I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bagi banyak negara di dunia, pengembangan sektor tanaman pangan, terutama padi, masih menjadi prioritas utama kebijakan pertanian, hal itu disebabkan beras merupakan pangan utama hampir 50% penduduk dunia dan 90% penduduk Asia. Begitu pula di Indonesia, produksi padi memiliki posisi penting dalam sistem pangan karena beras yang dihasilkan tanaman padi merupakan komoditas pangan pokok masyarakat Indonesia. Tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia cukup tinggi, data Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa konsumsi beras pada tahun 2011 mencapai 139 kg/kapita, lebih tinggi dibandingkan Malaysia dan Thailand yang hanya berkisar 65 70 kg/kapita/tahun, bahkan di tahun 2013 tercatat ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras mencapai 78%, padahal di tahun 1950-an ketergantungan masyarakat hanya sekitar 54% saja. Usahatani padi, selain sebagai penghasil pangan pokok, juga merupakan mata pencaharian utama yang mampu menyerap tenaga kerja sekitar 40% penduduk Indonesia di pedesaan. Usahatani padi juga masih memiliki kemampuan sebagai penyedia bahan baku industri, kontribusi dalam bentuk kapital, dan bahkan mampu menjadi sumber devisa negara. Secara politis pemerintah menempatkan beras sebagai komoditas strategis dalam pembangunan ekonomi, dan swasembada beras menjadi target utama pembangunan. Oleh karena itu, sejak tahun 60an hingga sekarang, banyak program-program nasional yang berkaitan dengan upaya peningkatan produksi 1
beras (padi), apalagi jika mengingat bahwa jumlah penduduk Indonesia yang besar, pemenuhan kebutuhan beras semakin tahun menjadi semakin berat. Pulau Jawa masih diandalkan sebagai pemasok 60% produksi pangan nasional, sehingga inovasi teknologi gencar diupayakan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas. Tabel. 1.1.Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di Jawa dan Luar Jawa Uraian 2011 2012 Luas Panen (ha) - Jawa - Luar Jawa Produksi (juta ton) - Jawa - Luar Jawa Produktivitas (kuintal/ha) - Jawa - Luar Jawa 6.165.079 7.038.564 34.404.557 31.352.347 6.185.521 7.260.003 36.526.663 32.529.463 2013 (ARAM I) 6.232.304 7.218.907 36.546.577 32.724.476 Perkembangan 2011-2012 2012-2013 absolut % absolut % 20.442 221.439 2.122.106 1.177.116 55,81 44,54 59,05 44,81 58,64 45,33 3,24 0,27 Sumber: Statistik Indonesia (BPS, 2013) Keterangan: kualitas produksi padi adalah Gabah Kering Giling (GKG) 0,33 3,15 6,17 3,75 5,81 0,61 46.783-41.096 19.914 195.013-0,41 0,52 0,76-0,57 0,05 0,60-0,69 1,16 Pada Rencana Strategis Kementrian Pertanian tahun 2010-2014 ditargetkan pencapaian swasembada serta swasembada berkelanjutan tanaman padi sebagai salah satu target kesuksesan pembangunan pertanian. Untuk meningkatkan produktivitas padi, terutama di Pulau Jawa, inovasi teknologi terus didorong, namun upaya tersebut terancam oleh menurunnya luasan lahan sawah dan menurunnya daya dukung lahan maupun lingkungan akibat tercemarnya tanah, air, dan lingkungan oleh bahan kimia yang menjadi input usahatani padi. Pencapaian produktivitas maupun kesejahteraan petani padi, tidak dapat terlepas dari dukungan agroekosistem dimana padi dibudidayakan maupun kualitas sumberdaya petani yang mengusahakannya. Penggunaan bahan kimia 2
secara terus menerus menyebabkan kerusakan sifat fisik tanah, meningkatkan daya ketahanan (imunitas) hama dan patogen terhadap bahan kimia tertentu, serta berbagai masalah pencemaran lingkungan yang mempengaruhi proses budidaya padi di masa mendatang. Oleh karena itu dikatakan bahwa praktek budidaya padi selain memberikan manfaat ekonomi bagi petani, mengandung juga risiko balik ekologis yang memiliki potensi menghambat pencapaian sasaran ekonomi jangka pendek maupun panjang, tidak hanya bagi petani namun juga bagi masyarakat sekitarnya. Menurut De Vries (2000), praktek pertanian selalu memiliki peran dan fungsi yang saling terkait satu sama lain, antara aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Konsep keterkaitan peran dan fungsi sektor pertanian tersebut