Dayak di Kalimantan Barat. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah 146.807 km² (7,53% luas Indonesia), dengan mayoritas penduduknya adalah suku Dayak. Terdapat kurang lebih 77 sub suku Dayak yang ada di Kalimantan Barat, dengan berbagai budaya dan bahasa yang berbeda. Salah satu sub suku Dayak yang ada di Kalimantan Barat adalah Dayak Jangkang. Keberadaan Dayak Jangkang atau dikenal juga dengan sebutan Obi Jongkakng memang tidak asing lagi bagi masyarakat Kalimantan Barat. Hal ini disebabkan wilayah penyebaran dan penduduknya cukup banyak. Terdapat di bagian utara Kabupaten Sanggau, dengan Ibu kota Kecamatan Balai Sebut yang terdiri dari sebelas desa yaitu: Balai Sebut, Empiyang, Jangkang Benua, Ketori, Pisang, Sape, Selampung, Semirau, Semombat, Tanggung dan Terati. Bentuk perkawinan pada masyarakat adat Dayak Jangkang adalah mentas/mencar yang artinya setelah menikah pasangan suami istri tersebut keluar dari keluarga kedua belah pihak untuk tinggal sendiri membentuk
6 rumah tangganya secara mandiri. 6 Pada masyarakat adat Dayak Jangkang syarat utama untuk melakukan perkawinan adalah kedewasaan, terutama bagi mempelai laki-laki. Dahulu kedewasaan seseorang tidak dilihat dari umurnya karena dulu tidak dapat diketahui secara pasti tanggal kelahiran seseorang. Seorang laki-laki dinilai telah dewasa bila sudah mampu berladang, menyiapkan perangkat atau alat-alat perladangan seperti beliung, kapak, parang dan sebagainya. Peralatan ketika itu tidak dibeli melainkan harus dibuat sendiri. Ukuran inilah yang biasa dipakai dalam menilai dewasa atau tidaknya seseorang. Selain mengatur mengenai perkawinan, hukum adat masyarakat Dayak Jangkang juga mengatur tentang pewarisan karena masyarakat adat Dayak Jangkang menyadari bahwa sebagai mahkluk hidup, manusia tidak luput dari kematian. Ketika seseorang meninggal maka akan meninggalkan harta peninggalan. Uniknya dengan sistem kekerabatan mereka yang bilateral justru sistem pewarisan pada masyarakat adat Dayak Jangkang adalah kolektif dan bukan individual layaknya sistem pewarisan pada masyarakat bilateral pada umumnya. 7 Berdasarkan uraian tersebut di atas, terbukti bahwa di era globalisasi seperti sekarang ini masyarakat adat Dayak Jangkang masih memegang teguh hukum adatnya. Namun sayangnya tidak banyak literatur dan bahan bacaan yang membahas secara rinci mengenai hal itu, maka peneliti merasa hukum adat mengenai perkawinan dan penerusan harta peninggalan yang terdapat 6 Hasil wawancara dengan Narasumber (tokoh adat) Bapak Lukas tanggal 23 Juli 2012 7 Hasil wawancara dengan Narasumber (tokoh adat) Bapak Lukas tanggal 23 Juli 2012
7 dalam masyarakat adat Dayak Jangkang merupakan suatu kajian yang menarik dan perlu untuk diadakan suatu penelitian. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Mengapa bentuk perkawinan pada masyarakat adat Dayak Jangkang di Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat adalah perkawinan mentas/mencar? 2. Bagaimana pelaksanaan penerusan harta peninggalan pada masyarakat adat Dayak Jangkang di Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat? 3. Bagaimana cara penyelesaian sengketa dalam penerusan harta peninggalan pada masyarakat adat Dayak Jangkang di Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat? C. Keaslian Penelitian Penelitian dan penulisan hukum peneliti berkaitan dengan Perkawinan dan Penerusan Harta Peninggalan Pada Masyarakat Adat Dayak Jangkang di Kecamatan Jangkang Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat. Sepanjang penelusuran kepustakaan yang dilakukan, belum pernah ada yang mengangkat dan membahas tentang penelitian yang serupa dengan yang diteliti oleh peneliti. Adapun yang pernah diteliti terkait dengan pelaksanaan perkawinan dan pewarisan adalah penelitian yang dilakukan oleh:
8 1. Antoni Yoseph, Mahasiswa Pasca Sarjana Program Magister Kenotariatan tahun 2012, penelitiannya berkaitan tentang Bentuk-Bentuk Perkawinan dan Pembagian Waris di Nagari Kayutanam Kecamatan Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman Ditinjau dari Hukum Adat Minangkabau. 8 Rumusan masalah yang diangkat adalah: a. Bagaimana bentuk-bentuk perkawinan yang ada di Nagari Kayutaman Kecamatan Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman? b. Bagaimana pengaruh bentuk-bentuk perkawinan tersebut terhadap pembagian harta waris di Nagari Kayutaman Kecamatan Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman? c. Faktor apa sajakah yang menjadi hambatan dalam pembagian harta waris dalam perkawinan di Nagari Kayutaman Kecamatan Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman? Penelitian tersebut Saudara Antoni Yoseph tersebut lebih menekankan bentuk perkawinan dan pelaksanaan pewarisan yang dilakukan oleh masyarakat Adat Nagari Kayutaman Kecamatan Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman dengan kesimpulan bahwa bentuk-bentuk perkawinan di Nagari Kayutanam Kecamatan Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman adalah kawin menetap (semenda lepas) dan kawin bebas (semenda raja-raja). Terdapat hubungan antara bentuk perkawinan dengan sistem kewarisan, yaitu bentuk kawin menetap membentuk harta bersama dengan ahli waris isteri dan anak-anak, 8 Antoni Yoseph, Bentuk-bentuk Perkawinan dan Pembagian Waris di Nagari Kayutanam Kecamatan 2x11 Kayutanam Kabupaten padang Pariaman Ditinjau dari Hukum adat Minangkabau, Tesis, Program Pasca Sarjana, Studi Magister Kenotariatan Yogyakarta, 2012.
