PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Karst merupakan istilah dalam bahasa Jerman yang diturunkan dari bahasa Slovenia (kras) yang berarti lahan gersang berbatu. Sebenarnya istilah ini berkaitan dengan batugamping dan proses pelarutan, namun saat ini istilah kras telah diadopsi untuk istilah bentuklahan hasil proses perlarutan (Haryono dan Adji, 2004). Ford dan Williams (1989) mendefinisikan karst sebagai medan dengan kondisi hidrologi yang khas sebagai akibat dari batuan yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang telah berkembang baik. Kawasan karst di permukaan bumi mencakup 22 milyar kilometer persegi (Daoxian, 1997). Indonesia sendiri diperkirakan memiliki wilayah karst seluas ±14.000.000 km 2. Dalam tulisannya, Haryono (2011) menyebutkan bahwa melalui proses denudasi (pelarutan) pada kawasan karst di Indonesia, jumlah karbon dioksida yang dapat terserap dari proses tersebut mencapai 13,482 Gg CO 2 /tahun. Pada tulisannya tersebut, Haryono (2011) menggunakan asumsi kehilangan 1 ton CaCO 3 pada batuan karbonat akan menyerap 120 kg karbon dioksida. Kenampakan karst yang disusun oleh batugamping ini mempunyai sifat yang sangat khusus, yaitu batuannya mudah larut. Dengan sifat tersebut akan membentuk kenampakan yang resisten menjadi bentukan positif berupa conical hill (bukit kerucut) dan kenampakan yang mudah larut atau tidak resisten menjadi bentukan negatif berupa doline dan uvala. 1
2 Kawasan karst berbeda dengan kawasan lain, di mana proses eksogen dan endogen menciptakan suatu bentukan khas yang disebut topografi karst. Di kawasan karst, proses eksogen memiliki pengaruh lebih besar dalam pembentukan topografi daripada proses endogen. Proses eksogen yang berperan membentuk topografi karst adalah pelarutan, pengikisan oleh air, dan pengendapan. Pelarutan merupakan proses yang dominan ditemui di akuifer karst, karena adanya interaksi unsur karbon dioksida dalam air hujan dengan batuan karbonat yang menjadikan pelarutan semakin intensif. Konsep proses pelarutan dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan seperti berikut: Pada awal abad ke-19 konsep tentang proses pelarutan batuan karbonat dianggap hanya terjadi pada tanah yang berada beberapa meter di atas batuan induk (soil zone); berkembang pada pertengahan abad ke-19 bahwa pelarutan batuan karbonat banyak terjadi pada 10 meter di bawah permukaan tanah atau zona epikarst (subcutaneous zone); diasumsikan lagi bahwa pelarutan terjadi di sepanjang aliran yang melalui batuan karbonat. Ketiga asumsi di atas dianggap sebagai dasar dalam penelitian terkini yang menunjukkan bahwa pelarutan selalu terjadi pada air hujan yang mengalir melalui akuifer karbonat baik pada zona jenuh maupun pada zona tidak jenuh Worthington and Gunn (2009). Berbagai proses yang terbentuk dari hasil transformasi hujan dan imbuhan airtanah di kawasan karst akan dikeluarkan melalui outlet berupa mataair ataupun sungai permukaan. Mataair ini terjadi karena perbedaan elevasi muka airtanah (hydraulic head) pada akuifer dan elevasi permukaan tanah di mana mataair tersebut muncul (Kresic, 2010).