erat dengan konsep multifungsionalitas pertanian (multifunctionality of agriculture). Menurut Matsumoto (2002 dalam Concepcion et al, 2006), aktivitas pertanian tidak hanya menghasilkan produk yang kelihatan (tangible) dalam bentuk pangan dan serat, tetapi juga produk yang tidak kelihatan (non-marketable goods/non-tangible services), yang disebut sebagai multifunctionality of agriculture (MFA). Konsep MFA telah banyak didiskusikan berbagai lembaga ekonomi tingkat dunia. Dalam Hediger (2004), Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan multifungsionalitas adalah suatu karakteristik aktivitas ekonomi atau pertanian yang menghasilkan output ganda yang memberikan kontribusi pada beberapa tujuan sosial dalam satu waktu. Multifungsionalitas pertanian menurut Food and Agriculture Organisation (FAO) adalah peran pertanian berlandaskan etika pembangunan berkelanjutan, sedangkan World 3
Trade Organisation (WTO) memandang multifungsionalitas pertanian sebagai output pertanian yang tidak diperdagangkan yang seharusnya menjadi fokus kebijakan pertanian. Strategi pembangunan sebelumnya yang hanya terfokus pada tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi yang terbukti telah menimbulkan degradasi kapasitas produksi dan kualitas lingkungan hidup, dan justru mengurangi produktivitas usahatani. Kerusakan lingkungan, akan menuju kepada permasalahan ekonomi dan sosial-budaya dalam jangka panjang dan akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Oleh karena itu, arah kebijakan sektor pertanian saat ini berubah lebih menekankan pada pembangunan pertanian berkelanjutan dan kebijakan berkelanjutan tersebut dikembangkan menjadi kebijakan yang mengarah pada multifungsionalitas pertanian. Multifungsionalitas pertanian merubah paradigma berpikir linier dalam pengembangan pertanian dan pembangunan pedesaan berkelanjutan. Arah kebijakan pertanian yang ideal diharapkan menekankan pemberian insentif untuk mendorong efisiensi non-komoditas sehingga muncul pelayanan baru wilayah pedesaan/pertanian, yang meliputi white services yakni produksi pertanian dan ketahanan pangan, green services antara lain meliputi pemeliharaan tataguna lahan dan bodiversitas, serta energi; blue services yakni manajemen air dan pengendalian banjir, dan yellow services meliputi antara lain pemeliharaan sosial, tenaga kerja, budaya, kohesi sosial (Huylenbroeck, 2009). Konsep multifungsionalitas pertanian berbeda dengan konsep pertanian berkelanjutan, dimana multifungsionalitas pertanian menunjuk pada fakta bahwa suatu aktivitas 4
yang mendorong terwujudnya berbagai aspek, yakni: (a) identitas pertanian lokal, (b) pertanian berkelanjutan, dan (c) pertanian yang lebih kompetitif. Menurut Vassalos et al. (2010) sistem pertanian organik dapat menjadi salah satu alternatif bentuk pertanian menjamin berkelanjutan, dan dapat mendukung multifungsionalitas pertanian. Pertanian organik banyak memberikan keuntungan jika ditinjau dari aspek peningkatan produksi tanaman maupun ternak, peningkatan kesuburan tanah serta pelestarian lingkungan dan kemampuannya mempertahankan ekosistem. Dari segi ekonomi, pertanian organik akan menghemat devisa negara untuk mengimpor pupuk, tanpa bahan kimia pertanian, memberikan kesempatan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan petani. Sistem pertanian organik mengurangi ketergantungan petani pada pupuk pabrikan, disisi lain mendorong petani lebih kreatif berusaha mengolah kotoran ternak menjadi pupuk organik untuk memenuhi kebutuhan sawah mereka. Menurut Aliansi Organis Indonesia (2009), pertanian organik dianggap mampu mendorong kelompok petani menjadi lebih dinamis, bahkan pertanian organik menjadi salah satu upaya untuk mengembalikan hak petani perempuan dalam proses pertanian, juga mengandung nilai-nilai sosial-budaya petani. Menurut Gips (1986 dalam Suwantoro, 2008), pertanian organik sesuai dengan prinsip sistem pertanian berkelanjutan yang harus memenuhi beberapa kriteria antara lain aman menurut wawasan lingkungan, menguntungkan secara ekonomi, adil menurut pertimbangan sosial, manusiawi, dan mudah diadaptasi. Semakin lama usahatani organik diterapkan, maka fungsinya dalam menyehatkan lingkungan dan mendorong nilai-nilai sosial yang baik tentunya menjadi makin 5
