Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

KEPASTIAN HUKUM OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PROSES KEPAILITAN PERUSAHAAN EFEK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

BAB I PENDAHULUAN. Pinjam meminjam merupakan salah satu bagian dari perjanjian pada

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR... TAHUN 2013 TENTANG

2016, No Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pedoman Imbalan Jasa bagi

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H

Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum Kepailitan Indonesia. Oleh : Lili Naili Hidayah 1. Abstrak

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 071/PUU-II/2004

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di suatu negara, baik negara maju maupun negara

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITOR

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

Syarat DEBITOR Pailit (Psl 2 (1) UU 37/2004)

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai tujuan membangun negara yang sejahtera (Welfare State), akan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

Penundaan kewajiban pembayaran utang

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang

WEWENANG KURATOR DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN PAILIT OLEH PENGADILAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta

BAB I PENDAHULUAN. disalurkan oleh perbankan syari ah. Seperti yang disebutkan dalam Undang-

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE

I. PENDAHULUAN. Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB I PENDAHULUAN. lembaga intermediasi ( financial intermediary) untuk menunjang kelancaran

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga

Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia)

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara. sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaaan.

PERTANGGUNGJAWABAN SEKUTU DALAM PERSEKUTUAN KOMANDITER YANG MENGALAMI KEPAILITAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepailitan diatur di dalam Undang - Undang Nomor 37 Tahun 2004

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

Transkripsi:

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Denny Armantito, 2 Ratna Januarita 1,2 Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No.1 Bandung 40116 Email: 1 dennyadul@yahoo.com Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap penerapan kepailitan PT. Andalan Artha Advisindo sekuritas yang terdapat dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst. Kepailitan merupakan peristiwa hukum yang melibatkan hak dan kewajiban para pihak yang terkait, salah satu penyebab kepailitan adalah adanya tidak terpenuhinya kewajiban yang telah diperjanjikan oleh para pihak. Akibat dari penyebab tersebut, salah satu pihak mengajukan permohonan pengajuan pernyataan pailit, sebagai upaya untuk dapat menerima seluruh haknya sebagaimana yang telah diperjanjikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum positif di Indonesia mengatur tentang syarat dan tata cara pengajuan permohonan pernyataan pailit perusahaan sekuritas dan bagaimana proses dan mekanisme kepailitan PT. Andalan Artha Advisindo dalam putusan nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu suatu metode pendekatan yang menekankan pada ilmu hukum dengan cara penelitian terhadap inventarisasi hukum positif. Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, dengan mengumpulkan data sekunder dari buku-buku, karya ilmiah, artikel, jurnal dan dokumen-dokumen yang berakitan dengan yang di teliti. Dalam menganalisa data yang telah diperoleh tersebut dengan cara mengklasifikasikan bahan hukum primer dan sekunder kemudian dianalisa dengan menggunakan metode penafsiran. Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian dihasilkan kesimpulan, Implementasi syarat dan tata cara kepailitan perusahaan sekuritas dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Jo. Ayat (4) dan Pasal 6 Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan Ayat (6), dan Proses dan Mekanisme Kepailitan PT. AAA dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, terdapat ketidaksesuaian penerapan dasar hukum dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit, dikarenakan tidak diterapkan isi ketentuan Pasal 2 Ayat (4) dan Panitera melanggar ketentuan Pasal 6 Ayat (3). Kata Kunci: Kepailitan, Syarat dan Tata Cara Kepailitan, PT. Andalan Artha Advisindo. A. Pendahuluan PT. Andalan Artha Advisindo Sekuritas yang selanjutnya disebut PT. AAA merupakan perusahaan sekuritas nasional yang bergerak dibidang perantara perdagangan efek dan penjamin emisi efek. PT. AAA memiliki hubungan hukum (bisnis) dengan 2 (dua) orang nasabah yang merupakan perseorangan yang menekuni bisnis berupa pembelian/transaksi Repo (Repurchasement Agremeent) terhadap perusahaan yang bergerak dibidang sekuritas. Berdasarkan perjanjian sebagaimana yang telah disepakati para pihak yang terikat dalam hubungan tersebut, melahirkan hak dan kewajiban sebagaimana tertuang dalam isi Repo Confirmation. Kewajiban kedua nasabah tersebut adalah memberi dan menyetorkan sejumlah dana sebesar Rp. 24.000.000.000,- (dua puluh empat milyar rupiah) untuk membeli saham-saham sebagaimana tertuang dalam Repo Confirmation, sedangkan kewajiban PT. AAA adalah membeli saham-saham tersebut. Namun pada waktu yang telah ditentukan sudah jatuh tempo, kewajiban PT. AAA masih belum dipenuhi sebagaimana mestinya. Kedua nasabah tersebut telah mengajukan beberapa teguran atau peringatan-peringatan serta memberi surat somasi kepada PT. AAA untuk menyelesaikan kewajiban-kewajibannya dengan mengembalikan dana-dana yang telah 417