3 Pelarutan merupakan proses yang sangat penting pada daerah karst, yang mengontrol terbentuk dan berkembangnya topografi karst. Salah satu faktor yang mengontrol terbentuknya bentuklahan karst adalah adanya batuan mudah larut yang tersingkap pada ketinggian yang memungkinkan drainase air secara vertikal. Variabel yang menentukan proses pelarutan adalah kemurnian batuan karbonat, keasaman (ph) air media pelarut, temperatur, dan kandungan CO 2 (Letterman, 1995; Martinez dan White, 1999). Kabupaten Malang adalah sebuah kawasan yang terletak pada bagian tengah selatan wilayah Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Malang berbatasan dengan enam kabupaten dan Samudera Hindia. Posisi koordinat Kabupaten Malang terletak antara 112 o 17',10,90" Bujur Timur dan 122 o 57',00,00" Bujur Timur dan antara 7 o 44',55,11" Lintang Selatan dan 8 o 26',35,45" Lintang Selatan. Dengan luas wilayah sekitar 3.238,26 km 2, Kabupaten Malang terletak pada urutan luasan terbesar kedua setelah Kabupaten Banyuwangi dari 38 kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Malang merupakan daerah dataran tinggi yang dikelilingi oleh beberapa gunung dan memiliki daerah lembah pada ketinggian 250-500 meter di atas permukaan laut (mdpl) yang terletak di bagian tengah wilayah Kabupaten Malang. Bagian selatan Kabupaten Malang merupakan daerah perbukitan kapur (Karst Malang Selatan) pada ketinggian 0-650 mdpl, bagian utara merupakan daerah lereng Arjuno-Tengger berada pada ketinggian 600-2700 mdpl, bagian timur merupakan daerah lereng Tengger-Semeru, membujur dari utara ke selatan pada ketinggian 500-3600 mdpl,
4 dan bagian barat merupakan daerah lereng Kawi-Arjuno, terdapat pada ketinggian 500-3.300 mdpl. Iklim menjadi salah satu faktor penting yang menentukan besarnya laju pelarutan. Bentuk lahan Karst Malang Selatan berada pada kondisi iklim tropis yang memiliki dua musim, yaitu hujan dan kemarau. Perbedaan musim tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan ketebalan hujan yang turun. Tebal hujan yang berbeda akan menyebabkan besarnya laju pelarutan yang terjadi. Temperatur suatu wilayah memiliki peranan penting dalam proses pelarutan. Temperatur yang rendah menyebabkan pelarutan lebih intensif, sedangkan temperatur yang tinggi menyebabkan pelarutan tidak intensif. CO 2 berhubungan dengan temperatur dan aktivitas organisme di suatu wilayah. Suatu wilayah dengan vegetasi rapat memiliki kandungan CO 2 lebih tinggi daripada daerah dengan vegetasi jarang. Vegetasi berasosiasi dengan curah hujan, yaitu daerah dengan curah hujan yang tinggi pada umumnya memiliki tutupan vegetasi yang lebih rapat, sebaliknya daerah dengan curah hujan rendah memiliki tutupan vegetasi yang lebih jarang. Kondisi iklim di Kabupaten Malang memiliki suhu udara, kelembapan udara, dan curah hujan yang bervariasi. Berdasarkan hasil pemantauan di Stasiun Klimatologi Karangploso-Malang, pada Tahun 2009 suhu udara di Kabupaten Malang rata-rata relatif rendah, berkisar antara 22,1 o C hingga 26,8 o C. Kelembaban udara rata-rata berkisar antara 69,0 hingga 87,0. Kabupaten Malang memiliki curah hujan yang tinggi, curah hujan rata-rata berkisar antara 4 mm hingga 727,0 mm/bulan, curah hujan rata-rata terendah terjadi pada bulan September dan curah hujan tertinggi pada bulan Januari. Secara teori kondisi ini
5 akan menjadikan batuan karbonat di kawasan Karst Malang Selatan mudah mengalami pelarutan. Proses pelarutan menyebabkan terjadinya perkembangan bentuk lahan karst, yaitu semakin besar laju pelarutan, maka semakin berkembang bentuklahan karst sehingga pada akhirnya bentukan karst akan hilang dan menyisakan batuan dasarnya. Laju pelarutan yang tinggi juga menunjukkan tingkat denudasi yang tinggi pada daerah tersebut. Tingginya pelarutan di - kawasan Karst Malang Selatan dapat terlihat dari tingginya kandungan HCO 3 yang terlarut dalam mataair. Sacara umum morfologi Karst Malang Selatan tidak sebagus morfologi karst lainnya, apabila dibandingkan dengan morfologi Karst Gunung Sewu yang masih ideal, kenampakan bentukan karst di kawasan Karst Malang Selatan sudah banyak yang hilang, hal ini menandakan bahwa tingkat pelarutan yang terjadi di Kawasan Karst Malang Selatan cukup tinggi. Melihat kondisi tersebut sangat menarik apabila dilakukan penelitian mengenai laju pelarutan pada kawasan Karst Malang Selatan secara temporal. Penelitian laju pelarutan secara temporal dilakukan dengan analisa alkalinitas mataair karst yang berada pada kawasan Karst Malang Selatan dan menggunakan Standart Limestone Tablets yang merupakan model pelarutan batuan karbonat. Standard Limestone Tablets memiliki beberapa keunggulan, di antaranya Standard Limestone Tablets ini tidak membutuhkan waktu jangka panjang dalam monitoring dan pengambilan data dilapangan, serta dimensi tablet dan litologi mudah untuk disiapkan. Standart Limestone Tablets dipasang pada berbagai kondisi topografi dan kondisi penggunaan lahan di sekitar mataair daerah