terpupuk, dan pada akhirnya tujuan usahatani tercapai atau level multifungsionalitasnya makin meningkat. Multifungsionalitas adalah karakteristik yang dapat berubah dari waktu ke waktu, seperti dibuktikan penelitian multifungsionaltas lahan sawah oleh Liu et al (2010) di dua wilayah di Taiwan. Hediger (2004) menyatakan bahwa jika dikaitkan dengan potensi keberlanjutan, secara dinamis multifungsionalitas ekonomi dapat menjadi suatu economics capital, multifungsionalitas sosial dapat menjadi suatu social capital, dan multifungsionalitas lingkungan dapat menjadi suatu ecological capital. Oleh karena itu dapat dihipotesiskan bahwa multifungsionalitas adalah karakteristik suatu proses produksi, dapat menjadi modal bagi proses produksi pada masa selanjutnya, atau diduga karakteristik multifungsionalitas mempengaruhi capaian usahatani periode selanjutnya. Perwujudan usahatani sistem organik yang mendorong multifungsionalitas penting dikembangkan. Menurut Vassalos et al (2010), usahatani yang memiliki multifungsionalitas memberikan kinerja ekonomi yang lebih baik. Mengacu hasil penelitian Barnes (2006), jika terdapat sikap mengapresiasi terhadap multifungsionalitas pertanian memberikan dampak positif yang nyata pada efisiensi teknis (kasus di industri peternakan). Apabila efisiensi tercapai, tentunya kesejahteraan pelaku pertanian dapat tercapai pula. Wilson (2009 dalam Vassaloset al, 2010) menyatakan bahwa petani merupakan skala spasial terpenting dalam rangka penerapan tindakan multifungsional di lapangan sebelum menuju skala nasional dan global. Analisis 6
di tingkat petani akan memberikan gambaran realistis dalam mengupayakan pencarian usahatani padi yang mengarah pada multifungsionalitas pertanian. 1.2. Perumusan Masalah Upaya mempertahankan produktivitas, efisiensi, dan pendapatan usahatani padi terutama di Pulau Jawa menghadapi tantangan penurunan kualitas lingkungan dan penurunan jumlah luasan sawah. Hal tersebut merupakan bukti kurang diapresiasinya fungsi usahatani padi oleh masyarakat, bahkan justru dipicu oleh kebijakan pemerintah yang berorintasi hanya mengejar produksi tinggi. Konsep multifungsionalitas pertanian mulai banyak dibahas ahli ekonomi pertanian dunia, agar paradigma pembangunan pertanian tidak hanya tertuju pada produksi tinggi tanpa memperhatikan aspek lain yang terkait. Menurut OECD (2001), multifungsionalitas pertanian adalah suatu karakteristik proses produksi yang akan memberikan implikasi dalam pencapaian tujuan-tujuan sosial, dan menjadi salah satu kunci penting dalam merumuskan ruh yang melandasi kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan berkelanjutan. Usahatani padi di Indonesia saat ini dapat dikatakan cenderung mengabaikan multifungsionalitasnya. Pengabaian multifungsionalitas di tingkat petani dan pengambil kebijakan sektor pertanian, tampak dari makin banyak terjadi konversi lahan sawah di Indonesia, dimana laju konversi tersebut mencapai 110.000 ha/tahun (dalam laporan kantor Kementrian Pertanian dalam Irianto, 2011). Urbanisasi penduduk pedesaan ke kota (terutama generasi muda) sebenarnya juga cerminan tidak diapresiasinya sektor pertanian oleh masyarakat 7
pedesaan. Pengabaian aspek sosial budaya masyarakat juga terjadi yang menurunkan kemampuan pertanian menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat desa dan menghilangkan nilai-nilai tradisi yang patut dilestarikan. Dampak lain akibat tidak diapresiasinya multifungsionalitas pertanian adalah perusakan lingkungan dan kesuburan lahan yang menurunkan kemampuan tanah mendukung produktivitas usahatani. Ancaman degradasi lingkungan, tampak dari tulisan Setyorini et al (2003) bahwa luas lahan sawah irigasi ± 7,5 juta ha di Indonesia, sekitar 65%nya mempunyai kandungan bahan organik rendah sampai sedang (kurang dari 2%), dimana dalam kondisi normal lahan sawah subur mengandung bahan organik minimal 