418 Denny Armantito, et al. di setor. Pada fakta yang telah diuraikan diatas, kedua nasabah tersebut mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Pengajuan permohonan pailit tersebut merupakan bentuk upaya hukum yang dilakukan kedua nasabah tersebut untuk mendapatkan kembali hak-hak yang seharusnya diperoleh dari hubungan bisnis tersebut. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Bagaimana implementasi syarat dan tata cara pengajuan kepailitan perusahaan sekuritas dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang? 2. Bagaimana proses dan mekanisme kepailitan PT. Andalan Artha Advisindo Sekuritas dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang? Selanjutnya tujuan dari penelitian ini adalah. 1. Untuk mengetahui implementasi syarat dan tata cara pengajuan kepailitan perusahaan sekuritas dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 2. Untuk mengetahui proses dan mekanisme kepailitan PT. Andalan Artha Advisindo Sekuritas dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. B. Landasan Teori Kepailitan menurut Adrian Sutedi dalam bukunya yang berjudul Hukum Kepailitan menyatakan bahwa Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitur (orang-orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditorkreditor (orang-orang berpiutang), hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan dalam definisi kepailitan pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Dengan melihat penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepailitan merupakan keadaan debitor yang tidak mampu melunasi prestasi atau utang dikarenakan bangkrut atau pailit, maka dari itu diperlukan sitaan atas kekayaan debitor sehingga pemberesan dan pengurusan harta tersebut dilakukan kurator dibawah pengawasan hakim pengawas, dengan maksud untuk menyelesaikan keadaan tersebut untuk kepentingan semua kreditor. Kepailitan di Indonesia diatur di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut UUKPKPU, dalam UUKPKPU memuat mengenai syarat dan tata cara pengajuan permohonan kepailitan perusahaan sekuritas sebagaimana terdapat pada Pasal 2 ayat (1) Jo. Ayat (4) dan Pasal 6 UUKPKPU, yaitu: 1. Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. (Pasal 2 Ayat (1) UUKPKPU) 2. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. (Pasal 2 Ayat 4 Volume 3, No.2, Tahun 2017

Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas 419 UUKPKPU). namun sejak diterbitkan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, dalam Pasal 55 UUOJK menyatakan bahwa fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK. dengan adanya penjelasan tersebut, berdasarkan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori maka dalam hal pengajuan yang yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat 4 tersebut yang sebelumnya merupakan tugas dari Bapepam menjadi beralih kepada OJK. kesimpulannya hanya OJK yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan sekuritas. 3. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan. (Pasal 6 Ayat (1) UUKPKPU) 4. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. (Pasal 6 Ayat (2) UUKPKPU) 5. Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut. Pasal 6 Ayat (3) UUKPKPU 6. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. (Pasal 6 Ayat (4) UUKPKPU) 7. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. (Pasal 6 Ayat (5) UUKPKPU) 8. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. (Pasal 6 Ayat (6) UUKPKPU) C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Bahwa implementasi syarat dan tata cara pengajuan kepailitan perusahaan sekuritas dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terdapat di dalam Pasal 2 Ayat (1) Jo. Ayat (4), dan Pasal 6 Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6). Dalam pasal tersebut memuat mengenai syarat dan tata cara pengajuan kepailitan perusahaan sekuritas, diantaranya: a. Dalam Pasal 2 Ayat (1) Jo. Ayat (4) UUKPKPU memuat bahwa dalam pengajuan kepailitan, debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya, namun dalam hal perusahaan sekuritas maka dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit, hanya dapat diajukan oleh OJK. b. Dalam isi ketentuan Pasal 6 ayat 1, mengisyaratkan OJK untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit tersebut kepada ketua pengadilan. Permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan kepada ketua pengadilan, sebagaimana penulis telah uraikan pada penjelasan mengenai kompetensi absolut dan relatif yaitu pengadilan niaga di tempat kedudukan badan hukum perusahaan tersebut, sebagaimana sesuai dengan anggaran dasar perusahaan Ilmu Hukum, Gelombang 2, Tahun Akademik 2016-2017