6 penelitian, sehingga dapat diketahui variasi pelarutan pada berbagai kondisi topografi dan penggunaan lahan. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskanlah pokok-pokok permasalahan yang penting untuk diteliti sebagai berikut: 1. Berapakah laju pelarutan temporal di daerah penelitian? 2. Bagaimanakah variasi pelarutan pada beberapa kondisi kedalaman tanah, penggunaan lahan, dan topografi di daerah penelitian? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis variasi temporal laju pelarutan di daerah penelitian; 2. Menganalisis variasi pelarutan pada beberapa kondisi kedalaman tanah, penggunaan lahan, dan topografi di daerah penelitian secara spasial dan temporal. 1.4. Faedah Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat yaitu: 1. Penelitian ini secara praktis dapat digunakan sebagai suatu bahan untuk melakukan pertimbangan dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam pada bentuklahan karst khususnya di kawasan Karst Malang Selatan;
7 2. Menyediakan literatur untuk penelitian selanjutnya mengenai laju pelarutan khususnya wilayah Karst Malang Selatan; 3. Memberikan informasi dan dokumen ilmiah tentang laju pelarutan terutama pada wilayah Karst Malang Selatan; 4. Dapat memberikan tambahan pengetahuan pada objek kajian geomorfologi karst. 1.5. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai laju pelarutan telah dilakukan oleh tenaga ahli yang terkait dengan karst, setiap penelitian mempunyai ciri tersendiri. Penelitian ini pada dasarnya berbeda dari penelitian-penelitian terdahulu. Sebagian besar aspek yang akan ditinjau pada penelitian ini telah dikaji oleh para peneliti sebelumnya. Metode-metode yang digunakan dan berbagai hasil penelitian oleh masing-masing penelitian sebelumnya tersebut akan digunakan sebagai referensi pada penelitian ini. Penelitian karst di Indonesia masih tergolong baru dan dalam proses perkembangan. Penelitian sejenis pernah dilakukan Haryono (2009; 2011) mengenai serapan karbon pada saat proses karstifikasi. Penelitian ini menghitung potensi serapan karbon atmosfer pada proses denudasi karst di Indonesia yang secara spesifik di lakukan di Karst Gunungsewu. Penelitian ini menggunakan metode Corbel dalam menghitung laju pelarutannya. Penelitian ini menghasilkan nilai laju pelarutan sebesar 82,9 m 3 /km 2 /tahun di Indonesia dan 50,91 m 3 /km 2 /tahun di Karst Gunungsewu. Karbon dioksida yang terserap di Indonesia
8 sebesar 13,482 Gg CO 2 /tahun dan di Karst Gunungsewu sebesar 72.804,16 ton/tahun. Penelitian ini juga membandingkan jumlah serapan karbon dan jumlah emisi karbon dari kegiatan industri dan pembakaran bahan bakar fosil. Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh Zhongcheng et al., (2009) mengenai penyerapan dan pelepasan karbon dioksida melalui proses karstifikasi. Penelitian ini menghitung potensi serapan karbon di atmosfer menggunakan metode Limestone Tablets dan hidrokimia pada keseluruhan wilayah karst di China. Hasil dari penelitian ini menunjukan adanya kemiripan hasil yang diperoleh dari kedua metode tersebut dalam hal perhitungan penyerapan karbon. Penyerapan karbon yang dilakukan pada proses karstifikasi memiliki nilai yang lebih besar daripada nilai yang dihasilkan saat pelepasan karbon. Lebih lanjut, penyerapan CO 2 oleh karst memiliki hubungan dengan gas rumah kaca, di mana saat terjadi proses pengendapan, maka proses penyerapan karbon akan terjadi. Penelitian mengenai laju pelarutan menggunakan metode Limestone Tablets secara spesifik dilakukan oleh Plan (2005), Cheng (2011) dan Urushibara (1997). Plan (2005) melakukan penelitian menggunakan metode ini di lokasi pengunungan Alpen di utara Austria. Hasil yang ditemukan oleh Plan (2005) menunjukan bahwa faktor litologi, morfologi, bentuk permukaan, ketinggian dan iklim mempengaruhi laju pelarutan, sementara vegetasi kurang mempengaruhi laju pelarutan. Berbeda dengan Plan (2005), Cheng (2011) secara khusus mengukur laju pelarutan pada perbedaan penggunaan lahan. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukan bahwa penggunaan lahan secara kuat mempengaruhi laju pelarutan batuan karbonat. Selain itu, perbedaan rata-rata hujan wilayah
9 merupakan faktor pengontrol yang dominan dibandingkan dengan perbedaan suhu. Urushibara (1997) juga secara spesifik mengukur pelarutan batuan karbonat menggunakan tablets di area karst Jepang. Hasil yang diperoleh adalah laju pelarutan pada horizon B memiliki koefisien hubungan tinggi dengan hujan, sedangkan laju pelarutan tablet yang berada di permukaan memiliki nilai hubungan yang tinggi terhadap perubahan suhu. Tingginya laju pelarutan batugamping yang berada di udara dan di dalam tanah merupakan cerminan dari kondisi kelembaban udara dan tanah di Jepang. Dari penjabaran beberapa penelitian sebelumnya tersebut, dapat dilihat beberapa kesamaan dan perbedaan terhadap penelitian ini. Kesamaan dapat dilihat pada perhitungan laju pelarutan yang menggunakan metode tablet dan metode Corbel. Untuk perbedaannya adalah pada penelitian ini tidak melakukan pengamatan terhadap penyerapan CO 2 pada daerah penelitian. Manfaat bagi penelitian ini dari penelitian sebelumnya adalah tersedianya pustaka tentang penelitian laju pelarutan, sehingga kajian pustaka dan metode perhitungan laju pelarutan dapat dipelajari dengan mudah. Secara sistematis, penelitian-penelitan mengenai laju pelarutan yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 1.1.