3%. Pengabaian multifungsionalitas pertanian terlihat juga dari hasil penelitian Rahmanto et al (2003), persepsi tiga lapisan masyarakat (yaitu petani, tokoh masyarakat desa, dan stakeholder pembangunan daerah) di Kabupaten Malang, Kediri, dan Mojokerto, mengindikasikan pemahaman terhadap manfaat dari lahan sawah baik manfaat langsung maupun tidak langsung, belum disadari sepenuhnya. Pengetahuan masyarakat yang rendah tentang multifungsionalitas juga terbukti dari penelitian Irawan et al (2004) di DAS Citarum (Jawa Barat) dan DAS Kaligarang (Jawa Tengah), dimana masyarakat setempat hanya mengenal 4 fungsi pertanian, yaitu penghasil produk pertanian, pemelihara pasokan air tanah, pengendali banjir, dan penyedia lapangan kerja. Usahatani organik sebagai salah satu bentuk pertanian yang mengapresiasi multifungsionalitasnya belum terlalu diminati petani padi di Indonesia. Usahatani intensif yang mengandalkan bahan kimia masih dilakukan hampir semua petani 8
padi di Indonesia karena petani terlalu lama dibiasakan dalam iklim usahatani yang tidak ramah lingkungan, sejak era Revolusi Hijau bahkan hingga kini yang hanya berorientasi mengejar swasembada beras, apalagi perhatian pemerintah pada pertanian organik melalui program Go Organic 2010 belum berjalan baik. Rendahnya minat petani pada sistem pertanian organik juga disebabkan antara lain oleh keyakinan petani tentang capaian kinerja usahatani organik yang masih rendah, terkait capaian produktivitas, efisiensi, efektivitas, dan laba. Ketidakyakinan petani didukung adanya kajian usahatani padi yang menunjukkan penyimpulan berbeda-beda, saling mendukung, namun ada pula yang mengaburkan potensi usahatani organik. Potensi produktivitas sistem pertanian organik berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan produktivitas tinggi, namun beberapa penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda. Kajian Lansink et al. (2002, dalam Sipilainen et al. 2008), menunjukkan bahwa produktivitas pertanian organik cenderung lebih rendah daripada pertanian konvensional, disisi lain produktivitas modal, tanah dan tenaga kerja juga cenderung rendah pada usahatani organik. Suhartini (2007) menemukan produktivitas tanaman padi semi-organik pada setiap musim tanam lebih tinggi dibandingkan padi non-organik di Kabupaten Sragen, selain itu pertanian semi-organik memberikan manfaat lebih baik dalam memperbaiki kualitas lahan dan biodiversitas dibandingkan non organik. Sipiläinen et al. (2008) menunjukkan bahwa efisiensi teknis menurun saat dilakukan konversi pertanian konvensional ke pertanian organik, dengan menggunakan data envelopment 9
analysis, nilai efisiensi teknis pertanian organik lebih rendah dibandingkan konvensional. Pemilihan usahatani organik diharapkan tidak hanya menghasilkan produktivitas yang lebih baik, namun juga memberikan fungsi positif dalam aspek lingkungan, ekonomi, maupun sosial. Menurut Hediger (2004), fungsi yang muncul akibat diterapkannya usahatani organik dapat menjadi modal bagi usahatani dan akan mempengaruhi capaian kinerja usahatani. Oleh karena itu, usahatani yang mengoptimalkan multifungsionalitas terus diupayakan karena karakteristik multifungsionalitas diduga mempengaruhi capaian usaha pertanian. Meskipun pertanian organik belum banyak dipilih dan dilakukan petani, namun wilayah sentra padi di Provinsi Jawa Tengah, yakni Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen, konsisten merintis dan mengembangkan serius budidaya padi organik. Penanaman padi organik di kedua wilayah tersebut dinilai cukup berhasil dibandingkan wilayah lain, meskipun disisi lain di wilayah tersebut masih sangat banyak kelompok petani yang memilih menngunakan bahan kimia sebagai input usahataninya. Pertanyaan penelitian untuk analisis empiris, yakni: (a) bagaimana capaian produktivitas, rasio penerimaan dan biaya usahatani, efisiensi teknis, efisiensi alokatif, efisiensi ekonomis, dan efisiensi lingkungan dari usahatani padi organik dan konvensional? (b) bagaimanakah multifungsionalitas usahatani padi organik dan konvensional, yakni kecukupan pangan rumah tangga petani, pemeliharaan kebersamaan dan gotong royong, partisipasi wanita tani, pemeliharaan tradisi dan budaya, kualitas tanah, keragaman hayati, dan pencemaran lingkungan di sekitar 10