9 sedangkan kawin bebas membentuk harta bersama dengan suami dan isteri saling mewarisi termasuk anak, harta bawaan akan kembali kepada keluarga suami. 2. Fezal Aferizal, mahasiswa Pasca Sarjana Program Magister Kenotariatan tahun 2012, penelitiannya berkaitan tentang Perkawinan Masyarakat Hukum Adat Pepaduan dan Saibatin dan Implikasinya Terhadap Hukum Waris di Tiyuh Gedung Menong, Kecamatan Negeri Agung, Kabupaten Waykanan Provinsi Lampung. 9 Rumusan masalah yang diangkat adalah: a. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya perkawinan campur antara masyarakat Pepaduan dan Saibatin di Tiyuh Gedung Menong? b. Sistem hukum waris manakah yang digunakan untuk membagi waris bagi masyarakat adat Pepaduan dan Saibatin melalui perkawinan tersebut? Hasil penelitian yang dilakukan oleh saudara Fezal Aferizal menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan campuran antara masyarakat adat Pepaduan dan Saibatin adalah faktor lingkungan, agama, akulturasi, jodoh dan penyimbang, dengan menggunakan sistem kewarisan mayorat laki-laki dan ada juga yang menggunakan sistem pewarisan Islam dengan sistem indvidual bilateral. 9 Fezal Aferizal, Perkawinan Masyarakat Hukum Adat Pepaduan dan Saibatin dan Implikasinya Terhadap Hukum Waris di Tiyuh Gedung Menong, Kecamatan Negeri Agung, Kabupaten Waykanan Provinsi Lampung, Tesis, Program Pasca Sarjana, Studi Magister Kenotariatan Yogyakarta, 2012.
10 Adapun perbedaan antara penelitian terdahulu dengan yang peneliti lakukan adalah mengenai tempat penelitian dan rumusan masalah yang akan diteliti. Persamaan penelitian ini adalah sama-sama meneliti mengenai perkawinan dan pewarisan yang terjadi pada masyarakat adat, tetapi dengan suku dan wilayah yang berbeda. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya di bidang perkawinan dan penerusan harta peninggalan yang terjadi pada masyarakat adat Dayak Jangkang di Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. 2. Bagi peneliti, kalangan akademisi, masyarakat, praktisi hukum, pemuka adat, Pemerintah Kabupaten Sanggau, untuk dapat mengetahui dan melestarikan hukum adat yang berlaku yang salah satunya mengenai perkawinan dan penerusan harta peninggalan pada masyarakat adat Dayak Jangkang, di Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. 3. Bagi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan bahan bacaan bagi mahasiswa hukum, serta dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi ilmu hukum khususnya hukum adat di bidang perkawinan dan penerusan harta
11 peninggalan pada masyarakat adat Dayak Jangkang di Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. E. Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari permasalahan yang ada, maka tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti adalah: 1. Tujuan subjektif: Tujuan subjektif dari penulisan hukum ini adalah untuk melengkapi persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2. Tujuan objektif: a) Untuk mengetahui dan memperoleh data tentang perkawinan dan penerusan harta peninggalan pada masyarakat adat Dayak Jangkang di Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. b) Untuk mengetahui dan memperoleh data tentang penerusan harta peninggalan pada masyarakat adat Dayak Jangkang di Kecamatan Jangkang, Kabupaten SanggaU, Provinsi Kalimantan Barat. c) Untuk mengetahui dan memperoleh data tentang cara penyelesaian sengketa penerusan harta peninggalan pada masyarakat adat Dayak Jangkang di Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.