10 Tabel 1.1. Penelitian laju pelarutan No Peneliti Tahun Judul Lokasi Tujuan Metode Hasil 1 Urushibara 1997 The Solution Rate Of Limestone Tablets And CO 2 Measurements In Limestone Areas Of Japan 2 Jiang Zhongchen g & Yuan daoxian 1999 CO 2 Source-sink in Karst Processes in karst areas of ChinaUkraine 3 Lukas Plan 2005 Factor Controlling Carbonate Dissolution Rates Quantified in Austrian Alps 4 Eko Haryono 2009 Atmospheric Carbon Dioxide Sequestration Trough Karst Denudation Process Preliminary Estimation From Gunung Sewu Karst Jepang China Austria Karst Gunun g Sewu Menghitung laju pelarutan tablets dan pengukuran CO 2 di jepang Mengetahui penyerapan karbondioksida melalui proses karstifikasi Mengetahui faktor yang memperngaruhi pelarutan batuan karbonat Mengetahui potensi serapan karndioksida pada proses denudasi karst dikkarst Gunungsewu Metode tablets Menggunakan metode tablets Menggunakan metode tablets dan kalkulasi mass balance Perhitungan jumlah emisi karbon dan potensi jumlah serapan karbondioksid a saat proses denudasi karst menggunakan formula corbel. Tingkat pelarutan Limestone Tablets di horison B2 tanah menunjukkan koefisien korelasi tinggi dengan curah hujan tahunan dan tingkat CO 2 tanah Penyerapan CO 2 oleh karst memiliki hubungan dengan gas rumah kaca, dimana saat terjadi proses pengendapan penyerapan karbon akan terjadi Faktor litologi, bentuk permukaan,ket inggian dan iklim mempengaruhi laju pelarutan Estimasi jumlah serapan karbon dioksida pada proses denudasi karst di wilayah karst gunungsewu
11 Tabel 1.1. Lanjutan 5 Sutanto Trijuni Putro 6 Eko Haryono 7 Zhang Cheng 8 Randhiki Gusti Perdana 2010 Laju pelarutan batuan karbonat di karst Gunungsewu dan karst Jonggrangan 2011 Atmospheric carbon dioxide sequesration trough karst denudation processes (Estimated from Indonesia Karst Region) 2011 Carbonate Rock Dissolutional Rates In Different Landuses And Their Carbon Sink Effect 2015 Laju Pelarutan Batu Gamping di Kawasan Karst Malang Selatan Gunun gsewu dan Jonggr angan Indone sia China Indone sia Menghitung laju pelarutan di karst Gunungsewu dan Jonggrangan Mengetahui potensi serapan karbondioksida pada proses denudasi karst Mengetahui laju pelarutan di perbedaan penggunaan lahan dan nilai penyerapan karbon Mengetahui variasi pelarutan di perbedaan topografi dan penggunaan lahan Perhitungan rumus Corbel Perhitungan jumlah emisi karbon dan potensi jumlah serapan karbondioksi da saat proses denudasi karst menggunaka n formula corbel. Metode tablets Perhitungan rumus Corbel dan perhitungan tablets Perbedaan laju pelarutan di karst Gunungsewu dan Jonggrangan Estimasi jumlah serapan karbon dioksida pada proses denudasi karst di wilayah karst Indonesia. Penggunan lahan secara kuat mempengaruhi laju pelarutan batuan karbonat Variasi pelarutan di perbedaan topografi dan penggunaan lahan