sawah? (c) Bagaimana pula nilai ekonomi fungsi kedua usahatani sebagai penghasil pangan dan sebagai penyerap tenaga kerja? (d) adakah hubungan antara kinerja dan multifungsionalitas usahatani? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Menganalisis kinerja usahatani padi organik dan konvensional, meliputi produktivitas, R/C ratio, efisiensi teknis, efisiensi lingkungan, efisiensi alokatif, dan efisiensi ekonomis. 2. Menganalisis multifungsionalitas usahatani padi organik dan konvensional, meliputi kecukupan pangan rumah tangga petani, kebersamaan dan gotong royong, partisipasi wanita tani, tradisi usahatani, kualitas tanah sawah, biodiversitas sawah, dan pencemaran lingkungan sawah. 3. Mengukur nilai ekonomi fungsi usahatani padi organik dan konvensional sebagai penghasil pangan dan sebagai penyerap tenaga kerja. 4. Mengkaji hubungan antara kinerja dengan multifungsionalitas pada usahatani padi organik dan konvensional. 1.4. Kemanfaatan Penelitian Manfaat penelitian dibedakan beberapa hal, sebagai berikut: 1. Pemahaman multifungsionalitas pertanian, adalah penting, karena: a. Pengelolaan pertanian yang didukung pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi yang baik terhadap multifungsionalitas akan meningkatkan 11
kualitas produksi, kesejahteraan petani dan masyarakat luas, sekaligus memelihara kualitas lingkungan hidup. b. Nilai manfaat jasa lingkungan pertanian dapat dijadikan bahan pertimbangan kebijakan untuk mempertahankan lahan pertanian dari ancaman alih fungsi lahan dan mendukung pemanfaatan lahan sawah secara optimal untuk pembangunan pertanian wilayah setempat. c. Pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang multifungsionalitas pertanian akan menimbulkan rasa bangga karena bertani menjadi sumber kebajikan terhadap masyarakat luas; serta mendorong pengembangan usaha-usaha pertanian yang selaras dengan pelestarian lingkungan serta menjaga perencanaan tata ruang yang mendahulukan pertanian, yang pada akhirnya menambah nilai usaha pertanian yang menyejahterakan masyarakat luas. 2. Pemahaman tentang capaian usahatani, baik produktivitas, efisiensi, maupun pendapatan usahatani dari suatu usahatani, bermanfaat karena: a. Pemahaman tersebut membantu petani mengembangkan strategi untuk mengoptimalkan capaian usaha pertanian. b. Pemahaman tentang capaian usahatani menyediakan informasi yang berguna bagi pengambil kebijakan dalam menaksir perangkat kebijakan dalam pengembangan pertanian dan pedesaan yang berkelanjutan. 3. Kajian usahatani padi organik dan konvensional merupakan kajian yang penting dalam rangka pengembangan usahatani berkelanjutan dan dalam jangka panjang mendukung pembangunan pedesaan berkelanjutan. 12
4. Pemahaman ilmu yang dikemukakan dan dikaji, maupun penerapan alat analisis dalam penelitian ini diharapkan makin memperkaya kajian-kajian maupun temuan-temuan sebelumnya. Diharapkan pengkajian kinerja dan multifungsionalitas usahatani dapat mendukung visi pembangunan pertanian 2025 adalah pertanian pedesaan yang berdaya saing tinggi, berkeadilan dan berkelanjutan, serta menyejahterakan petani. 1.5. Kebaruan Penelitian Aspek-aspek yang dapat dianggap baru dibandingkan penelitian-penelitian terdahulu dan mengarahkan pada keaslian penelitian, antara lain: 1. Kebaruan aspek-aspek yang menjadi tema penelitian, dimana penelitian mengkaji aspek kinerja usahatani, sekaligus multifungsionalitasnya, dengan mengambil kasus usahatani padi lahan sawah pada sistem organik dan konvensional. Penjelasan selengkapnya kebaruan tema penelitian, sebagai berikut: a. Topik penelitian ini menggabungkan aspek utama yakni kinerja usahatani dengan parameter-parameter multifungsionalitas usahatani organik maupun konvensional. Hal ini menjadi salah satu upaya penggalian bagaimana teknologi organik yang diadopsi mempengaruhi perannya dalam multifungsionalitas usahatani padi lahan sawah, sehingga dapat dihasilkan suatu bahan pertimbangan pengambilan kebijakan pengelolaan pertanian menuju sistem pertanian dan pembangunan berkelanjutan. 13