420 Denny Armantito, et al. sekuritas atau efek. c. Dalam isi ketentuan Pasal 6 ayat 2 diatas, menjelaskan bahwa setelah OJK mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan sekuritas kepada pengadilan niaga, panitera mendaftarakan permohonan pernyataan pailit pada tanggal diajukan. OJK yang merupakan pemohon atas permohonan pernyataan pailit tersebut akan diberikan tanda tangan tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dalam mengadili perkara kepailitan yaitu adalah ketua pengadilan. d. Pada isi ketentuan Pasal 6 ayat 3 UUKPKPU, memuat ketentuan yang menyatakan bahwa panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi atau dalam hal debitor yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) UUKPKPU. Sebagaimana dimaksud isi dari pasal 2 ayat (3) dan (4) UUKPKPU adalah pihak pemohon yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit bank atau perusahaan sekuritas tersebut hanya dapat dilakukan oleh OJK. Apabila dalam pendaftaran permohonan pernyataan pailit perusahaan sekuritas tersebut tidak memenuhi unsur yang terdapat di dalam isi ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUKPKPU, maka panitera wajib menolak pendaftaran tersebut. Dalam penjelasan UUKPKPU Pasal 6 ayat (3) panitera yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. e. Pada ketentuan yang terdapat pada isi Pasal 6 ayat 4 UUKPKPU tersebut, menerangkan bahwa setelah unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UUKPKPU yang sudah diuraikan diatas terpenuhi, tahap selanjutnya panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal OJK mendaftarkan permohonan pernyataan pailit perusahaan sekuritas. f. Dalam isi ketentuan Pasal 6 ayat 5 tersebut, pengadilan niaga yang berwenang mengadili perkara kepailitan, mempelajari dan menetapkan waktu sidang dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh OJK telah didaftarkan. g. Pada ketentuan Pasal 6 ayat 6 UUKPKPU, apabila permohonan pernyataan pailit yang diajukan OJK memenuhi unsur tahapan yang terdapat pada ketentuan Pasal 6 ayat (3) (4) dan (5), selanjutnya akan dilaksanakan sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit dalam jangka waktu paling lambat 2. Proses dan Mekanisme Kepailitan PT. AAA dihubungkan dengan UUKPKPU merujuk kepada Putusan perkara kepailitan PT. AAA sebagaimana terdapat pada Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst, penulis menemukan dasar hukum proses dan mekanisme kepailitan PT. AAA, diantaranya sebagai berikut: a. Dasar pengajuan permohonan pernyataan pailit PT. AAA yang dilakukan oleh 2 (dua) nasabah tersebut adalah atas dasar PT. AAA tidak dapat memenuhi kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua nasabah tersebut dengan PT. AAA untuk melakukan transaksi Repo (Repurchasement Agreement). Transaksi tersebut melahirkan kewajiban yang melekat kepada kedua belah pihak, dimana kewajiban kedua nasabah tersebut telah dipenuhi dengan memberi dan menyetorkan kepada PT. AAA dana sejumlah Rp. 24.000.000.000,- (dua puluh empat milyar) untuk membeli saham-saham sebagaimana tertuang dalam Repo Confirmation, sedangkan kewajiban PT. Volume 3, No.2, Tahun 2017

Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas 421 AAA untuk membelikan saham-saham sebagaimana tertuang dalam Repo Confirmation. Namun kewajiban tersebut tidak dapat dipenuhi oleh PT. AAA sampai tanggal jatuh tempo pemenuhan kewajiban tersebut. Kedua nasabah tersebut mengajukan permohonan pernyataan kepailitan kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 28 April 2015, dengan mendaftarkan kepada Kepaniteraan Pengadilan Niaga. Pada tanggal 29 April 2015, Kepaniteraan Pengadilan Niaga mendaftarkan permohonan pernyataan pailit tersebut kepada Pengadilan Niaga, dengan dasar hukum pengajuan permohonan pernyataan pailit PT. AAA adalah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sedangkan ketentuan UUKPKPU yang mendasari adalah Pasal 2 Ayat 1 Jo. Pasal 8 Ayat 4, yaitu: a. Pasal 2 Ayat 1 UUKPKPU, Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. b. Pasal 8 Ayat 4 UUKPKPU, Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi. Merujuk kepada penjelasan yang sudah penulis uraikan diatas, dapat diketahui bahwa proses dan mekanisme pengajuan permohonan kepailitan PT. AAA tidak sesuai dengan ketentuan mengenai syarat dan tata cara kepailitan perusahaan sekuritas di dalam UUKPKPU. Hal yang mendasari adalah tidak diterapkan nya ketentuan Pasal 2 Ayat 4 UUKPKPU yang menyatakan bahwa pengajuan permohonan pernyataan pailit perusahaan sekuritas (PT. AAA) hanya dapat diajukan oleh OJK, namun pada fakta yang ada dalam putusan kepailitan PT. AAA, yang mengajukan permohonan pernyataan pailit PT. AAA adalah 2 (dua) nasabah PT. AAA (Kreditor). Dari penjelasan diatas, penulis menemukan pertanyaan yang mendasar, yaitu mengapa perkara kepailitan PT. AAA tetap berjalan, sedangkan ketentuan penerapan syarat pada pengajuan permohonan pailit PT. AAA tidak diterapkan, sebagaimana terdapat di dalam ketentuan Pasal 2 Ayat 4 UUKPKPU. setelah penulis menganalisis putusan pailit PT. AAA diatas, ternyata terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh Kepaniteraan Pengadilan Niaga tersebut dalam melaksanakan proses dan mekanisme pengajuan kepailitan perusahaan sekuritas. Sebagaimana seharusnya Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi atau dalam hal debitor yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) UUKPKPU. D. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan beberapa hasil penelitian sebagai berikut: 1. Implementasi syarat dan tata cara kepailitan perusahaan sekuritas dalam Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Jo. Ayat (4) dan Pasal 6 Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan Ayat (6). 2. Proses dan Mekanisme Kepailitan PT. AAA dihubungkan dengan Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, terdapat ketidaksesuaian penerapan dasar hukum dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit, dikarenakan tidak diterapkan isi ketentuan Pasal 2 Ayat (4) dan Panitera melanggar ketentuan Pasal 6 Ayat (3). Ilmu Hukum, Gelombang 2, Tahun Akademik 2016-2017

422 Denny Armantito, et al. E. Saran 1. Saran penulis pertama, OJK seharusnya membuat peraturan khusus yang mengatur prosedur syarat dan tata cara pengajuan kepailitan perusahaan sekuritas yang memuat ketentuan yang harus dipenuhi oleh kreditor untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal debitor perusahaan sekuritas. Sehingga dapat dipastikan ketentuan Pasal 2 Ayat 4 UUKPKPU dapat dilaksanakan secara utuh, sebagaimana ketentuan tersebut memuat bahwa hanya OJK yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal debitor perusahaan sekuritas. 2. Saran Penulis kedua, Panitera harus lebih teliti dalam bertugas menyelenggarakan administrasi perkara, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada sebagaimana telah diatur tugasnya di dalam undang-undang. Supaya tidak terjadi pelanggaran dan ketidaksesuaian dalam penerapan proses dan mekanisme syarat dan tata cara pengajuan permohonan kepailitan sebagaimana telah diatur di dalam UUKPKPU. Daftar Pustaka Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, Raih Asa Sukses, 2014 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Cetakan I, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009 Budi untung, Hukum Bisnis Pasar Modal, Andi, Yogyakarta, 2011 Dr. M Hadi Shubhan, S.H.,M.H.,C.N., Hukum Kepailitan dalam Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. cetakan ke-2 tahun 2008 Martiman Prodojhamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, Jakarta: CV. Mandar Maju, 1999 Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 (Dalam Teori Dan Praktek), Cetakan.Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007 Volume 3, No.2, Tahun 2017