b. Multifungsionalitas pertanian merupakan paradigma baru pembangunan berkelanjutan, baik pembangunan pertanian maupun pembangunan pedesaan, yang berupaya mengeksplorasi fungsi pasar dan non-pasar aktivitas pertanian. Konsep multifungsionalitas pertanian berbeda dengan konsep pertanian berkelanjutan. Konsep multifungsionalitas pertanian dan pertanian berkelanjutan sama-sama menunjuk pada peran ganda, namun konsep berkelanjutan menekankan pada pemeliharaan sepanjang waktu dan generasi mendatang atau pengelolaan stok modal bagi kesejahteraan dan generasi mendatang (resource-oriented), sedangkan multifungsionalitas menekankan pada activity-oriented bahwa proses produksi memberi juga kontribusi pencapaian sejumlah tujuan sosial. Menurut OECD (2001), keberlanjutan (sustainability) menunjuk pada penggunaan sumberdaya yang memenuhi prinsip bahwa dalam memenuhi kebutuhan saat ini harus berkompromi dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang, sedangkan multifungsionalitas pertanian menunjuk pada fakta bahwa suatu aktivitas ekonomi berkontribusi pada beberapa jasa sosial dalam satu waktu, bukan hanya fungsi pasar namun juga fungsi non-pasar yang dapat dioptimalkan sehingga mendorong terwujudnya berbagai aspek, yakni: (a) identitas pertanian lokal, (b) pertanian berkelanjutan, dan (c) pertanian yang lebih kompetitif. Kontribusi yang muncul dengan adanya peran multifungsionalitas berdampak luas yakni pada identitas wilayah. Kerangka skematis terkait peran multifungsionalitas terhadap identitas 14
regional, dapat menjadi salah satu gambaran bagaimana posisi usahatani multifungsional, pada Gambar 1.1. Efek ekologi dan sosial Pertanian multifungsional Identitas pertanianregional Kemampuan kompetitif pedesaan Efek ekonomi Gambar 1.1. Multifungsionalitas Pertanian dan Pembentukan Identitas Regional (Sumber: Musical Project dalam Mettepenningen et al, 2011) 2. Parameter yang diteliti dan modifikasi metode analisis yang digunakan dalam tahapan analisis data penelitian dapat dianggap manjadi salah satu unsur kebaruan penelitian ini. a. Variabel kinerja usahatani dalam penelitian ini tidak hanya meliputi produktivitas, R/C ratio, efisiensi teknis, efisiensi alokatif, serta efisiensi ekonomis usahatani, namun diperkaya dengan menambahkan parameter efisiensi lingkungan (Environmental Efficiency) yang masih jarang dikaji dalam penelitian ekonomi pertanian. Efek lingkungan dalam aktivitas ekonomi makin menjadi perhatian peneliti sehingga dilakukan penyesuaian metode tradisional untuk menganalisis aspek lingkungan dalam pengukuran efisiensi teknis dan ekonomis. Kajian tentang efisiensi lingkungan menggunakan fungsi produksi frontier dengan memasukkan variabel surplus nitrogen antara lain oleh Reinhard et al (1999) pada kasus peternakan sapi perah. 15
b. Penaksiran potensi multifungsionalitas dalam penelitian ini adalah potensi multifungsionalitas usahatani padi, sehingga unsur multifungsionalitas yang dikaji dikembangkan melalui penggabungan dan modifikasi indikator serta konsep yang telah ada, dengan menyesuaikan karakteristik usahatani lahan sawah di Indonesia. Variabel multifungsionalitas yang dikaji menyeluruh, tidak hanya meliputi aspek lingkungan yang telah banyak dikaji penelitian sebelumnya, namun juga mengungkap aspek kecukupan pangan rumah tangga petani, aspek-aspek sosial kelembagaan, serta tadisi/budaya usahatani. c. Penggunaan metode Canonical Correlation Analysis (CCA) dalam analisis yang melihat hubungan antara kinerja dan multifungsionalitas usahatani belum banyak ditemukan dalam penelitian ekonomi pertanian. 3. Keaslian kasus di lokasi penelitian merupakan salah satu aspek yang dianggap baru, yakni dilakukan di Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen pada kelompok petani padi organik yang hanya mengandalkan input organik berupa pupuk kandang atau kompos, bukan input organik pabrikan. 16